Followers

Tuesday, December 19, 2017

Hotel Recommended Dekat UPI Bandung

Sebagai mahasiswa S2, saya akui, tidak mudah untuk mengeluarkan uang seboros waktu masih S1 dulu. Maklum, pengeluaran kami di bidang akademik harus diprioritaskan kali ini. Tanggal 16 Desember 2017 yang lalu, saya mengikuti seminar internasional di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak biaya yang harus saya keluarkan dari mulai dari biaya pendaftaran, biaya pencetakan prosiding, tiket kereta api pulang-pergi, dan tiket hotel. Sebenarnya, saya punya banyak saudara di Bandung. Jika saya mau lebih hemat lagi, saya bisa menginap di rumah mereka malam itu. Tapi, saya orangnya butuh privasi kalau keesokan harinya harus presentasi. Terlebih lagi, kemacetan Bandung di akhir pekan bisa membuat saya terlambat kalau saya menginap terlalu jauh dari UPI, yang memang terletak di daerah atas dari arah Kota Bandung.

Awalnya, saya berniat menginap di Dormitory UPI. Saya sudah browsing di laman UPI dan menemukan laman Dormitory UPI. Harga menginap di sana semalam sebesar Rp 200.000, 00. Saya sudah memesan via lamannya dan ada pemberitahuan bahwa pesanan saya akan segera ditanggapi via e-mail. Ternyata, sampai hari ketiga dari pemesanan, saya tak kunjung mendapat balasan. Akhirnya saya menghubungi nomor narahubung yang tertera, namun nomor tersebut ternyata tidak aktif. Saya lalu mencari nomor lain lewat Google dan malah terhubung dengan Isola Resort UPI dan mereka juga tidak punya nomor Dormitory UPI. Saya juga sudah menghubungi beberapa teman yang kuliah di UPI, tapi mereka juga tidak ada yang tahu. Akhirnya, saya memutuskan untuk cari hotel atau penginapan yang murah saja di sekitar UPI.

Saya mencari beberapa penginapan via Traveloka. Banyak variasi penginapan dari yang termurah hingga termahal, terdekat hingga terjauh. Dari hotel hingga kos harian. Saya lalu berkonsultasi dengan Juju, teman sekampus saya waktu S1 yang sekarang melanjutkan S2 di UPI. Dia tidak langsung mengiyakan pilihan saya. Dia malah menawarkan dua penginapan murah yang dia cari via Pegi-Pegi. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih tawaran Juju. Saya memilih penginapan yang bekerja sama dengan Red Doorz (semacam Airy Rooms, saya juga baru tahu Red Doorz hari itu), yaitu kamar Red Doorz Near Isola UPI yang berada di Allure Guest House. Juju baik sekali. Dia survey lokasi dulu sebelum saya ke sana untuk memastikan lokasi hotel memang dekat dengan Pascasarjana UPI, tempat saya akan mengikuti seminar.

Red Doorz Near Isola UPI beralamatkan di Jl. Geger Kalong Girang Baru No. 13 Setiabudi, Bandung, tepatnya di kompleks pesantren Daarut Tauhid (DT) punya AA Gym. Jadi, kita bisa denger adzan nih dari kamar. Hotel ini cukup ditempuh dengan berjalan kaki tidak sampai 10 menit dari UPI (lewat pintu Doraemon-nya mahasiswa UPI di sebelah SD Isola). Makasih Juju yang udah ngasi tau jalan tembusan ala anak UPI, hihi.

Harga menginap semalam yang harus dibayar yang tertera di Pegi-Pegi sebesar Rp. 167.355, padahal, kalau bukan kamar yang Red Doorz, harganya lebih mahal, yaitu sebesar Rp 235.537. Oh iya, tapi setelah ditambah pajak+biaya pelayanan sebesar Rp 35.145 dan dikurangi kode unik Pegi-Pegi sebesar Rp. 937, totalnya jadi Rp 201.563.

Waktu check in hotel tertulis pukul 14.00. Awalnya saya sudah bingung, karena kereta api saya tiba di Stasiun Bandung sekitar pukul 9 pagi. Akhirnya saya luntang-lantung di stasiun sambil menelepon narahubung (contact person) yang ada di Pegi-Pegi. Ternyata, nomor tersebut adalah nomor Red Doorz pusat di Jakarta. Saya akhirnya mencari nomor telepon Allure Guest House dan tak kunjung diangkat. Gambling saja, saya lalu memesan taksi Go Car ke sana. Letaknya hanya sekitar 30 menit dari stasiun. Sampai di sana, ternyata tanpa perlu repot memohon, resepsionis langsung memberikan kunci pada saya. Syukurlah, ternyata hotel ini melayani early check-in. That’s what a girl needs, apalagi yang tidak tahu Bandung seperti saya dan sedang dalam keadaan belum mandi.

Kamar saya terletak di lantai 2, tepatnya di kamar 2202. Kalau ke lantai dua, pasti beberapa tamu sempat tertipu seperti saya. Ternyata, kamarnya ada di lantai tiga, karena sebelum lantai tiga, ada lantai dua yang berisi ruangan semacam ruang tamu dan ada kamar-kamar bernomor mulai 1101. Hotel ini tidak dilengkapi dengan lift, jadi mungkin tidak bersahabat kalau yang menginap adalah lansia atau orang dengan kursi roda. Siapkan tenaga ya, kalau harus mengangkat koper seperti saya, hihi. Sampai di kamar hotel, saya tercengang melihat kamarnya. Maklum, saya tidak terlalu berekspektasi awalnya dengan harga segitu. Desain kamarnya terkesan mewah dengan wallpaper dan interior serba cokelat. Sampai di kamar, setelah mengunci pintu dan melepas sepatu, jujur, hal pertama yang saya lakukan adalah mendarat di kasur sambil mengucap ‘alhamdulillah’ berkali-kali, wkwkwk. Alay, ya. Tapi rasanya lega aja, setelah melalui perjalanan 16 jam yang kurang nyaman di kereta, menunggu lama di stasiun, dan kucing-kucingan sama taksi online, akhirnya saya mendapatkan hotel yang sangat nyaman dan luas.



