Followers

Showing posts with label me. Show all posts
Showing posts with label me. Show all posts

Saturday, June 02, 2018

Perpisahan

Tidak ada seorang pun yang menginginkan perpisahan bila sebelumnya mereka sudah merencanakan kebersamaan. Tidak ada satu kata pun yang tepat yang bisa mewakili sedihnya mengalami perpisahan. Mungkin, kalau aku sudah menemukan kata yang tepat, akan aku ajukan pada perumus lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi tidak sekarang. Aku belum siap. Terima kasih untuk semuanya. Semoga ini terakhir kalinya.

Malang, di sebuah ruang yang sangat dingin, 2018.

Tuesday, May 17, 2016

Embun dan Rindu

Tulisan di bawah ini adalah draft yang saya temukan. Usianya mengendap di dalam laptop sekitar hampir 2 tahun. Silahkan dinikmati...dilarang baper...

////


Di jam ini, harusnya aku ada di kelas Membaca Teks Nonilmiah dan sedang membuat resensi novel untuk tugas akhir. Pantat ini menempel di kursi kayu lawas di gedung lawas ini pula. Namun otak ini dengan liar berlari-larian menuju wajahnya yang selalu menempel kurang dari satu senti di mataku dan baunya terendus-endus di hidungku. Untung bu dosen sedang tidak memerhatikan. Untung lagi, tugas ini tidak harus selesai sekarang. Yes, saatnya menyalurkan nafsu jariku untuk menulis.

Hari ini adalah hari di mana aku merasa sedang semakin jatuh cinta dengan dia, yang sebelum-sebelumnya sudah aku ceritakan. Sebelum sedekat hari ini, aku sempat semakin menjauh darinya. Bahkan sempat tertarik dengan kumbang yang lain, yang menawarkan untuk menebar benang sari bungaku ke tempat yang lebih layak. Menawarkan ladang yang hijau, dengan awan sebersih kapas bayi di atasnya, dengan langit sebiru lambang PAN mengelilinginya. Membuatku merasa bahwa benar Aquarius tidak bisa bersama dengan Leo. Membuatku merasa bahwa benar Aquarius hanya akan aman bersama Libra atau Sagitarius. Namun, aku salah. Aku salah berbuat gegabah. Menerbangkan si kumbang baru itu sampai loncat-loncat bagai naik di atas trampolin. Membuatnya yakin bahwa aku akan memasrahkan benang sariku dibawa oleh kakinya ke putik bunga lain yang lebih layak dan akan terus bertumbuh sampai ia menjadi ribuan. Aku salah. Aku tidak secepat itu menemukan kumbang baru, aku hanya terbawa suasana.

“Maaf untukmu, kumbang baru. Aku tidak bermaksud demikian. Kau bukan pelampiasan,” kataku untuknya.

Untuk kumbang baru, maaf jika aku harus pergi darimu. Maaf kalau sampai kamu selalu membangunkanku pagi-pagi, padahal kamu tidak biasa. Maaf jika semua orang mengira...aku harus bahagia bersamamu. Aku yang salah.

Aku sadar bahwa aku memang bisa suka dengan siapa saja. Aku sadar bahwa semua yang mendekat bisa saja membuatku kagum dan selalu membuat perbandingan dengannya, si kumbang lama. Tapi, aku salah. Cinta tidak selalu rasional. Teringat kata seseorang bahwa semua orang di dunia ini rasional, sampai ia jatuh cinta.

Ketidakrasionalanku berhenti padamu, kumbang lama.

Aku mulai tidak rasional. Sejauh itu aku pergi dan pura-pura tidak berharap, semakin rindu itu menahanku untuk pulang. Semakin aku berusaha tahu diri, semakin sakit dan lelah hati ini. Saat aku mengatakan “aku pergi”, isyarat “aku mengharapkanmu” selalu terbesit. Apakah sinyal-sinyal itu diterima olehmu? Apakah kamu tahu? Bahwa di setiap kita duduk bersama, aku berada di beberapa senti darimu, aku selalu ingin menyamakan detak jantung kita. Biar kamu tidak tahu bahwa aku deg-deg-an. Kamu tahu? Setiap kamu senyum, aku ingin aku punya mesin penghambat waktu. Kamu tahu? Setiap kamu mengajakku makan, aku hanya ingin kita makan berdua, tidak dengan siapa-siapa. Namun, saat aku tahu kamu mengajakku makan karena teman-temanmu tidak bisa menemanimu makan... Aku mulai sadar. Aku bukan tujuan, aku hanya sebuah opsi.

Kurang satu bulan lagi segala rutinitas “bertemu denganmu” akan berakhir. Aku mulai tidak tahu, aku masih harus jatuh cinta atau tidak. Aku tidak bisa membayangkan nanti, jika kita sudah tidak sering bertemu lagi, apakah aku masih pantas mengharapkanmu atau harus pergi dan mencari kumbang lain. Satu bulan lagi itu tidak lama. Aku akan baik kepadamu dan menerima semua omelanmu.

Yang entah menurutmu berarti atau tidak. Menurutku iya. Makanya aku memberikan potongan kue ulang tahunku kepadamu. Karena menurutku kamu pantas menerimanya.

Yakinkan aku untuk terbiasa
Terbiasa yakin bahwa di setiap pagi,
di setiap embun masih ada rindumu

Sejauh itu, seburuk itu pun
Aku masih di sini, tidak bisa tidak mencintaimu...


Friday, June 05, 2015

Meracik Teh


Teh, selalu menjadi tulisan wajib di setiap menu warung maupun restoran di Indonesia. Selain menjadi minuman yang bahkan kadang lebih murah dari air mineral, teh juga disinyalir mampu meredakan perasaan tidak nyaman pada otak bila diminum hangat-hangat. Meraciknya pun tidak susah. Jika zaman dahulu mungkin sedikit rumit dengan menyeduh rempah teh dengan air panas, menyaringnya, mengendapkannya, baru menyajikannya, kini kita bisa hanya tinggal menyelupkan kantong teh ke atas ke bawah dalam air panas. Bahkan, sudah ada yang berbentuk kantong bundar tinggal celup maupun berbentuk serbuk tinggal aduk.

Meracik teh memang mudah. Namun, meracik teh yang enak sangatlah tidak mudah. Meracik teh dengan logika memang bisa dilakukan semua orang. Namun, meracik teh dengan emosi tidak semudah yang dipikirkan.

Ibuku adalah salah satu pembuat teh yang paling handal, menurutku. Teh yang digunakan adalah teh bermerk Teh Gopek yang sangat familiar di kalangan ibu-ibu. Mungkin bukan teh mahal, bukan juga teh yang paling disukai masyarakat. Namun, ada sesuatu yang magis dengan teh buatan ibu. Setiap pagi, kalau aku tidak meminta susu, ibu selalu membuatkan teh untukku sebelum sarapan. Ibu selalu menyediakan teh untuk kami sekeluarga setiap pagi. Satu gelas kecil untuk anak-anaknya dan satu gelas besar untuk bapak. 

Rasanya sungguh enak. Meminumnya perlahan di saat hangat, aku bisa merasakan cairan itu mengalir dari kerongkongan menuju lambung. Manisnya pas. Tidak kemanisan. Tidak juga sepat. Warnanya tidak terlalu pekat. Tidak juga terlalu bening. Pas.

Alhasil, setiap usai minum teh buatan ibu, aku selalu ingin minum lagi, tapi ibu tidak mengizinkan. Begitu pula bapak. Bedanya, tiap sore sepulang kerja, bapak mendapatkan satu gelas besar lagi.

Pada saat temanku berkunjung ke rumah, ibu menyuruhku membuatkannya teh. Aku meracik teh dengan bahan dan komposisi yang sama. Aku persilahkan ia meminumnya. Satu teguk, lalu ia menaruh cangkirnya. Kami berbincang, aku persilahkan minum lagi. Satu teguk, ia taruh lagi cangkirnya. Aku heran. Mengapa ia tidak sesemangat aku jika minum teh. Pada saat ia berpamitan, aku tengok cangkirnya. Masih setengah, belum habis. Mungkin dia tidak suka teh.

Belakangan ini, aku baru saja membuatkan teh untuk bapak, karena ibu harus ke Jakarta selama 3 hari. Ibu berpesan, aku harus membuatkan bapak teh sebelum bapak berangkat kerja dan sepulang kerja. Aku buatkan teh seperti halnya ibu biasanya. Satu gelas besar penuh. Pada saat bapak akan berangkat kerja, bapak meminum teh buatanku. Namun, tidak sampai habis. Hanya diminum 3/4-nya saja. Aku maklumi, mungkin bapak terburu-buru. Pulangnya, aku buatkan lagi. Aku cicipi, siapa tahu kemanisan atau kurang manis. Saat aku rasa sudah pas panas dan manisnya, aku sajikan di meja. Bapak meminumnya. Habis. Namun, habis dalam waktu yang lama.

