Followers

Friday, July 25, 2014

Belajar dari Aluna

Baru kemarinan ini aku terenyuh oleh Aluna, salah satu keponakanku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Aluna adalah anak pertama dari sepupuku yang bernama Mbak Ina dan Mas Luthfi. Keduanya sama-sama bekerja. Terkadang, aku sama Dini main ke rumah Aluna atau Aluna yang dititipin ke rumahku kalo pas Mbak Ina sama Mas Luthfi lagi ngga di rumah.

Seperti yang sudah-sudah, Aluna ditemani oleh dua tante kembarnya ini nonton tv, menggambar, mewarna, bermain boneka, bahkan minta didandanin ala Masha and The Bear.

"Aluna puasa?" tanyaku pada Aluna.
"Puasa te...tadi sahur..." jawab Aluna polos.
"Ya udah, sip. Kuat ya..." kataku sambil memberi semangat.

Eh, taunya Aluna ngeliat bungkusan parsel dari kantor bapak yang salah satunya berisi jajan populer bermerk Roka.

"Tante...Luna mau Roka..." sambil memohon.
"Lho...Luna kan puasa, nanti ya pas buka ya..." jawab Dini.
"Ngga mau, mau Roka..." Luna mulai merengek.

Dini lalu ingat kalau Aluna baru bisa tahan tidak makan dan minum sampai jam sembilan pagi saja. Aku juga baru sadar kalo Aluna masih 5 tahun, tidak wajib baginya berpuasa penuh. Tapi kami harus tetap mengenalkan arti puasa pada Aluna.

"Ya udah, ini masih jam sepuluh kurang sepuluh menit. Nanti kalo jarum panjangnya udah di angka 12, Luna baru boleh makan Roka, ya?" jawab Dini.
"Lhaaah...tante...Roka..." Luna tetap merengek namun tidak memaksa.

Kami mengalihkan perhatian Luna dari Roka dengan mengajarinya menggambar kubis dan mewarnainya. Jam sepuluh sudah lewat dua puluh menit. Aluna baru sadar kalau seharusnya, dua puluh menit yang lalu dia mendapatkan Roka-nya.

"Tante...Roka..." Aluna mulai ingat.
"Ahaha...iya iya...sekalian makan siang, ya? Sama telor, mau?" jawabku.
"Iya...sama kecap..." pinta Aluna.

Aluna lalu aku beri satu bungkus Roka, menyusul sepiring nasi porsi Aluna dan telor ceplok ber-topping kecap manis. Aku ikut makan juga bersama Aluna, kebetulan saat itu aku dan Dini sedang halangan, sehingga kami tidak puasa.

"Lho kok tante ngga puasa, sih?" tanya Aluna heran.
"Tante libur, Lun...lagi ngga boleh puasa sama ngga boleh sholat." jawabku sedikit memutar otak.
"Kok gitu sih?" Aluna mulai penasaran.
"Maem dulu yuk, Lun...udah dingin nih...ayo lomba ama Tante Dini yooook" jawabku mengalihkan perhatian. Huft. Bingung.
***

Selesai makan, Aluna melanjutkan adegan bermain dengan buku mewarnainya. Sudah jam 12 lewat beberapa menit, kami mengarahkan Aluna agar berganti piyama dan mengajaknya tidur siang. Dia tidak menolak.

"Aluna mau tidur di kamar siapa? Kamar Uti Eli, kamar Tante Dini, apa Tante Dina?" tanya Dini.
"Di kamar Tante Dina aja..." jawab Aluna karena kasurku bernuansa ungu, warna kesukaan Aluna.

Aluna lalu ke kamarku, aku juga ikut tiduran di sampingnya. Sambil mengarahkan dia berdoa sebelum tidur, aku memeluk Aluna, dalam bahasa Jawa biasa disebut ngeloni. Aku tidak mengeluarkan satu kata pun setelah berdoa, karena kalau anak kecil tidak melakukan sesuatu selama 15 menit, dia pasti akan tertidur. Tapi, sudah lebih dari 15 menit Aluna hanya berkedip-kedip melihat ke atas langit-langit kamarku.