Di kasur hotel, tertera identitas Red Doorz berwarna merah. Kasurnya lumayan besar dan empuk. Sprei, selimut, dan bantalnya juga wangi. Selimutnya sangat hangat untuk menangkal udara Bandung yang cukup dingin. Selain kasur, kamar ini juga dilengkapi dengan Wifi yang kenceng (oh iya, minta password dulu ya, soalnya resepsionisnya lupa ngasi password pas itu), meja kecil di samping kasur dan ada colokan yang dilengkapi dengan T (jadi kita ngga perlu repot bawa T sendiri), AC dengan remote, televisi layar datar dengan remote yang nempel di tembok (TV-nya dilengkapi juga dengan fasilitas TV kabel, lho!), meja di depan TV yang cukup lebar, meja rias yang juga bisa difungsikan jadi meja belajar (cocok banget sama apa yang saya cari, tapi colokannya terlalu jauh dari meja belajar, jadi pastikan baterai laptop keisi penuh dulu), lemari besar dengan 5 hanger, dan semua perabot ada cerminnya! Buat cewek, pasti seneng banget soalnya di mana-mana bisa ngaca, hihi. Tapi buat yang fobia liat bayangan sendiri, kayaknya bakalan takut, soalnya saya sempet kaget juga pas liat bayangan saya sendiri lewat di kaca atas kasur, hahaha!





Siapa yang bisa nolak selfie di tempat seperti ini?

Kamar mandinya bersih banget. Kamar mandi ini bukan tipe dry closet, jadi bakalan becek kayak kamar mandi biasa. Ada shower air dingin (tapi sayangnya, kalau saya nyalain shower statis, shower dinamisnya ikut nyala, saya cari kran mana yang bisa buat nutup ga ketemu, ini saya yang kampungan atau memang rusak, heheheheh), trus wastafel air dingin yang dilengkapi dengan cermin, gantungan handuk, rak tinggi (ini terlalu tinggi, jadi kalau orang yang kurang tinggi kayaknya ngga nyampe, saya aja soalnya jinjit, hehe), WC duduk dengan semprotan tangan, dan... bathtub air hangat! Saya paling seneng kalau nemu bathtub! Setelah capek perjalanan jauh, saya berendam di sana, rasanya legaaaa. Oh iya, karena shower-nya air dingin aja, pas mandi pagi jadinya saya mandi di bathtub lagi soalnya butuh air hangatnya, ehehhe.




Fasilitas lain yang diberikan, yaitu perlengkapan mandi mulai dari sampo cair, sabun cair, shower cap, dua sikat gigi, odol, cotton bud, sisir, dan kresek kecil. Oh iya, dikasih air mineral ukuran tanggung dua buah juga. Untuk handuk, bawa sendiri ya dari rumah, karena tidak disediakan.


Hal yang tidak ada di hotel ini adalah sarapan gratis. Ya maklum sih, dengan harga segitu. Tapi, di hotel ini ada warung nasinya, kok. Kita bisa pesan dan diantar ke kamar. Di lingkungan kompleks juga banyak banget makanan mulai dari yang mahal sampe yang ala anak kos.

Kekurangan lain dari hotel ini adalah tempat sampah hotel ini tidak disediakan di dalam ruangan, tapi di luar pintu masing-masing, mungkin untuk menjaga agar tetap higienis. Waktu itu, sempat beberapa kali juga ‘rumah kunci’ kamar saya sepertinya rusak, jadi harus sabar menguncinya dari luar (untung ada Pak OB baik yang bantuin). Tapi, pas tengah malem, sempet ada gempa bumi dan karena panik itu kunci ga bisa, saya tinggalin aja kamar dalam keadaan ga dikunci, alhamdulillah aman, haha. Semoga segera diperbaiki, ya.Trus kamar saya deket banget sama TK Laboratorium UPI (kalau tidak salah), jadi pas buka jendela, keliatan ruang-ruang kelas TK dari jendela. Saya tidak tahu jendelanya tembus pandang atau tidak, tapi untuk antisipasi, walau siang, saya tutup gordennya agar tidak malu. Kamar hotel ini sepertinya juga tidak kedap suara, jadi saya tetap bisa mendengar suara HP atau suara orang di kamar sebelah kalau terlalu keras. Tapi itu tidak terlalu masalah buat saya, selama tidak mengganggu. Oh ya, pengunjung yang mau salat juga siapkan aplikasi pengarah kiblat, ya...karena tidak ada tanda arah kiblat di kamar ini.

Saya hanya menginap semalam di sana, karena acara saya hanya sehari di UPI. Karena bingung bawa koper dan tidak mungkin saya bawa ke UPI, saya menitipkan barang saya di resepsionis. Abang-abang resepsionisnya baik banget. Saya boleh nitipin barang di sana walau udah check out. Jadwal check out yang seharusnya adalah pukul 12.00, tapi saya check out jam 6.30 trus ambil barang saya jam 16.00.

Wallpaper-nya yang unyu, sayang banget kalau ngga dipake foto-foto, hihi


Sekian ulasan saya. Secara keseluruhan, hotel ini layak untuk direkomendasikan. Tidak heran kalau di Pegi-Pegi, pengunjung memberi nilai 8.5 dari 10 untuk penginapan ini. Semoga sharing saya kali ini bermanfaat untuk teman-teman yang mencari informasi penginapan murah yang dekat dengan UPI, ya! Selamat berlibur!

P.S.: Tonton vlog singkatku tentang Bandung di sini, ya !