Aku pun membuat tehku sendiri, untukku. Namun, aku rasa ada yang kurang dari tehku. Entah itu apa. Mungkin itu pula yang dirasakan oleh temanku dan oleh bapak. Ada satu hal yang kurang. Entah.

Kini, aku percaya, membuat teh tidak semudah demonstrasi iklan di televisi. Belum ada yang bisa menyaingi teh buatan ibu. Teh yang dibuat dengan tulus setiap pagi dan setiap sore. Teh yang mengandung pesan, "Minumlah, agar perutmu hangat dan energimu cukup untuk sekolah hari ini". Teh yang mengandung makna, "Minumlah, kau pasti lelah seharian ini,". Berbeda sekali dengan teh yang dibuat dengan pesan, "Minumlah, kau tamu, sudah selayaknya kau diberi suguhan," atau teh yang dibuat karena sekadar menunaikan kewajiban.

Bahkan, hingga kini aku belum menemukan teh yang enaknya melebihi racikan ibu. Meskipun itu di restoran mahal.



Tuesday, May 05, 2015

Di Balik Pemilihan Duta Kampus UM 2014

1
Salam Duta Kampus! Generasi cerdas, berkarakter, dan mandiri!
Yap, teriakan-teriakan itu masih terasa mengiang-ngiang di telinga dan otakku. Aku akan menceritakan pengalamanku ketika pemilihan duta kampus. Pemilihan Duta Kampus Universitas Negeri Malang adalah salah satu ajang pemilihan duta dari Universitas Negeri Malang yang diadakan setiap tahunnya di rangkaian acara ulang tahun UM. Tahun 2014 lalu, aku memberanikan diri untuk mendaftar menjadi peserta duta kampus.
Awalnya, aku ga pernah kepikiran buat ikut ajang seperti ini. Dulunya, aku adalah cewek yang super duper introvert dan khayalatun banget bakal ikutan acara beginian. Fixed. Semenjak masuk kuliah, cita-citaku cuman satu. Aku cuman pengen melakukan apa yang belom sempet aku lakukan pas sekolah dulu. Salah satu dari dua belas juta (hiperbola, ya) hal  yang belum aku lakukan adalah ikutan ajang pemilihan duta-duta gitu. Impiannya agak simple dikit, sih, hehe.
Itu tadi baru alasan kecil. Nah, alasan terbesarku kenapa pengen banget ikut ajang pemilihan duta kampus ini adalah ... coba cek percakapan berikut.
“Wah, anaknya sudah perawan besar-besar ya, Pak Amin. Kuliah di mana?” tanya salah seorang teman bapak.
“Yang Dina kuliah di UM, yang Dini kuliah di UB,” jawab bapak.
“UM, Universitas Muhammadiyah?” istri teman bapak lalu menimpali.
“Bukan, tante. Universitas Negeri Malang, dulunya IKIP,” jawabku gemas.
“Oh...IKIP...” jawab tante tadi dengan wajah seakan kasihan kepadaku.
Pembicaraan tidak berlanjut lama soal IKIP, soal UM. Tante dan oom tadi langsung berbicara panjang lebar soal anaknya yang kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia. Kadang kali memuji kampusnya si Dini juga. Sama sekali tidak membahas UM. Si tante dan si oom tadi terus saja membangga-banggakan anaknya. Semua dialog ini terus berulang ketika aku menemui oom-oom dan tante-tante teman bapak yang lain yang menanyai aku kuliah di mana. Dan tidak satu pun yang mengelu-elukan UM. Selain aku.
Inilah alasan terbesar, sejak hari itu (entah itu hari apa), aku berjanji pada diriku sendiri bahwa bukan kampus yang terkenal yang patut dibangga-banggakan dan dielu-elukan para orang tua, tapi aku yang akan membuat kampusku terkenal dan ibu-bapak bangga punya anak sepertiku. Maka, berminatlah aku ikut pemilihan Duta Kampus UM.
Aku lalu mencari info tentang duta kampus ini dengan bantuan Tante Google. Aku membaca info-info tahun-tahun lalu di web resmi UM, di blog orang, sampai menemukan akun official Duta Kampus di Twitter dan stalking  ke beberapa duta yang disebutkan di akun tersebut (kepo maksimal, ya).  Bahkan, aku sampai searching tempat-tempat persewaan gaun melalui akun Instagram dan aku membayangkan aku ada di panggung Graha Cakrawala UM menggunakan gaun warna biru dongker berkelap-kelip dan dinobatkan menjadi duta kampus, lalu bapak-ibu datang, semua teman dan keluarga datang, semua gembira dan bangga melihatku. Imajinasiku mulai liar malam itu. Intinya, aku harus ikut ajang duta kampus tahun ini. Titik. Pake koma kadang-kadang.
Selang beberapa bulan setelah “tiba-tiba” muncul keinginan itu, tanpa hujan tanpa angin, Pak Leo, salah satu dosen di Fakultas Sastra, mengirim chat via Whats App. Beliau menawari aku untuk mengikuti pemilihan duta kampus dan mewakili fakultas. Spontan aku teriak. Teriakan isyarat “Yeeeayyyy! Ini yang aku tunggu-tunggu!”. Tapi, aku lalu mendadak pesimis begitu ingat prestasiku selama kuliah ini baru dua, itu pun tim semua dan di bidang paduan suara. Pak Leo mengatakan tidak apa-apa, dicoba dulu. Beliau lalu mengirim poster Pemilihan Duta Kampus. Desain posternya sangat mewah dan membuatku optimis lagi, serta yakin harus ikut ajang ini.­­
Aku lalu bersiap, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku beranikan diri untuk mengunduh formulirnya. Mengisinya dengan hati-hati dan mulai­ mengumpulkan apa saja yang aku butuhkan. Aku membuka ulang semua sertifikat prestasi dan organisasi yang aku punya dari SMA sampai tahun kedua kuliah ini. Alhamdulillah, ternyata semua prestasi yang aku raih dan organisasi yang pernah aku ikuti berguna juga saat seperti ini. Aku juga menyiapkan Kartu Hasil Studi di dua semester sebelumnya (semester 1 dan 2), aku tersenyum lagi. Alhamdulillah aku bisa membuktikan pada bapak bahwa prestasiku bisa meningkat dengan kuliah di fakultas yang baru ini. Entah kenapa, semuanya, alhamdulillah.

2
Aku bersyukur berada di fakultas yang sangat memfasilitasi mahasiswanya untuk berkembang. Satu hari sebelum Technical Meeting Duta Kampus, fakultasku mengumpulkan semua mahasiwanya yang akan mengikuti ajang Duta Kampus ini. Ada 30 lebih mahasiswa dari fakultas kami yang mendaftar, aku tidak ingat benar angkanya. Kami diberi cerita pengalaman oleh kakak-kakak senior dari fakultas yang menjadi finalis Duta Kampus tahun lalu, ada Mbak Dewi, Mbak Dhea, Mas Fikri, dan Mbak Jeje. Kami juga saling sharing agar besoknya sudah mempunyai gambaran harus bagaimana. Kakak duta-duta tahun lalu menanyai sejauh mana kesiapan kami mengikuti ajang ini. Waktu ditanya satu per satu ingin menampilkan talent apa kalau masuk semifinal, aku jawab ingin menyanyi lagu pop atau seriosa. Aku sangat ragu untuk bilang akan menyanyi seriosa, karena ilmuku tentang genre musik ini masih sangat pas-pasan. Tapi, Mbak Dewi, salah satu duta, mengatakan, “Kalau seriosa sama pop, lebih unik mana? Seriosa kan, lebih baik cari talent yang paling unik dan beda dari yang lain”. Kebetulan yang akan menyanyi seriosa saat itu hanya Mas Lucky dan aku. Yang lain yang ingin menyanyi, kebanyakan menyanyi pop, keroncong, atau dangdut. Baiklah, aku lalu setengah mantap tidak jadi menyanyi lagu pop. Oh iya, tidak semua fakultas melakukan sharing seperti ini, btw.
Fakultas kami juga men-support kami dari segi materi, walaupun tidak sepenuhnya. Awalnya, keraguan beberapa di antara kami untuk mengikuti ajang ini adalah kendala biaya untuk sewa kostum, dll. Tapi dengan mendengar pengarahan dari dosen fakultas bahwa kami tidak perlu merisaukan hal itu, kami langsung melaju tanpa ragu, hihi. Oh iya, di sini aku kenal banyak teman baru, ada Te, Dimas, Mbak Bella, Frisca, Ria, Rico, dan banyak deh, hihi.
Keesokan harinya, kami sudah harus Technical Meeting untuk seleksi tulis dan wawancara setelah dinyatakan lolos tahap administrasi. Ada sekitar 160 lebih lebih peserta (lagi-lagi aku tidak bisa mengingat angka) yang sangat optimis dan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (menurutku) pada saat dikumpulkan di Graha Cakrawala UM siang itu. Kami diberi pengarahan untuk seleksi tulis hari Minggu besoknya. Kami dipanggil satu persatu dan aku dapat nomor urut wawancara 17. Angka yang bagus, seperti tanggal kemerdekaan Indonesia, ya.
Aturan untuk tes tulis dan wawancara adalah, semua peserta harus mengerti dan paham mengenai seputar Universitas Negeri Malang. Kami bisa belajar dari Katalog UM terbaru, web UM, dan semua media yang memuat informasi tentang UM. Selain itu, kami juga harus memiliki wawasan luas mengenai isu terkini. Dari segi penampilan, kami harus berpakaian rapi, office style, atasan putih, bawahan hitam, dan memakai sepatu high heels minimal 9 cm. Nah, buat aturan terakhir ini nih, aku meminjam sepatu salah satu teman paduan suaraku, si Dian, karena aku tidak pernah memakai high heels lebih dari 5 cm, hihi. Untung aku punya teman-teman PSM :-D. Terima kasih, Dian. Pinjamanmu membawaku ke final ;-D


