1
Salam Duta
Kampus! Generasi cerdas, berkarakter, dan mandiri!
Yap,
teriakan-teriakan itu masih terasa mengiang-ngiang di telinga dan otakku. Aku
akan menceritakan pengalamanku ketika pemilihan duta kampus. Pemilihan Duta
Kampus Universitas Negeri Malang adalah salah satu ajang pemilihan duta dari
Universitas Negeri Malang yang diadakan setiap tahunnya di rangkaian acara
ulang tahun UM. Tahun 2014 lalu, aku memberanikan diri untuk mendaftar menjadi
peserta duta kampus.
Awalnya,
aku ga pernah kepikiran buat ikut ajang seperti ini. Dulunya, aku adalah cewek
yang super duper introvert dan khayalatun banget bakal ikutan acara
beginian. Fixed. Semenjak masuk kuliah,
cita-citaku cuman satu. Aku cuman pengen melakukan apa yang belom sempet aku
lakukan pas sekolah dulu. Salah satu dari dua belas juta (hiperbola, ya)
hal yang belum aku lakukan adalah ikutan
ajang pemilihan duta-duta gitu. Impiannya agak simple dikit, sih, hehe.
Itu tadi
baru alasan kecil. Nah, alasan terbesarku kenapa pengen banget ikut ajang
pemilihan duta kampus ini adalah ... coba cek percakapan berikut.
“Wah, anaknya sudah perawan besar-besar ya, Pak Amin.
Kuliah di mana?” tanya salah seorang teman bapak.
“Yang Dina kuliah di UM, yang Dini kuliah di UB,” jawab
bapak.
“UM, Universitas Muhammadiyah?” istri teman
bapak lalu menimpali.
“Bukan, tante. Universitas Negeri Malang, dulunya
IKIP,” jawabku gemas.
“Oh...IKIP...” jawab tante tadi dengan wajah
seakan kasihan kepadaku.
Pembicaraan
tidak berlanjut lama soal IKIP, soal UM. Tante dan oom tadi langsung berbicara
panjang lebar soal anaknya yang kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit
di Indonesia. Kadang kali memuji kampusnya si Dini juga. Sama sekali tidak
membahas UM. Si tante dan si oom tadi terus saja membangga-banggakan anaknya.
Semua dialog ini terus berulang ketika aku menemui oom-oom dan tante-tante
teman bapak yang lain yang menanyai aku kuliah di mana. Dan tidak satu pun yang
mengelu-elukan UM. Selain aku.
Inilah
alasan terbesar, sejak hari itu (entah itu hari apa), aku berjanji pada diriku
sendiri bahwa bukan kampus yang terkenal yang patut dibangga-banggakan dan
dielu-elukan para orang tua, tapi aku yang akan membuat kampusku terkenal dan
ibu-bapak bangga punya anak sepertiku. Maka, berminatlah aku ikut pemilihan
Duta Kampus UM.
Aku lalu
mencari info tentang duta kampus ini dengan bantuan Tante Google. Aku membaca info-info tahun-tahun lalu di web resmi
UM, di blog orang, sampai menemukan akun official
Duta Kampus di Twitter dan stalking ke beberapa duta yang disebutkan di akun
tersebut (kepo maksimal, ya). Bahkan, aku sampai searching tempat-tempat persewaan gaun melalui akun Instagram dan aku membayangkan aku ada
di panggung Graha Cakrawala UM menggunakan gaun warna biru dongker
berkelap-kelip dan dinobatkan menjadi duta kampus, lalu bapak-ibu datang, semua
teman dan keluarga datang, semua gembira dan bangga melihatku. Imajinasiku mulai
liar malam itu. Intinya, aku harus ikut ajang duta kampus tahun ini. Titik.
Pake koma kadang-kadang.
Selang
beberapa bulan setelah “tiba-tiba” muncul keinginan itu, tanpa hujan tanpa
angin, Pak Leo, salah satu dosen di Fakultas Sastra, mengirim chat via Whats App. Beliau menawari aku untuk mengikuti pemilihan duta
kampus dan mewakili fakultas. Spontan aku teriak. Teriakan isyarat “Yeeeayyyy!
Ini yang aku tunggu-tunggu!”. Tapi, aku lalu mendadak pesimis begitu ingat
prestasiku selama kuliah ini baru dua, itu pun tim semua dan di bidang paduan
suara. Pak Leo mengatakan tidak apa-apa, dicoba dulu. Beliau lalu mengirim
poster Pemilihan Duta Kampus. Desain posternya sangat mewah dan membuatku
optimis lagi, serta yakin harus ikut ajang ini.
Aku lalu
bersiap, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku beranikan diri untuk
mengunduh formulirnya. Mengisinya dengan hati-hati dan mulai mengumpulkan apa
saja yang aku butuhkan. Aku membuka ulang semua sertifikat prestasi dan
organisasi yang aku punya dari SMA sampai tahun kedua kuliah ini.
