Halo, para penikmat blog. Kali
ini saya akan membagikan sedikit pengalaman saya, yang sebenarnya masih
berkaitan dengan “Thailand Selatan”. Jangan bosan, ya. Hehe. Entah kenapa,
cerita saya selama lima bulan di sana tidak akan ada habisnya kalau diulas.
Baiklah, langsung saja ke topik kali ini, yaitu...”label halal”.
Sebelumnya, saya punya aturan di tulisan
saya kali ini. Berhubung blog ini bukan karya ilmiah dan ada ungkapan juga
kalau “my blog, my rules”, kali ini
saya akan menggunakan pengalaman dan pemikiran saya sebagai bukti. Saya juga
mohon tidak ‘perang ayat’ dalam menanggapi tulisan saya kali ini, karena tujuan
saya bukan mempengaruhi, mengajak, melarang, atau me- me- yang lain. Saya juga tidak didorong oleh pihak mana pun
untuk menulis ini. Saya juga tidak disponsori oleh produk mana pun, karena saya
bukan artis, hehe. Saya hanya ingin membagikan pikiran saya. Nikmati saja dan
tinggalkan bila tulisan ini dirasa kurang menarik, hehe. Baiklah,
cusssssssssss.
Selama saya di Thailand, saya
harus mengubah cara saya dalam mengonsumsi apa pun. Mengapa? Karena di sana
bukanlah negara yang mayoritas penduduknya muslim, jadi makanan, produk
kecantikan, dan barang-barang lainnya tidak semuanya mempunyai label halal. Kalau
di sini, kita masuk ke toko serba ada seperti Alfamart, Indomaret, Giant, dll. pasti langsung comot saja, tanpa lihat dulu ada label
halalnya atau tidak. Pun, saat masuk ke kafe, ke food court, ke warung sekali pun, kita langsung masuk saja tanpa
mempertimbangkan halal tidaknya makanan yang dijual. Kalau toh mempertimbangkan, mentok-mentok
cuma mempertimbangkan “Ada babinya ngga,
ya?”.
Tapi, kalau di sana, tiap masuk
ke
Seven Eleven (toko serba ada yang
ada di sana), saya harus membolak-balik tiap produk yang saya beli. Memastikan barang
tersebut bisa dikonsumsi oleh muslim atau tidak. Belum lagi, tiap mencari makan
di kedai, saya harus memastikan kedai tersebut memasang tulisan halal,
Assalamualaikum, Bismillah, dan sebagainya. Kalau tidak, biasanya yang memasak
memakai peci, kerudung, atau berbahasa Melayu. Baca tulisan kakak tingkat saya,
yang juga sempat tinggal di Thailand Selatan di program yang sama dengan saya,
tentang berburu halal di Thailand Selatan,
di sini.
Selama di sana, hampir dipastikan
saya selalu makan makanan halal, kosmetik yang saya kenakan pun sengaja cari
yang halal. Saya juga memakai pakaian yang syar’i, karena memang muslim di sana
sedikit berbeda dalam hal pakaian daripada Indonesia yang masih memaklumi
kebebasan berekspresi dalam hal berpakaian. Di sana saya sendirian berjuang dan
hampir setiap kesepian, saya tidak bisa curhat dengan siapa-siapa lagi selain
Allah, karena memang sulit sekali untuk sekadar mengeluh jarak jauh dengan
orang-orang terdekat saya. Saya di sana lebih jauh dari maksiat daripada di
sini. Di sana hubungan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terjaga,
bahkan sekadar salaman saja tidak lazim. Saya seperti mencuci diri selama lima
bulan di sana.
Entah mengapa, saat di sana, setiap
kali saya berdoa atau hanya sekadar berkeinginan dalam hati, doa dan keinginan
saya terkabul dalam waktu yang tidak lama. Bahkan, rata-rata doa itu terkabul
di hari yang sama. Contoh kecilnya, saya ingin makan kue bernama ‘Angkok’ untuk
berbuka puasa. Saya pernah mencoba pada saat awal datang di Thailand. Saya
hanya berpikir saja, tidak meminta pada Allah. Tiba-tiba menjelang berbuka,
guru pamong saya membawakan Angkok asal banda Nara yang terkenal dan rasanya
memang sangat enak.
Contoh lain, di awal gaji pertama
saya di sana, saya sempat tidak bisa mengatur keuangan karena saya masih
bingung setiap kali berbelanja, apakah itu termasuk mahal atau murah (karena
perbedaan kurs yang membuat saya belum terbiasa). Akibatnya, uang saya menipis
dan saya takut sekali, karena saya gengsi juga kalau mau minta dikirimi uang
untuk makan dari keluarga di Indonesia. Saya lalu menulis semua pengeluaran dan
pemasukan dan berharap ada uang sisa untuk berlebaran di konsulat (sekalian
membeli oleh-oleh). Namun, ternyata uang saya tidak sisa banyak. Tak lama
kemudian, datang dua orang yang memberi saya sedekah. Dia berkata, ini untuk
sedekah musafir seperti saya. Saya langsung terharu. Padahal saya tidak meminta
uang kepada Allah. Saya hanya minta diberi kecerdasan dalam mengatur keuangan.
