Cerita tentang skoliosisku, Dini, dan skolioser yang pernah aku temui, memang tidak akan pernah ada habisnya buat diceritakan. Sejak operasi setahun yang lalu, aku makin gemar melihat fisik orang yang aku temui. Kalau orang biasanya melihat seberapa seksi seorang cewek, atau seberapa keren seorang cowok, yang aku lihat bukan itu. Yang aku lihat, seberapa luruskah punggung mereka. Jadi jangan kaget, aku tahu siapa yang skoliosis dan yang tidak, tanpa mereka harus membuka baju. Aku sudah terlalu profesional untuk mengetahuinya. Sampai sekarang, sudah ada 8 skolioser yang aku temui di sekolah.
Salah satu teman skolioserku, Chandra, memberitahuku bahwa salah satu saudara pacarnya ada yang skoliosis, dan telah menjalani operasi. Tidak banyak pikir, aku dan Chandra langsung meluncur ke rumah sakit untuk menjenguknya. Agak sulit untuk akhirnya menemukan ruangan tempat dia dirawat. Yang kami tahu, namanya Lala'. Kami bahkan tidak tahu nama lengkapnya, alamatnya. Namun akhirnya, kami bisa menemukannya di ruang rawat mata. Sungguh sistem rumah sakit yang kurang begitu baik.
Namanya Lala'. Raudatul. Dia gadis kecil berumur 10 tahun, juvenile scoliosis dengan kemiringan 110 derajat. Kesan awal yang aku tangkap darinya adalah HEBAT.
Saat aku datang di kamar rawat inap yang terdiri dari 7 pasien dalam satu ruangan, bahkan ada pasien hydrocephalus, aku sangat kaget. Dia sudah berdiri tanpa menggunakan brace dan tidak nampak seperti pasien yang telah dioperasi, padahal baru 2 minggu dia menjalani operasi. Dia bahkan bisa membungkuk, menali sepatunya, dan bangun sendiri dari tempat tidurnya. Berbeda denganku, yang hingga hampir 2 bulan setelah operasi masih harus dibantu ke sana-ke mari.
Aku lalu bercerita panjang lebar dengan ibunya, Lala' tidak banyak bicara. Namun dari cerita ibunya, Bu Yuyun namanya, aku bisa tahu, Lala' gadis yang hebat. Bu Yuyun yang aku panggil Mbak Yuyun, memang pantas dipanggil "mbak" karena umurnya sama dengan kakak pertamaku. Dan umur Lala' sama dengan adik terakhirku.
Lala' masih harus menjalani 3-4 operasi lagi. Ruang jantung dan paru-parunya telah direbut oleh si skoli. Jantungnya sudah berpindah posisi. Paru-parunya sudah tidak berfungsi sebelah. Itu yang mengakibatkan Lala' mudah sesak napas saat merasa tertekan atau terkejut. Tapi aku salut, semangatnya untuk sembuh membuatku tidak habis pikir. Dengan keadaan keluarga yang dibilang kurang dari cukup, ibu yang masih sangat muda, dan operasi sebesar itu...mereka masih bersemangat untuk memperbaiki kualitas hidup.
Saat Mbak Yuyun mengatakan Lala' sempat minder dan menangis di sekolah, aku lalu mengatakan, "Ngga usah minder, Lal, aku dulu juga gitu kok...tapi percaya, ngga? Hasil riset dokterku mengatakan, rata-rata skolioser itu cerdas dan cantik, lho...percaya ngga?". Mbak Yuyun lalu bilang,"Iya dong, wong Lala' selalu juara di sekolah kok ya...bener kata Mbak Dina tuh Lal, kamu kan spesial...".
Besoknya, aku mengajak teman skolioser lagi, si Titis, yang satu sekolah denganku. Aku berjalan kaki dari sekolah ke rumah sakit sambil bercerita banyak dengan Titis. Dari yang mulai awal Titis merawat skolinya sampai cita-cita kami untuk memajukan kesadaran akan skoliosis di Malang. Semoga mimpi kami bisa terwujud kelak, kami tidak akan lelah bermimpi.
Aku lalu meminjami Lala' semua buku tentang skoliosis yang aku punya. Ini hobiku, berbagi buku dengan para skolioser. Dan hari itu pula, Lala' sudah boleh pulang, dan akan kembali ke RS untuk operasi kedua, 2 bulan lagi.
Hari Minggu sepulang pengajian rutin, aku mengajak bapak, Ibu, dan Dini berkenalan dengan Lala' dan Mbak Yuyun. Rumahnya jauh sekali, di pinggiran Malang, tepatnya di kabupaten, di Tumpang. Tidak sulit menemukan rumahnya, karena terletak di pinggir jalan. Lala' sudah berdandan cantik. Kami semua berbagi cerita ke sana-ke mari. Dan itulah hal yang paling menyenangkan. Berbagi.
Aku tidak akan bosan untuk berbagi, ini sudah janjiku. Janji seorang gadis yang tidak sempurna, yang tidak sedang mencari teman senasib karena sakit. Karena skoliosis bukan penyakit. Bukan mencari teman yang sama-sama penderita skoliosis, karena skoliosis bukan penderitaan. Tapi dia teman, dan salah satu cita-citaku bersama Dini, Chandra, Titis, dan teman-teman yang lain adalah memajukan komunitas skolioser di Malang di bawah Masyarakat Skoliosis Indonesia.
Oh iya, bahkan, para skolioser di Malang kesadarannya sudah mulai tumbuh, lhoh. Beberapa hari yang lalu, ada orang tua dari salah satu skolioser yang datang ke rumahku. Menyenangkan sekali bisa berbagi seperti ini. Dan aku tidak pernah bosan. Once scoliosis, forever scoliosis. I'm scolioser and I'm proud to be scolioser :-)