Alhamdulillah, ternyata semua prestasi yang aku raih dan organisasi yang pernah
aku ikuti berguna juga saat seperti ini. Aku juga menyiapkan Kartu Hasil Studi
di dua semester sebelumnya (semester 1 dan 2), aku tersenyum lagi. Alhamdulillah
aku bisa membuktikan pada bapak bahwa prestasiku bisa meningkat dengan kuliah
di fakultas yang baru ini. Entah kenapa, semuanya, alhamdulillah.
2
Aku
bersyukur berada di fakultas yang sangat memfasilitasi mahasiswanya untuk
berkembang. Satu hari sebelum Technical
Meeting Duta Kampus, fakultasku mengumpulkan semua mahasiwanya yang akan
mengikuti ajang Duta Kampus ini. Ada 30 lebih mahasiswa dari fakultas kami yang
mendaftar, aku tidak ingat benar angkanya. Kami diberi cerita pengalaman oleh
kakak-kakak senior dari fakultas yang menjadi finalis Duta Kampus tahun lalu, ada
Mbak Dewi, Mbak Dhea, Mas Fikri, dan Mbak Jeje.
Kami juga saling sharing agar
besoknya sudah mempunyai gambaran harus bagaimana. Kakak duta-duta tahun lalu
menanyai sejauh mana kesiapan kami mengikuti ajang ini. Waktu ditanya satu per
satu ingin menampilkan talent apa
kalau masuk semifinal, aku jawab ingin menyanyi lagu pop atau seriosa. Aku
sangat ragu untuk bilang akan menyanyi seriosa, karena ilmuku tentang genre
musik ini masih sangat pas-pasan. Tapi, Mbak Dewi, salah satu duta, mengatakan,
“Kalau seriosa sama pop, lebih unik mana? Seriosa kan, lebih baik cari talent yang paling unik dan beda dari
yang lain”. Kebetulan yang akan menyanyi seriosa saat itu hanya Mas Lucky dan
aku. Yang lain yang ingin menyanyi, kebanyakan menyanyi pop, keroncong, atau
dangdut. Baiklah, aku lalu setengah mantap tidak jadi menyanyi lagu pop. Oh
iya, tidak semua fakultas melakukan sharing
seperti ini, btw.
Fakultas
kami juga men-support kami dari segi
materi, walaupun tidak sepenuhnya. Awalnya, keraguan beberapa di antara kami
untuk mengikuti ajang ini adalah kendala biaya untuk sewa kostum, dll. Tapi
dengan mendengar pengarahan dari dosen fakultas bahwa kami tidak perlu
merisaukan hal itu, kami langsung melaju tanpa ragu, hihi. Oh iya, di sini aku
kenal banyak teman baru, ada Te, Dimas, Mbak Bella, Frisca, Ria, Rico, dan
banyak deh, hihi.
Keesokan
harinya, kami sudah harus Technical
Meeting untuk seleksi tulis dan wawancara setelah dinyatakan lolos tahap
administrasi. Ada sekitar 160 lebih lebih peserta (lagi-lagi aku tidak bisa
mengingat angka) yang sangat optimis dan mempunyai tingkat kepercayaan diri
yang tinggi (menurutku) pada saat dikumpulkan di Graha Cakrawala UM siang itu.
Kami diberi pengarahan untuk seleksi tulis hari Minggu besoknya. Kami dipanggil
satu persatu dan aku dapat nomor urut wawancara 17. Angka yang bagus, seperti
tanggal kemerdekaan Indonesia, ya.
Aturan
untuk tes tulis dan wawancara adalah, semua peserta harus mengerti dan paham mengenai
seputar Universitas Negeri Malang. Kami bisa belajar dari Katalog UM terbaru,
web UM, dan semua media yang memuat informasi tentang UM. Selain itu, kami juga
harus memiliki wawasan luas mengenai isu terkini. Dari segi penampilan, kami
harus berpakaian rapi, office style, atasan
putih, bawahan hitam, dan memakai sepatu high
heels minimal 9 cm. Nah, buat aturan terakhir ini nih, aku meminjam sepatu
salah satu teman paduan suaraku, si Dian, karena
aku tidak pernah memakai high heels lebih
dari 5 cm, hihi. Untung aku punya teman-teman PSM
:-D. Terima kasih, Dian. Pinjamanmu membawaku ke final ;-D
Ini kerudung pinjam ibu, kalung pinjam Dini, atasan pinjam kakak, bawahan pinjam Hanum, sepatu pinjam Dian. Fixed! Diriku pun dipinjami oleh Allah, hahahaha |
3
Kami sudah
harus berada di gedung pukul setengah 8 pagi. Dari PSM, ada 6 perwakilan yang
melaju (apa deh) mengikuti ajang ini. Ada aku, Mas Candra, Mas Lucky, Jimmy, Dimas, dan Berlian. Lima dari kami berkumpul
dulu di sekretariat untuk saling membenahi penampilan, latihan jalan, sampai public speaking, hehehe.
Setelah itu
kami berangkat bersama ke Graha Cakrawala dengan wajah sedikit tegang sambil
terus memegang katalog UM atau catatan-catatan kecil lainnya. Setelah menunggu,
tidak lama kemudian kami berbaris dan diarahkan menuju tempat pengukuran tinggi
badan dan berat badan. Uwahhh, ternyata tinggiku 167,5 cm dan beratku 52 kg.
