Followers

Wednesday, December 28, 2016

Bila Dunia Hanyalah Atlas

Bila dunia hanyalah atlas, kakiku sudah cukup besar menutupinya
Bila dunia hanyalah atlas, gerakku makin lama makin terbatas

Namun dunia sangatlah luas
Ada ladang basah terhampar
Juga dunia hanya sekilas
Tak mampu nyawa menghindar, menjangkar

Bila dunia hanyalah atlas
Jakarta tidak mungkin tenggelam

Bila dunia hanyalah atlas
Indonesia tetap di bawah, di selatan

Bila dunia hanyalah atlas

Tak perlu ku belajar untuk keliling dunia.


Semangatlah, dunia bukan atlas.

2012

Bukan Salah Bunga

Sungguh aku tiada pernah meminta
Aku tidak memilih apa yang melekat
Tuhan memberiku kelopak dengan warna menariknya
Tuhan memberiku bentuk sedemikian rupa anggunnya
Sungguh, tanpa aku harus bergerak
Angin sudah menata gerak
Sungguh tanpa aku harus menebar
Kumbang datang dan hisap ku punya nektar

Batu, 2014

Sriwedari

Senja di batas Surakarta dan Jogja selalu menjadi teman untukku. Setiap senja datang, aku merasakan kekuatan baru telah lahir dalam diriku. Semacam vampire, setiap sandhya kala1datang, aku merasa utuh dan lahir baru. Ya, itulah aku dan aku menikmati anugerah Tuhan yang itu. Ku rayakan setiap kelahiranku dengan berjalan-jalan sendirian ke kota, berharap menemukan keasyikan dengan membaca buku di toko buku walaupun tidak dibeli. Mencoba baju-baju di mall hanya untuk difoto di dalam ruang ganti. Mencoba kue-kue tester di etalase toko sampai kenyang. Bahkan lewat di depan spg parfum, agar mendapatkan wangi terbaru dari produk parfum mahal yang tidak mampu kubeli.
            Aku mempunyai sebuah kelebihan yang tidak umum. Dan aku sangat menikmati kelebihan yang diberikan oleh empunya hidup ini kepadaku. Hingga kini tak ada satu pun yang tahu, pun ibuku. Bahkan aku sampai ingin berganti nama, namun tidak menemukan nama yang cocok untuk diriku. Hingga pada suatu senja di sebuah toko CD, aku berubah pikiran setelah bertemu dengan seseorang yang sekuat kutub utara. Dia mempunyai medan magnet yang sangat kuat. Dia mampu menarikku masuk ke dalam tubuhnya hanya melalui sebuah isyarat. Namanya Yosa. Aku tahu itu dari matanya. Aku tidak berkenalan langsung. Aku hanya perlu menatap sebentar, ion-ion dalam tubuhnya akan sampai padaku tanpa harus kujabat tangannya. Lalu kusunggingkan senyuman kepadanya. Dia tersenyum pula. Dia manis. Dan wangi.
            Ku nikmati setiap alur lagu The Carpenters melalui headphone yang disediakan. Yosa mengambil sebuah keping CD penyanyi luar negeri yang namanya tak mampu kuingat. Kami berdua sama-sama saling menikmati hasil sadapan musik ke dalam telinga kami hingga  terpejam sambil berdiri. Tiba-tiba, aku merasakan tarikan yang sangat kuat dari luar tubuhku. Nyawaku seperti magnet berkutub selatan yang dilewati magnet berkutub utara dan tak kuasa menolak untuk tidak berdekatan. Isi tubuhku melayang masuk ke dalam otak Yosa. Aku tidak bisa mengendalikan apa pun yang terjadi saat itu. Semua mengalir begitu saja. Sakit sekali rasanya nyawaku bisa tertarik tanpa kendaliku. Menerobos ruang dan waktu ke dalam tubuh seseorang yang bahkan tak sempat kusentuh kulitnya. Masuk ke pori-pori dahinya. Melewati lapisan-lapisan syarafnya dan sampailah ke dalam otaknya.
            Tiba-tiba saja, aku sudah berada di depan tenda piknik berwarna putih dalam pelukan yang sangat hangat di suatu pagi. Dalam dekapan tubuh Yosa. Aku bisa merasakan kulitnya yang hangat. Dia menyungging senyuman kepadaku lagi. Kami lalu bersenda-gurau sambil sesekali berfoto mesra menggunakan kamera Polaroid dan melihat hasilnya sambil tertawa.
            “Kamu Sriwedari, yang menari dalam otakku. Tolong jangan pergi, karena aku tidak mampu sendiri,” Yosa memeluk lagi, sambil berbisik di depan telingaku. Dan aku terpejam.
            Tiba-tiba lagi, aku sudah berada di pinggir kolam renang. Kami berdua tepatnya. Yosa menyungging senyum lagi. Senyum yang paling legit, senyum yang membuat ingin di-gadho2. Kami berdua meniup gelembung sabun di pinggir kolam itu sambil bercanda mesra. Yosa menceritakan masa kecilnya yang terlampau bahagia.
            “Dulu, teman sekelasku selalu mengajakku bermain gelembung sabun sepulang sekolah. Tapi ibu tidak mengizinkanku membeli gelembung botol seperti mereka. Ibu membuatkanku gelembung dari sabun sisa cucian kotor, lalu membuatkanku alat tiup gelembung dari kawat sisa jemuran,”
            “Bagaimana pun caranya, tapi kesenangan yang didapat tetap sama, kan?”
            “Begitulah,” Yosa memegang tanganku, “Seperti halnya denganmu, bagaimana pun caranya, aku tetap akan bersamamu, Sriwedari”.
            Yosa masih menyungging senyum manis legit itu. Bergantian aku yang menceritakan masa kecilku. Menceritakan bagaimana senja sangat berarti untukku, namun aku masihbelum bisa menceritakan kelebihan ini kepada siapa pun, termasuk Yosa. Aku hanya bercerita bagaimana setiap senja aku selalu melakukan window shopping dari window ke window. Dan aku sangat menikmatinya.
            Belum sempat aku menikmati kemesraan di pinggir kolam renang itu, tiba-tiba, selalu secara tiba-tiba, kami berdua sudah berada di sebuah ranjang. Berbalut selimut hangat, kami berdua tidur berhadapan. Yosa menghadap ke kiri dan aku menghadap ke kanan. Yosa menyungging senyum manis legitnya lagi. Yosa lalu mengusuk kepalaku. Aku hanya bisa pasrah menikmati hangat jemarinya di kepalaku.