Ini kerudung pinjam ibu, kalung pinjam Dini, atasan pinjam kakak, bawahan pinjam Hanum, sepatu pinjam Dian. Fixed! Diriku pun dipinjami oleh Allah, hahahaha

3
Kami sudah harus berada di gedung pukul setengah 8 pagi. Dari PSM, ada 6 perwakilan yang melaju (apa deh) mengikuti ajang ini. Ada aku, Mas Candra, Mas Lucky, Jimmy, Dimas, dan Berlian. Lima dari kami berkumpul dulu di sekretariat untuk saling membenahi penampilan, latihan jalan, sampai public speaking, hehehe. 


Mas Candra, Mas Lucky, Dimas, dan aku di depan sekretariat PSM.
Setelah itu kami berangkat bersama ke Graha Cakrawala dengan wajah sedikit tegang sambil terus memegang katalog UM atau catatan-catatan kecil lainnya. Setelah menunggu, tidak lama kemudian kami berbaris dan diarahkan menuju tempat pengukuran tinggi badan dan berat badan. Uwahhh, ternyata tinggiku 167,5 cm dan beratku 52 kg. Padahal waktu pendaftaran, aku ngukur sendiri di rumah tinggiku 168 cm dan berat 53 kg, hihi menyusut.

Suasana saat antre untuk diukur tinggi badan dan berat badan.

Setelah itu, kami masuk ke ruang tes tulis. Kebetulan, di sebelah kananku waktu itu si Anita, teman sekelas waktu di Pendidikan IPA dulu. Ya, aku pernah pindah jurusan (baca ceritaku di sini). Sebelah kiriku ada teman baru, namanya Fajar, dia dari Psikologi. Fajar nih anaknya woles banget, dia ngobrol banyak sama aku sebelum tes dan ternyata dia sahabat karib Mas Lucky waktu sekolah dulu. Sedangkan si Anita, terus saja belajar, bahkan dia tanya, “Dina ngga belajar?”. Aku jawab, “Hehe...udah kemarin-kemarin, Nit, sama semalem. Kalo di tempat gini aku malah nervous mau belajar”. Sebenarnya jawabanku sedikit menghibur diri, karena aku tau, tidak mungkin bisa menghapal apa pun di tengah jantung yang sudah mau copot kayak gitu.
Tes dimulai, kami tidak boleh menyontek atau berdiskusi (automatically-laaaah). Alhamdulillah, dari 50 soal yang disediakan, hanya ada 5 yang jawabannya benar-benar tidak aku bisa dan akhirnya otak nalarku yang sedikit nanar ini mulai mencari peruntungan dengan memilih di antara huruf-huruf itu yang sekiranya paling aman, heheuu. Tapi aku bersyukur, tes tulis ini tidak sehoror bayanganku, karena memang semuanya seputar UM.
Setelah itu, kami menunggu untuk tes selanjutnya, yaitu wawancara. Kami menunggu antrean sambil mendengarkan kakak-kakak duta tahun lalu (ada winner dan runner up, waktu itu Mas Pepeng, Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda) yang shared soal pengalaman mereka selama setahun ini. Aku semakin optimis mendengarkan cerita mereka. Aku ingat saat itu Mbak Ocha mengucapkan ini, “Udahlah, teman-teman pede aja. Kuncinya pede. Mau yang lain tampil seperti apa, kita harus tetap yakin bahwa setiap orang punya keunikan masing-masing”.
Giliranku tiba untuk dipanggil. Ada 4 meja juri yang harus didatangi di sesi wawancara ini. Meja pertama, jurinya adalah Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda. Aku memperkenalkan diriku, lalu hobiku. Aku jawab aku suka menulis dan menyanyi (dua hobi ini yang selalu aku andalkan, hehe). Lalu aku jawab dengan yakin waktu ditanya akan menampilkan talent apa bila masuk semifinal, aku jawab menyanyi seriosa. Lalu tiba-tiba Mbak Ocha menyuruhku menyanyi sedikit saja saat itu juga. Jujur aku belum kepikiran mau nyanyi lagu apa. Akhirnya spontan aku menyanyikan reff lagu Indonesia Jaya (yang notabene adalah lagu pop), yang aku gayakan menjadi seriosa. Baru satu baris, ketiganya mengatakan cukup, dan aku harus melaju ke meja kedua.
Di meja kedua, ada juri dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, yang bernama Bu Febrita Paulina Heynoek. Beliau sangat smiley face. Aku lalu senyum kepada beliau. Aku sapa beliau.
 “Selamat pagi...” sapaku.
Beliau menyapaku menggunakan bahasa Inggris. “Good morning. Please, introduce yourself.  If you are confident to introduce yourself using English, use it. If you are confident to intodruce yourself using Indonesian, it’s OK”.
Aku jawab dengan spontan dengan sedikit berpikir antara yakin atau tidak menggunakan bahasa Inggris, akhirnya aku mengeluarkan kalimat bodoh, “Sorry, just for introducing, maam?”.
Beliau menjawab, “Introduction, maybe. Yes, just introduction”.
Mampus. Aku salah ngomong introduction dengan introducing. Aih, malunya. Akhirnya aku mengeluarkan jurus ke-pede-anku berbekal belajar di sekret tadi pagi bersama si Jimmy,
Good morning, my name is Dina Nisrina. You can call me Dina. I’m from Indonesian Language Department 2013, Faculty of Letter. Thank you,”.
“Just that?” kata Bu Febrita sedikit heran.
“Yes, that’s all” jawabku sambil berpikir keras, apa yang salah yaaaa.
Your hobby?”
“Oh! (Seperti teringat akan sesuatu). I like singing and writing (jawaban andalan sedunia)”
Wow, writing! What kind of text do you like to write?”
“I like to write in a blog, poetry, short story...”
“Wow, short story! Okay...enough, you can go to the next table”
“Thank you, ma’am” jawabku lega.
Di meja kedua, sudah ada Kepala Program Studi Kepariwisataan dari Universitas Brawijaya, Bapak Ahmad Faidlal Rahman. Aku senyum dan menyapanya. Lalu beliau mempersilahkan duduk. Beliau tidak menyuruhku memperkenalkan diri. Beliau hanya bertanya, “Dina, ya...nomer 17. Kenapa saya harus memilih Anda sebagai Duta Kampus UM 2014?”. Agak kaget ditanya seperti itu. Kuncinya satu, aku jadi teringat perkataan Mas Fikri, kalau ada pertanyaan juri yang ‘terkesan’ meremehkan kamu, pede aja, jawab dengan jawaban yang menonjolkan kelebihanmu. Anggap saja juri seperti teman yang asyik. Akhirnya aku menjawab, “Baik, jika saya menjadi duta UM, saya akan meningkatkan promosi UM melalui blog yang saya punya. Saya akan rajin menulis berita baik tentang UM di media sosial, dan saya bisa memperkenalkan UM melalui bidang seni, misalnya sastra dan paduan suara, karena saya adalah mahasiswa fakultas sastra dan anggota paduan suara mahasiswa” . Jawabanku mungkin sangat simple, lalu Pak Faid bertanya apa motivasiku mengikuti Duta UM, aku jawab dengan yakin, “Saya ingin menjadi perwakilan dari Universitas Negeri Malang yang bisa memberikan informasi yang tepat mengenai UM sebagai The Learning University”.
Setelah dua pertanyaan tadi, Pak Faid mengangguk dan mempersilahkan aku menuju meja keempat. Di sana ada Pak Agus Sunandar, dosen Tata Busana UM yang juga founder dari Pemilihan Duta Kampus UM dan penggagas Malang Flower Carnival. Waktu aku senyum kepada beliau, beliau tidak membalas senyumku, tapi melihatku seakan pernah menemui orang sepertiku sebelumnya. Setelah aku duduk, beliau baru tersenyum dan bertanya siapa namaku, hehe. Setelah itu beliau menanyai prestasi dan organisasi yang pernah aku capai. Beliau tertarik dengan prestasiku di organisasi paduan suara dan proses wawancara berlangsung sangat singkat.