Monday, December 18, 2017

Tips Bepergian dengan Kereta Api untuk Cewek

Halo! Assalamualaikum! Pa kabar?!
So excited to be back to this old blog. Ceritanya, sempet kemarinan saya bikin polling di Instagram Story yang saya bagikan untuk para netijen. Isinya tentang kekangenan saya nge-blog. Sebenarnya ini bentuk kegundahan hati saya karena saya merasa Instagram sudah sangat tidak private buat saya dan saya rasa, di blog, saya lebih bebas berekspresi dan punya pembaca yang memang niat baca blog saya (paling ngga, kesasar di jalan yang benar, hihi). Polling itu isinya tentang kalau saya balik nge-blog, bentuk tulisan apa yang para netijen suka, cerita ulang atau cerita fiksi? Ternyata, 65% memilih cerita ulang dan 35% memilih cerita fiksi. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis cerita ulang yang saya fiksi-fiksikan (?). Haha. Ngga, ngga. Saya akan tetap menulis keduanya, tapi porsi keduanya bergantung ide dan mood saja. Trus apa gunanya polling, dong? Emmm... Ga tau, ya...pengen tau aja sih selera pembaca, hihihi.

Buat mengawali postingan kali ini, saya akan bercerita tentang perjalanan saya ke Bandung mulai tanggal 15 Desember—18 Desember 2017 yang saya bagi dalam lima judul. Agak nervous sih lama ngga nulis. Buat pemanasan dulu, saya kasih topik yang ringan aja kali, ya. Nah, di judul pertama ini, saya mau memberi tips bepergian dengan kereta ala saya.



1.    Pesan Tiket Kereta di Stasiun
Apa? Di stasiun? Ngga salah? Pasti pada kaget, kan...kok Dina kuno banget ya pesen tiketnya di stasiun. Gini. Di perjalanan kali ini, saya memang tidak memesan tiket pulang dan pergi di stasiun, tapi saya pesan via Traveloka. Teman-teman pasti juga lebih sering pesan via website Kereta Api Indonesia atau aplikasi lain seperti Traveloka, Pegi-Pegi, dan lain-lain. Sebelumnya, saya tidak pernah berpikiran demikian sampai beberapa hari sebelum berangkat, ibu saya tanya “Sudah pesan tiket?”, saya jawab sudah. Lalu ibu tanya “Duduknya dapet sama cowok apa cewek?”. Saya jawab, “Ngga tau lah, kan ngga bisa milih”. Ibu langsung wajahnya berubah khawatir dan bilang, “Seharusnya pesen langsung aja di stasiun, biar bisa bilang ke petugasnya, milih kursi yang di sebelah kita jelas cewek atau cowoknya”. Dari situ, perasaan saya langsung ngga enak. Saya sudah lumayan sering sih bepergian naik kereta api atau pesawat sendirian, tapi saya baru kali ini kepikiran. Ya sudahlah, saya serahkan aja semuanya sama Allah.

Saya khawatir apa hayo? Entah kenapa, tiap ibu udah mengkhawatirkan sesuatu, saya sekarang lebih milih nurut, soalnya apa-apa yang dipikirkan ibu itu kok selalu kejadian, ya. Nah, kekhawatiran saya ternyata memang tidak terjadi. Saya duduk bersama seorang bapak-bapak pengusaha kaya raya yang turun di stasiun sebelum saya turun. Tapi ‘bapak-bapak’, bukan ‘mas-mas’, jadi saya ngga terlalu takut. Takut di sini adalah rasa insecure terhadap maling atau terhadap cowok nakal yang selalu dialami para cewek kalau bepergian sendirian.

Bapak-bapak itu minta nomor saya. Saya maklumi, karena biasanya, orang pas pertama ketemu dan ‘mungkin’ tertarik dengan topik kita, dia akan minta kontak kita untuk keep contact atau ‘siapa tau nanti-nanti butuh’. Saya hanya berpikir sedangkal itu. Ya sudah, saya beri. Lagian, sepanjang perjalanan beliau  terus bercerita tentang keluarganya. Beliau menunjukkan foto anak-anaknya dan usahanya, tapi satu yang tidak beliau ceritakan. Istrinya. Ya! Saya baru sadar. Beliau tidak menunjukkan foto istrinya sama sekali dan tidak menceritakannya. Saya pun tipe orang yang tidak terlalu banyak tanya pada orang yang baru saya kenal, jadi saya sama sekali tidak menanyakan “Istri bapak kerja di mana?” atau “Istri bapak asal mana?”.

Dari situlah, kekhawatiran saya muncul lagi. Tengah malam, saat saya terbangun, ternyata beliau sudah tidak duduk di samping saya. Beliau sudah turun di stasiun tujuannya. Tiba-tiba ada chat datang dari beliau. Pamitan. Ya, kami belum pamitan. Akhirnya beliau chat saya untuk pamitan. Saya masih berusaha biasa saja. Tapi...ternyata chat itu beliau lanjutkan sampai hari ini. Beliau bertanya kabar, rencana saya hari ini, hingga minta Facebook saya. Entah kenapa, saya sangat risih. Saya tipe orang yang tidak terlalu suka kalau ada ‘cowok’ yang chat dengan saya bertubi-tubi, kecuali dia adalah teman akrab saya. Dari situ, saya mulai merasa sangat insecure. Saya memang tidak mendapatkan perlakuan tidak baik. Saya baik-baik saja. Tapi bagi saya, chatting dengan lawan jenis itu sama tidak nyamannya dengan berdekatan dengan lawan jenis.

Ternyata ibu benar. Lain kali, pesan tiketnya langsung di stasiun saja. Memang ribet. Tapi, untuk ketenangan hati, keribetan itu tidak berarti apa-apa, kan? Saya bukan muslim yang ekstremis, tapi, saya yakin bahwa berusaha menjalani hidup sesuai syariat itu tidak merugikan kita, malah itu bentuk kasih sayang Allah sama kita. Saya berharap, PT Kereta Api Indonesia suatu saat akan mempunyai gerbong yang memisahkan perempuan dan laki-laki untuk menghindari hal-hal di luar syariat seperti bersentuhan (apalagi saat perjalanan jauh, kita bisa tertidur sangat lelap dengan posisi tidak karu-karuan), atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. ATAU, apabila harapan tersebut muluk-muluk, saya harap, aplikasi seperti Traveloka bisa memperlihatkan jenis kelamin pemesan kursi saat kita memilih kursi kereta (entah sudah ada atau belum ya aplikasi semacam ini? Kalau ada yang tau, please kindly contact me).



