Followers

Monday, November 23, 2020

Jeda

 
Dulu ketika masih kuliah atau awal kerja, kadang aku heran kenapa sih teman-temanku yang udah nikah, kebanyakan kalau ngumpulin tugas tuh mepet, kalau janjian juga sering telat, kadang dateng ke tempat ketemuan dalam keadaan ngos-ngosan, kalau bales chat lama, sekalinya bales singkat-singkat... Ternyata, sekarang setelah aku nikah, aku baru bisa memahami alasannya kenapa.

Menikah itu merupakan wahana buat latihan mengesampingkan ego. Dulu ketika masih bujang, mungkin kita lebih banyak cuma mikirin diri sendiri. Jadi, tinggal mengatur diri sendiri aja mau janjian jam berapa, siap-siapnya jam berapa. Mau ngerjakan tugas kapan. Mau skin care-an dan wangi-wangi sebelum ketemuan juga bebas karena waktunya sisa-sisa. Ketika menikah, ada suami yang sejak akad sudah menjadi bagian dari hal yang kita pikirkan setiap hari. Ada keluarga kita. Ada keluarga suami kita. Belum lagi yang sudah punya anak. Belum urusan pekerjaan kita sendiri. Urusan bisnis sampingan. Rasa-rasanya terkadang sungguh langka bisa punya 'me time' seperti sedia kala. Walaupun nggak banyak yang harus dikerjakan bersama mereka, tapi ada banyak hati yang sedang kita jaga dibandingkan dengan sebelum kita menikah.

Dulunya aku kira, itu adalah hal yang mudah. Buktinya, banyak orang yang bisa. Namun ternyata di usia pernikahanku yang menginjak bulan ke-9 ini, aku masih belum sepenuhnya beradaptasi.
Teman kerjaku bilang "Kok kamu sekarang kalau ngumpulin tugas mepet banget, sih? Padahal dulu pas semua orang belum selesai, kamu selalu selesai duluan". Teman mainku bilang, "Tumben seorang Dina Nisrina yang dulu datengnya sebelum jam janjian, sekarang telat terus".

Ternyata, adaptasi itu tidak mudah, saudara-saudara. Tiap orang punya kapasitasnya masing-masing. Saya benar-benar salut dengan buibu dan pakbapak multitasking di luar sana yang tetap bisa stabil walau banyak pikiran. Saya juga benar-benar minta maaf atas prasangka saya terhadap teman-teman saya yang sudah menikah lebih dulu yang suka mepet sama tenggat.

Menikah itu indah. Sungguh. Namun, lelah itu wajar, Bun.

Yang jelas, supaya tetap waras, kita harus tetap berpikir positif dan menurunkan ekspektasi bahwa we can't please everyone. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, satu per satu. Pasti harus ada yang dikorbankan sejenak. Namun ingat, kita masih bisa kok menyenangkan diri sendiri. Jangan lupa 'me time' walau hanya beli minuman manis 7 ribuan di Indomaret dan diminum di latar depan, ya!

Ditulis di sebuah Indomaret di tengah Kota Malang seorang diri sambil melihat hiruk-pikuk kendaraan di tengah pandemi.



Wednesday, July 08, 2020

Pahlawan Medis: Sebuah Pengingat Diri


Lama sudah saya tidak membagikan tulisan di blog ini. Hari-hari #dirumahsaja terasa benar-benar menantang untuk saya karena benar-benar membentuk ‘saya yang baru’. Salah satu kebaruan yang muncul yaitu saya jadi punya cukup banyak waktu untuk menikmati ruang sendiri, hingga asyik tak mau berbagi cerita barang sedikit.

Alih topik, pagi itu ketika hendak mencuci setumpuk baju saya dan suami, ibu mertua saya memanggil kami. Ada kiriman, katanya. Ternyata, saudara sepupu suami yang berada di Jogja mengirimkan buku ini.