Padahal waktu pendaftaran, aku ngukur sendiri di rumah tinggiku 168 cm dan
berat 53 kg, hihi menyusut.
Mas Candra, Mas Lucky, Dimas, dan aku di depan sekretariat PSM. |
Suasana saat antre untuk diukur tinggi badan dan berat badan. |
Setelah itu, kami masuk ke ruang
tes tulis. Kebetulan, di sebelah kananku waktu itu si Anita,
teman sekelas waktu di Pendidikan IPA dulu. Ya, aku pernah pindah jurusan (baca ceritaku di sini). Sebelah kiriku ada teman baru,
namanya Fajar, dia dari Psikologi. Fajar nih anaknya woles banget, dia ngobrol banyak sama aku sebelum tes dan ternyata
dia sahabat karib Mas Lucky waktu sekolah dulu. Sedangkan si Anita, terus saja
belajar, bahkan dia tanya, “Dina ngga
belajar?”. Aku jawab, “Hehe...udah
kemarin-kemarin, Nit, sama semalem. Kalo di tempat gini aku malah nervous mau belajar”. Sebenarnya jawabanku
sedikit menghibur diri, karena aku tau, tidak mungkin bisa menghapal apa pun di
tengah jantung yang sudah mau copot kayak gitu.
Tes
dimulai, kami tidak boleh menyontek atau berdiskusi (automatically-laaaah). Alhamdulillah, dari 50 soal yang disediakan,
hanya ada 5 yang jawabannya benar-benar tidak aku bisa dan akhirnya otak
nalarku yang sedikit nanar ini mulai mencari peruntungan dengan memilih di
antara huruf-huruf itu yang sekiranya paling aman, heheuu. Tapi aku bersyukur, tes tulis ini tidak sehoror bayanganku,
karena memang semuanya seputar UM.
Setelah
itu, kami menunggu untuk tes selanjutnya, yaitu wawancara. Kami menunggu antrean
sambil mendengarkan kakak-kakak duta tahun lalu (ada winner dan runner up, waktu
itu Mas Pepeng, Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda)
yang shared soal pengalaman mereka
selama setahun ini. Aku semakin optimis mendengarkan cerita mereka. Aku ingat
saat itu Mbak Ocha mengucapkan ini, “Udahlah,
teman-teman pede aja. Kuncinya pede. Mau yang lain tampil seperti apa, kita
harus tetap yakin bahwa setiap orang punya keunikan masing-masing”.
Giliranku
tiba untuk dipanggil. Ada 4 meja juri yang harus didatangi di sesi wawancara
ini. Meja pertama, jurinya adalah Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda. Aku
memperkenalkan diriku, lalu hobiku. Aku jawab aku suka menulis dan menyanyi
(dua hobi ini yang selalu aku andalkan, hehe).
Lalu aku jawab dengan yakin waktu ditanya akan menampilkan talent apa bila masuk semifinal, aku jawab menyanyi seriosa. Lalu
tiba-tiba Mbak Ocha menyuruhku menyanyi sedikit saja saat itu juga. Jujur aku
belum kepikiran mau nyanyi lagu apa. Akhirnya spontan aku menyanyikan reff lagu
Indonesia Jaya (yang notabene adalah
lagu pop), yang aku gayakan menjadi seriosa. Baru satu baris, ketiganya
mengatakan cukup, dan aku harus melaju ke meja kedua.
Di meja
kedua, ada juri dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, yang bernama Bu Febrita Paulina Heynoek. Beliau sangat smiley
face. Aku lalu senyum kepada beliau. Aku sapa beliau.
“Selamat pagi...” sapaku.
Beliau
menyapaku menggunakan bahasa Inggris. “Good
morning. Please, introduce yourself. If
you are confident to introduce yourself using English, use it. If you are
confident to intodruce yourself using Indonesian, it’s OK”.
Aku jawab
dengan spontan dengan sedikit berpikir antara yakin atau tidak menggunakan bahasa
Inggris, akhirnya aku mengeluarkan kalimat bodoh, “Sorry, just for introducing, maam?”.
Beliau
menjawab, “Introduction, maybe. Yes, just
introduction”.
Mampus. Aku
salah ngomong introduction dengan introducing. Aih, malunya. Akhirnya aku
mengeluarkan jurus ke-pede-anku
berbekal belajar di sekret tadi pagi bersama si Jimmy,
“Good morning, my name is Dina Nisrina. You
can call me Dina. I’m from Indonesian Language Department 2013, Faculty of
Letter. Thank you,”.
“Just that?” kata Bu Febrita sedikit heran.
“Yes, that’s all” jawabku sambil berpikir
keras, apa yang salah yaaaa.
“Your hobby?”
“Oh! (Seperti teringat akan sesuatu). I like singing and writing (jawaban
andalan sedunia)”
“Wow, writing! What kind of text do you like
to write?”
“I like to write in a blog, poetry, short story...”
“Wow, short story! Okay...enough, you can go to the
next table”
“Thank you, ma’am” jawabku lega.