4
Ternyata, sesi wawancara tidak semenakutkan bayanganku. Aku keluar dengan wajah ceria dan kembali duduk dengan teman-teman. Aku duduk di sebelah dua orang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris. Entah mereka membicarakan apa, aku hanya tertarik dengan kehebatan mereka. Akhirnya aku beranikan diri memotong pembicaraan mereka berdua, “Excuse me, do all of students in English Department speak like you?”.
“Not all of us. Sometimes, they call us crazy if we speak like this” jawab seorang di sebelahku tadi.
Oh...yeah. My name is Dina, what’s your name?”
Call me Adi, “ jawabnya.
“And you?” tanyaku pada cowok di sebelah Adi.
Angga,”
“I’m sorry, later, maybe if we meet in faculty and I forget your name, I will shout you, ‘hei!’” kata Adi.
“No matter...” jawabku. “Me too kayaknya,” tambahku menggunakan bahasa sego campur.
Pembicaraan kami lalu berlanjut, aku sok-sokan pakai bahasa Inggris belepotan campur bahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa dengan mereka berdua. Dari mulai cara berbahasa Inggris yang mudah, hobi, organisasi, sampai aku bercerita tentang orang tua. Saking asyiknya ngobrol, Adi sampai tidak mendengar panggilan untuk nomor urut wawancaranya. Kalau tidak salah, dia nomor 41 dan kami baru sadar kalau sudah nomor 43. Terpaksa dia harus menunggu semua selesai diwawancara, baru dia masuk ke ruangan. Aku merasa bersalah gara-gara aku keasyikan bercerita, dia jadi harus menunggu lebih lama. Aku lalu meminta maaf bertubi-tubi pada Adi. Dia berkata tidak apa berkali-kali pula, akhirnya keluar kata-kata pamungkasnya dalam bahasa Inggris yang berarti bagaimana dia bisa lupa namaku, jika aku yang menyebabkannya harus menunggu sesi wawancara lebih lama. Kyaaaaaaa.
Setelah itu aku berkenalan dengan teman-teman yang lain, waktu itu di sebelah kananku ada seorang teman dari jurusan teknik sipil yang aku lupa namanya. Dia sungguh unik dari segi berpenampilan. Kerudungnya dimodifikasi sedemikian rupa seperti hijaber masa kini. Waktu aku tanya talent dia apa, dia lalu menunjukkan buku gambar yang berisi hasil karyanya dan hasil capture-an tutorial hijabnya. Wah...bakatnya unik sekali.
Pada saat jam istirahat, aku makan siang dengan teman-teman dari Fakultas Sastra. Bu Hesty, bagian kemahasiswaan FS baik sekali mengantar konsumsi dan menunggui kami.

5
Selesai sudah semua peserta diwawancarai. Kemudian Mas Pepeng memberi pengarahan untuk tahap selanjutnya. Pengumuman para peserta yang lolos ke tahap semifinal akan ditulis di facebook Duta Kampus UM 2014 paling lambat hari Senin pagi. Kami lalu pulang dengan wajah kelelahan campur kecemasan bagaimana hasilnya besok pagi.
Pagi-pagi saat akan berangkat kuliah, aku mengecek Twitter Duta Kampus, dan.................what.................pengumumannya sudah keluar. Pengumumannya ternyata lebih cepat dari dugaanku, yaitu tadi malamnya. Aku dengan sangat deg-deg-an memberanikan diri membuka link itu, dan... Namaku ada di sana! Alhamdulillah pula, nama Mas Lucky dan Mas Candra ada di sana. Selain itu,  kalau tidak salah hitung, ada 11 perwakilan dari Fakultas Sastra yang masuk ke tahap semifinal pula.
Aku lalu mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa untuk proses karantina yang dimulai hari itu juga. Sebenarnya bukan karantina seperti di Akademi Fantasi, hanya kelas-kelas pengarahan yang dipersiapkan sampai final nanti.
Malamnya, kami diarahkan untuk Talent Show esok lusa, diajari catwalking pula hari itu. Ini adalah kali kedua aku belajar catwalking setelah terakhir SD dulu. Agak sedikit canggung apalagi minder saat melihat teman-teman lain yang memang basic-nya model. Tapi, dengan arahan Mas Ari Miswan (kami memanggil beliau Daddy), kami menjadi lebih percaya diri. Kami juga diajari bagaimana cara memperkenalkan diri di atas panggung.

Pada saat pengarahan catwalking

6
            Hari ini, hari Selasa. Kami mengumpulkan bahan yang harus dipersiapkan untuk talent show besok hari. Aku mantap memilih lagu Pur Ti Miro dari Claudio Monteverdi yang pernah aku bawakan di konser paduan suaraku. Tapi, berhubung aslinya ini lagu duet, besoknya aku akan dibantu Mas Lucky dari balik layar untuk menyanyikan part duetku.
Hari Selasa adalah hari karantina kedua. Kami diajari koreo yang dipersiapkan apabila nanti kami lolos ke babak final. Koreografer kami berasal dari Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik. Ada dua orang koreografer cantik yang mengajari kami menari modern sederhana dengan lagu Serasa dari Chrisye. Ya...tau sendiri aku bukan seseorang yang pandai menari. Jadi, menari selalu menjadi mimpi buruk buatku, karena memang aku tidak suka menari. Tapi, karena ini tuntutan, aku harus pasrah dan berbaur.
Pengarahan koreografi
Menari menggunakan heels setinggi 12 cm bukan hal yang mudah, pemirsa. Bolak-balik aku hampir terpeleset. Parahnya, kakiku sampai berdarah malam itu karena kukuku terkena ujung heels yang runcing. Untung saja aku membawa hansaplast. Selesai latihan koreo, Mas Fikri menghampiriku.
Itu sepatu kamu sendiri?” tanya dia.
“Bukan mas, punya temen,” jawabku.
“Keliatan. Kamu keliatan nggak nyaman. Besok jangan pake itu. Ada yang lain?”
“Ada sih mas, ya udah ntar aku pinjem sepupuku, deh...”
Oke...jadi, ketidaknyamananku rupanya sudah terdeteksi orang lain. Akhirnya, aku tidak bisa membohongi diriku (ceileh). Aku lalu pinjam sepatu sepupuku yang hanya 9 cm pas dan haknya agak tebal, sehingga aku lebih imbang dalam berdiri. Semoga, efek sepatu juga bikin nariku tambah bagus -__-

7
            Hari Rabu tiba! Aku lalu woro-woro ke teman sekelas untuk datang mendukungku nanti malam. Hari ini ada ujian tengah semester. Aku lalu berusaha mengerjakannya lebih cepat agar pulang lebih cepat dan memiliki persiapan yang lebih panjang untuk mulai berias sore hari.
            Nanti malam aku akan menggunakan gaun berwarna merah maroon (agar terlihat lebih dewasa) dengan tetap mengangkat aksen Jawa, atasan kebaya modern berpita dan bawahan mengangkat aksen Sumatera, rok mengembang yang terbuat dari kain songket. Padahal aku menyanyikan lagu Itali, hihi. Agak sedikit ngga nyambung, ya...biarin, disambung-sambungin.

Selfie dulu di salon, sambil nunggu dijemput, hihi

            Sebenarnya, dari tadi siang aku memikirkan lagu Pur Ti Miro ini harus dibawakan seperti apa biar penonton paham walaupun aku menggunakan bahasa Itali. Akhirnya, tiba-tiba terlintas pikiran untuk membawa cermin ke atas panggung. Aku akan menggambarkan seorang putri yang terkukung oleh aturan kerajaan. Putri tersebut lalu berbicara dengan cerminnya, dia menanyakan apakah dia cantik, dia sempurna walau tanpa menuruti keinginan kerajaan. Namun, setiap ia bercermin, ia selalu dihantui suara tuntutan kerajaan yang membuatnya merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Suara itu nanti akan diwakilkan oleh Mas Lucky yang menyanyi dari balik panggung. Pada akhirnya Sang Putri capek dan marah, lalu membanting cerminnya (realita di panggung, cerminnya tidak aku banting, karena tidak tega, padahal harganya cuman sepuluh ribu beli di dekat kampus barusan sebelum berangkat ke salon).
            Pada saat aku akan berangkat ke Graha Cakrawala, tiba-tiba ada SMS dari teman sekelas yang menyuruhku membuka inbox Facebook jika sempat. Saat aku buka, isinya...