2.    Pakai Masker
Masih berhubungan dengan antisipasi para wanita, siapkan masker! Bukan masker perawatan kulit lho, ya, kikikikikik. Masker yang biasa buat motoran itu, lho... Selain bisa menghangatkan hidung (karena AC di kereta api dinginnya ga karu-karuan), masker juga bisa menutupi sebagian ‘kecantikan’ kita yang mengundang ‘sesuatu’. Ingat, di kereta api (terutama yang jarak jauh), kita akan menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk tidur. Kadang kita ngowoh gitu tanpa sadar. Secara, tidur sambil duduk bukanlah sesuatu yang nyaman. Nah, masker bisa membantu kita menutupi itu, wkwkwkwk. Saya selalu membawa masker tiap bepergian jauh.

Selain itu, lagi-lagi kalau saya merasa insecure sama cowok, masker membantu saya menutupi wajah saya. Kok daritadi saya terkesan sangat penakut, ya. Mungkin bagi kalian yang membaca ini, saya sangat lebay. Tapi, saya orangnya memang sedikit penakut sama cowok. Hihihihi.

3.    Ngga Usah Dandan!
Ya! Ngga usah! Biasanya tiap keluar rumah, cewek-cewek pasti suka dandan, kan? Nah, khusus untuk bepergian, minimalisir dandan, ya... Bukan apa-apa, kita perkecil saja kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Ingat, semua orang memang pada dasarnya baik, tapi, kalau sedang bepergian, kita tidak bisa mengenali sifat orang asing tersebut dengan baik, bukan? Wallahualam.

4.    Siapin Headset
Sebenernya, saya bukan headset person. Saya menghindari pake headset karena katanya sih, untuk kesehatan gendang telinga, jangan sering pake headset. Tapi, kalau bepergian kayak gini, headset itu penting. Pertama, saya biasanya udah mengunduh banyak banget stok vlog orang buat saya tontonin di kereta atau biasanya saya dengerin musik. Kedua, kalau saya merasa hati mulai tidak nyaman, saya juga dengerin ayat kursi, wkwkwkwk. Ketiga, saya suka pura-pura merem sambil pake headset untuk menghindari diajak bicara sama orang (padahal hape saya mati). Yang ketiga ini khusus pas rasa insecure saya muncul lagi.




5.    Perhitungkan Waktu
Perhitungkan waktu kedatangan kereta api dengan waktu check-in hotel. Nah, saya ini termasuk yang kurang perhitungan kala itu. Kereta saya datang pukul 9 dan check-in hotel saya baru bisa dilakukan pukul 2 siang. Untuk membuang waktu, saya sampai nunggu di stasiun agak lama dengan makan Hokben atau internetan di ruang tunggu. Beruntung, Stasiun Bandung adalah stasiun yang nyaman sekali. Tapi dengan barang bawaan serempong kemarin, jujur saya kepayahan ke sana-ke mari bawa barang karena tidak ada yang menjaga. Hihi.




6.    Bepergian dengan Mahram
Ya... Sebenarnya, semua kekhawatiran yang saya sebutkan di atas bisa kok dihindari dengan satu cara: bepergianlah dengan mahram. Bisa ayah, ibu, adik, kakak. KECUALI, apabila sangaaaaat mendesak dan dengan syarat, untuk kepentingan syar’i. SAYA TERMASUK CEWEK YANG JAUH DARI KATA SYAR’I. Saya suka banget ngelanggar syariat. Saya suka ke mana-mana sendirian. Soalnya, saya sok-sokan mengikrarkan diri kalau saya wanita independen. Awalnya, memang saya mau ajak ibu atau kembaran saya. Tapi, karena ibu harus terapi setiap hari Sabtu, saya tidak bisa ajak beliau. Trus, kembaran saya juga sedang ada kesibukan lain. Menoleh pengalaman ke belakang saat saya bepergian sendirian kok aman-aman saja, ya sudah saya pede kali ini pergi sendirian lagi. Lain kali, saya akan berusaha untuk bepergian dengan mahram, ah. Semoga saya segera bersuami (hah?). Maaf ngelindur.

Sekian tips dari cewek introvert yang penakut seperti saya. Semoga bermanfaat. Kalau ada saran-saran lain, boleh mangga, komen di bawah. Tapi sebenarnya, dari sini saya juga belajar kalau saya kurang positive thinking. Berarti...kuncinya adalah stay positive and make people around you feel positive too. Happy holiday!


P.S.: Tonton vlog singkatku tentang Bandung di sini, ya !