Di meja
kedua, sudah ada Kepala Program Studi Kepariwisataan dari Universitas
Brawijaya, Bapak Ahmad Faidlal Rahman. Aku senyum dan menyapanya. Lalu beliau
mempersilahkan duduk. Beliau tidak menyuruhku memperkenalkan diri. Beliau hanya
bertanya, “Dina, ya...nomer 17. Kenapa
saya harus memilih Anda sebagai Duta Kampus UM 2014?”. Agak kaget ditanya
seperti itu. Kuncinya satu, aku jadi teringat perkataan Mas Fikri, kalau ada
pertanyaan juri yang ‘terkesan’ meremehkan kamu, pede aja, jawab dengan jawaban yang menonjolkan kelebihanmu. Anggap
saja juri seperti teman yang asyik. Akhirnya aku menjawab, “Baik, jika saya menjadi duta UM, saya akan
meningkatkan promosi UM melalui blog yang
saya punya. Saya akan rajin menulis berita baik tentang UM di media sosial, dan
saya bisa memperkenalkan UM melalui bidang seni, misalnya sastra dan paduan
suara, karena saya adalah mahasiswa fakultas sastra dan anggota paduan suara
mahasiswa” . Jawabanku mungkin sangat simple,
lalu Pak Faid bertanya apa motivasiku mengikuti Duta UM, aku jawab dengan
yakin, “Saya ingin menjadi perwakilan
dari Universitas Negeri Malang yang bisa memberikan informasi yang tepat
mengenai UM sebagai The Learning University”.
Setelah dua
pertanyaan tadi, Pak Faid mengangguk dan mempersilahkan aku menuju meja
keempat. Di sana ada Pak Agus Sunandar, dosen Tata Busana UM yang juga founder dari Pemilihan Duta Kampus UM
dan penggagas Malang Flower Carnival. Waktu aku senyum kepada beliau, beliau
tidak membalas senyumku, tapi melihatku seakan pernah menemui orang sepertiku
sebelumnya. Setelah aku duduk, beliau baru tersenyum dan bertanya siapa namaku,
hehe. Setelah itu beliau menanyai prestasi dan organisasi yang pernah aku
capai. Beliau tertarik dengan prestasiku di organisasi paduan suara dan proses
wawancara berlangsung sangat singkat.
4
Ternyata,
sesi wawancara tidak semenakutkan bayanganku. Aku keluar dengan wajah ceria dan
kembali duduk dengan teman-teman. Aku duduk di sebelah dua orang yang
bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris. Entah mereka membicarakan apa, aku
hanya tertarik dengan kehebatan mereka. Akhirnya aku beranikan diri memotong
pembicaraan mereka berdua, “Excuse me, do
all of students in English Department speak like you?”.
“Not all of us. Sometimes, they call us crazy if we
speak like this” jawab seorang di sebelahku tadi.
“Oh...yeah. My name is Dina, what’s your
name?”
“Call me Adi,
“ jawabnya.
“And you?” tanyaku pada cowok di sebelah Adi.
“Angga,”
“I’m sorry, later, maybe if we meet in faculty and I
forget your name, I will shout you, ‘hei!’” kata Adi.
“No matter...” jawabku. “Me too kayaknya,” tambahku menggunakan bahasa sego campur.
Pembicaraan
kami lalu berlanjut, aku sok-sokan pakai bahasa Inggris belepotan campur bahasa
Indonesia bahkan bahasa Jawa dengan mereka berdua. Dari mulai cara berbahasa
Inggris yang mudah, hobi, organisasi, sampai aku bercerita tentang orang tua.
Saking asyiknya ngobrol, Adi sampai tidak mendengar panggilan untuk nomor urut
wawancaranya. Kalau tidak salah, dia nomor 41 dan kami baru sadar kalau sudah
nomor 43. Terpaksa dia harus menunggu semua selesai diwawancara, baru dia masuk
ke ruangan. Aku merasa bersalah gara-gara aku keasyikan bercerita, dia jadi
harus menunggu lebih lama. Aku lalu meminta maaf bertubi-tubi pada Adi. Dia
berkata tidak apa berkali-kali pula, akhirnya keluar kata-kata pamungkasnya
dalam bahasa Inggris yang berarti bagaimana
dia bisa lupa namaku, jika aku yang menyebabkannya harus menunggu sesi
wawancara lebih lama. Kyaaaaaaa.
Setelah itu
aku berkenalan dengan teman-teman yang lain, waktu itu di sebelah kananku ada
seorang teman dari jurusan teknik sipil yang aku lupa namanya. Dia sungguh unik
dari segi berpenampilan. Kerudungnya dimodifikasi sedemikian rupa seperti hijaber masa kini. Waktu aku tanya talent dia apa, dia lalu menunjukkan
buku gambar yang berisi hasil karyanya dan hasil capture-an tutorial hijabnya. Wah...bakatnya unik sekali.
Pada saat
jam istirahat, aku makan siang dengan teman-teman dari Fakultas Sastra. Bu
Hesty, bagian kemahasiswaan FS baik sekali mengantar konsumsi dan menunggui
kami.
