Followers

Tuesday, May 21, 2013

3 Bungkus Kacang Bali


Bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, aku hanya bisa melihatmu dari senyum yang tidak bisa bergerak. Di layar LCD itu, senyum itu pun melihat balik ke arahku. Aku berkata, “Senyummu manis...”, tapi itu tidak membuat senyummu bergerak juga. Mata itu memandangku balik, setidaknya aku senang. Dengan duduk diam di sini, aku selalu melihat senyum yang sama. Dan setidaknya dengan begini, aku tidak pernah melihatmu tidak tersenyum. Dari foto itu.

Selama ini, aku hanya bisa menyampaikan pesan lewat gelombang-gelombang transversal. Menyampaikan emosi lewat jari-jemariku. Mengadu padamu saat aku ingin manja seperti wanita-wanita lain di luar sana pada prianya. Memelukmu lewat lagu-lagu itu. Namun aku hanya bisa menitipkan rindu pada sujudku, pada Tuhanku, energi terbesar yang kita semua puji dan sebut sejak masih kecil. Karena aku percaya, hanya Tuhan yang menyampaikan rinduku sampai selamat di telingamu, tanpa berkurang satu pun kata, bukan lewat Facebook, “Aku rindu kamu, pulanglah...”.

Saat aku mulai ragu, aku tidak ingin mendengar kata apa pun yang ke luar dari mulut mereka. Aku hanya percaya satu makhluk, yaitu kamu. Kamu yang berkata aku tidak boleh menunggumu pulang, kamu juga tidak pernah berjanji untuk pulang, bahkan di saat aku sedang meniup lilin ke-19, kamu tidak juga pulang. Kenapa kamu tidak mencari penggantiku saja, kenapa kamu tetap memilihku di antara jutaan wanita di Indonesia yang bisa kamu tunjuk. Bahkan, di Pulau Dewata sana sangat banyak wanita cantik. Kenapa kamu mengajariku menjadi lebih dewasa dengan cara ini, aku tidak mengerti. Dan kenapa di saat bibir-bibir yang lain mengecap kata “Sudah, tinggalkan saja dia!”, aku tetap bersikukuh dengan jawabanku untuk tetap mendeklarasikan diri bahwa aku milikmu dan tidak akan pergi hanya karena...jarak.

Aku berpikir lagi. Keras. Aku mengerti mengapa kamu tidak mengizinkanku untuk berharap kamu pulang. Kamu hanya tidak ingin aku kecewa. Kamu hanya tidak ingin aku sudah terlanjur berdandan cantik dari biasanya, memakai rok, memakai bedak, lipstick, parfum, dan memikirkan percakapan apa yang nantinya akan aku lontarkan di depanmu, namun kamu hanya mempunyai waktu tidak lebih dari 5 menit untuk bertemu denganku.

Kemarin, di tempat itu...tempat yang tidak romantis. Kurang dari 5 menit. Sampai aku belum sempat menata jantungku yang masih berdebar karena ini kali pertama kau akan bertemu denganku sejak pertemuan terakhir kita lima bulan yang lalu, aku bersyukur. Setidaknya walau pertemuan ini tidak berarti apa-apa dan hanya sempat mengucap beberapa kali “Hai...” tanpa sempat mengucap yang lebih, kamu bisa baca mataku, mata yang mengucapkan “Aku rindu kamu...lebih lama lah di sini... Aku ingin bercerita. Dan aku hanya ingin mengatakan, rasa itu tetap sama sampai kapan pun. Aku tidak mau menunggumu. Tapi aku selalu di sini, sampai kamu pulang pun, aku tetap di sini. Tanpa ada nama lain yang mengisi. Hanya kamu...”.



Dan bonus lain yang aku dapatkan, yang tidak orang lain dapatkan hanya dengan lima menit saja. Setidaknya aku sempat mengecup tangan wanita yang melahirkanmu, dia sangat cantik. Serta aku sangat terkejut membuka bingkisan mungil itu. Kamu paling tahu, obat rindu apa yang paling ampuh buatku. Terima kasih, kamu membawakan makanan kesukaanku walau aku tidak pernah bilang kamu harus membawanya ke mari, kemarin. Aku akan mengunyahnya, dan merasakan tiap butir yang mengandung rindumu ini. Lewat manis, gurih, dan asin di setiap butirnya, aku bisa merasakan betapa kamu mencintaiku dengan dewasa. Betapa kamu merindukanku juga secara profesional. Dan betapa kamu menjadi sangat spesial buatku walau aku tidak bisa ke bioskop bersamamu sekarang, tidak bisa naik bianglala setiap minggu, tidak bisa ke Taman Safari di saat liburan, tidak bisa fotobox berdua dan dijadikan foto profil di jejaring sosial. Namun, dari caramu menahan jariku saat bersalaman dan berpisah denganku untuk melanjutkan tugas yang menantimu di depan sana kemarin, aku semakin percaya, bahwa kamu akan kembali lebih cepat dari perkiraanmu untuk mengobati rindu yang sudah semakin tebal seperti bola salju yang meluncur.

Terima kasih telah datang dan membawakanku makanan kesukaanku...


"Andai bulan kan mengerti, 
andai bintang kan pahami, 
sampaikan kesunyian, 
sampaikan kerinduan 

di remang langit pagi 
berharap hal yg tak pasti 
hanya bisa menanti dan menanti, 

Salam sayang dariku untukmu yg terkasih..."

-Sincerely, Yours-
For Endra, who lives in 177,09045 miles apart from Aida.