Followers

Monday, November 21, 2016

#Thailand 6: Alunan Kemerdekaan dari Negeri Gajah Putih

Rabu, 17 Agustus 2016


Biasa merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan menjadi petugas paduan suara di kampus, kali ini saya bertugas sebagai dirijen paduan suara di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Songkhla, Thailand. Tidak hanya saya, sebagian besar petugas upacara juga berasal dari peserta program PPL/KKN Thailand Selatan.
Mengingat kami semua mempunyai kesibukan mengajar di sekolah penempatan masing-masing, latihan upacara pun sedikit sulit. Hanya bisa dilakukan saat akhir pekan. Itu pun, para petugas harus rela menempuh perjalanan jauh ke Songkhla, karena sebagian besar mengajar di Pattani, Yala, Narathiwat, dan lain-lain. Petugas paduan suara saja baru bisa latihan dengan jumlah lengkap saat tanggal 16 Agustus siang hari.
Sebelum hari-H upacara, kami melaksanakan gladi bersih terlebih dahulu dengan Bapak Konsul, Pak Triyogo Jatmiko. Pak Tri mengikuti gladi bersih dengan khidmat dan beliau mencatat semua hal yang perlu dibenahi agar lebih baik lagi saat upacara berlangsung. Beliau memberi arahan mulai dari protokol upacara, pemimpin, pembaca UUD, pembaca doa, pembaca naskah proklamasi, ajudan, pengibar bendera, hingga tim paduan suara. Beliau juga memberikan wejangan-wejangan yang sangat memotivasi kami untuk memberikan yang terbaik dalam upacara esok hari.
Upacara dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 2016 pukul 9 pagi di lapangan Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Para peserta upacara berasal dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang bekerja, studi, maupun tinggal di wilayah selatan Thailand, para pejabat konsulat, Dharma Wanita Persatuan, serta beberapa sekolah Thailand yang memiliki kerjasama dengan Indonesia untuk turut merayakan Hari Kemerdekaan RI bersama.
Semua berjalan dengan lancar sesuai rencana. Lagu yang dibawakan oleh tim paduan suara untuk persembahan atau biasa disebut aubade berjumlah tiga lagu, yakni Hari Merdeka, Tanah Air, dan Syukur. Pada saat latihan, saya dan teman-teman tidak sampai merinding. Namun, ada suasana berbeda pada saat upacara. Saya sendiri sebagai dirijen tiba-tiba merinding saat lagu Tanah Air dinyanyikan. Tanpa sadar, mata saya berkaca-kaca. Sebagai dirijen, harusnya tidak seperti itu karena bisa membuat anggota paduan suara menjadi terpancing untuk meluapkan emosi yang sama. Saya berhasil menahan tangis, tapi tidak berhasil menahan mata yang berkaca-kaca. Beberapa anggota paduan suara ikut meneteskan air mata saat menyanyikan lagu Tanah Air.

Usai upacara pun banyak yang mengatakan sempat menangis saat lagu Tanah Air dilantunkan. Hal ini mungkin karena kami semua sedang jauh dari tanah air, jauh dari keluarga, jauh dari sanak saudara di  negeri orang. Berjuang di tanah rantauan masing-masing membawa nama Indonesia memang bukan hal mudah, namun hal inilah yang membuat kami bisa bersyukur, bahwa tanah air terbaik adalah Indonesia. Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71!

Displaying IMG-20160817-WA0016.jpg
Sumber: Dokumentasi Konsulat Jendral Republik Indonesia Songkhla
Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.

#Thailand 5: Warna-Warni Olahraga Thailand

“See chompu cha! Cha!!”. Terdengar teriakan murid-murid menggema di lapangan bola sekolah. Selain ramai akan teriakan, lapangan sekolah penuh akan warna dan antusiasme dalam kompetisi. Ya, begitulah gambaran umum dari Sukkan Warna yang dalam bahasa Melayu berarti olahraga warna. Dalam bahasa Thailand, lazim disebut Kila See.
Kila See adalah suatu kegiatan olahraga tahunan yang rutin diadakan di setiap sekolah di Thailand, di mana semua warga sekolah (baik guru maupun siswa) dibagi menjadi beberapa kelompok warna untuk kemudian berkompetisi. Kompetisi yang diadakan beragam, bergantung masing-masing sekolah. Namun, secara umum, pasti ada kompetisi olahraga, karnaval, dan juga pemandu sorak.
Di Sekolah Wiengsuwanwittayakhom, tempat saya mengajar, ada empat kelompok warna yang akan bertanding. See chompu (warna merah jambu), see kiaw (warna hijau), see namngen (warna biru tua), dan see leuang (warna kuning). Kompetisi yang diadakan di sekolah ini beragam pula. Ada pertandingan sepakbola, pertandingan lari, pertandingan voli, lempar tagram, lomba yel-yel pemandu sorak antarwarna, kompetisi hias venue pemandu sorak, dance, dan karnaval.
Untuk mempersiapkan acara ini, sekolah sengaja memberi waktu latihan khusus selama satu jam setiap harinya selama dua bulan sebelum Kila See. Betapa Kila See adalah acara yang sangat dihargai seperti kegiatan akademik lainnya. Bahkan, jam pelajaran sengaja dipotong lima menit setiap jam pelajarannya, agar ada sisa waktu satu jam sebelum jam pulang, khusus untuk mempersiapkan Kila See.
Kila See diadakan selama satu minggu dan tidak ada kegiatan akademik selama Kila See berlangsung. Setelah tiga hari bertanding olahraga, hari keempat adalah saatnya seluruh warga sekolah berkeliling di jalanan sekitar sekolah untuk berkarnaval. Semua warga di sekitar sekolah selalu menantikan Kila See dari setiap sekolah yang berada di sekitar mereka. Ada pertunjukan seni yang ditawarkan setiap karnaval dari mulai drum band, tari, dan peragaan busana. Di salam setiap barisan warna, ada tiga kategori yang ditampilkan, yaitu Khong Cheer (rombongan pemandu sorak), Kila (atlet yang bertanding), dan Fancy (peragaan busana fantasi).