            “Aku selalu ingin tidur di sampingmu. Begitulah indah, begitulah nyaman, Sriwedariku,” kedipan matanya terasa nyaman untuk dipandang.
            “Dan begitulah aman, tiap kali kau sungging senyum manis legitmu itu,” aku sudah tidak mampu berkata lagi, lalu terpejam, di sampingnya.
            Secara tiba-tiba lagi, ada tarikan kuat dari dalam tubuhku. Nyawaku seperti menembus lorong waktu. Aku berteriak hebat karena sakit tarikan ini membuatku merasa dihujani seribu pisau. Aku melihat lubang kecil dalam kegelapan. Lubang yang jauh di sana. Aku lewati alur setiap lekuk otak Yosa. Berlanjut ke syarafnya. Lalu masuklah aku ke lubang kecil terang yang tak lain adalah pori-pori kulitnya. Tiba-tiba aku sudah kembali ke tubuhku. Aku membuka mata. Aku mual. Aku lepas headphone yang terpasang sedari tadi. Aku mual sungguh mual. Bergegaslah aku ke kamar mandi.
            Yosa membuka mata setelah sebuah lagu yang ia dengarkan selesai melagu. Yosa menoleh ke tempatku tadi berdiri. Aku sudah tidak ada di sana. Ia menoleh kanan-kiri. Yosa lalu pergi ke luar toko, mungkin hendak mencari.
            Setelah dari kamar mandi, aku kembali ke tempat tadi. Tak kujumpai Yosa di sana. Namun aku tersungging, menirukan sungging manis legit lelaki tadi. Mungkin Yosa, yang akan menjadi jawaban dari semua tanyaku. Tanyaku apakah harus ada seseorang untuk dibagi cerita mengenai kelebihanku. Kelebihanku yang bisa masuk ke tubuh seseorang di setiap senja. Seseorang mana saja yang ingin kumasuki. Kecuali Yosa. Dia yang menarik nyawa ini sendiri. Atau mungkin nyawa ini telah merasa menemukan separuh diri dalam Yosa, dan ia memutuskan melompat sendiri di luar kendaliku.
            Yosa. Nama yang indah. Senyum yang manis legit. Peluk yang hangat. Yosa. Yang memberiku nama Sriwedari sedari tadi. Mungkin ia menganggapku adalah taman surganya. Yosa. Yang merayu tanpa bicara, melagu tanpa berkata. Begitulah senjaku hari itu. Besoknya lagi, aku akan ke sini di waktu yang sama. Semoga seseorang bernama Yosa itu masih ingin dimasuki lagi. Kesakitan setiap nyawa ini keluar dari tubuh, apabila harus masuk ke dalam tubuh Yosa lagi, itulah sakit yang sangat aku nikmati.