Mbak Nita, namanya. Seorang perawat di salah satu rumah sakit di Jogja, yang juga seorang penulis. Sebelum Hari Raya lalu, Mbak Nita sempat mempromosikan buku ini, hasil karyanya bersama para penulis lain yang tergabung dalam komunitas @nulisyuk, yang mengangkat tema tentang para pahlawan medis. Satu buku ini, artinya satu kali donasi. Ibu sengaja memesannya dan datanglah di pagi yang dinantikan itu.

Buru-buru ibu langsung membuka judul yang ditulis Mbak Nita. Setelah selesai, ibu memberikannya kepada saya. Saya juga memulai dari tulisan Mbak Nita dan beralih ke halaman-halaman lain sembari menunggui mesin cuci yang sedang bergerilya. Entah, tiba-tiba ada helaan napas yang berkejaran dalam setiap lembarnya. Baik. Akan saya bagikan di sini.

Ada 33 cerita pendek di dalam antologi ini. Dari judulnya, memang betul bahwa semua cerita memang ‘pahlawan medis sentris’. Akan tetapi, tidak semua yang menulis cerita di dalam buku ini berprofesi sama. Sebagian besar memang orang yang bekerja di bidang medis seperti dokter, perawat, radiolog, analis kesehatan, farmasis, hingga administrator ruang inap. Ini memberi kita skema bahwa sebutan ‘pahlawan medis’  tidak berhenti pada dokter dan perawat saja. Selain itu, para sahabat dan keluarga para pahlawan medis juga turut menyumbangkan tulisan di sini. Turut pula menandakan bahwa yang berjuang tidak hanya yang berhadapan langsung dengan pasien, tetapi juga orang yang terdekat dengan para pahlawan medis.

Antologi ini dibuat ketika pasien positif Covid-19 di Indonesia masih dalam rentang 1.000—2.000-an. Kini, ketika saya mengunggah tulisan ini di blog, sudah ada 66.226 orang. Sungguh sebuah fakta yang menampar. Bukan bermaksud untuk menakuti-nakuti, tapi ada makna di balik rentangan angka. Makna bahwa Covid-19 bukan sekadar cerita belaka.

Tulisan-tulisan ini tidak hanya membuat saya memahami sebuah karya, tetapi juga sebuah perjuangan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Saya semakin sadar bahwa pekerjaan yang selama ini saya keluhkan tidak seberat pekerjaan para pahlawan medis di luar sana. Saya akan ulas beberapa cerita yang menurut saya paling berkesan mendalam.

Cerita pertama, cerita dengan judul “Aku Bukan Pahlawan”, karya Taufiqur Rahman, seorang dokter spesialis anak di Lamongan. Tulisan ini menceritakan perjuangan pasien berusia 80 tahun yang didampingi anaknya dan pasien 4 tahun yang didampingi ayahnya dari sudut pandang seorang dokter. Yang membuat saya terenyuh yaitu ketika dikisahkan cara keluarga mereka dengan telaten berusaha untuk bersama-sama mewujudkan  kata sembuh. Cara mereka menyuapi makanan, meminumkan obat, dan menenangkan keluarganya ketika sakit. Tulisan ini menyadarkan saya akan dua hal. Pertama, terkadang kita kejauhan berlomba untuk mencari kunci surga. Kita lupa, bahwa salah satu kunci surga yang terdekat adalah ketika kita bisa memuliakan orang tua kita, sama seperti keluarga pasien yang mendampingi ibunya yang sudah berusia 80 tahun. Kedua, kasih orang tua terkadang lupa kita sadari sampai kita mendengar bahwa mereka rela menggadaikan hidupnya untuk anaknya, seperti ketika ayah pasien mendampingi anaknya yang berusia 4 tahun ini. Ia bisa kapan saja tertular dari anaknya, namun ia berkata bahwa ia ikhlas karena anaknya adalah hartanya yang paling berharga.