"Lho, kok belom bobo, Lun?" tanyaku.
"Aluna belom sholat...tante, Aluna mau sholat" jawab Aluna polos.
Deg. Aku langsung terenyuh.
"Luna mau sholat? Bawa mukena, ngga?" 
"Engga, dipinjemin tante, ya?"
"Oke deh...tapi tante ngga sholat ya..."
"Kenapa sih? Libur ya?" Aluna ternyata masih heran.
"Iya...tante libur..."
"Mana sih, perut tante yang katanya ayah berdarah?" dengan polosnya Aluna bertanya.
"Lho, ayah bilang gitu?" tanyaku heran.
"Iya, kata ayah, tante kemarin ngga tarawih soalnya perutnya berdarah. Mana sih te, Aluna mau liat" Aluna makin heran sambil membuka kaosku ke arah atas.
"Eh...Luna..." aku kaget, "Iya, jadi..." aku berpikir keras, "Nanti, semua anak perempuan kalo sudah besar, pasti perutnya berdarah. Kalo perutnya berdarah, Allah ngasi libur sama anak perempuan itu buat engga puasa, engga sholat...Gitu..." jawabku seadanya.
"Bunda juga?" tanya Luna.
"Iya, bunda juga...uti juga...tante juga...nanti Aluna kalo sudah besar juga..."
"Kalo udah jadi tante, ya?" Aluna menjawab sambil tertawa kecil.
"Iya, kalo udah tante-tante, hehehe...udah ayo sholat..." ajakku.

***
"Ayo sini wudhu dulu, Lun..." ajakku ke kamar mandi di sebelah kamarku.
"Ga mau...Luna ga mau wudhu..."
"Lho, kalo mau sholat syaratnya wudhu dulu..."
"Luna ga mau wudhu tante..."
"Cuci muka aja, cuci tangan?" aku memohon.
"Ga mau, Luna mau langsung sholat aja..." jawab Luna setengah mewek.
Oke, aku maklum, hari itu dingin sekali. Luna juga belum terlalu wajib. Aku harus ingat itu.

Aku lalu mengambilkan mukena warna unguku dan sajadah anak-anak agar Aluna semangat sholat. Karena mukenaku kebesaran untuknya, dia hanya memakai atasan mukenaku saja. Dia terlihat sangat lucu tenggelam di dalam mukenaku, hihi.

"Tante nungguin Aluna sholat ya..." pinta Aluna.



Aku menungguinya. Dia sholat sangat tertib empat rakaat. Walaupun sekali dua kali dia selalu melirik ke arahku, memastikan aku masih menungguinya. Aku lalu terenyuh lagi. Anak sekecil Aluna...dia bahkan tidak bisa tidur hanya karena belum sholat dhuhur, padahal dia juga belum baligh, belum wajib sholat. Sedangkan kita, yang sudah baligh bertahun-tahun, kadang pura-pura lupa sholat karena takut ketinggalan asyiknya dunia. Kalau diingatkan, jawabannya masih "Sek...sek...habis ini". (Sek dalam bahasa Jawa berarti sebentar).

***
Aluna sudah menyelesaikan empat rakaatnya. Dia lalu melipat mukenaku dengan rapi dan mengembalikannya kepadaku. Kami lalu kembali ke kamar. Kami berdoa sebelum tidur, aku memeluknya, dan dalam lima menit dia sudah berada di Wonderland. Aku memberinya selimut dan kursi di samping kasur, jaga-jaga kalau dia jatuh ke lantai. Aku bersiap-siap mandi untuk rapat organisasi di kampus. Lalu Aluna bangun menyadari aku tidak di sampingnya. Aluna hanya tidur satu jam. Aku tersenyum dan menggandengnya.

"Lho...Aluna bangun...kurang lama Lun, tidurnya...".

:)

Saturday, July 05, 2014

Cerpen: Semoga Cepat Sembuh!

Ini hari keempat Rose mulai muak hanya bisa tertidur di kasur yang ukurannya setengah dari kasur kamarnya di Romanland, kota yang terletang pada 07º 59’ LS 112º 36’ BT. Ia mulai merindukan memeluk boneka kelinci berukuran tinggi 50 inchi dan berbulu ungu di kamarnya itu, yang selalu jadi bantal air matanya, sampai warnanya tak lagi ungu. Tapi ungu muda. Hari ini infusnya sudah dilepas. Tapi dokter belum memperbolehkannya untuk pulang. 

Tidak pernah dalam sehari ia tidak melihat senyum bocah-bocah mungilnya di sekolah. Ia sudah sangat merindukan kelas. Rose merindukan pekerjaannya sebagai seorang guru di sekolah dasar favorit di kota itu. Rose hanya bisa menghibur diri dengan beberapa game di smartphone-nya pagi ini. Tak lupa, ia tak pernah lepas dari kaleng-kaleng obat galaunya, Bear Brand Malt Putih.

"Ah, aku terlalu pintar untuk semua game ini!" kata Rose dengan nada cukup bosan.

Tiba-tiba smartphone-nya bergetar. Moon. Itu Moon. Pria yang sudah sangat ia harapkan untuk datang sejak empat hari yang lalu.



***
Tak lama setelah chat terakhir masuk, siluet Moon di balik pintu kamar inap bernama Atlas tersebut terlihat. Sambil membawa empat kaleng Bear Brand yang dinginnya sampai berembun-embun, ia mengetuk pintu, Rose bergegas merapikan rambutnya. Tok, tok, tok...