Sejak saat itu, namaku Sriwedari.
Aku tidak akan bingung mencari nama lagi.



(Terinspirasi dari lagu Maliq & D’essentials yang berjudul Setapak Sriwedari )


________________________________________________________________________
1. sandhya kala: Saat di mana bumi mengalami peralihan dari siang ke malam.
2. gadho: makan lauk saja tanpa nasi (ngemil) 

Thursday, December 01, 2016

#Hijrah 1: Tata Rias Halal

Halo, para penikmat blog. Kali ini saya akan membagikan sedikit pengalaman saya, yang sebenarnya masih berkaitan dengan “Thailand Selatan”. Jangan bosan, ya. Hehe. Entah kenapa, cerita saya selama lima bulan di sana tidak akan ada habisnya kalau diulas. Baiklah, langsung saja ke topik kali ini, yaitu...”label halal”.

Sebelumnya, saya punya aturan di tulisan saya kali ini. Berhubung blog ini bukan karya ilmiah dan ada ungkapan juga kalau “my blog, my rules”, kali ini saya akan menggunakan pengalaman dan pemikiran saya sebagai bukti. Saya juga mohon tidak ‘perang ayat’ dalam menanggapi tulisan saya kali ini, karena tujuan saya bukan mempengaruhi, mengajak, melarang, atau me- me- yang lain. Saya juga tidak didorong oleh pihak mana pun untuk menulis ini. Saya juga tidak disponsori oleh produk mana pun, karena saya bukan artis, hehe. Saya hanya ingin membagikan pikiran saya. Nikmati saja dan tinggalkan bila tulisan ini dirasa kurang menarik, hehe. Baiklah, cusssssssssss.

Selama saya di Thailand, saya harus mengubah cara saya dalam mengonsumsi apa pun. Mengapa? Karena di sana bukanlah negara yang mayoritas penduduknya muslim, jadi makanan, produk kecantikan, dan barang-barang lainnya tidak semuanya mempunyai label halal. Kalau di sini, kita masuk ke toko serba ada seperti Alfamart, Indomaret, Giant, dll. pasti langsung comot saja, tanpa lihat dulu ada label halalnya atau tidak. Pun, saat masuk ke kafe, ke food court, ke warung sekali pun, kita langsung masuk saja tanpa mempertimbangkan halal tidaknya makanan yang dijual. Kalau toh mempertimbangkan, mentok-mentok cuma mempertimbangkan “Ada babinya ngga, ya?”.

Tapi, kalau di sana, tiap masuk ke Seven Eleven (toko serba ada yang ada di sana), saya harus membolak-balik tiap produk yang saya beli. Memastikan barang tersebut bisa dikonsumsi oleh muslim atau tidak. Belum lagi, tiap mencari makan di kedai, saya harus memastikan kedai tersebut memasang tulisan halal, Assalamualaikum, Bismillah, dan sebagainya. Kalau tidak, biasanya yang memasak memakai peci, kerudung, atau berbahasa Melayu. Baca tulisan kakak tingkat saya, yang juga sempat tinggal di Thailand Selatan di program yang sama dengan saya, tentang berburu halal di Thailand Selatan, di sini.

