Followers

Tuesday, January 07, 2014

Our Tongues Were Made of Glass

"If only our tongues were made of glass, how much more careful we would be when we speak?"
-Shaun Shane-

Kalau aja bener lidah kita ini diciptakan dari kaca, mungkin yang terjadi akan berbeda. Kita akan lebih berhati-hati, karena goresan sedikit saja bisa meninggalkan luka. Kita tidak akan sembarangan, karena ia mudah pecah. Dan ia akan menjadi lebih sulit digerakkan, jadi kita akan lebih banyak diam tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting karena untuk mengeluarkan sepatah kata saja butuh usaha yang sangat susah. Lidah jadi tidak elastis dan tidak otomatis.

Sayangnya lidah kita terbuat dari otot yang paling besar, yang tidak ada sedikit pun tulang di dalamnya. Sayangnya lagi, yang mengontrol hanyalah otak, yang sering kali lupa untuk kita kendalikan. Aku punya pengalaman mengesankan soal lidah beberapa hari yang lalu.

Waktu itu aku dan Assa main ke rumah Mas Sokran, salah satu teman dari STK (Sanggar Tari Karawitan), salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus, yang berada di seberang kampus. Mas Sokran punya dua orang anak yang masih balita bernama Zua (sekitar 3 tahun) dan Ocas (sekitar 1,5 tahun). Waktu aku ke sana, mereka berdua masih berada di sekolah (begitulah mereka menyebut tempat belajar untuk balita itu). Namun Mbak Nia, istri Mas Sokran, memutuskan untuk menjemput mereka lebih awal karena guru Zua dan Ocas sedang rapat. Sekitar jam satu siang, mereka akhirnya datang dengan wajah gembira. Ocas yang selalu menempel dengan ibunya karena memang usianya yang masih sangat kecil dan harus menyusu kepada ibunya berbeda sekali dengan Zua yang lebih enerjik dan suka bergerak ke sana-ke mari. Aku langsung menyapa Zua dan mengajaknya ngobrol sana-sini. Maklum, aku memang tidak bisa membiarkan anak kecil bermain sendiri, aku sangat gemas terhadap anak kecil.

Rumah Mas Sokran memang selalu ramai, karena notabene Mas Sokran membuka kos-kosan putri. Teman-teman juga sering main ke rumahnya, makanya rumahnya tidak pernah sepi. Jadi, Zua sudah terbiasa main dengan siapa pun yang ada di sana. Tiap Zua bertemu denganku, yang ia cari pertama kali adalah Pou. "Tante, Pou...". Dia selalu mengatakan hal itu. Pou adalah aplikasi permainan yang ada di Android. Kebetulan hari itu aku tidak membawa HP Android-ku. Sebelum Zua kecewa, akhirnya aku mengajaknya untuk bermain apa pun asal dia lupa kalau ada permainan bernama Pou. Aku mengajaknya untuk menggambar.

Kebetulan di sana ada Mas Hamzah, teman dari STK juga. Dia dan aku sering bermain olok-olokan tentang "upil" dan "eek". Di tengah-tengah menggambar, Zua menuding-nuding titik-titik seperti kotoran di tembok rumahnya. Dia bertanya padaku itu apa. Tiba-tiba Mas Hamzah menimpali dengan berkata, "Itu upilnya Mbak Dina". Spontan aku langsung membalasnya, "Ih...bukan Zua...itu upilnya Oom Hamzah". Lalu Zua minta digambarkan upil kepadaku. Aku langsung menggambar banyak sekali titik-titik sekecil upil dan aku gambar topless juga seakan-akan upil itu adalah kudapan. Olok-olokanku dan Mas Hamzah berlanjut sampai akhirnya kami menyebutkan kata "eek" dan menggambarnya di kertas tersebut. Aku membalas Mas Hamzah dan Mas Hamzah membalasku, sama-sama tidak mau mengalah. 
Sampai pada Zua sedang makan bakso goreng dan dia mengambil isinya lalu dibuat mainan di tangannya. Dan dia bertanya padaku, "Tante...hi...ini apa?". Aku langsung spontan menjawab, "Itu upilnya Oom Hamzah, hi...". 

Hari berlangsung cepat sampai pada aku harus pamitan karena aku harus berangkat latihan paduan suara. Sepulang latihan, aku bertemu dengan Mas Sokran. Dan aku sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Mas Sokran dalam bahasa Jawa. 