Cerita kedua, cerita dengan judul  “Detak dalam Detik” yang ditulis oleh Mbak Nita Aprilia, sepupu kami. Ia deskripsikan melalui ceritanya bagaimana rasanya berada dalam dekapan alat pelindung diri (APD). Dari deskripsinya, saya bisa turut merasa sedang memakai APD: bagaimana berjalan dengan memakai sepatu boot yang kebesaran, bagaimana melihat dengan goggle yang terus berembun, bagaimana banyaknya lapis baju yang menyelimuti tubuh. Itu tentu tak nyaman. Belum lagi, detak jantung yang selalu berkejaran dengan waktu. Setiap detik adalah nyawa. Sesuai dengan judul yang ia tulis, saya turut merasakan jantung saya terpacu ketika ia kisahkan pengalamannya dari ruang IGD menuju ruang isolasi. Pun, saya turut merasakan bagaimana rasanya detak jantung seorang suami melepas istrinya berangkat kerja dalam kekhawatiran yang bernaung ini. Pula dalam tulisannya, Mbak Nita turut menyadarkan pembaca, bahwa pengalaman ini tentunya bukan hal pertama untuk para petugas medis yang memang bertugas di ruang isolasi sejak dulu. Sejak Covid-19 belum memenangkan media,TB, SARS, MERS-Cov, dan lain-lain sudah lebih dulu menjadi sebuah ladang perjuangan para petugas medis di ruang isolasi. Lagi-lagi, saya dibuat malu apabila kufur melanda diri.

Cerita ketiga, cerita dengan judul “Kapan Ayah Pulang?” yang ditulis oleh Rizka Khairiza. Suaminya adalah seorang dokter yang terlibat langsung dalam penanganan pasied Covid-19. Ia harus merelakan suaminya tidak tidur bersamanya dan anak-anaknya di rumah. Ini dilakukan demi menjaga keluarganya. Sungguh air mata ini terpicu ketika membayangkan rasanya hanya bisa bersua dengan suami melalui panggilan video. Membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami dalam jarak sekian meter di luar pagar ketika ia mengirimkan sesuatu untuk anaknya di rumah, namun tahu diri untuk tak  saling sentuh. Membayangkan anak yang terus bertanya kapan ayahnya pulang karena sudah rindu dengan kebersamaan yang ia dapatkan sebelum pandemi ini dicetuskan. Itu tentu bukan hal mudah...dan hanya orang-orang terkuatlah yang bisa mengalaminya.

Itulah tiga cerita yang bagi saya meninggalkan kesan lumayan dalam. Buku ini, semakin saya baca, bukannya rasa khawatir yang semakin bertambah, namun rasa bersalah terhadap para pahlawan medis di luar sana yang semakin membuncah. Cerita-cerita ini sungguh mengingatkan saya untuk berpikir dua kali kalau mau sembrono, ke luar rumah untuk sekadar mengisi ruang kebosanan, misalnya.

Dari situlah, kiranya memang benar. Bahwa sejatinya, garda terdepan untuk melawan virus ini bukan mereka para pahlawan medis, melainkan kita. Pahlawan medis justru merupakan garda pertahanan terakhir. Saya setuju dengan pernyataan yang ditulis Rizki Akbar ini pada halaman 95.

Itulah ulasan saya tentang buku ini. Alih-alih mengulas konten, saya justru mengulas hikmah yang dapat kita petik. Terakhir, tak lupa saya mengajak kita semua untuk tidak berhenti berdoa agar pandemi ini segera diangkat dari muka bumi ini. Sesungguhnya, senjata paling ampuh adalah doa yang tak hentinya dipanjatkan. Maka, jangan letih untuk berdoa, karena Allah tidak pernah letih untuk menjawab.

Semangat, para Pahlawan Medis dan kita semua yang sedang berjuang.


Friday, April 24, 2020

Sesosok Punggung yang Termenung Usai Subuh

Aku temui langit fajar usai zikir selepas subuh di teras bersama embusan embun pagi. Ada sebuah pesan yang hendak disampaikan Sang Khalik melalui dedaunan yang sengaja ia gerakkan, cuitan burung, dan sekelompok awan bersama sinar mentari yang menyelinap mengintip. Selamat datang di bulan suci, kata mereka. Akan tetapi ada yang berbeda pada Sang Bulan Suci kali ini.