Selama di sana, hampir dipastikan saya selalu makan makanan halal, kosmetik yang saya kenakan pun sengaja cari yang halal. Saya juga memakai pakaian yang syar’i, karena memang muslim di sana sedikit berbeda dalam hal pakaian daripada Indonesia yang masih memaklumi kebebasan berekspresi dalam hal berpakaian. Di sana saya sendirian berjuang dan hampir setiap kesepian, saya tidak bisa curhat dengan siapa-siapa lagi selain Allah, karena memang sulit sekali untuk sekadar mengeluh jarak jauh dengan orang-orang terdekat saya. Saya di sana lebih jauh dari maksiat daripada di sini. Di sana hubungan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terjaga, bahkan sekadar salaman saja tidak lazim. Saya seperti mencuci diri selama lima bulan di sana.

Entah mengapa, saat di sana, setiap kali saya berdoa atau hanya sekadar berkeinginan dalam hati, doa dan keinginan saya terkabul dalam waktu yang tidak lama. Bahkan, rata-rata doa itu terkabul di hari yang sama. Contoh kecilnya, saya ingin makan kue bernama ‘Angkok’ untuk berbuka puasa. Saya pernah mencoba pada saat awal datang di Thailand. Saya hanya berpikir saja, tidak meminta pada Allah. Tiba-tiba menjelang berbuka, guru pamong saya membawakan Angkok asal banda Nara yang terkenal dan rasanya memang sangat enak.

Contoh lain, di awal gaji pertama saya di sana, saya sempat tidak bisa mengatur keuangan karena saya masih bingung setiap kali berbelanja, apakah itu termasuk mahal atau murah (karena perbedaan kurs yang membuat saya belum terbiasa). Akibatnya, uang saya menipis dan saya takut sekali, karena saya gengsi juga kalau mau minta dikirimi uang untuk makan dari keluarga di Indonesia. Saya lalu menulis semua pengeluaran dan pemasukan dan berharap ada uang sisa untuk berlebaran di konsulat (sekalian membeli oleh-oleh). Namun, ternyata uang saya tidak sisa banyak. Tak lama kemudian, datang dua orang yang memberi saya sedekah. Dia berkata, ini untuk sedekah musafir seperti saya. Saya langsung terharu. Padahal saya tidak meminta uang kepada Allah. Saya hanya minta diberi kecerdasan dalam mengatur keuangan. Itu saja.

Contoh lain lagi, saya sempat sangat penat dan ingin jalan-jalan. Saya hanya memendam di dalam hati dan curhat kepada teman-teman satu universitas yang ada di grup Line. Tiba-tiba datang pesan singkat dari salah satu guru yang mengajak saya untuk jalan-jalan ke luar provinsi. Tiga contoh di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pengalaman tidak terduga yang saya dapatkan di sana. Saya hanya bisa bilang “Mashaa Allah, mashaa Allah”.

Saya lalu berpikir, mengapa ya di sana setiap kali saya berdoa, bahkan hanya sekadar berkeinginan, semuanya terkabul begitu saja tanpa syarat? Mengapa bila saya di Indonesia, rasanya untuk dikabulkan satu keinginan kecil saja sangat susah? Bahkan, untuk sekadar mencari buku di tumpukan rak perpustakaan saat mengerjakan skripsi saja saya sampai pusing dan tidak ketemu-ketemu? Saya lalu berpikir lagi, jawabannya mungkin sederhana. Di sini saya banyak bermaksiat, sedangkan di sana, saya tidak.

Ya. Saya introspeksi diri kemudian. Di sini, saya makan asal makan. Ada makanan yang sedang tren, misalnya mie ala Korea yang tidak ada label halalnya saja langsung saya coba. Bedak yang saya gunakan, eyeliner, mascara, dan sebagainya adalah produk yang terkenal, namun tidak berlabel halal. Di sini, pakaian saya tidak sesuai syariat. Saya memakai celana jeans, baju ketat, dan kerudung yang tidak menutup dada. Di sini, saya pacaran. Di sini...yah...saya jauh dari kata taat. Itulah sebabnya, doa saya sulit terkabul. Allah tidak ridha dengan apa yang saya lakukan.