Saturday, December 02, 2017

Cerpen: Sang Penjual Bantal

Pada suatu siang, langit mendadak kelabu bak bunglon yang sedang berkamuflase. Alam seakan mengiring suram kepada Joyo. Joyo yang sebelumnya merupakan salah satu buruh di sebuah pabrik rokok, di-PHK dan  harus menganggur selama tiga bulan. Semua karyawan yang dianggap tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi perusahaan, harus rela kehilangan pekerjaannya. Padahal, Joyo memiliki empat orang anak yang masih kecil. Bulan depan, anak pertamanya harus masuk SD dan Joyo tidak tahu harus membiayainya dengan uang dari mana.
“Jan apes tenan. Lek ngene carane, aku kudu nggolek kerjo sing liyane!” Joyo berkata setengah kesal.
Joyo berkeliling ke seluruh kota untuk mengajukan lamaran pekerjaan. Namun, Joyo hanya seorang lulusan SMA. Sulit untuk lulusan SMA di era seperti ini mendapat pekerjaan dengan mudah apabila tidak memiliki keterampilan yang dapat diandalkan.
Sore harinya, sampailah Joyo di sebuah rumah gedong bercat kuning. Ia melihat banyak sekali orang memikul bantal masuk ke rumah gedong tersebut. Ia lalu melihat satu per satu dari mereka menyetorkan uang kepada seorang yang berkumis tebal di rumah itu. Setelah itu, mereka dibayar kembali dan pergi meninggalkan rumah dengan wajah sedikit sumringah.
Joyo tertarik melihat apa yang baru saja terjadi. Ia bergegas masuk ke rumah itu setelah semua pekerja selesai dengan tugasnya. Ia memberanikan diri menemui seorang yang berkumis tebal itu.
“Nyuwun sewu, saya Joyo. Apakah bapak juragan dari para penjual bantal ini?
Oh iya le, saya Odi. Pak Odi. Ada apa?” jawab seorang berkumis tebal itu sambil memainkan kumisnya.
“Boleh saya bekerja di sini? Ini berkas lamaran saya, bila dibutuhkan,”
“Halah, ga usah berkas-berkasan. Wis, sesuk langsung kerjo, yo?” Pak Odi nampaknya tidak peduli dengan berkas yang dibawa oleh Joyo. Namun untungnya Pak Odi menerima lamaran Joyo tanpa basa-basi setelah memandangi Joyo dari atas ke bawah.
Joyo nampak sumringah. Ia lalu bersalaman kembali dengan Pak Joyo sebagai tanda berpamitan sekaligus tanda terima kasih. Joyo lalu pulang naik angkutan umum menuju rumahnya. Di sepanjang jalan, Joyo membayangkan hari esok di mana ia tidak lagi akan menganggur. Sesampainya di rumah, Joyo memberitahukan hal ini kepada istrinya, Suprihatin.
Tin...Suprihatin...mas sudah pulang...” teriak Joyo pada saat ia sampai di depan pintu rumahnya.
Iya iya mas, waalaikumsalam...” Suprihatin tersenyum manis kepada suaminya.
Ehehe, assalamualaikum. Aku punya cerita kanggo kowe,”
Napa niku, mas? Sek, sek, masuk dulu. Tak bikinkan teh. Masa’ di depan pintu gini,”
Suprihatin dan suaminya itu lalu minum teh bersama samblil duduk bercengkerama.
“Wonten napa tho, mas?”
“Aku besok mulai kerja lagi, Tin,”
“Alhamdulillah...kerja di mana, mas?”
 “Ya...mungkin kerjaan ga seberapa. Aku ngelamar jadi tukang jualan bantal. Kamu isin gak, punya suami penjual bantal?”
“Nyapo tho mas, isin barang. Endak, Tin ndak malu. Yang penting halal. Rezeki itu  tidak bisa ada yang nebak, mas”
“Ya wis kalo gitu. Mulai besok, mas berangkat pagi, Tin...”
“Iya mas, Tin bangunkan biar ndak terlambat,”
Hari berganti pagi, dengan semangat baru, Joyo terlihat sangat cerah dan siap untuk bekerja. Ia memanggul 20 bantal, 10 di kiri, 10 di kanan. Sangat berat. Ia sangat hati-hati dalam berjalan. Ia berkeliling menjajakan bantal-bantalnya pada rumah demi rumah. Ia mempunyai teriakan khas untuk menarik perhatian pembeli.
“Taaaaal...bantal! Yang pengen mimpi indaaah...bantal!”
Piro, mas?” tanya seorang ibu yang sedang menyapu di teras
“Enam puluh lima ribu, bu. Monggo...”
“Wo...mahal sekali. Empat puluh aja, yo?”
“Wah, pas, bu...ndak bisa kurang. Ini bahannya bagus. Ndak panas,”
“Empat lima, wis?”
“Tambahin sedikit, bu”
“Endak wis, empat lima aku ambil,”
“Ya sudah, bu. Lima puluh, ya?”
“Yo wislah mas, ambil satu wis...”
“Alhamdulillah, penglaris...penglaris...”
Setelah mendapat pembeli pertama, ia semangat untuk terus berjalan. Hari pertama hanya dua buah bantal yang laku dijual. Penghasilannya seratus ribu. Setelah itu, ia kembali ke rumah Pak Odi.
Nyoh, ini upahnya hari ini, ya...” kata Pak Odi.
“Sepuluh ribu, pak?”
“Lha minta berapa? Udah banyak itu. Udah, pulang, istirahat. Besok kerja lagi!”
Joyo kecewa dengan penghasilan yang diterimanya. Namun ia berbesar hati. Ia menganggap hari pertamanya ini adalah pemanasan.
***
Hari demi hari dilalui Joyo dengan menjajakan bantal-bantalnya ke rumah-rumah. Sampai pada suatu hari, Joyo mulai pasrah karena ia tak kunjung mendapatkan cukup pembeli. Upah yang diterimanya hanya habis untuk membayar angkutan umum.
Yo, kamu ngapain tho, kok susah. Mikir apa, tho?” kata Handoko, sesama penjual bantal.
“Mau ndak susah gimana, Han. Anakku yang besar udah mau SD. Penghasilan Cuma segini-gini aja. Aku pengen anakku sekolah, tapi...”
“Halaaah...kamu itu jadi orang kok suka pasrah. Ayo wis, jangan buang waktu! Ikut aku ke kampung yang lumayan rame. Nanti sehari bisa dapet banyak,”
Akhirnya Handoko mengajaknya berkeliling ke sebuah kampung yang ia anggap ramai dan berpotensi banyak pembeli. Keduanya berjalan beriringan melewati pematang sawah, lalu akhirnya sampai di sebuah perumahan kecil.
“Taaal...bantal! Yang mau tidur nyenyaaak...bantal!” keduanya berteriak bersama.
“Bantal!” teriak seorang ibu dari balik pagar rumahnya.
“Lho, Bu Asri. Apa kabar, bu?” kata Handoko.
“Alhamdulillah baik, mas. Kok kebetulan sampeyan lewat. Bantalku wis tipis, hehehe”