            Waaaah, aku terharu! Makasi Mea dan Ina yang udah meluangkan waktu bikin begituan, aku berasa di-charge semangat full deh!
            Di Talent Show ini, aku dapat nomor urut tampil 5. Alhamdulillah tidak terlalu awal dan tidak terlalu akhir. Rasanya semua berlangsung cepat. Alhamdulillah, tidak ada kesalahan yang berarti di panggung, hanya aku sempat salah lirik dan tidak bisa vibrate karena nervous. Sebenarnya aku kurang nyaman menyanyi di middle voice, tapi aku harus menyesuaikan Mas Lucky, sehingga aku turunkan nada dasar lagunya. Pada saat tampil, kami hanya diberi waktu 3 menit untuk tampil semaksimal mungkin di panggung.


Penampilanku malam itu


Sungguh bakat yang ditampilkan ke-40 semifinalis malam itu sangat bagus dan beragam. Ada yang menari tradisional, tari kontemporer, modelling, MC berbahasa Mandarin, puisi bahasa Inggris, menyanyi dangdut, pop, keroncong, seriosa, teater, stand up comedy, paskibra, puisi, banyak deh pokoknya. Bangga banget lihat mahasiswa UM yang berbakat dan pede-nya luar biasa. UM benar-benar mewadahi mahasiswanya, tidak hanya dalam bidang akademis, namun juga nonakademis.
Ratih yang membawakan tari kontemporer, Angga membawakan pertunjukan drama, dan Octa bersama band membawakan lagu pembuka.

            Setelah semua peserta tampil, juri bersidang untuk menentukan siapa yang akan menjadi finalis dan otomatis tergabung di Paguyuban Duta Kampus UM. Para semifinalis maju bersama-sama ke atas panggung. Awalnya akan diambil 20 besar, 10 orang putra dan 10 orang putri. Namun, karena ada hal lain yang dipertimbangkan, akhirnya dipilih 11 orang putra dan 11 orang putri. Mas Lucky dan Mas Candra disebutkan masuk ke 22 besar ini, sekarang tinggal aku. Namaku tidak disebut-sebut sampai putri yang ke-9. Aku mulai pesimis dan pasrah saja, aku sudah berusaha menampilkan yang terbaik yang aku bisa. Namun, ternyata......................akhirnya aku dipanggil menjadi salah satu finalis yang berhak melaju ke babak selanjutnya! Subhanallah, ini rasanya jantung uda mau copot trus glundung ke kanan-kiri nunggu namaku dipanggil dengan tetap memajang senyum sok tabah, dadaku naik turun, hufffed. Alhamdulillah...


Bersama Ria dari Sastra Jerman.
Mas Candra, Mbak Bella, aku, dan Mas Lucky
8
Final! Final! Iya ini hari di mana semua akan ditentukan! Hari ini diawali dengan pembekalan beauty class dari LT Pro. Aku mengambil izin tidak mengikuti kuliah hari ini dengan memanfaatkan surat dispensasi dari panitia. Alhamdulillah dosenku mendukung dan memberi good luck sebelum aku meninggalkan kelas. Teman-temanku pun memberi semangat untuk nanti malam dan mereka  berjanji menonton seperti saat semifinal. Beruntungnya aku memiliki teman sekelas yang support seperti mereka.
Setelah pembekalan, kami melakukan gladi bersih di atas panggung. Setelah itu kami diberi waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan semuanya, karena sore hari semua sudah harus siap.
Acara final dimulai setelah maghrib. Kami makin nervous tidak karuan. Di belakang panggung, teman-teman finalis lainnya saling tebak-tebakan dan belajar. Banyak yang sambil berjalan ke sana-ke mari dengan mulut komat-kamit menghapal mantra sesuatu. Banyak yang mengusir kegugupan dengan bermain handphone. Sedangkan aku, lagi-lagi aku, tidak bisa seperti itu. Aku tidak menyentuh kertas belajarku sama sekali. Aku sudah menyentuhnya dari malam kemarin hingga pagi. Aku memilih bercanda-canda dengan teman-teman yang sama woles-nya dengan aku. Berfoto-foto dan saling kepo satu sama lain. Menyadari ke-woles-anku, aku akhirnya duduk dan minta untuk ditebak-tebaki oleh Mas Candra. Kami berdua saling tebak-tebakan dan membayangkan sedang ditebaki di atas panggung.

Bersama para grand finalist dan Daddy di belakang panggung.

Tidak terasa tiba waktunya. Kami lalu dipersiapkan di backstage. Acara dibuka oleh MC. Kami, ber-22 pun keluar panggung dengan koreografi yang sudah diajarkkan. Daaaaaaaaan, aku yang ditempatkan di formasi paling depan, malah yang gerakannya paling salah. Entah apa yang terjadi, waktu latihan, aku sangat hapal gerakannya. Tetapi malam itu aku blank setelah melihat penonton begitu banyaknya memenuhi tribune Graha Cakrawala. Kyaaaaa, aku sudah down saat itu. Aku pesimis dan merasa mempunyai firasat buruk, ahaha. Kegagalanku di koreo pembuka masih terngiang dan terbawa pada saat harus memperkenalkan diri satu per satu kepada penonton. Kami diperkenankan menggunakan bahasa apa saja saat memperkenalkan diri. Aku menggunakan bahasa Inggris. Daaaaaan, aku tidak konsen. Lagi-lagi blank karena gugup. Aku mengucapkan, “Good evening, ladies and gentlement. My name is Dina Nisrina, Indonesian Language Department 2013...” belum selesai aku memperkenalkan diri, tiba-tiba para supporter dari Fakultas Sastra meneriakkan yel-yel, “Salam ala Sastra! Uwiwiwiwiwi” dan aku melanjutkan perkenalan, “...Faculty of Sastra!”. Aku lalu sejenak mematung. Aku terngiang yel-yel itu. Dina, tidak. Sego campur keluar. Harusnya aku mengucapkan Faculty of Letter. Aaaaaaaaaaa, ini kesalahanku yang kedua dan ini baru awal! Okelah. Aku terima. Tapi aku harus tetap maju karena acara belum selesai.
Saat turun panggung, Mas Fiekri membaca merah mukaku dan memberi motivasi lagi, “Tenang, udah, lupain yang sudah-sudah. Habis ini kamu jadi dirimu sendiri kok, mau nyanyi, kan?”. Hehehe, Mas Fiekri kayak ibu peri gitu, ya :D
Diikuti sambutan-sambutan  dan hiburan pembuka., setelah ada penampilan dari duta 2013, calon duta 2014 juga menyiapkan penampilan. Aku dan Mas Lucky ditunjuk sebagai perwakilan dan kami menyanyikan lagu Indonesia Jaya hasil belajar tadi pagi kilat bin dadakan. Setelah itu, aku lega. Aku mencoba melupakan kebodohan yang sudah-sudah dan berdoa agar lolos ke babak 12 besar.
Babak 12 besar datang. Diumumkan 12 nama yang berhak maju ke sesi tanya-jawab. Alhamdulillah, aku disebutkan masuk ke 12 besar. Kami menjawab pertanyaan yang diambil satu per satu di akuarium kosong yang disediakan. Aku mendapat pertanyaan tentang Asean Free Trade Area. Aku jawab semantap dan sepadat mungkin. Alhamdulillah, semua berjalan normal.
Ini nih yang masuk 12 besar.
Setelah sesi tanya-jawab selesai, kami menunggu di backstage untuk pengumuman. Sesi ini diisi oleh penampilan Band Sumber Kencono, yang notabene juga teman-temanku di Unit Kegiatan Mahasiswa. Aku mendapat support dari mereka. Semangatku yang mulai luntur, bangkit kembali. Aku harus optimis, karena sudah pada tahap ini. Aku baca pesan-pesan bertaburan di hape, dari teman-teman, aku harus optimis dan tidak boleh mengecewakan mereka yang sudah datang memenuhi tribune dan sudah support sejauh ini.
Babak pengumuman tiba, ada wejangan-wejangan dari para dewan juri untuk peserta dan penonton. Pemenang yang akan diumumkan adalah yang sudah melalui tahap awal dari seleksi administrasi, tes tulis, wawancara, tes bakat minat, dan observasi sikap yang dilakukan oleh panitia selama kegaiatn pemilihan. Yang pertama diumumkan adalah pemenang Favorite Campus Ambassador yang disandang oleh Lengga Buana dari Fakultas Sastra dan Devi Purindra Parama Dewi dari Fakultas Teknik. Menyusul Runner Up II, Bima Pranata dari Fakultas MIPA dan Yunita Ratna Wibawani dari Fakultas Ilmu Pendidikan. Runner Up I disandang oleh Abi Fajar Fathoni dari Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Gerry Nabella Winda dari Fakultas Sastra.
Pengumuman juara adalah yang paling menegangkan. Aku hanya bisa pasrah saat semua sudah diumumkan kecuali juara 1-nya. Aku yang hanya berharap bisa memperoleh favorite campus ambassador, hanya bisa pasrah, wkwkwkwk. Aku tidak berharap banyak mengingat kesalahan-kesalahan yang aku lakukan tadi. Tapi, di sisi lain aku harus selalu tersenyum, karena di depanku banyak teman-teman dari PSM dan teman-teman dari FS yang meneriakkan namaku sambil mengacungkan jempol. Terlihat pula teman-teman lamaku dari Fakultas MIPA yang memanggil-manggil namaku. Aku juga melihat Dini dan kakak sepupuku, Mbak Wulan yang datang malam itu. Ah, aku harus selalu tersenyum demi mereka yang rela duduk mendukungku.
Juara 1 ini akan “dislempangi” langsung oleh rektor saat itu, Prof. Dr. Suparno. Rektor memberi sambutan-sambutan sejenak. Setelah itu, rektor menuju ke peserta yang tersisa. Juara 1 putra sudah dislempangi. Stephanandra Senna Pradana dari Fakultas Pendidikan Psikologi resmi dinyatakan sebagai Duta Kampus Putra UM 2014. Sekarang tinggal yang putri.
Rektor berkeliling ke peserta yang tersisa sambil membawa slempang. Backsound panggung menambah kegugupan suasana. Bagaikan berdiri di atas tebing dan di bawah sana ada jurang dan sungai berbuaya, jantung ini sudah di ambang batas kenormalan detak. Apa deh.
Tiba-tiba rektor berhenti di belakang salah satu peserta. Daaaaaan... *drum roll*, rektor dengan lembut memakaikan slempang itu padaku :’) aku tidak percaya :’). Alhamdulillah. Subhanallah. Aku hanya bisa tersenyum garing kepada Pak Parno dan menyambut salam beliau, karena aku tidak tahu harus bagaimana.
Pada saat diberi hadiah dan ucapan selamat oleh Pak Parno