Terbentuk sebuah siluet dari sesosok punggung yang 'ku cintai. Yang sedang menikmati lantunan Quran dari udara yang dialirkan oleh pengeras suara dari surau di permukiman kami. Yang terbangkit usai menceritakan kenangannya bersama seorang adik yatim di depan rumah yang tak pernah absen mengajaknya balapan lari selepas memanjatkan doa di surau dekat sini. Ia juga kisahkan bagaimana adik itu selalu memanjatkan doa seusai salat dengan khusyuk sampai membuatnya ingin tahu doa macam apa yang sedang ia langitkan kepada Sang Khalik. 


Hati istri mana yang tidak terusik, mendengar nada suara yang biasanya gagah itu kemudian melemah berpasrah merindu seolah merintih. Aku tahu kerinduan macam apa yang sedang berkecamuk di dada itu. Kerinduan akan candu suasana Ramadan yang seharusnya bisa ia nikmati bersamaku sebagai pengalaman baru. Malam pertama dan pagi pertama Ramadan ini memang begitu syahdu. Bersama dengan itu, aku haturkan maaf yang sebesar-besarnya untuk kedatanganku yang tidak bisa sama dengan cerita pengantin baru pada umumnya. "Aku dan kamu menjadi kita" ketika dunia sedang dilanda ujian. Maafkan aku atas tidak adanya berjalan bersama menuju surau itu untuk tarawih dan berkenalan dengan anak laki-laki yang mengajakmu balapan lari. Maafkan aku atas tidak akan adanya berjalan bersama mencari takjil di sore hari. Maafkan aku bahkan mungkin Idul Fitri kali ini tidak akan ada lapangan luas dengan berbagai pedagang penjual balon yang menanti anak-anak kecil merengek memohon kepada ibu mereka sebagai hadiah atas sebulan penuh menahan lapar.

Maafkan aku karena aku harus menemanimu ketika Ramadan tak lagi sama.

Aku tidak akan letih untuk bermunajat agar Ramadan tahun depan bisa menjawab kerinduanmu akan candu suasananya. Aku tidak akan letih untuk bermunajat seperti halnya Ramadan lalu aku bermunajat agar Ramadan ini "aku dan kamu menjadi kita".

Semoga dunia yang sedang dipuasakan ini bisa meraih fitri segera.

"Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal ya kariim". Terdengar lantunan penutup tadarus pagi yang sekaligus menutup resahku pagi ini.

Selamat ber-Ramadan dari rumah masing-masing.

Sunday, January 26, 2020

Kapan Nikah?


Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis lagi di blog ini. Ini post pertama saya di tahun ini dan sudah saya nodai dengan tulisan seperti ini. Padahal, saya berjanji untuk berhenti membagikan keluhan saya di media sosial, tapi ternyata untuk saat ini menulis adalah salah satu healing method yang masih saya sukai. Akhirnya pula, saya beranikan diri buat nulis tentang topik ini.

Bagi yang sudah menginjak usia ‘wajar nikah’ di Indonesia, pasti sudah lumayan kenyang dengan pertanyaan “Kapan nikah?”, ya kan? Kira-kira, sejak umur 21 tahun, pertanyaan seperti itu sudah saya dengar. Pertanyaan seperti itu lebih sering muncul ketika kita terlihat punya pacar, utamanya yang sudah pacaran lama.

Ketika saya berusia 23 tahun, singkat cerita, saya pernah bahagia banget. Saya hampir menikah dengan seseorang. Akan tetapi, di tahun itu pula Allah menunjukkan bahwa dia bukan jodoh saya. Saya tidak akan bercerita lebih tentang ‘mengapa’, karena bagi saya, ada beberapa hal yang tidak semuanya harus dibagikan kepada orang lain.