Itu saja.
Contoh lain lagi, saya sempat
sangat penat dan ingin jalan-jalan. Saya hanya memendam di dalam hati dan
curhat kepada teman-teman satu universitas yang ada di grup Line. Tiba-tiba datang pesan singkat
dari salah satu guru yang mengajak saya untuk jalan-jalan ke luar provinsi.
Tiga contoh di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pengalaman tidak
terduga yang saya dapatkan di sana. Saya hanya bisa bilang “Mashaa Allah,
mashaa Allah”.
Saya lalu berpikir, mengapa ya di
sana setiap kali saya berdoa, bahkan hanya sekadar berkeinginan, semuanya
terkabul begitu saja tanpa syarat? Mengapa bila saya di Indonesia, rasanya
untuk dikabulkan satu keinginan kecil saja sangat susah? Bahkan, untuk sekadar
mencari buku di tumpukan rak perpustakaan saat mengerjakan skripsi saja saya
sampai pusing dan tidak ketemu-ketemu? Saya lalu berpikir lagi, jawabannya
mungkin sederhana. Di sini saya banyak bermaksiat, sedangkan di sana, saya
tidak.
Ya. Saya introspeksi diri
kemudian. Di sini, saya makan asal makan. Ada makanan yang sedang tren,
misalnya mie ala Korea yang tidak ada label halalnya saja langsung saya coba.
Bedak yang saya gunakan, eyeliner,
mascara, dan sebagainya adalah produk yang terkenal, namun tidak berlabel
halal. Di sini, pakaian saya tidak sesuai syariat. Saya memakai celana jeans,
baju ketat, dan kerudung yang tidak menutup dada. Di sini, saya pacaran. Di
sini...yah...saya jauh dari kata taat. Itulah sebabnya, doa saya sulit
terkabul. Allah tidak ridha dengan apa yang saya lakukan.
Untuk mengubah itu semua,
bukanlah hal yang mudah. Bila di sana, saya sendirian. Saya orang asing, mau
tidak mau saya harus mematuhi kaidah di mana bumi yang saya pijak. Sedangkan di
sini, menjadi muslim yang baik adalah tantangan yang luar biasa sulit. Itu yang
saya rasakan. Padahal, Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya
sangat banyak. Namun, karena banyak itulah, atas nama hak asasi, semua
dimaklumi.
Jujur, bila untuk mengubah cara
berpakaian, saya tidak bisa ekstrem langsung berubah memakai jubah panjang,
memakai kerudung besar...tidak bisa dipungkiri, saya hanyalah seonggok makhluk
yang masih banyak beralasan. Saya mengusahakan bila ada rok, saya memakai rok.
Saya mulai perlahan meninggalkan celana. Namun, terkadang bila saya sudah
bingung mencocokkan baju, saya langsung comot
saja celana dan atasan biasa. Kerudung pun, saya masih berusaha perlahan tidak
lagi pakai kerudung pendek. Namun, kadang saya juga masih ingin memakai
kerudung pendek. Ya...susah memang. Namun saya akan berusaha pelan-pelan. Saya
tidak ingin mengejek siapa pun dalam hal berpakaian. Karena, saya sendiri belum
sempurna dan masih labil. Tapi, tidak ada yang menjamin kan seseorang yang
tidak sempurna hari ini, bisa menyempurnakan dirinya kelak? Wallahualam.
Kembali ke topik label halal. Untuk
urusan yang lain, saya pelan-pelan berbenah. Namun, ada urusan yang bisa segera
saya benahi, yaitu...masalah label halal. Jadi begini. Jujur lagi, saya kurang
motivasi dalam mengerjakan skripsi saya. Saya mulai memasuki masa-masa malas di
mana saya tidak betah berlama-lama mengerjakan skripsi
karena.....................ya, saya malas. Hehe. Maka dari itu, saya mencari
cara agar saya semangat. Saya menyemangati diri sendiri dengan menjanjikan diri
sendiri bahwa, “Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat kamu
dilamar, haha. Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat wisuda,
katanya mau dandan sendiri waktu wisuda?”. Nah, akhirnya saya mulai belajar
dandan lagi setelah sekian lama saya tidak dandan.