Maeng yo Din, Mbak Nia ngomel nang aku. Jarene, "Gi, temen-temenmu itu kalo maen ke sini mbok yo diajari ngomong sing apik. Zua iki malih tiru-tiru ngomong elek". Aku langsung kenek, Din...trus aku kaget kok Zua moro-moro ngomong "Pak, aku gambarno eek". Aku langsung takon. "Lho, sopo sing ngajari eek he?". Zua mek njawab, "Iki..." ambek nduduhno gambar. Wooooooooo Hamzah ambek Dina iki ancen tersangkane. Wis, ancene arek loro iki...

Yang artinya:
Tadi ya Din, Mbak Nia ngomel ke aku. Katanya, "Gi (nama panggilan sayang Mbak Nia buat Mas Sokran), temen-temenmu itu kalo maen ke sini ya harusnya diajari ngomong yang baik. Zua ini jadi ikut-ikut ngomong jelek". Aku langsung kena, Din...trus aku kaget kok Zua tiba-tiba bilang "Pak, aku gambarin eek". Aku langsung tanya, "Lho, siapa yang mengajari bilang eek?". Zua cuma menjawab, "Ini..." sambil menunjukkan gambar (yang tadi). Woooooooo Hamzah dan Dina ini memang tersangkanya. Sudah, dasar anak dua ini...

Mas Brian yang juga ada di sana waktu itu langsung menasihatiku panjang lebar. 

Barang bukti kejahatan 

Aku dan Mas Hamzah lupa kalau ada makhluk kecil tidak berdosa di depanku waktu itu yang belum bisa mem-filter kata-kata yang tidak seharusnya ia dengar dan ia ucapkan. Kami lupa kalau kami sudah besar dan semestinya bisa memberi contoh yang baik untuk anak kecil. Memang lidah tidak sekolah, makanya harus ada yang menyekolahkan.



"Zua itu cerdas, Din. Waktu itu pernah aku ajak nonton teater. Dari awal pertunjukkan sampai akhir, dia serius merhatiin. Eh pas di rumah, tiba-tiba si Ocas disuruh duduk dan Zua melakukan acting yang persis kayak yang ada di pertunjukkan tadi," lanjut Mas Sokran. 

Dan kami lupa kalau anak kecil itu mudah menangkap apa yang baru saja mereka indera. Ah...so sorry for missing that point. Hari itu aku belajar banyak sekali tentang dahsyatnya satu kata yang diucapkan. Karena satu kata benar bisa menyelamatkan dunia, tapi satu kata yang salah bisa saja membunuh dirimu sendiri.


Thanks for helping me remember that a tongue sometimes can be a dangerous glass too, Mas Sokran, Mbak Nia...



Have you done your homework today? Keep your tongue to be a glass :-)

Monday, January 06, 2014

My First Stepping Stone

Haaaaaaaaalooooooooooooooooooooooooooooooooooooo, dunia! Wehehehe, oke! Aku semangat banget, ya? Iya dong...harus dong... Kenapa, nih? Ada apaan, nih? Heboh banget sih...dapet pacar baru, ya? Dapet uang? Menang lomba? Apa sih? 

Leeeeeebih dari itu! Setelah deg-degan selama satu semester, akhirnya aku bisa buktikan kepada dunia pada umumnya dan orang tua pada khususnya tentang hal yang selalu aku perjuangkan di masa lalu (ecieh sok dramatis dikit ga papa lah, ya). Yak! Ini dia yang ditunggu-tunggu. Pasti yang baru baca postingan ini mikir, "Apaan sih, ngomong apa sih Dina ini?". Jadi gini, inget kan cerita melankolis yang pernah aku tulis panjang lebar kayak truk tangki Pertamina tentang keputusanku buat pindah jurusan dulu? Kalo lupa, coba cek dulu deh biar nyambung. Cek di sini dan di sini.

Masih inget juga tentang "Passion energizes your talent?" mungkin kali ini aku bakal sedikit mengutip quote ini dengan ditambahi sedikit, kalau tidak salah, quote barusan adalah punya Deddy Corbuzier. Kali ini aku mau bikin quote sendiri aja deh. "Keberhasilan adalah hibrida dari niat dan usaha, dibumbui dengan dukungan dan passion". Keren ngga, tuh? Itu deh yang bikin aku semangat banget masuk Pendidikan Sasindo dan bikin aku yakin aku ga salah pilih lagi. *By the way penjabaranku rada ga nyambung, pemirsahh*