Selepas kejadian itu, bagaimana perasaan saya? Wah, nggak bisa dibayangkan. Sedih? Iya. Kecewa? Iya. Marah? Iya. Malu? Iya. Semua jadi satu ketika itu. Bukan hal mudah bagi saya untuk menerima kenyataan itu. Saya nggak pernah sesedih itu sebelumnya. Sejak saat itu, saya jadi sangat sensitif kalau ada yang berbicara tentang pernikahan. Keinget dikit, nangis. Kesenggol dikit, nangis. Hampir tiada hari tanpa nangis. Saya jadi lebih banyak mengurung diri di kamar; melakukan aktivitas yang nggak butuh berinteraksi dengan orang lain seperti main make up sendiri, nulis diary, nyanyi-nyanyi, bikin-bikin; dan menolak semua ajakan nongkrong. Bahkan, saya sengaja menghindar dari beberapa komunitas dan beberapa orang karena takut ditanya-tanya. Paling pol kalau keluar rumah, itu karena kerjaan, karena diajak oleh teman geng saya yang benar-benar dekat, dan karena ada kajian. Ya, sejak saat itu saya mencoba lebih aktif datang ke kajian. Safari dari masjid ke masjid. Mencoba menenangkan diri dengan mengisi kegundahan dan kekosongan dalam diri yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Saya benar-benar takut dengan kata nikah. Kalau ada kajian yang temanya tentang nikah, saya semangat banget walaupun harus berangkat sendirian. Sampai akhirnya, ketika saya berusia 24 tahun, saya daftar kelas pranikah dan mengajak Dini (saudara kembar saya) dan satu teman saya. Di situ, kami belajar banyak tentang pernikahan dari persepsi Islam. Betapa Mahabesarnya Allah telah mengatur sedemikian rupa kehidupan ini dari bangun tidur sampai tidur lagi. Perkara nikah pun jelas tak luput dari aturan Islam. Ternyata, banyak hal yang saya lewatkan dalam persiapan pernikahan. Dari kelas itu, saya baru sadar bahwa ternyata dari segi agama, saya memang belum siap untuk menikah. Banyak hal yang harus saya perbaiki. Ternyata, Allah menunda pernikahan saya karena Allah tahu, saya masih harus belajar banyak hal. Allah masih sayang dengan saya.

Pelan-pelan, trauma saya dengan kata nikah mulai pudar. Saya sudah mulai bisa mengurangi rasa sensitif saya. Saya mencoba pergi dari rasa ingin mengurung diri. Mencoba membuka hati pelan-pelan untuk kisah yang baru. Akan tetapi, perjuangan tersebut juga tidak selalu mudah. Berkali-kali mencoba untuk membuka hati, tapi berkali-kali pula Allah menunjukkan bahwa belum saatnya...belum, Dina. Bukan dia orangnya. Tidak sedikit yang mencoba, bahkan ada yang mendekati keluarga saya, tapi kecenderungan hati tetap tidak bisa tenang. Istikharah pun dilakukan, masih belum menemui titik terang. Ketakutan-ketakutan akan pernikahan kembali  menghantui saya. Bahkan, sekarang di mata saya, semua laki-laki sama saja. Saya cenderung cuek dengan semua laki-laki yang mencoba mendekat. Pandangan yang salah, memang. Namun hanya itu yang bisa saya lakukan. Untuk menjaga perasaan saya sendiri dari ekspektasi yang berlebihan.

Akhirnya, saya sekarang di titik ini, di penghujung usia 25 tahun (karena bulan depan usia saya 26 tahun). Jika ditanya apakah saya jomlo? Saya tidak bisa menjawab. Setiap manusia pasti punya kecenderungan kepada seseorang. Hati saya tidak kosong, namun juga masih penuh dengan kekhawatiran. Jika ditanya siapakah namanya? Saya tidak mau menjawab. Ada hal yang ingin saya rahasiakan sendiri saja dan saya lambungkan di setiap sujud saya kepada Allah. Cukup saya saja yang menyimpan, supaya tidak lagi kecewa berkali-kali. Saya lelah berharap kepada selain Allah.