Handoko mendapat pembeli pertama hari itu. Selanjutnya Handoko dan Joyo terus berjalan. Namun sayang, kali itu bukan hari keberuntungan Joyo. Ia tak dapat satu pun pembeli.
Joyo mulai bingung. Ia bingung memikirkan anak-istrinya harus makan apa. Ia takut anaknya tidak bisa sekolah karena penghasilannya tidak memungkinkan. Setiap malam ia tidur dengan ketakutan akan hari esok. Setiap malam, ia tidur di atas bantal yang tidak lebih empuk dari bantal yang ia jual. Setiap malam, ia tidur beralas ketakutan demi ketakutan.
Joyo pasrah dengan pekerjaannya sebagai penjual bantal. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak dari menjual bantal sambil mencari pekerjaan lain.  Ia berkeliling mencari pekerjaan lagi.  
“Permisi mbak, bisa saya bertemu dengan staf HRD kantor ini?” Joyo bertanya pada seorang resepsionis sebuah kantor penyedia jasa servis komputer.
“Ada keperluan apa ya, mas?” jawab resepsionis itu.
“Saya mau ajukan lamaran pekerjaan. Di depan, saya baca ada lowongan office boy,”
“Emm...office boy. Maaf mas, kami tidak membuka lowongan,”
“Lha itu mbak, di depan ada tulisannya...masa’ ndak buka,”
“Lho iya, maaaas. Kami sudah tutup lowongan. Mungkin petugas lupa mencopot pengumuman,”
“Lah gitu ya ndang dicopot tho, mbak. Bikin GR aja,” Joyo lalu lekas pergi dari kantor tersebut dengan kecewa.
“Emang orang besar suka meremehkan hal kecil!” Joyo bergumam sendiri.
Joyo berjalan lagi mencari secercah harapan pada setiap tulisan “LOWONGAN PEKERJAAN”. Ia berharap ada satu tulisan yang bersinar diiringi binar mata ramah yang mau menerimanya. Sampailah Joyo pada sebuah toko kain.
“Permisi, cik...di depan ada tulisan ‘lowongan pekerjaan pramuniaga’, saya bisa ajukan lamaran pada siapa?”
“Ohh...ke saya, sih. Ada apa? Kamu mau melamar?”
“Iya cik, syaratnya minimal lulus SMA saja, kan? Saya juga sudah bawa foto 3x4,”
Wanita tersebut tidak menjawab. Sembari menghitung uang, ia benahi kacamatanya yang turun. Ia letakkan uang di laci. Lalu melihati Joyo dari atas ke bawah hingga dua kali. Ia berdehem. Lalu meletakkan kacamatanya di meja.
“Cari pekerjaan di tempat lain saja ya, mas...kayaknya saya masih pikir-pikir mau nerima sampeyan,” jawab wanita tersebut tanpa melakukan filtrasi terhadap kalimatnya.
“Lho, kenapa, cik? Saya lulusan SMA bener, kok. Ini saya bawa fotokopi ijazah, saya juga bisa ngitung cepet ga pake kalkulator,”
“Saya cari pramuniaga perempuan saja, wis,”
“Di depan ndak ditulis, butuh perempuan apa laki-laki,”
“Ya sekarang saya bilang,”
Joyo malas berdebat. Ia lebih memilih tidak mendengarkan dan langsung pergi sambil berwajah kesal.
“Orang kaya manaaa yang tidak seenaknya udel!” gerutunya kesal.
“Wong rusuh gitu mau kerja di sini. Ya ndak mau aku,” kata wanita tersebut lirih.
Joyo mendengar dan menoleh sambil melotot. Ia lanjutkan pencariannya hingga hari petang. Namun, hanya aksi berujung gerutu yang ia dapatkan.
“Halah...angel temen golek kerjo!”
Joyo memutuskan untuk mengakhiri hari dengan naik angkutan umum. Di dalam angkot, terus saja ia melamun. Ia membayangkan uang berapa juta yang ia butuhkan untuk melihat anaknya sekolah. Ia melihat ibu-ibu di depannya berkalung emas dan bergelang emas bagai artis India. Ia lalu teringat pada Tin.
“Tin pasti cantik kalo dia pakai begituan, “
Ia terus melamun memandangi kilau emas perhiasan ibu tersebut. Joyo lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia teringat wajah Tin. Tin selalu mengingatkan, walaupun miskin, Joyo tidak boleh kufur. Joyo tidak boleh syirik dengan kekayaan dan kebahagiaan orang lain. Joyo terus merenung. Ia tetap ingin bekerja secara layak, minimal seperti dahulu.
 Joyo akhirnya kembali ke rumah Pak Odi. Joyo tidak tahu lagi harus ke mana. Hanya menjadi penjual bantallah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan.
“Pak, nyuwun sewu. Saya tidak bisa bekerja lebih baik dari di sini,”
“Ya sudah le, nurut saya. Wis, wis, besok balik kerja, yo. Saya sek banyak lowongan. Kalo saya kan makin banyak yang jualan, saya makin senang, hehehehe”
Inggih, Pak. Besok saya kerja lagi,”
Tak ada pilihan. Tak ada cara lagi. Joyo hanya bisa berharap esok ada nasi untuknya, istrinya, dan keempat anaknya.  Masih dengan harapan yang menggantung, Joyo akhirnya pulang ke rumah. Ia gagal membawa kabar baru nan segar untuk Tin. Ia tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Tiap malam, Joyo hanya bisa menceritakan keluh kesahnya pada Suprihatin dan berdoa kepada Tuhan agar hari esok ia bisa terbangun dan melihat anaknya sekolah sampai perguruan tinggi.
“Tin...kalau anak kita tidak bisa bersekolah karena bapaknya ndak punya uang, gimana?
“Mas iki ngomong opo, tho! Mas gak boleh berpikiran negatif gitu. Ani pasti bisa sekolah. Surti juga pasti bisa sekolah. Begitu juga dengan Husen dan si kecil Mamat. Selama kita usaha, pasti ada jalan, mas. Mas berusaha. Aku juga berusaha. Kemaren Bu Darso nawarin aku jadi rewang di rumahnya. Aku sanggupi saja buat nambah-nambah penghasilan,”
“Jadi rewang di rumah Bu Darso, Tin? Ya wis...mas setuju wae,”
“Wis, mas ndak usah khawatir. Tin gak mau mas murung terus. Kita terus berdoa sama Allah biar dilancarkan rezekinya, nggih mas?”
Keduanya saling tersenyum memandangi kerut di bawah mata masing-masing. Joyo hanya bisa berharap dan terus berharap. Hanya istrinyalah yang mampu membuat ia bertahan. Hanya bayangan anaknya harus sukseslah yang membuat ia mengurungkan niat untuk menyerah. Hanya ‘semoga’ dan ‘semoga’ yang menjadi pengawal doanya setiap akan tidur. Tidur beralaskan angan-angan, yang lebih empuk dari sebuah bantal.



