Followers

Friday, June 05, 2015

Meracik Teh


Teh, selalu menjadi tulisan wajib di setiap menu warung maupun restoran di Indonesia. Selain menjadi minuman yang bahkan kadang lebih murah dari air mineral, teh juga disinyalir mampu meredakan perasaan tidak nyaman pada otak bila diminum hangat-hangat. Meraciknya pun tidak susah. Jika zaman dahulu mungkin sedikit rumit dengan menyeduh rempah teh dengan air panas, menyaringnya, mengendapkannya, baru menyajikannya, kini kita bisa hanya tinggal menyelupkan kantong teh ke atas ke bawah dalam air panas. Bahkan, sudah ada yang berbentuk kantong bundar tinggal celup maupun berbentuk serbuk tinggal aduk.

Meracik teh memang mudah. Namun, meracik teh yang enak sangatlah tidak mudah. Meracik teh dengan logika memang bisa dilakukan semua orang. Namun, meracik teh dengan emosi tidak semudah yang dipikirkan.

Ibuku adalah salah satu pembuat teh yang paling handal, menurutku. Teh yang digunakan adalah teh bermerk Teh Gopek yang sangat familiar di kalangan ibu-ibu. Mungkin bukan teh mahal, bukan juga teh yang paling disukai masyarakat. Namun, ada sesuatu yang magis dengan teh buatan ibu. Setiap pagi, kalau aku tidak meminta susu, ibu selalu membuatkan teh untukku sebelum sarapan. Ibu selalu menyediakan teh untuk kami sekeluarga setiap pagi. Satu gelas kecil untuk anak-anaknya dan satu gelas besar untuk bapak. 

Rasanya sungguh enak. Meminumnya perlahan di saat hangat, aku bisa merasakan cairan itu mengalir dari kerongkongan menuju lambung. Manisnya pas. Tidak kemanisan. Tidak juga sepat. Warnanya tidak terlalu pekat. Tidak juga terlalu bening. Pas.

Alhasil, setiap usai minum teh buatan ibu, aku selalu ingin minum lagi, tapi ibu tidak mengizinkan. Begitu pula bapak. Bedanya, tiap sore sepulang kerja, bapak mendapatkan satu gelas besar lagi.

Pada saat temanku berkunjung ke rumah, ibu menyuruhku membuatkannya teh. Aku meracik teh dengan bahan dan komposisi yang sama. Aku persilahkan ia meminumnya. Satu teguk, lalu ia menaruh cangkirnya. Kami berbincang, aku persilahkan minum lagi. Satu teguk, ia taruh lagi cangkirnya. Aku heran. Mengapa ia tidak sesemangat aku jika minum teh. Pada saat ia berpamitan, aku tengok cangkirnya. Masih setengah, belum habis. Mungkin dia tidak suka teh.

Belakangan ini, aku baru saja membuatkan teh untuk bapak, karena ibu harus ke Jakarta selama 3 hari. Ibu berpesan, aku harus membuatkan bapak teh sebelum bapak berangkat kerja dan sepulang kerja. Aku buatkan teh seperti halnya ibu biasanya. Satu gelas besar penuh. Pada saat bapak akan berangkat kerja, bapak meminum teh buatanku. Namun, tidak sampai habis. Hanya diminum 3/4-nya saja. Aku maklumi, mungkin bapak terburu-buru. Pulangnya, aku buatkan lagi. Aku cicipi, siapa tahu kemanisan atau kurang manis. Saat aku rasa sudah pas panas dan manisnya, aku sajikan di meja. Bapak meminumnya. Habis. Namun, habis dalam waktu yang lama.

Aku pun membuat tehku sendiri, untukku. Namun, aku rasa ada yang kurang dari tehku. Entah itu apa. Mungkin itu pula yang dirasakan oleh temanku dan oleh bapak. Ada satu hal yang kurang. Entah.

Kini, aku percaya, membuat teh tidak semudah demonstrasi iklan di televisi. Belum ada yang bisa menyaingi teh buatan ibu. Teh yang dibuat dengan tulus setiap pagi dan setiap sore. Teh yang mengandung pesan, "Minumlah, agar perutmu hangat dan energimu cukup untuk sekolah hari ini". Teh yang mengandung makna, "Minumlah, kau pasti lelah seharian ini,". Berbeda sekali dengan teh yang dibuat dengan pesan, "Minumlah, kau tamu, sudah selayaknya kau diberi suguhan," atau teh yang dibuat karena sekadar menunaikan kewajiban.

Bahkan, hingga kini aku belum menemukan teh yang enaknya melebihi racikan ibu. Meskipun itu di restoran mahal.