Saya pernah mendikte Allah. Saya bilang kepada Allah, “Ya Allah, aku mau nikah paling lambat 25 tahun lebih 364 hari, alias H-1 usia 26 tahun”. Ternyata, sekali lagi manusia hanya punya rencana, Allah-lah yang menentukan. Terhitung sejak usia 23 tahun, sudah lebih dari 2 tahun saya struggle with Kapan nikah?”. Saya cukup bangga, telinga saya sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu.
Namun...kemarin...ternyata hati ini kembali pecah ketika mendengar ini lagi...
Dina kapan?
Kapan nyusul?
Kok nggak dibarengin aja sama Dini?

Huft...saya harus jawab apa?

Singkat cerita...


Kemarin, saudara kembar saya, Dini, mengakhiri masa lajangnya. Kalau ditanya gimana perasaan saya, in the deepest feeling, saya bahagia, banget. Perasaan yang nggak bisa diceritakan dan ditampakkan dari wajah dan ekspresi tubuh lainnya. Secara, kami sudah bersama sejak telur di rahim ibu kami membelah menjadi dua. Walaupun kami berbeda sekolah sejak SMP, kami masih sering beraktivitas bersama. Saya juga mengerti benar bagaimana perjalanan hatinya yang penuh dengan lika-liku yang tidak ia bagikan kepada khalayak. Menyaksikan akhirnya ikrar suci sehidup semati itu terucap, saya mengerti betapa lega dan bahagianya dia.

Saya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan template itu dari banyak tamu yang saya sapa, saudara, dan dari banyak teman yang mengomentari jejaring sosial saya ketika saya mengunggah kebahagiaan kami di pesta pernikahan Dini. Saya yang awalnya bahagia banget di pesta pernikahan, mendadak bad mood nggak karu-karuan karena telinga saya terlalu banyak terpapar pertanyaan-pertanyaan itu. Bagi beberapa orang, itu hanya hal sepele.
Halah, anggep aja mereka basa-basi.
Halah, anggep aja doa.
Halah, kamu belum ngerasain ditanya kapan punya momongan aja, lho!
Halah, cuek aja, lho.
Halah
Halah
Halah...

Untuk menutupi rasa bad mood saya di pesta itu, saya mencoba tetap tersenyum agar air mata ini nggak keluar. Kalau mendadak bocor ada air mata jatuh, saya pura-pura kelilipan bulu mata palsu. Kalau nggak gitu, saya nggodain ponakan-ponakan biar gak usah diajak ngobrol ama siapa-siapa. Rasanya...perjuangan mengobati trauma selama dua tahun lebih itu langsung bocor seketika dalam satu hari. Siang ini pun saya memutuskan untuk menghapus semua unggahan saya tentang pernikahan Dini karena saya sudah nggak tahan dengan beberapa kalimat yang masuk di DM saya. Beberapa kalimat yang rasanya kurang pas walaupun saya tahu mereka hanya berusaha akrab dengan bercanda. Saya besok harus kerja, saya nggak mau kerjaan saya amburadul hanya karena masalah pribadi. Saya harus melanjutkan hidup. Untuk itulah saya harus mencoba untuk bangun dan mengobati trauma ini.

Teruntuk siapa pun yang membaca ini...
Berhentilah bertanya “Kapan nikah?” dan kalimat-kalimat turunannya kepada orang lain. Berhentilah bercanda dengan konten yang sensitif. Kita tidak pernah tahu perjuangan seseorang untuk bangun dari keterpurukan. Kita tidak pernah tahu perasaannya di belakang kita setelah kalimat itu ia terima. Kita tidak pernah tahu dua kalimat saja yang kita ucapkan bisa jadi membuat seseorang kehilangan arah.

Teruntuk siapa pun yang mungkin mengalami apa yang saya rasakan, jika ingin menangis, menangislah...tapi jangan pernah patah semangat. Maafkanlah dirimu dulu, kemudian maafkan juga semua orang yang mungkin membuatmu sedih. Yakinlah dengan janji Allah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu...ada kemudahan.

Ingatlah bahwa kelahiran, kematian, rezeki, dan jodoh sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz.



Tidak akan pernah ada yang tertukar jika memang takdir itu untuk kita.