Hal pertama yang mau aku pamerin adalah ini. Tararaaaaaaaa... *drum roll*

Hasil tes prediksi Uji Kemahiran bahasa Indonesia untuk mahasiswa baru Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang punyaku.
Kalo dibanding sama hasil tes TOEFL sih jauh banget gitu ya, hampir setengah. Ini nih "sesuatu" awal yang bikin aku sedikit lega dan berbesar hati sambil mikir kalo I'm good enough di Sasindo ini. Yang bikin semangatku panas di awal buat ngelanjutin dan ngebuktiin ke dunia "aku lhoooo pantes jadi anak Sasindo", "aku lho emang passion-nya di sini", "aku bisa buktiin prestasiku jauh lebih bagus di sini" tanpa harus banyak berceloteh ini itu. Jadi, selama aku masuk Sasindo ini aku akan minimalisasi ngomong dan banyak action. Just let them see, tanpa harus banyak berkata-kata. Terutama buat beberapa orang yang bilang kalau ilmu bahasa itu ngga terlalu penting :-)

Dan bukti kedua yang bisa aku kasih adalah ini nih...

Ini semacam rapor online. Right click and open in new tab to enlarge picture.
Jujur awalnya aku bingung. Aku udah bisa ngebuktiin ke ortu kalau aku emang bener-bener ga ada passion di dunia IPA. Tapi aku belum bisa kasih bukti kalau aku bisa lebih baik di bahasa. Bukti apa lagi yang bisa bikin ortu percaya kalau aku emang "bakat" dikit gitu ya di sini selain IP (Indeks Prestasi). Yaaaah, walaupun aku selalu percaya kalau angka bukan segalanya buat menilai seseorang. Aku ulangi, pake capslock ga kontrol nih ya ANGKA BUKAN JAMINAN BROOO, BUKAN JAMINAN SESEORANG ITU PINTER BENERAN, BUKAN JAMINAN ITU MURNI DAN ASELIIII LI LI, MAS BRO...MBAK BRO :-)

Tapi, buat sementara waktu ini ga ada cara lain yang nyata dan bisa diliat selain IP, apa boleh buat. Dan jujur aku lumayan suka sama IP semester ini. Waktu itu targetku adalah di atas 3,5. Dan alhamdulillah Allah ngasih bonus. IP-ku semester ini adalah 3,70. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang di atas ekspektasi. Dan jujur sebenernya aku pesimis buat ngedapetin IP di atas 3. Soalnya, semester ini kegiatanku di luar kuliah sungguh sangat amat sibuk sekali pemirsahhh (kudu banget pake pleonasme dan hiperbola kayak gini). Tapi alhamdulillah lagi, aku bisa bagi waktu dalam sehari antara kuliah, kegiatan nonkuliah, istirahat, dan bobo cantik dengan selisih waktu yang mevet bin mripit. Jadi, em...maaf banget buat berbagai macam teman yang aku kecewain gara-gara aku sama sekali ga punya waktu buat main atau sekedar ngopi. Next time, I will. Tunggu ya :')

Hhhh... Aku anggep ini adalah batu loncatan pertama buat membuktikan ke dunia bahwa di sini ada gadis besar (badannya) yang masih kecil, dan perlu dipeluk (oke, salah fokus), yang perlu dibimbing buat mencapai cita-citanya untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya, orang tuanya, sekitarnya, dan Tuhannya. Cita-cita yang simple, kan?

Jujur, bukan perkara mudah untuk menebalkan telinga selama enam bulan aku berkeputusan seperti ini. Terkadang bahkan orang terdekat, teman terdekat, siapa pun bahkan yang belum mengenal, berani sekali melukai hati kecil yang sedang memilih ini (oke, sisi sensitifku muncul, ga papa ya...). Sering banget aku denger "Dulu yang milih IPA siapa, yang milih pindah siapa", "Ngabisin duit aja sih", "Kamu ga pengen cepet nikah apa", "Hah, aku sih pengen cepet lulus" yang mewarnai hariku. Bahkan sampe ada yang bilang "Mbak, kamu dari kecil diajari bahasa planet ya sama papa-mama? Kok baru sekarang belajar bahasa Indonesia. Sini aku ajari aja, mbak...", kata salah seorang satpam di kampus. Aku cuman senyum sambil dalam hati bilang "Please ya, mas...rektor kita berkali-kali periode adalah dosen Sastra Indonesia. Trus mas udah tanya hal begituan belom sama Pak Rektor? Berani kagak?". 

Untuk saat ini dan sampai aku bisa benar-benar membuktikan, aku akan terus diam sambil terus berusaha. Karena terkadang ada orang-orang yang hatinya perlu disentuh. Kamu tidak usah banyak bicara dan berlaku jahat. Cukup dengan biarkan mereka melihatmu membuktikan. Itu sudah menyentuh mereka dengan caramu. Sesukamu :-)



Jangan bosan menjadi orang yang berbeda. Selama itu tidak salah.
Selalu terima kasih sama Allah, sahabatku yang tidak pernah mencela.