5
Selesai
sudah semua peserta diwawancarai. Kemudian Mas Pepeng memberi pengarahan untuk tahap
selanjutnya. Pengumuman para peserta yang lolos ke tahap semifinal akan ditulis
di facebook Duta Kampus UM 2014
paling lambat hari Senin pagi. Kami lalu pulang dengan wajah kelelahan campur
kecemasan bagaimana hasilnya besok pagi.
Pagi-pagi
saat akan berangkat kuliah, aku mengecek Twitter
Duta Kampus, dan.................what.................pengumumannya
sudah keluar. Pengumumannya ternyata lebih cepat dari dugaanku, yaitu tadi
malamnya. Aku dengan sangat deg-deg-an
memberanikan diri membuka link itu,
dan... Namaku ada di sana! Alhamdulillah pula, nama Mas Lucky dan Mas Candra
ada di sana. Selain itu, kalau tidak
salah hitung, ada 11 perwakilan dari Fakultas Sastra yang masuk ke tahap
semifinal pula.
Aku lalu
mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa untuk proses karantina yang
dimulai hari itu juga. Sebenarnya bukan karantina seperti di Akademi Fantasi, hanya kelas-kelas
pengarahan yang dipersiapkan sampai final nanti.
Malamnya,
kami diarahkan untuk Talent Show esok
lusa, diajari catwalking pula hari
itu. Ini adalah kali kedua aku belajar catwalking
setelah terakhir SD dulu. Agak sedikit canggung apalagi minder saat melihat
teman-teman lain yang memang basic-nya
model. Tapi, dengan arahan Mas Ari Miswan (kami
memanggil beliau Daddy), kami menjadi lebih percaya diri. Kami juga diajari
bagaimana cara memperkenalkan diri di atas panggung.
Pada saat pengarahan catwalking |
6
Hari
ini, hari Selasa. Kami mengumpulkan bahan yang harus dipersiapkan untuk talent show besok hari. Aku mantap memilih
lagu Pur Ti Miro dari Claudio Monteverdi yang pernah aku bawakan di
konser paduan suaraku. Tapi, berhubung aslinya ini lagu duet, besoknya aku akan
dibantu Mas Lucky dari balik layar untuk menyanyikan part duetku.
Hari Selasa
adalah hari karantina kedua. Kami diajari koreo yang dipersiapkan apabila nanti
kami lolos ke babak final. Koreografer kami berasal dari Prodi Pendidikan Seni
Tari dan Musik. Ada dua orang koreografer cantik yang mengajari kami menari
modern sederhana dengan lagu Serasa dari Chrisye. Ya...tau sendiri aku bukan
seseorang yang pandai menari. Jadi, menari selalu menjadi mimpi buruk buatku,
karena memang aku tidak suka menari. Tapi, karena ini tuntutan, aku harus
pasrah dan berbaur.
Pengarahan koreografi |
Menari
menggunakan heels setinggi 12 cm
bukan hal yang mudah, pemirsa. Bolak-balik aku hampir terpeleset. Parahnya,
kakiku sampai berdarah malam itu karena kukuku terkena ujung heels yang runcing. Untung saja aku
membawa hansaplast. Selesai latihan
koreo, Mas Fikri menghampiriku.
“Itu sepatu kamu sendiri?” tanya dia.
“Bukan mas, punya temen,” jawabku.
“Keliatan. Kamu keliatan nggak nyaman. Besok jangan
pake itu. Ada yang lain?”
“Ada sih mas, ya udah ntar aku pinjem sepupuku,
deh...”
Oke...jadi,
ketidaknyamananku rupanya sudah terdeteksi orang lain. Akhirnya, aku tidak bisa
membohongi diriku (ceileh). Aku lalu pinjam sepatu sepupuku yang hanya 9 cm pas
dan haknya agak tebal, sehingga aku lebih imbang dalam berdiri. Semoga, efek
sepatu juga bikin nariku tambah bagus -__-
7
Hari
Rabu tiba! Aku lalu woro-woro ke teman sekelas untuk datang mendukungku nanti malam.
Hari ini ada ujian tengah semester. Aku lalu berusaha mengerjakannya lebih
cepat agar pulang lebih cepat dan memiliki persiapan yang lebih panjang untuk
mulai berias sore hari.
Nanti
malam aku akan menggunakan gaun berwarna merah maroon (agar terlihat lebih dewasa) dengan tetap mengangkat aksen
Jawa, atasan kebaya modern berpita dan bawahan mengangkat aksen Sumatera, rok
mengembang yang terbuat dari kain songket. Padahal aku menyanyikan lagu Itali,
hihi. Agak sedikit ngga nyambung, ya...biarin, disambung-sambungin.
Selfie dulu di salon, sambil nunggu dijemput, hihi |
Sebenarnya,
dari tadi siang aku memikirkan lagu Pur
Ti Miro ini harus dibawakan seperti apa biar penonton paham walaupun aku
menggunakan bahasa Itali. Akhirnya, tiba-tiba terlintas pikiran untuk membawa
cermin ke atas panggung. Aku akan menggambarkan seorang putri yang terkukung
oleh aturan kerajaan. Putri tersebut lalu berbicara dengan cerminnya, dia
menanyakan apakah dia cantik, dia sempurna walau tanpa menuruti keinginan
kerajaan. Namun, setiap ia bercermin, ia selalu dihantui suara tuntutan
kerajaan yang membuatnya merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Suara itu
nanti akan diwakilkan oleh Mas Lucky yang menyanyi dari balik panggung. Pada
akhirnya Sang Putri capek dan marah, lalu membanting cerminnya (realita di
panggung, cerminnya tidak aku banting, karena tidak tega, padahal harganya
cuman sepuluh ribu beli di dekat kampus barusan sebelum berangkat ke salon).