Monday, May 22, 2017

Sawang Sinawang

Pada suatu Sabtu yang cerah dan jalanan cukup padat, aku menyetir sepeda motor putih kesayanganku. Aku melewati sebuah jembatan yang menjadi jalan pintas favorit warga kota, yang pernah dikabarkan hampir rubuh  sampai truk dilarang melintas. Di kiri-kanan jembatan, disediakan trotoar untuk para pejalan kaki.

Nampak seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun (terlihat dari jumlah uban di kepalanya), berkemeja rapi yang dimasukkan ke dalam celana kain rapinya pula, menenteng tas yang sepertinya berisi laptop di tangan kirinya, berjalan menampakkan sepatu mengkilap karena disemir, dengan langkah yang terburu-buru seolah lima menit lagi ia akan rapat atau mengajar, namun ia tetap bisa tersenyum untuk menjaga citra. Tetap saja, raut keseriusannya tidak bisa disembunyikan. Ia nampak gundah gulana.

Dari arah yang berlawanan, nampak seorang bapak-bapak pula, berusia sama, berkemeja usang dan kedodoran (nampaknya, itu kemeja lungsuran), tidak dimasukkan ke dalam celana kotornya, memakai topi, beralas sandal jepit, membawa keranjang onde-onde yang ia slempangkan seperti tas di bahunya. Nampak berat sekali, namun ia tetap menjaga langkahnya agar tidak sempoyongan. Berusaha tersenyum pula, namun tidak, saat matanya bertemu dengan bapak-bapak di arah berlawanannya.

Bapak pertama berpikir, “Senangnya menjadi penjual onde-onde. Ia tidak perlu memikirkan kurikulum, rapat pimpinan, anak orang lain, uang negara, bahkan tidak pernah kegiatannya dibatasi oleh waktu. Terserah ia mau mulai kerja pukul berapa. Terserah ia mau berpakaian seperti apa. Tidak akan pernah ada yang melihat. Ia bebas pergi ke mana saja. Tidak ada yang mencari. Ah. Aku ingin segera pensiun dan menikmati bebasnya hidup seperti dia”.

Bapak kedua pun berpikir, “Nikmatnya jadi orang kantoran. Bajunya rapi, wangi, licin... Tidak perlu keliling-keliling, tidak perlu takut nanti siang makan apa. Makan tinggal pilih. Mau tidak masuk sehari pun, gajinya tetap ada. Kalau aku, ga kerja sehari, ya ga makan sehari. Andai dulu orang tuaku kaya, andai dulu aku tidak putus sekolah, sudah pasti sekarang minimal aku menjadi PNS seperti dia. Ah. Andai bisa, aku ingin kembali ke 40 tahun lalu”.

...dan mereka terus berjalan sampai langkahnya saling memunggungi.

...dan aku terus melaju sambil mengingat kedua pasang mata tadi.

Monday, February 20, 2017

#Thailand 7: Jejak Muslim di Songkhla

24 September 2016

Bapak, terima kasih ya, sudah mengizinkan saya menginap semalam di sini. Saya pamit pulang dulu,“ ucapku pada salah satu staff konsulat yang sedang piket di hari Minggu kala itu.
“Lho, kok buru-buru? Langsung pulang, apa masih mampir-mampir?” tanya beliau.
“Langsung pulang, Pak, supaya sampai di Narathiwat tidak terlalu sore,
“Ke terminal ini? Saya antar saja tidak apa-apa,” tawar beliau.
“Tidak usah, Pak. Saya naik tuk-tuk saja. Berapa ya tarifnya, Pak?”
“Ya...paling 20 Baht,”
“Iya, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak. Saya pamit dulu. Mungkin ini terakhir saya ke sini sebelum kembali ke Indonesia. Saya mohon maaf ya, Pak, kalau-kalau saya dan teman-teman selalu merepotkan pihak konsulat. Semoga lain kali bertemu lagi,” ucapku.
“Sudah jadi tugasnya konsulat. Ya sudah, kalau begitu, kamu hati-hati, ya. Salam untuk yang lainnya, “
Siap, Pak. Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam”.

Bapak berkumis tersebut langsung menekan tombol untuk membukakan gerbang konsulat dan melihat saya dari jauh, memastikan saya tidak salah naik kendaraan umum. Saya akan naik ‘tuk-tuk’, sebuah angkutan umum tradisional Thailand yang berbentuk seperti pick up yang beratap.