Untuk mengubah itu semua, bukanlah hal yang mudah. Bila di sana, saya sendirian. Saya orang asing, mau tidak mau saya harus mematuhi kaidah di mana bumi yang saya pijak. Sedangkan di sini, menjadi muslim yang baik adalah tantangan yang luar biasa sulit. Itu yang saya rasakan. Padahal, Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya sangat banyak. Namun, karena banyak itulah, atas nama hak asasi, semua dimaklumi.

Jujur, bila untuk mengubah cara berpakaian, saya tidak bisa ekstrem langsung berubah memakai jubah panjang, memakai kerudung besar...tidak bisa dipungkiri, saya hanyalah seonggok makhluk yang masih banyak beralasan. Saya mengusahakan bila ada rok, saya memakai rok. Saya mulai perlahan meninggalkan celana. Namun, terkadang bila saya sudah bingung mencocokkan baju, saya langsung comot saja celana dan atasan biasa. Kerudung pun, saya masih berusaha perlahan tidak lagi pakai kerudung pendek. Namun, kadang saya juga masih ingin memakai kerudung pendek. Ya...susah memang. Namun saya akan berusaha pelan-pelan. Saya tidak ingin mengejek siapa pun dalam hal berpakaian. Karena, saya sendiri belum sempurna dan masih labil. Tapi, tidak ada yang menjamin kan seseorang yang tidak sempurna hari ini, bisa menyempurnakan dirinya kelak? Wallahualam.

Kembali ke topik label halal. Untuk urusan yang lain, saya pelan-pelan berbenah. Namun, ada urusan yang bisa segera saya benahi, yaitu...masalah label halal. Jadi begini. Jujur lagi, saya kurang motivasi dalam mengerjakan skripsi saya. Saya mulai memasuki masa-masa malas di mana saya tidak betah berlama-lama mengerjakan skripsi karena.....................ya, saya malas. Hehe. Maka dari itu, saya mencari cara agar saya semangat. Saya menyemangati diri sendiri dengan menjanjikan diri sendiri bahwa, “Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat kamu dilamar, haha. Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat wisuda, katanya mau dandan sendiri waktu wisuda?”. Nah, akhirnya saya mulai belajar dandan lagi setelah sekian lama saya tidak dandan.

Saya belajar dandan dari saat saya ikut paduan suara sampai duta-dutaan. Dari situ, saya mulai mengenal produk kosmetik beraneka ragam dan saya sudah mencoba berbagai merk kosmetik dari mulai yang halal, diragukan, bahkan haram. Mulai dari sini, saya menanggalkan kosmetik saya yang jelas tidak halal. Saya mencari dulu di internet tentang info produk kosmetik apa saja yang halal di Indonesia, di sini. Sejak saat itu, saya mulai follow beberapa akun kosmetik yang halal tersebut, di antaranya Wardah, Zoya, Sariayu, Mazaya, Caring Colours, dan Mineral Botanica. Yang sudah saya coba hanya Wardah, Caring Colours, dan Sariayu saja. Untuk yang lainnya, saya masih belum mencoba. Saya juga mulai aktif mencari review tentang kosmetik-kosmetik tersebut di Youtube dan beberapa blogger kecantikan di Indonesia. Saya mencoba dandan seminggu sekali. Kadang, saya juga berpikir, kok hasilnya nggak sebagus produk impor yang mahal, ya...lalu kadang juga saya masih ingin memakai yang mahal-mahal, impor, dan jelas tidak halal tapi hasilnya bagus.........tapi.....saya tersadar. Ah, untuk apa. Halal nomor satu. Hasil nomor dua. Mungkin, beberapa produk tidak bisa sebagus itu karena memang ada kandungan bahan yang tidak disertakan, yang kemungkinan bahan tersebut yang tidak halal tadi. Lagian, tidak bisa dipungkiri bahwa produk kosmetik lokal belum sedahsyat produk-produk buatan negara yang memang sudah ahlinya di bidang kosmetik.