Pada
saat aku akan berangkat ke Graha Cakrawala, tiba-tiba ada SMS dari teman
sekelas yang menyuruhku membuka inbox Facebook
jika sempat. Saat aku buka, isinya...
Waaaah,
aku terharu! Makasi Mea dan Ina yang udah meluangkan waktu bikin begituan, aku
berasa di-charge semangat full deh!
Di
Talent Show ini, aku dapat nomor urut
tampil 5. Alhamdulillah tidak terlalu awal dan tidak terlalu akhir. Rasanya
semua berlangsung cepat. Alhamdulillah, tidak ada kesalahan yang berarti di
panggung, hanya aku sempat salah lirik dan tidak bisa vibrate karena nervous. Sebenarnya
aku kurang nyaman menyanyi di middle
voice, tapi aku harus menyesuaikan Mas Lucky, sehingga aku turunkan nada
dasar lagunya. Pada saat tampil, kami hanya diberi waktu 3 menit untuk tampil
semaksimal mungkin di panggung.
Sungguh bakat yang ditampilkan ke-40 semifinalis malam itu sangat bagus dan beragam. Ada yang menari tradisional, tari kontemporer, modelling, MC berbahasa Mandarin, puisi bahasa Inggris, menyanyi dangdut, pop, keroncong, seriosa, teater, stand up comedy, paskibra, puisi, banyak deh pokoknya. Bangga banget lihat mahasiswa UM yang berbakat dan pede-nya luar biasa. UM benar-benar mewadahi mahasiswanya, tidak hanya dalam bidang akademis, namun juga nonakademis.
Penampilanku malam itu |
Sungguh bakat yang ditampilkan ke-40 semifinalis malam itu sangat bagus dan beragam. Ada yang menari tradisional, tari kontemporer, modelling, MC berbahasa Mandarin, puisi bahasa Inggris, menyanyi dangdut, pop, keroncong, seriosa, teater, stand up comedy, paskibra, puisi, banyak deh pokoknya. Bangga banget lihat mahasiswa UM yang berbakat dan pede-nya luar biasa. UM benar-benar mewadahi mahasiswanya, tidak hanya dalam bidang akademis, namun juga nonakademis.
Ratih yang membawakan tari kontemporer, Angga membawakan pertunjukan drama, dan Octa bersama band membawakan lagu pembuka. |
Setelah
semua peserta tampil, juri bersidang untuk menentukan siapa yang akan menjadi
finalis dan otomatis tergabung di Paguyuban Duta Kampus UM. Para semifinalis
maju bersama-sama ke atas panggung. Awalnya akan diambil 20 besar, 10 orang
putra dan 10 orang putri. Namun, karena ada hal lain yang dipertimbangkan,
akhirnya dipilih 11 orang putra dan 11 orang putri. Mas Lucky dan Mas Candra
disebutkan masuk ke 22 besar ini, sekarang tinggal aku. Namaku tidak
disebut-sebut sampai putri yang ke-9. Aku mulai pesimis dan pasrah saja, aku
sudah berusaha menampilkan yang terbaik yang aku bisa. Namun, ternyata......................akhirnya
aku dipanggil menjadi salah satu finalis yang berhak melaju ke babak selanjutnya!
Subhanallah, ini rasanya jantung uda mau copot trus glundung ke kanan-kiri nunggu namaku dipanggil dengan tetap
memajang senyum sok tabah, dadaku naik turun, hufffed. Alhamdulillah...
8
Final! Final!
Iya ini hari di mana semua akan ditentukan! Hari ini diawali dengan pembekalan beauty class dari LT Pro. Aku
mengambil izin tidak mengikuti kuliah hari ini dengan memanfaatkan surat
dispensasi dari panitia. Alhamdulillah dosenku mendukung dan memberi good luck sebelum aku meninggalkan
kelas. Teman-temanku pun memberi semangat untuk nanti malam dan mereka berjanji menonton seperti saat semifinal.
Beruntungnya aku memiliki teman sekelas yang support seperti mereka.
Setelah pembekalan, kami melakukan gladi bersih di atas
panggung. Setelah itu kami diberi waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan
semuanya, karena sore hari semua sudah harus siap.
Acara final dimulai setelah maghrib. Kami makin nervous tidak karuan. Di belakang
panggung, teman-teman finalis lainnya saling tebak-tebakan dan belajar. Banyak
yang sambil berjalan ke sana-ke mari dengan mulut komat-kamit menghapal mantra
sesuatu. Banyak yang mengusir kegugupan dengan bermain handphone. Sedangkan aku, lagi-lagi aku, tidak bisa seperti itu.
