Bulan pertama, kedua, ketiga,
keempat, kelima, aku hanya bisa melihatmu dari senyum yang tidak bisa bergerak.
Di layar LCD itu, senyum itu pun melihat balik ke arahku. Aku berkata, “Senyummu
manis...”, tapi itu tidak membuat senyummu bergerak juga. Mata itu memandangku
balik, setidaknya aku senang. Dengan duduk diam di sini, aku selalu melihat
senyum yang sama. Dan setidaknya dengan begini, aku tidak pernah melihatmu
tidak tersenyum. Dari foto itu.
Selama ini, aku hanya bisa
menyampaikan pesan lewat gelombang-gelombang transversal. Menyampaikan emosi
lewat jari-jemariku. Mengadu padamu saat aku ingin manja seperti wanita-wanita
lain di luar sana pada prianya. Memelukmu lewat lagu-lagu itu. Namun aku hanya
bisa menitipkan rindu pada sujudku, pada Tuhanku, energi terbesar yang kita
semua puji dan sebut sejak masih kecil. Karena aku percaya, hanya Tuhan yang
menyampaikan rinduku sampai selamat di telingamu, tanpa berkurang satu pun
kata, bukan lewat Facebook, “Aku
rindu kamu, pulanglah...”.
Saat aku mulai ragu, aku tidak ingin
mendengar kata apa pun yang ke luar dari mulut mereka. Aku hanya percaya satu
makhluk, yaitu kamu. Kamu yang berkata aku tidak boleh menunggumu pulang, kamu
juga tidak pernah berjanji untuk pulang, bahkan di saat aku sedang meniup lilin
ke-19, kamu tidak juga pulang. Kenapa kamu tidak mencari penggantiku saja,
kenapa kamu tetap memilihku di antara jutaan wanita di Indonesia yang bisa kamu
tunjuk. Bahkan, di Pulau Dewata sana sangat banyak wanita cantik. Kenapa kamu
mengajariku menjadi lebih dewasa dengan cara ini, aku tidak mengerti. Dan
kenapa di saat bibir-bibir yang lain mengecap kata “Sudah, tinggalkan saja dia!”,
aku tetap bersikukuh dengan jawabanku untuk tetap mendeklarasikan diri bahwa
aku milikmu dan tidak akan pergi hanya karena...jarak.
Aku berpikir lagi. Keras. Aku
mengerti mengapa kamu tidak mengizinkanku untuk berharap kamu pulang. Kamu
hanya tidak ingin aku kecewa. Kamu hanya tidak ingin aku sudah terlanjur
berdandan cantik dari biasanya, memakai rok, memakai bedak, lipstick, parfum, dan memikirkan percakapan
apa yang nantinya akan aku lontarkan di depanmu, namun kamu hanya mempunyai
waktu tidak lebih dari 5 menit untuk bertemu denganku.
Kemarin, di tempat itu...tempat
yang tidak romantis. Kurang dari 5 menit. Sampai aku belum sempat menata
jantungku yang masih berdebar karena ini kali pertama kau akan bertemu denganku
sejak pertemuan terakhir kita lima bulan yang lalu, aku bersyukur. Setidaknya walau
pertemuan ini tidak berarti apa-apa dan hanya sempat mengucap beberapa kali “Hai...”
tanpa sempat mengucap yang lebih, kamu bisa baca mataku, mata yang mengucapkan “Aku
rindu kamu...lebih lama lah di sini... Aku ingin bercerita. Dan aku hanya ingin
mengatakan, rasa itu tetap sama sampai kapan pun. Aku tidak mau menunggumu. Tapi
aku selalu di sini, sampai kamu pulang pun, aku tetap di sini. Tanpa ada nama
lain yang mengisi. Hanya kamu...”.
Dan bonus lain yang aku dapatkan,
yang tidak orang lain dapatkan hanya dengan lima menit saja. Setidaknya aku
sempat mengecup tangan wanita yang melahirkanmu, dia sangat cantik. Serta
aku sangat terkejut membuka bingkisan mungil itu. Kamu paling tahu, obat rindu
apa yang paling ampuh buatku. Terima kasih, kamu membawakan makanan kesukaanku
walau aku tidak pernah bilang kamu harus membawanya ke mari, kemarin. Aku akan
mengunyahnya, dan merasakan tiap butir yang mengandung rindumu ini. Lewat
manis, gurih, dan asin di setiap butirnya, aku bisa merasakan betapa kamu
mencintaiku dengan dewasa. Betapa kamu merindukanku juga secara profesional.
Dan betapa kamu menjadi sangat spesial buatku walau aku tidak bisa ke bioskop
bersamamu sekarang, tidak bisa naik bianglala setiap minggu, tidak bisa ke
Taman Safari di saat liburan, tidak bisa fotobox
berdua dan dijadikan foto profil di jejaring sosial. Namun, dari caramu
menahan jariku saat bersalaman dan berpisah denganku untuk melanjutkan tugas
yang menantimu di depan sana kemarin, aku semakin percaya, bahwa kamu akan
kembali lebih cepat dari perkiraanmu untuk mengobati rindu yang sudah semakin
tebal seperti bola salju yang meluncur.
Terima kasih telah datang dan
membawakanku makanan kesukaanku...
"Andai bulan kan mengerti,
andai bintang kan pahami,
sampaikan kesunyian,
sampaikan kerinduan
di remang langit pagi
berharap hal yg tak pasti
hanya bisa menanti dan menanti,
Salam sayang dariku untukmu yg terkasih..."
-Sincerely, Yours-