Namun, dari situlah saya berpikir. Kalau orang Indonesia terus-terusan memakai produk impor demi hasil yang bagus, lalu siapa yang akan memakai produk lokal? Kalau tidak ada yang memakai produk lokal, dari mana produk itu akan maju? Akan dapat masukan dari mana? Nah, dari situlah saya mulai memutuskan: SAYA AKAN BERUSAHA MEMAKAI PRODUK KOSMETIK YANG HALAL DAN PRODUK LOKAL. In shaa Allah.

Lalu, saya berpikir lagi. Emmmm, mungkin yang membuat hasil dandan saya kurang bagus, tidak hanya dari intensitas dan produk kosmetiknya, tapi juga dari segi alat tata riasnya. Saya mulai deh mencari info kuas-kuas tata rias yang bagus seperti apa. Saya banyak mendapatkan info merk yang bagus dari beauty vlogger dan beauty blogger. Lalu, saya sempat akan membeli produk kuas tata rias buatan Amerika. Tapi sebentar. Tiba-tiba saya iseng menulis kata kunci di Google: brush make up halal. Dan...............sampailah saya di blog salah satu beauty vlogger ini. 

Membaca tulisannya, saya seperti ditampar secara halus. Iya, ya. Kalau produk kosmetiknya saja saya pilih-pilih yang halal, kenapa kuas tata riasnya saya juga tidak mempertimbangkan dulu yang halal. Akhirnya, saya mulai mencari lagi mana yaaa produk yang HALAL DAN LOKAL. Ada dua produk yang saya temukan. Ingat, standar saya hanya HALAL DAN LOKAL, ya. Hehe. Saya menemukan produk dari Mineral Botanica dan Zoya Cosmetics. Bahkan, harga keduanya pun tidak jauh beda. Karena saya masih mahasiswa, saya beli yang paling murah dulu. Nanti yang satunya, tunggu bulan-bulan depan, hehe.

Saya akhirnya membeli produk kuas tata rias dari Mineral Botanica. Mineral Botanica memang produk kosmetik yang masih baru. Belum banyak yang mengenal dan memakainya, tapi saya akan coba. Saya mendapatkannya dari salah satu online shop  di Malang. Kalau untuk produk kosmetiknya sudah ada di beberapa toko, kalau kuasnya, saya belum mencoba mencari. Penampakannya seperti ini, nih...
Ini produk kuas tata rias dari Mineral Botanica yang saya beli. Segera saya review, ya.
Zoya Cosmetics Brush Set
Kalau yang ini contoh produknya Zoya. Saya pengen coba juga, hehe.
Sumber foto:
https://www.bukalapak.com/p/perawatan-kecantikan/makeup/aksesoris-makeup/1sbdoj-jual-zoya-cosmetics-brush-set

Oh iya, saya kebiasaan deh. Kalau menulis, suka tidak fokus dengan topik yang saya buat sendiri, haha. Jadi, intinya, ini bukan postingan yang akan me-review produk kecantikan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dan berbagi informasi. Intinya, saya berniat untuk mulai mencintai produk yang halal dan lokal. Pertama, saya mencari ridha Allah, yang entah hanya Allah yang tahu, diterima atau tidaknya itu urusan saya dengan Allah (saya kok ribet ya kalau menjelaskan, haha). Kedua, saya mencintai Indonesia, saya rasa nasionalisme kita mulai meluntur. Saya bukan aktivis, bukan artis, atau siapa saja yang memberi pengaruh di Indonesia. Saya hanya seorang mahasiswa semester akhir yang berusaha untuk mencintai produk dalam negeri dimulai dari mengajak diri sendiri dulu (lhoooo katanya postingan ini ngga mempengaruhi), heheeee yaaaa pokoknya gitu! :D


Saya mulai kehilangan kecerdasan menulis, nih...sekian dulu ya tulisan ngga seberapa penting saya ini. Semoga bermanfaat walaupun sedikit. Untuk selanjutnya, saya ingin review produk-produk ini, biar menyemangati yang mau berhijrah (kalau saya tidak malas menulis, ya). Selamat malam dan selamat berpikir :p