Aku tidak menyentuh kertas belajarku sama sekali. Aku sudah menyentuhnya dari
malam kemarin hingga pagi. Aku memilih bercanda-canda dengan teman-teman yang
sama woles-nya dengan aku.
Berfoto-foto dan saling kepo satu
sama lain. Menyadari ke-woles-anku,
aku akhirnya duduk dan minta untuk ditebak-tebaki oleh Mas Candra. Kami berdua
saling tebak-tebakan dan membayangkan sedang ditebaki di atas panggung.
Bersama para grand finalist dan Daddy di belakang panggung. |
Saat turun panggung, Mas Fiekri membaca merah mukaku dan
memberi motivasi lagi, “Tenang, udah, lupain yang sudah-sudah. Habis ini kamu
jadi dirimu sendiri kok, mau nyanyi, kan?”. Hehehe, Mas Fiekri kayak ibu peri
gitu, ya :D
Diikuti sambutan-sambutan
dan hiburan pembuka., setelah ada penampilan dari duta 2013, calon duta
2014 juga menyiapkan penampilan. Aku dan Mas Lucky ditunjuk sebagai perwakilan
dan kami menyanyikan lagu Indonesia Jaya hasil belajar tadi pagi kilat bin
dadakan. Setelah itu, aku lega. Aku mencoba melupakan kebodohan yang
sudah-sudah dan berdoa agar lolos ke babak 12 besar.
Babak 12 besar datang. Diumumkan 12 nama yang berhak maju
ke sesi tanya-jawab. Alhamdulillah, aku disebutkan masuk ke 12 besar. Kami
menjawab pertanyaan yang diambil satu per satu di akuarium kosong yang
disediakan. Aku mendapat pertanyaan tentang Asean
Free Trade Area. Aku jawab semantap dan sepadat mungkin. Alhamdulillah,
semua berjalan normal.
Ini nih yang masuk 12 besar. |
Setelah sesi tanya-jawab selesai, kami menunggu di backstage untuk pengumuman. Sesi ini
diisi oleh penampilan Band Sumber Kencono, yang notabene juga teman-temanku di
Unit Kegiatan Mahasiswa. Aku mendapat support
dari mereka. Semangatku yang mulai luntur, bangkit kembali. Aku harus
optimis, karena sudah pada tahap ini. Aku baca pesan-pesan bertaburan di hape, dari teman-teman, aku harus
optimis dan tidak boleh mengecewakan mereka yang sudah datang memenuhi tribune dan sudah support sejauh ini.
Babak pengumuman tiba, ada wejangan-wejangan dari para
dewan juri untuk peserta dan penonton. Pemenang yang akan diumumkan adalah yang sudah melalui tahap awal dari seleksi administrasi, tes tulis, wawancara, tes bakat minat, dan observasi sikap yang dilakukan oleh panitia selama kegaiatn pemilihan. Yang pertama diumumkan adalah pemenang Favorite Campus Ambassador yang
disandang oleh Lengga Buana dari Fakultas Sastra dan Devi Purindra Parama Dewi
dari Fakultas Teknik. Menyusul Runner Up
II, Bima Pranata dari Fakultas MIPA dan Yunita Ratna Wibawani dari Fakultas
Ilmu Pendidikan. Runner Up I disandang
oleh Abi Fajar Fathoni dari Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Gerry Nabella Winda dari
Fakultas Sastra.
Pengumuman juara adalah yang paling menegangkan. Aku
hanya bisa pasrah saat semua sudah diumumkan kecuali juara 1-nya. Aku yang
hanya berharap bisa memperoleh favorite
campus ambassador, hanya bisa pasrah, wkwkwkwk. Aku tidak berharap banyak
mengingat kesalahan-kesalahan yang aku lakukan tadi. Tapi, di sisi lain aku
harus selalu tersenyum, karena di depanku banyak teman-teman dari PSM dan
teman-teman dari FS yang meneriakkan namaku sambil mengacungkan jempol.
Terlihat pula teman-teman lamaku dari Fakultas MIPA yang memanggil-manggil
namaku. Aku juga melihat Dini dan kakak sepupuku, Mbak Wulan yang datang malam
itu. Ah, aku harus selalu tersenyum demi mereka yang rela duduk mendukungku.
Juara 1 ini akan “dislempangi” langsung oleh rektor saat
itu, Prof. Dr. Suparno. Rektor memberi sambutan-sambutan sejenak. Setelah itu,
rektor menuju ke peserta yang tersisa. Juara 1 putra sudah dislempangi.
Stephanandra Senna Pradana dari Fakultas Pendidikan Psikologi resmi dinyatakan
sebagai Duta Kampus Putra UM 2014. Sekarang tinggal yang putri.
Rektor berkeliling ke peserta yang tersisa sambil membawa
slempang. Backsound panggung menambah
kegugupan suasana. Bagaikan berdiri di atas tebing dan di bawah sana ada jurang
dan sungai berbuaya, jantung ini sudah di ambang batas kenormalan detak. Apa
deh.
Tiba-tiba rektor berhenti di belakang salah satu peserta.
Daaaaaan... *drum roll*, rektor
dengan lembut memakaikan slempang itu padaku :’) aku tidak percaya :’).