9

Yah...begitulah cerita yang panjang lebar dari saya, aku, Dina, yang intinya tidak sepanjang ceritanya, hehe. Terima kasih untuk semua teman dan kerabat yang sudah mendukung dari awal sampai detik ini. Maaf jika belum bisa memberikan apa-apa sampai detik ini. 


Sama teman-teman PSM yang sepulang latihan menyempatkan datang ke Graca
Perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai sejak malam itu. Jujur, sejak malam itu, aku merasakan sedikit perubahan dari lingkungan. Apa-apa yang aku lakukan akan dinilai oleh orang, karena sekarang aku public figure di taraf kecil. Tidak bisa dipungkiri, sedikit-sedikit aku bertingkah aneh, pasti ada yang bilang, “Duta kampus kok tingkahnya kayak gitu,” atau misal heboh sedikit, “Ciye...duta kampus ciye...”. Atau misalnya sedang ngapain gitu, “Aduh, aku lagi sama duta kampus”, “Lho, duta kampus masih mau makan di sini?”. Itu hanya sebagian dari perubahan kecil. Tetapi percayalah, apalah arti sebuah sematan gelar, aku tetaplah Dina yang tidak bisa anggun, Dina yang ramai dan kekanak-kanakan, yang cerewet baik lisan maupun tulisan, yang tidak bisa diam dan selalu memenuhi celah kesempatan, dan Dina yang sangat dinamis yang pernah kalian kenal. Namun, terima kasih, karena aku duta kampus, aku semakin termotivasi untuk selalu berprestasi dan menjadi lebih baik. Hihihi J
Tetap pada motivasi, aku akan melaksanakan tujuan awal sebagai duta kampus. Aku mulai menjalankan program yang aku janjikan, program sederhana untuk melejitkan nama UM pelan-pelan melalui dua program yang namakan #WhatsUpUM dan Pengapelan (Pengaduan Pelayanan). Tidak muluk-muluk. Program #WhatsUpUM adalah program yang berlangsung di jejaring sosial, semua orang, tidak hanya warga UM bisa membuat postingan berita baik dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di UM di Instagram, Twitter, Facebook, atau jejaring sosial lainnya dengan menyertakan tagar #WhatsUpUm disertai tagar #universitasnegerimalang. Sekarang sudah banyak teman dan ratusan postingan yang ter-influence untuk melakukan kegiatan positif ini. Orang di luar sana akan melihat betapa hebatnya UM dan UM pelan-pelan bukan lagi universitas yang diremehkan, karena UM adalah universitas yang kredibel dan berdaya saing tinggi. UM memiliki mutu yang tinggi di bidang akademis maupun non akademis. Itulah pesan sederhana yang selalu aku impikan. Mulai detik ini, aku tidak lagi malu menyebut aku kuliah di UM! Jurusan Sastra Indonesia! Aku akan membuat orang mengatakan, “Wah...” tidak lagi “Oh...”.
Sedangkan Pengapelan adalah singkatan dari Pengaduan Pelayanan. Selama ini, mahasiswa cenderung mengeluhkan kekurangan pelayanan kampus di jejaring sosial. Tidak menyelesaikan masalah, orang-orang justru akan tahu keburukan kampus dan semakin memandang sebelah. Pengapelan mewadahi teman-teman di sekitar saya dan para duta untuk mengadukan suatu keluhan. Misal saja, waktu itu ada yang mengeluh soal mushola dan mukena yang tidak layak di Fakultas Sastra. Aku lalu mengadukan pada teman-teman divisi kerohanian HMJ untuk mencuci mukena setiap minggunya. Atau minimal, teman-teman HMJ dan BEM yang dinaungi langsung oleh fakultas, bisa membuat proposal untuk pengadaan mushola di tiap gedung yang layak. Walaupun belum ditanggapi lebih lanjut, setidaknya sekarang terbukti, beberapa mukena sudah wangi, hehehehehehehe.

Oke, janji, ini sudah ending. Hehe, postingan ini kalau ditulis di Microsoft Word sebanyak 13 halaman, btw. LOL. Dari semua cerita di atas, saya bisa menarik sebuah hikmah *dandan motivator dulu, ya*. Ehem, ehem. Pakai bahasa Inggris pas-pasan dulu, biar agak ngena. You don’t have to be someone else to be special. All you have to do is just be you. If you wanna be a princess, let me share you something I’ve learned. To be a princess is not about a crown or wonderful gown. To be a princess is about how great a princess' heart and how beautiful a princess' smile when she is on the top or the bottom of her life J

PS: Kalian bisa mengintip kegiatan-kegiatan Duta Kampus UM di sini.


Friday, November 07, 2014

Untitled


Dear, My Dearest Day and Night: Allah

Allah, Allah, Allah
Aku tidak tahu, mengapa aku sesedih ini
Sedih di kala semua kira aku orang paling bahagia
Paling beruntung

Iya, cover-nya dikemas demikian
Tapi, aku hancur, Allah...

Aku tidak lagi menemukan bahu untuk bersandar, sungguh
Aku tidak lagi menemukan lengan untuk memeluk
Aku kedinginan di sini tanpa sweater, tanpa syal

Aku tidak lagi bisa didengar
Aku robot tidak bermesin

Allah, semua terasa sedang tidak pada tempatnya
Aku ingin menangis, bercerita, dan didengar

Tidak hanya oleh-Mu, Allah.
Kirimkan aku perwujudan kasih sayang-Mu yang sempat aku anggap semu

Buktikan bahwa aku tidak salah memilih-Mu sebagai Tuhan
Kirimkan aku satu, satu saja lengan-Mu yang hangat itu
dan bahu-Mu yang nyaman itu

Aku ingin merasa aman...kirimkan aku satu, Allah...

Aku sendirian...

Tidak berkawan.

Wednesday, November 05, 2014

Heran

Aku sudah mencapai titik di mana aku bahkan tidak bisa lagi membaca hati sendiri. Kamu yang aku janjikan untuk tidak aku bahas-bahas lagi dalam setiap tulisanku, seakan disambar petir dan berubah menjadi spesies baru yang benar-benar membuat tanganku sangat gatal untuk tidak menuliskanmu dalam alur ceritaku.