Tak seberapa lama menunggu di seberang konsulat, saya melihat angkutan berwarna oranye itu dari jauh. Saya lantas mengawe-awekan tangan. Pak sopir itu lalu berhenti di depan saya. Saya bertanya dalam bahasa Thailand “Pai kyu rot tu, mai kha? (Pergi ke terminal minibus, tidak?)”. Lelaki paruh baya berwajah Siam tersebut langsung menjawab, “Cak pai nai khab? (Mau pergi ke mana?”, saya mengulang lagi, “Kyu rot tu kha (terminal mini bus),”. Dia tetap bertanya, “Pai nai a (pergi ke mana?)”. Saya baru mudeng. Oh, mungkin maksudnya, saya akan naik mini bus ke tujuan mana. Saya menjawab, “Sungai Kolok kha (Ke Sungai Kolok),”. Dia langsung menjawab dalam bahasa Thailand yang panjang dan ada beberapa kosakata yang saya tidak mengerti. Namun, dari konteksnya, dia mengucapkan, “Ya sudah, mari naik, saya antar”.

Saya lalu membuka pintu penumpang di depan, kebetulan kosong. Saat Pak Sopir itu memulai mengendarai tuk-tuknya, ia mengucapkan “Bismillah...”. Saya langsung kaget. Di Songkhla, susah sekali menemukan orang muslim. Biasanya, kalau ada muslim keturunan Melayu dan tahu kalau saya muslim, dia pasti berbahasa Melayu-Pattani. Jadi, saya tidak mengira kalau Pak Sopir ini muslim juga. Lalu saya melihat ada sajadah yang ia lipat dan letakkan di dashboard depan.  Di spion tengah pun ia gantungi dengan gantungan bertuliskan lafadz Allah. Doa saya terjawab. Sebelum berangkat, saya berdoa agar dipertemukan dengan orang yang bisa mengerti maksud saya. Syukur-syukur kalau saya ditemukan dengan saudara sesama muslim.

Di perjalanan, Pak Sopir mengajak saya berbicara dengan bahasa Thailand yang dicampur Inggris. Saya mengerti sedikit-sedikit maksudnya. Ia mengira bahwa saya berasal dari Malaysia. Saya jelaskan bahwa saya orang Indonesia. Dia lalu berkata, “Oh...khon Indo...moslem good good (Oh, orang Indonesia, muslimnya bagus)”. Saya bercerita bahwa saya adalah guru praktikan di Narathiwat. Ia lalu bercerita bahwa memang banyak orang Indonesia mengajar di selatan Thailand.

Tidak lama kemudian, ia berhenti di depan Songkhla Annuban School. Di sana, banyak mini bus yang nge-time menunggu penumpang. Ia lalu turun dalam keadaan mesin kendaraan masih menyala. Ia terlihat berbincang-bincang dengan para sopir mini bus. Saya kaget, tiba-tiba tuk-tuk-nya berjalan mundur. Saya kira ia lupa mengerem. Saya sudah mau menginjakkan kaki saya di rem kaki tuk-tuk itu. Tiba-tiba Pak Sopir muncul dari jendela kiri dan mengatakan bahwa saya sudah sampai di ‘kyu rot tu’. Ternyata, tadi dia yang menarik tuk-tuknya dari belakang. Maklum, tuk-tuk memang terlihat ringan sekali dan mudah didorong atau ditarik dengan tangan.

Saya kaget. Lah. Ini ya, terminal mini busnya. Saya kira, tuk-tuk ini akan membawa saya ke terminal sungguhan. Ternyata, hanya di tempat ngetime. Pantas saja, tadi bapak yang piket di konsulat hanya mengatakan bahwa tarifnya 20 Baht saja. Tahu begitu, saya bisa jalan kaki dan menghemat 20 Baht, hihi. Jaraknya dari konsulat hanya sekitar 1,5 km. Hehehehe. Ya sudahlah, setidaknya, dengan 20 Baht, saya bisa bertemu dengan Pak Sopir yang ramah itu.

Saya akhirnya bertanya padanya, “Thaorai, kha? (Berapa?)”. Ia menjawab “20 Baht,”. Akhirnya saya membayarnya dan mengucapkan “Khop khun kha (terima kasih),”. Ia menjawab “Mai pen rai khab, cok dee (Tidak apa-apa, hati-hati)”. Saya lalu turun dan ia mengucapkan “Assalamualaikum”.

Saya lalu mengucapkan “Waalaikumsalam” dan tersenyum.

Di kota yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan muslimnya hanya ‘sedikit persen’, bahkan adzan pun tidak pernah terdengar ini, ternyata Allah masih mempertemukan kami tanpa terduga. Di situlah saya merasa, bahwa seluruh muslim di dunia ini sebenarnya terkoneksi dalam satu batin yang sama, yaitu keyakinan akan Islam. Saya lalu berpikir, mengapa di negeri saya yang mayoritas penduduknya muslim, saya malah jarang mendengar “Assalamualaikum” diucapkan dengan percaya dirinya bila bertemu dengan sesama muslim.

Ya, salah satu dari ribuan pengalaman berharga saya saat hidup selama lima bulan di Thailand adalah: saya semakin rindu dengan Islam. Semoga, kalimat "Khon Indo, moslem good good"-nya Pak Sopir tadi memang benar. Aamiin.




Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.
Love, Dina.

Sunday, January 15, 2017

Pembunuh

Ada pernyataan yang mungkin terlalu melankolis untuk diucapkan oleh seorang pembunuh.
"Jika aku bisa dihargai dan dianggap ada tanpa harus menghilangkan nyawa pesaingku, aku memilih untuk menanggalkan pistolku. Namun sayangnya, apa yang aku katakan selalu tidak menarik di telinga mereka sehingga aku selalu sendirian...dan tidak ada cara lain untuk membuat dunia melirikku, selain acungan pistolku".
Sekarang aku tahu, kenapa seorang pembunuh itu ada. Pembunuh dilahirkan oleh dendam. Dendam yang dihasilkan dari perbuatan pembunuh sebelumnya: pembunuh harapan. Pembunuh masa depan. Pembunuh kepercayadirian.
Pembunuh harapan itu...orang terdekat si pembunuh.