Followers

Monday, May 22, 2017

Sawang Sinawang

Pada suatu Sabtu yang cerah dan jalanan cukup padat, aku menyetir sepeda motor putih kesayanganku. Aku melewati sebuah jembatan yang menjadi jalan pintas favorit warga kota, yang pernah dikabarkan hampir rubuh  sampai truk dilarang melintas. Di kiri-kanan jembatan, disediakan trotoar untuk para pejalan kaki.

Nampak seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun (terlihat dari jumlah uban di kepalanya), berkemeja rapi yang dimasukkan ke dalam celana kain rapinya pula, menenteng tas yang sepertinya berisi laptop di tangan kirinya, berjalan menampakkan sepatu mengkilap karena disemir, dengan langkah yang terburu-buru seolah lima menit lagi ia akan rapat atau mengajar, namun ia tetap bisa tersenyum untuk menjaga citra. Tetap saja, raut keseriusannya tidak bisa disembunyikan. Ia nampak gundah gulana.

Dari arah yang berlawanan, nampak seorang bapak-bapak pula, berusia sama, berkemeja usang dan kedodoran (nampaknya, itu kemeja lungsuran), tidak dimasukkan ke dalam celana kotornya, memakai topi, beralas sandal jepit, membawa keranjang onde-onde yang ia slempangkan seperti tas di bahunya. Nampak berat sekali, namun ia tetap menjaga langkahnya agar tidak sempoyongan. Berusaha tersenyum pula, namun tidak, saat matanya bertemu dengan bapak-bapak di arah berlawanannya.

Bapak pertama berpikir, “Senangnya menjadi penjual onde-onde. Ia tidak perlu memikirkan kurikulum, rapat pimpinan, anak orang lain, uang negara, bahkan tidak pernah kegiatannya dibatasi oleh waktu. Terserah ia mau mulai kerja pukul berapa. Terserah ia mau berpakaian seperti apa. Tidak akan pernah ada yang melihat. Ia bebas pergi ke mana saja. Tidak ada yang mencari. Ah. Aku ingin segera pensiun dan menikmati bebasnya hidup seperti dia”.

Bapak kedua pun berpikir, “Nikmatnya jadi orang kantoran. Bajunya rapi, wangi, licin... Tidak perlu keliling-keliling, tidak perlu takut nanti siang makan apa. Makan tinggal pilih. Mau tidak masuk sehari pun, gajinya tetap ada. Kalau aku, ga kerja sehari, ya ga makan sehari. Andai dulu orang tuaku kaya, andai dulu aku tidak putus sekolah, sudah pasti sekarang minimal aku menjadi PNS seperti dia. Ah. Andai bisa, aku ingin kembali ke 40 tahun lalu”.

...dan mereka terus berjalan sampai langkahnya saling memunggungi.

...dan aku terus melaju sambil mengingat kedua pasang mata tadi.