Matamu adalah medan paling terjal yang pernah aku daki. Aku terpeleset lagi. Aku terjun bebas. Lagi.

Untuk seseorang yang ternyata terus terpatri dalam hati

Kisah Pohon dan Angin: Mengeluh

14.42 WIB
Dalam keadaan penat dan lapar luar biasa.

Siang ini, tiba-tiba aku merasakan udara di dalam paru-paruku penuh sesak dengan tumpukan kata-kata yang melewati telinga atau bahkan terbaca mata, yang tadinya ingin aku sapu dengan tongkat sihir yang aku punya. Tapi kok siang ini, tiba-tiba dia kembali merajamku dengan seribu kesakitan tiada terperi yang menuntunku untuk menggerakkan tangan di atas keyboard baruku ini. Ya. Bapak baik sekali, aku dibelikan mainan baru. Bapak tahu aku suka berbicara dengan huruf-huruf di atas keyboard seperti saat ini.

Awalnya satu kalimat tajam itu masuk ke telingaku. Aku sudah membuangnya. Kedua kali kalimat tajam itu masuk, telingaku sudah aku tutup rapat dengan dua tanganku. Ketiga kalinya, kalimat itu masuk ke tubuhku melalui tempat yang lain. Dia menghujam mataku dan aku terlanjur membacanya. Aku tutup mataku. Keempat kalinya, kalimat itu datang lagi dan entah...aku ingin menangis, tapi aku tidak menemukan bahu untuk bersandar.

Ya Allah yang mahapengasih, aku sudah berjanji untuk mengurangi sifat kekanak-kanakanku: mengeluh. Tapi, hari ini izinkan aku mengeluh lewat tulisan ini...karena aku tidak menemukan bahu untuk bersandar dan tidak bisa mensujudkan tubuhku menghadap barat. Aku benar-benar ingin menangis karena aku sudah cukup kesakitan melarang air mata ini keluar.

Ya Allah yang mahamendengar, aku sungguh kedinginan sendirian di sini. Aku tidak menemukan di mana aku yang sebenarnya akhir-akhir ini. Aku merasa tubuhku disusun oleh ekspektasi, persepsi, citra, ambisi, tanggung jawab, kepercayaan, dan tuntutan dari orang-orang di luar sana.

Seenaknya saja mereka menempelkan semua itu ke dalam tubuhku dan seenaknya saja mereka menghembuskan angin kencang dan semakin kencang seiring laju batangku ke atas. Bukannya angin dan pohon tidak boleh bertengkar, angin membantu pohon tumbuh dengan menebarkan sari-sarinya ke udara dan menempel ke putik yang lain. Apakah angin juga tidak merasakan bahwa pohon membuatnya terlihat dengan goyangan daunnya yang menari lembut, sehingga orang bisa menyadari bahwa angin ada?

Kenapa sampai ada istilah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup? Harusnya tidak ada, kan?

Hmmmm...

Inhale...

Exhale...

Di paragraf ini, tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Untuk apa aku menuliskan kalimat-kalimat di atas. Aku bukan perempuan lemah!

Mereka memberiku kepercayaan besar sampai detik ini, karena mereka yakin aku bisa dan aku tidak boleh mengeluh. Jika aku mengeluh, itu hanya karena aku tidak yakin bisa menghadapinya sendirian. 

Yang harus dilakukan sekarang, aku akan tetap menjadi pohon yang kuat. Tidak peduli seberapa besar angin yang menghantam. Aku adalah pohon yang tidak bisa dirobohkan oleh angin seperti mereka. Bismillah.

Oh iya, jika ada angin-angin nakal yang mengganggu lagi, mungkin aku bisa meminjam beberapa kata dari lirik lagunya Mocca. Excuse me, Sir (Maam), you don’t even know me.



Ditulis di Miami Chicken (tempat cari gratisan Wi-Fi paling murah dan letaknya paling dekat dengan kampus. Cocok untuk menyendiri, walaupun menunya biasa saja. Terima kasih, Miami. )

Saturday, August 30, 2014

Ada Adam

Ada seorang pria yang sama-sama malunya dengan seorang wanita pujaannya yang saling diam di atas motor merah merona, semerona pipi dua insan yang sama-sama diangkutnya. Ada.

Ada seorang pria lain yang datang setelah pria tadi dan tanpa permisi mengajari wanita itu peluk, cium, dan nafsu sampai dia hampir rusak. Ada.

Ada pria baru yang sangat mempesona, yang seolah menyelamatkan wanita itu dari pria barusan dengan cara merebutnya. Lalu ternyata ia sama saja. Ada.

Ada seorang pria yang kaku, beku, membisu, namun membuat wanita itu takluk. Si wanita nampaknya trauma dengan peluk, cium, dan nafsu. Namun kali ini dia sangat bodoh dibuat menunggu. Ada.

Ada seorang pria lucu, unik, dan serba bisa. Namun, imannya tak lebih baik dari wanitanya. Ada.

Ada seorang pria yang lebih sempurna dari pria satu, dua, tiga, empat, dan lima...namun sang wanita tidak cukup pede berjalan bersamanya. Ada.

Ada seorang pria yang baru dikenalnya kemarin sore, namun ia mampu mengalahkan pria satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Namun, ia tidak lebih cerdas dari wanitanya. Ada.






Ada jutaan kumbang menghisap bunga mawar di sudut taman itu. Ada. Namun, ada juga mawar yang mengatakan, "Tidak. Tidak sekarang!". Ada.


"Aku masih menunggu kumbang nomor delapan, sambil mengembangkan tubuhku. Agar nektarku tidak sia-sia ia hisap. Izinkan aku ada. Tanpa mengada-ada".







Dari seorang Hawa yang menunggu Adam untuk memeluknya sambil membaca ayat ke-23 Surat Al-A'raf. Adam yang membangunkan Hawa untuk sholat malam dan mengaji bersama. Adam yang datang dengan segelas air putih dalam genggamannya dan membisikkan kalimat penyembuh paling ampuh di dunia. Adam yang menyatukan spasi dalam malam suci bersama Hawa.

Tuesday, August 12, 2014

Sebuah Percakapan di Lantai Dua

15 Juli 2014

Hari ini tentunya spesial, karena aku akan bertemu dengan dua orang teman lamaku, Sundari dan Vindy (yang pernah aku ceritakan di sini). Formasi ini harusnya lengkap bila ditambah Mymo, tapi dia sudah pulang ke kampung halamannya di Blitar, jadi kami hanya akan bertemu bertiga.

Aku yang sedari pagi sudah di kampus karena ada urusan organisasi, memutuskan untuk tidak pulang dulu karena memang jarak dari pusat kota ke rumah cukup jauh dan cukup melelahkan bila ditempuh dalam keadaan dahaga luar biasa di tengah puasa. Aku memilih menunggu datangnya sore di masjid di dalam kampus sambil sesekali membaca beberapa ayat di Quran For Android-ku yang terlalu kecil dan malah membuat sakit mata. Setelah ashar, aku segera berangkat ke salah satu tempat makan favoritku, Warung Steak and Shake di Landungsari, bukan di pusat kota.

Aku bersemangat sekali datang setengah jam sebelum jam perjanjian. Aku pelanggan pertama yang datang ke sini, bahkan sebelum para pelayannya briefing. Kami memilih untuk makan di sini di saat sedang menjamurnya kafe baru di Malang yang sudah tidak terhitung jumlahnya, karena kami tahu kalau tempat ini pasti tidak terlalu ramai dan enak untuk ngobrol. Lagi pula, kami rasa makanan di sini rasanya lebih ngangenin daripada di kafe-kafe baru yang cuma bagus untuk berfoto.

Aku memilih duduk di pinggir balkon lantai atas, karena cahayanya bagus. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya Vindy dan Sundari datang bersamaan. Mereka tidak berubah, tetap apa adanya seperti dulu. Kami lalu berpelukan dan bersalaman melepas kangen masing-masing, tapi aku menolak dipeluk karena aku belum mandi sore, dan mereka menertawakan kebiasaan burukku, hehe.

Here we are: Sundari, Vindy, dan aku (yang belum sempat mandi)


Setelah berfoto, kami lalu memutuskan pindah ke tempat lesehan di pojok yang lebih terlihat hangat dan mejanya lebih besar. Kami memesan menu sebentar, lalu meletakkan hape masing-masing tanpa komando, ini hebatnya. Seperti yang sudah pernah aku bilang, bahwa quality time yang sejati tidak butuh orang-orang berhadapan yang saling memegang handphone. Sesekali kami hanya melirik jam untuk tahu apakah waktu berbuka sudah tiba,

Ritual dimulai. Diawali dengan Vindy yang bercerita tentang kisahnya. Aku menyusul. Sundari sengaja menolak untuk menceritakan kisahnya duluan, dia pilih belakangan. Topik yang kami bicarakan awalnya bukan soal cinta. Tapi, kami sudah cukup dewasa rupanya. Percakapan kami ujung-ujungnya berujung membicarakan cinta juga. 