Hari kelima diisi dengan pertandingan final antarwarna dan juga ada pertandingan antarguru membela warna masing-masing. Guru-guru di sini pun sangat antusias dalam bertanding, tidak peduli akan usia mereka. Walaupun kulit menjadi belang karena udara Thailand yang begitu panas, namun semangat Kila See tetap membara sampai diumumkan siapa juara masing-masing lomba dan juga juara umum dari seluruh pertandingan. Penutupan diadakan dengan sukacita dan ditutup dengan guyuran hujan sebagai pengganti lelah selama satu minggu.

Displaying PicsArt_09-01-02.59.02.jpg


Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.

#Thailand 4: Pesona Pasar Malam Pattani

Displaying PicsArt_09-19-09.58.24.jpg


Pasar malam adalah pemandangan yang sudah biasa kita temui di Indonesia. Namun, kali ini saya akan menceritakan pasar malam yang berada di salah satu provinsi di Thailand Selatan, yaitu Pattani. Pesonanya sudah sampai di penjuru Thailand Selatan. Bahkan, orang-orang yang akan belanja, sengaja menyewa hotel satu malam di dekat pasar. Pasar malam yang berada di dekat masjid besar Pattani ini terpisah antara pasar yang dimiliki orang Buddha dan orang muslim. Yang dijual pun beragam, dari mulai pakaian, makanan, hingga kebutuhan harian. Yang akan saya ceritakan adalah lima keunikan pasar malam muslim di sini.
Pertama, di sini ada beberapa kedai yang bersifat lepas pasang, hanya buka saat pasar buka saja. Namun, ada juga yang sudah menetap menjadi toko. Nah, kalau masuk ke toko-toko, jangan lupa lihat kaki karyawannya terlebih dahulu. Jika karyawannya melepas sepatu, berarti pelanggan harus masuk dengan menanggalkan sepatu. Saya yang awam, tidak tahu. Saya melihat-lihat baju-baju bagus dengan memakai sepatu masuk ke dalam. Lalu sang pemilik toko mengatakan“Eh dek, kasuk tanggal, kasuk tanggal”. Artinya, “Dek, lepas sepatu, lepas sepatu”. Saya langsung malu dan kembali ke luar.
Kedua, perhatikan harga yang dikatakan penjual. Ada beberapa penjual yang tidak menulis harga. Bila kita bertanya harga dan dia menjawab misalnya “sratos limo” atau “neng roy haa” yang dalam bahasa Indonesia berarti 105 Baht, itu hanyalah bahasa lisan. Maksud sesungguhnya adalah 150 Baht, namun mereka mengatakannya dengan disingkat. Jadi, hati-hati, ya.
Ketiga, jika tidak serius ingin membeli, jangan terlalu banyak memegang-megang baju yang dipajang. “Pegang-pegang sajo, tubek...buat punoh kain”. Maksudnya, jika hanya pegang-pegang saja, lebih baik keluar, hanya akan membuat baju jadi tercemar dan rusak saja. Ada beberapa kedai yang seperti itu. Jadi, kita harus benar-benar hati-hati membaca sinyal dari sang penjual. Namun, ada juga kedai yang sangat ramah, bahkan saya sampai dapat gratisan bros kerudung karena dia tahu saya orang Indonesia, katanya sebagai kenang-kenangan sudah pernah mampir ke kedainya.
Keempat, di sini baju produk asli Thailand dijual dengan harga yang tidak terlalu mahal. Bahkan dengan harga sekitar Rp 120.000 saja kita bisa dapat baju yang di Indonesia seharga Rp 200.000. Namun, baju Indonesia yang diimpor ke sini, harganya bisa sampai tiga kali lipat!
Kelima, jangan datang terlalu malam, karena semua kedai akan tutup pukul 9 malam. Terkesan terlalu sore untuk tutup, memang. Namun, warga sini sengaja melakukannya karena mereka waspada akan ancaman bom yang bisa datang kapan saja di daerah konflik ini. Namun, di luar itu, para pebelanja terlihat sangat santai dan tidak peduli isu bom yang sering terjadi di berbagai tempat di Thailand Selatan. Begitulah pengalaman saya ketika berbelanja di pasar malam Pattani, surga belanjanya para muslim di selatan Thailand.. Semoga bisa menjadi referensi.

Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.