Saya belajar dandan dari saat
saya ikut paduan suara sampai duta-dutaan. Dari situ, saya mulai mengenal
produk kosmetik beraneka ragam dan saya sudah mencoba berbagai merk kosmetik
dari mulai yang halal, diragukan, bahkan haram. Mulai dari sini, saya
menanggalkan kosmetik saya yang jelas tidak halal. Saya mencari dulu di internet
tentang info produk kosmetik apa saja yang halal di Indonesia,
di sini. Sejak saat itu, saya mulai
follow beberapa akun kosmetik yang halal
tersebut, di antaranya Wardah, Zoya, Sariayu, Mazaya, Caring Colours, dan Mineral Botanica. Yang
sudah saya coba hanya Wardah, Caring Colours, dan Sariayu saja. Untuk yang lainnya, saya masih
belum mencoba. Saya juga mulai aktif mencari
review tentang kosmetik-kosmetik tersebut di Youtube dan beberapa
blogger kecantikan di Indonesia. Saya mencoba dandan seminggu sekali. Kadang,
saya juga berpikir, kok hasilnya
nggak sebagus
produk impor yang mahal, ya...lalu kadang juga saya masih ingin memakai yang
mahal-mahal, impor, dan jelas tidak halal tapi hasilnya
bagus.........tapi.....saya tersadar. Ah, untuk apa. Halal nomor satu. Hasil
nomor dua. Mungkin, beberapa produk tidak bisa sebagus itu karena memang ada
kandungan bahan yang tidak disertakan, yang kemungkinan bahan tersebut yang
tidak halal tadi. Lagian, tidak bisa dipungkiri bahwa produk kosmetik lokal
belum sedahsyat produk-produk buatan negara yang memang sudah ahlinya di bidang
kosmetik.
Namun, dari situlah saya berpikir. Kalau orang Indonesia
terus-terusan memakai produk impor demi hasil yang bagus, lalu siapa yang akan
memakai produk lokal? Kalau tidak ada yang memakai produk lokal, dari mana
produk itu akan maju? Akan dapat masukan dari mana? Nah, dari situlah saya
mulai memutuskan: SAYA AKAN BERUSAHA MEMAKAI PRODUK KOSMETIK YANG HALAL DAN
PRODUK LOKAL. In shaa Allah.
Lalu, saya berpikir lagi. Emmmm, mungkin yang membuat
hasil dandan saya kurang bagus, tidak hanya dari intensitas dan produk
kosmetiknya, tapi juga dari segi alat tata riasnya. Saya mulai deh mencari info
kuas-kuas tata rias yang bagus seperti apa. Saya banyak mendapatkan info merk
yang bagus dari
beauty vlogger dan
beauty blogger. Lalu, saya sempat akan
membeli produk kuas tata rias buatan Amerika. Tapi sebentar. Tiba-tiba saya
iseng menulis kata kunci di Google:
brush
make up halal. Dan...............sampailah saya di blog salah satu
beauty vlogger ini.
Membaca tulisannya, saya seperti ditampar secara halus. Iya,
ya. Kalau produk kosmetiknya saja saya pilih-pilih yang halal, kenapa kuas tata
riasnya saya juga tidak mempertimbangkan dulu yang halal. Akhirnya, saya mulai
mencari lagi mana yaaa produk yang HALAL DAN LOKAL. Ada dua produk yang saya
temukan. Ingat, standar saya hanya HALAL DAN LOKAL, ya. Hehe. Saya menemukan
produk dari Mineral Botanica dan Zoya Cosmetics. Bahkan, harga keduanya pun
tidak jauh beda. Karena saya masih mahasiswa, saya beli yang paling murah dulu.
Nanti yang satunya, tunggu bulan-bulan depan, hehe.
Saya akhirnya membeli produk kuas tata rias dari Mineral
Botanica. Mineral Botanica memang produk kosmetik yang masih baru. Belum banyak
yang mengenal dan memakainya, tapi saya akan coba. Saya mendapatkannya dari
salah satu online shop di Malang. Kalau untuk produk kosmetiknya
sudah ada di beberapa toko, kalau kuasnya, saya belum mencoba mencari. Penampakannya
seperti ini, nih...
|
Ini produk kuas tata rias dari Mineral Botanica yang saya beli. Segera saya review, ya. |
|
Kalau yang ini contoh produknya Zoya. Saya pengen coba juga, hehe.
Sumber foto:
https://www.bukalapak.com/p/perawatan-kecantikan/makeup/aksesoris-makeup/1sbdoj-jual-zoya-cosmetics-brush-set |
Oh iya, saya kebiasaan deh. Kalau menulis, suka tidak
fokus dengan topik yang saya buat sendiri, haha. Jadi, intinya, ini bukan postingan yang akan me-review produk kecantikan. Saya hanya
ingin berbagi pengalaman dan berbagi informasi. Intinya, saya berniat untuk mulai
mencintai produk yang halal dan lokal. Pertama, saya mencari ridha Allah, yang
entah hanya Allah yang tahu, diterima atau tidaknya itu urusan saya dengan
Allah (saya kok ribet ya kalau menjelaskan, haha). Kedua, saya mencintai
Indonesia, saya rasa nasionalisme kita mulai meluntur. Saya bukan aktivis,
bukan artis, atau siapa saja yang memberi pengaruh di Indonesia. Saya hanya
seorang mahasiswa semester akhir yang berusaha untuk mencintai produk dalam
negeri dimulai dari mengajak diri sendiri dulu (lhoooo katanya postingan ini ngga mempengaruhi),
heheeee yaaaa pokoknya gitu! :D
Saya mulai kehilangan kecerdasan menulis, nih...sekian
dulu ya tulisan ngga seberapa penting saya ini. Semoga bermanfaat walaupun
sedikit. Untuk selanjutnya, saya ingin review produk-produk ini, biar menyemangati yang mau berhijrah (kalau saya tidak malas menulis, ya). Selamat malam dan selamat berpikir :p