Setelah aku dan Vindy selesai bercerita, Sundari hanya tertawa kecil. Lalu dia tidak banyak bersolusi seperti biasanya. Dia mengatakan hal yang membuat kami sedikit menekuk dahi. Dia hanya bilang, "Udah, udah selesai kan, ceritanya? Sekarang coba buka Twitter, buka @hitmansystem. Baca favoritnya."

Aku dan Vindy yang penasaran, langsung buru-buru membuka akun tersebut. Kami lalu membaca favoritnya, alhasil kami merasa sedang dipukuli oleh sejuta retorika yang sedikit mengejutkan soal cinta. 
"Gila...aku ngerasa kayak di-keplak banget", kataku setelah membaca apa yang tertulis di sana.

"Jadi gini, rek. Tau ngga kenapa daritadi aku diem aja nunggu kalian selesai cerita? Karena aku sudah mengalami fase itu. Aku sekarang wis jarang galau semenjak baca saran-saran dari akun itu. Kuncinya satu, kita mau berubah apa engga. Kita berani di-keplak apa engga," Sundari akhirnya bicara agak panjang.

Lalu kami melanjutkan membaca favorite tweets dari si Hitman System ini. Bener-bener akun ini secara gamblang membuatku melek sedikit soal permasalahan sepele yang sedang puncak-puncaknya menggandoli otakku akhir-akhir ini. 

"Sun, kata Hitman System, kalo sekarang ini udah ngga zaman ya namanya cewek itu nunggu. Nah trus, masa aku kudu agresif ngedeketin cowok duluan?" tanyaku polos.

"Kalo kamu ngerasa kamu pede dan layak mendapatkan cowok yang kamu suka itu, kenapa engga? Kalo kamu ga berani deketin duluan, berarti kamu ngga pede, kan?" jawab Sundari.

"Iya sih...tapi si cowok kalo aku chat, jawabannya cuek gitu. Suka singkat-singkat. Malu dong aku ngejar duluan..." aku tetap mencari pembelaan.

"Balikin ke diri kamu sendiri. Kalo ada cowok yang nge-chat kamu dan kamu balesnya singkat-singkat, artinya apa?" kata Sundari dengan sabar.

"Maksudnya?" aku masih ngga mudeng.

"Apa yang pengen kamu sampaikan ke si cowok itu dengan caramu bales yang singkat-singkat kayak gitu?" Sundari memperjelas.

"Ya...aku ngga suka sama cowok itu..." jawabku masih polos.

"Sekarang dibalik. Kalo kamu nge-chat cowok dan dia balesnya singkat-singkat?"

"Cowok itu ga suka aku," aku sedikit tercengang.

"Nah! Simple!" Sundari lega aku akhirnya mudeng.

Aku dan Vindy langsung terkesima dengan kata-kata simple Sundari yang seolah membangunkanku dari tidur panjangku. Kami lalu menertawakan kebodohan masing-masing. Iya, kami bodoh selama ini. Bodoh.

"Gini deh intinya. Cinta itu dibikin simple aja. Kalau kamu masih merasa ada yang salah sama cinta, kalo kamu masih ngerasa kesiksa dengan cinta, coba deh introspeksi. Yang salah cintanya, atau kamunya? Percuma sebenernya kamu curhat sana-sini, dapet solusi ini-itu, baca tweets Hitman System juga kalo kamu sendiri ga mau berubah," tambah Sundari.

"Iya Sun, aku baru sadar aku bodoh banget ya... Kayaknya emang ada yang salah sama aku, bukan sama cowok-cowok yang ngedeketin aku. Buktinya, sekarang kamu, Vindy, sama Mymo udah punya pacar semua. Aku masih jomblo aja. Aku kudu introspeksi ini," aku mulai melek.

"Gini deh, sekarang kamu ga dapet-dapet pacar kenapa? Yang deketin kamu ga ada?" tanya Sundari heran.

"Banyak sih..." jawabku.

"Kamu kebanyakan milih juga kali, Din..." akhirnya Vindy berbicara juga.

"Nah! Mungkin kamu jomblo juga selain kamu masih stuck sama satu orang yang jelas ga bisa sama kamu, ada alasan lain yang musti kamu tanyakan ke dirimu sendiri. Apakah standart kamu yang ketinggian?"

"Kayaknya bener kalian, aku kebanyakan pilih-pilih. Cari yang sempurna ya ga bakalan nemu, ya kan...bego..." jawabku makin tersudut.

"Tapi berhenti menyalahkan diri terus-terusan. Kalo kamu aja ga mencintai dirimu sendiri, gimana orang lain mau cinta sama kamu, ya kan?" kata Sundari.

"Iyesssss. Gini deh analoginya. Kalo kamu pengen dapet cowok wangi, jangan harap dapet deh, kalo kamu aja keramas palingan seminggu sekali, ahahahaha" aku sedikit mencairkan suasana.

"Iyaaaa, jadi, kalo mau dihargai cowok, hargai dulu dirimu. Tampillah cantik, buat dirimu, bukan buat dilihat orang sih sebenernya, " Sundari lagi yang ngomong ini .__.

"Benerrrrr! Dandanlah cantik karena kamu menghargai anugrah Allah yang udah dikasih ke kamu, kamu berdandan cantik karena tubuhmu memang layak mendapatkan penghargaan darimu berupa itu!" sepertinya percakapan kami mulai meluber ke mana-mana.

"Iyo sih ya...by the way, kita semua ngelanggar komitmen kita lho!" Vindy mengingatkan sesuatu.

"Apa, Vin?" tanyaku.

"Kita ingkar janji buat komitmen ga pacaran sampe sekolahnya bener dulu, ya kan? Di antara kita cuman Dina yang masih komitmen, aahahahaha..." jawab Vindy.

"Bahahaha, aku jaga komitmen apa emang ga laku-laku, ya? Tapi kayaknya aku jaga komitmen lho... Aku udah ditembak tiga cowok tapi aku tetep jomblo. Berarti aku laku sebenernya, ahahahhaha..." kataku pamer.

"Aduh aduh, uda gede semua, obrolannya cowok mulu. Udah, mulai sekarang udah ga boleh galau lagi. Sadar ngga sih, kalo ada orang galau berkepanjangan sebenernya kita ilang feeling liatnya?" potong Sundari.

"Banget! Berarti selama ini ternyata banyak yang ilfeel sama aku gara-gara aku kebanyakan galau di socmed, ya? Ahahaha..." jawabku semakin melek.

"Yap! Wis paham gitu, lho..." kata Sundari.

Gitu deh percakapan kami yang cukup panjang dalam waktu singkat sore itu. Kami sampai tidak bisa merasakan lezatnya rasa steak yang kami makan untuk berbuka, karena pembicaraan kami nampaknya lebih lezaaaaaat :-D. Sayang sekali pembicaraan kami tidak bisa lebih lama, karena kami sadar diri kalau rumah kami sama-sama jauh dari kota. Aku di Singosari, Vindy di Pujon, dan Sundari di Ngantang. Akhirnya Sundari pulang duluan karena memang rumahnya paling jauh. Vindy lalu mengajakku berkenalan dengan pacarnya setelah itu. Setelah berkenalan singkat, aku buru-buru ke masjid untuk solat tarawih. Aku janji sama bapak, Ramadhan ini ga boleh bolong sekali pun tarawihnya. Tapi akhirnya juga  bolong satu hari selain pas datang bulan, sih, hihihi. 

Sepulang solat tarawih, aku menyetir motorku sambil melamun di tengah kegelapan kota ke arah rumah. Entah malam itu, pikiranku ke mana-mana. Tiba-tiba tanpa permisi, air mataku menetes satu-satu tanpa petir, mengguyur wajah kumal belum mandiku. Sepertinya ini hadiah karena aku belum mandi. Sampai rumah, aku langsung tidur dalam keadaan penat maksimal. Besoknya, aku memutuskan memulai tantangan untuk diriku sendiri. Aku namakan program itu: Move On dalam 7 Hari. Alhamdulillah, aku berhasil move on tanpa ragu, tanpa galau, tanpa air mata, yang sudah aku ceritakan di postinganku yang lalu: Surat untuk Kamu.

Selamat pagi. Semoga menginspirasi, hai para wanita! :-)