Alhamdulillah. Subhanallah. Aku hanya bisa tersenyum garing kepada Pak Parno
dan menyambut salam beliau, karena aku tidak tahu harus bagaimana.
Pada saat diberi hadiah dan ucapan selamat oleh Pak Parno |
9
Yah...begitulah cerita yang panjang lebar dari saya, aku,
Dina, yang intinya tidak sepanjang ceritanya, hehe. Terima kasih untuk semua
teman dan kerabat yang sudah mendukung dari awal sampai detik ini. Maaf jika belum
bisa memberikan apa-apa sampai detik ini.
Perjuangan yang sesungguhnya baru
dimulai sejak malam itu. Jujur, sejak malam itu, aku merasakan sedikit
perubahan dari lingkungan. Apa-apa yang aku lakukan akan dinilai oleh orang,
karena sekarang aku public figure di
taraf kecil. Tidak bisa dipungkiri, sedikit-sedikit aku bertingkah aneh, pasti ada
yang bilang, “Duta kampus kok tingkahnya kayak gitu,” atau misal heboh sedikit,
“Ciye...duta kampus ciye...”. Atau misalnya sedang ngapain gitu, “Aduh, aku lagi
sama duta kampus”, “Lho, duta kampus masih mau makan di sini?”. Itu hanya
sebagian dari perubahan kecil. Tetapi percayalah, apalah arti sebuah sematan
gelar, aku tetaplah Dina yang tidak bisa anggun, Dina yang ramai dan
kekanak-kanakan, yang cerewet baik lisan maupun tulisan, yang tidak bisa diam
dan selalu memenuhi celah kesempatan, dan Dina yang sangat dinamis yang pernah
kalian kenal. Namun, terima kasih, karena aku duta kampus, aku semakin
termotivasi untuk selalu berprestasi dan menjadi lebih baik. Hihihi J
Sama teman-teman PSM yang sepulang latihan menyempatkan datang ke Graca |
Tetap pada motivasi, aku akan melaksanakan tujuan awal
sebagai duta kampus. Aku mulai menjalankan program yang aku janjikan, program
sederhana untuk melejitkan nama UM pelan-pelan melalui dua program yang namakan
#WhatsUpUM dan Pengapelan (Pengaduan Pelayanan). Tidak muluk-muluk. Program
#WhatsUpUM adalah program yang berlangsung di jejaring sosial, semua orang,
tidak hanya warga UM bisa membuat postingan berita baik dan kegiatan-kegiatan
yang berlangsung di UM di Instagram, Twitter, Facebook, atau jejaring sosial
lainnya dengan menyertakan tagar #WhatsUpUm disertai tagar #universitasnegerimalang.
Sekarang sudah banyak teman dan ratusan postingan yang ter-influence untuk melakukan kegiatan positif ini. Orang di luar sana
akan melihat betapa hebatnya UM dan UM pelan-pelan bukan lagi universitas yang
diremehkan, karena UM adalah universitas yang kredibel dan berdaya saing
tinggi. UM memiliki mutu yang tinggi di bidang akademis maupun non akademis. Itulah
pesan sederhana yang selalu aku impikan. Mulai detik ini, aku tidak lagi malu
menyebut aku kuliah di UM! Jurusan Sastra Indonesia! Aku akan membuat orang
mengatakan, “Wah...” tidak lagi “Oh...”.
Sedangkan Pengapelan adalah singkatan dari Pengaduan
Pelayanan. Selama ini, mahasiswa cenderung mengeluhkan kekurangan pelayanan
kampus di jejaring sosial. Tidak menyelesaikan masalah, orang-orang justru akan
tahu keburukan kampus dan semakin memandang sebelah. Pengapelan mewadahi
teman-teman di sekitar saya dan para duta untuk mengadukan suatu keluhan. Misal
saja, waktu itu ada yang mengeluh soal mushola dan mukena yang tidak layak di
Fakultas Sastra. Aku lalu mengadukan pada teman-teman divisi kerohanian HMJ
untuk mencuci mukena setiap minggunya. Atau minimal, teman-teman HMJ dan BEM
yang dinaungi langsung oleh fakultas, bisa membuat proposal untuk pengadaan
mushola di tiap gedung yang layak. Walaupun belum ditanggapi lebih lanjut,
setidaknya sekarang terbukti, beberapa mukena sudah wangi, hehehehehehehe.
Oke, janji, ini sudah ending.
Hehe, postingan ini kalau ditulis di Microsoft
Word sebanyak 13 halaman, btw.
LOL. Dari semua cerita di atas, saya bisa menarik sebuah hikmah *dandan
motivator dulu, ya*. Ehem, ehem. Pakai bahasa Inggris pas-pasan dulu, biar agak
ngena. You don’t have to be someone else
to be special. All you have to do is just be you. If you wanna be a princess,
let me share you something I’ve learned. To be a princess is not about a crown or
wonderful gown. To be a princess is about how great a princess' heart and how beautiful
a princess' smile when she is on the top or the bottom of her life J
PS: Kalian bisa mengintip kegiatan-kegiatan Duta Kampus UM di sini.