"Siapa?" tanya Rose yang sebenarnya sudah hapal benar postur lelaki idamannya tersebut.

"Bear Brand!" jawab Moon menirukan gaya pengantar pizza di kompleksnya.

"Ahaha... Masuk!" Rose mempersilahkan Moon.

"Bear Brand segar di siang hari, nona?" kalimat pertama Moon sambil menatap mata manja wanita itu.

"Angin apa yang membuatmu tiba-tiba ke mari sambil berdandan ala Mas Broto pengantar pizza di Ambarawa? Kamu nggak sedang mabuk, kan? Atau kamu tiba-tiba bermimpi aku mati, jadi kamu mau ngasih kesan terakhir yang baik sama aku sebelum kamu kehilangan waktu?" celetuk Rose setengah tidak percaya dengan kehadiran pria yang memiliki tingkat jaim kelas Lee Young-jae itu.

"Aku juga tidak tahu, cenayang mana yang tiba-tiba menghipnotisku untuk ke mari. Anggap saja dua dugaanmu tadi semuanya benar" jawab Moon malas berpikir.

Keduanya lalu saling bercanda. Andai saja ruangan itu adalah ruangan inap kelas tiga, mungkin penunggu pasien lain akan bergantian melirik keduanya sambil melempar isyarat ampuh, "Psssssssttt!". Keduanya terlampau bahagia untuk saling beradu mata. Menikmati obat galau paling mujarab sedunia sambil sesekali bergelut manja dengan kata-kata. Tidak peduli terik di luar jendela, alat pendingin di ruangan ini lebih bisa terasa hangat karena berperang dengan aura yang dipancarkan keduanya. Ramah, manja, hangat, dan nyaman. 

***

Sudah dua jam. Akhirnya Moon setengah tertidur sambil duduk, kepalanya bersandar di samping kanan Rose. Tangannya menggenggam erat tangan kanan Rose. Seperti adegan yang lazim di film-film roman picisan. Moon sebenarnya ingin tidur satu bed dengan Rose, tapi tidak mungkin. Selain karena mereka belum menikah, Moon tidak mau kena gertakan suster-suster galak yang sedang jaga keliling, "Maaf mas, penunggu ngga boleh duduk di bed!". 

"Semoga cepat sembuh..." bisik Rose pada Moon.

"Kok aku, kamu yang cepat sembuh..." jawab Moon sambil masih telungkup kepalanya di samping Rose. Suaranya lebih terdengar seperti ini, "Ouk a'u, amu ang e'at hembuh...".

"Fisiknya sih aku. Tapi yang lebih butuh ucapan itu harusnya kamu. Kamu yang cepat sembuh ininya. Hatinya. Biar nggak bodoh terus. Aku berharap kamu cepat sembuh dari kebodohanmu. Menyia-nyiakan aku."

Sambil berkata demikian, tangan kiri Rose setengah ragu ingin mendarat mengelus rambut Moon. Tapi gagal. Moon bangun duluan.

"Boleh aku memelukmu?" tanya Moon.

"Boleh, tapi aku belum mandi. Jadi...ngga boleh." jawab Rose.

"Ngga boleh?" Moon heran.

"Setidaknya aku sudah tahu ternyata kamu ingin memelukku. Aku sudah sangat senang. Sama senangnya dengan dipeluk". jawaban Rose membuat Moon tenang.

Keduanya saling senyum. Lagi. Terik di luar mulai tergelincir. Keduanya bahagia. Mungkin... Iya, bahagia. Apabila semua adegan di atas dilakukan satu jam lebih awal.

Mungkin. Iya. Satu jam lebih awal. Moon memang bodoh. Satu jam setelah chat terakhirnya pada Rose, ia tidak bergegas menemui Rose. Tapi ia terlalu mengabaikan pertolongan manja Cita, wanita yang menyukainya, untuk sekadar minta antar ke bandara. Padahal hari itu bukan akhir pekan. Taksi masih banyak. Cita hanya terlalu manja dan Moon tidak sadar, dia adalah akar di saat Cita kehabisan rotan. Moon hanya cadangan yang termakan pikiran "tidak enak apabila menolak mengantar".

Andai Moon datang satu jam lebih awal, mungkin ia tidak akan memberikan Bear Brand yang sudah tidak dingin dan tidak berembun lagi itu masuk ke kamar Rose. Andai Moon datang enam puluh menit lebih awal, pasti ia masih harus mengetuk pintu. Andai Moon datang 3600 detik lebih awal, pasti ia masih bisa berteriak, "Bear Brand!" sambil bergaya ala Mas Broto.

Tapi ia sudah terlambat, untuk mengetuk pintu...

***
Photo source: Daily Plate of Crazy

Rose sedang tersenyum malu memandang seorang lelaki di depannya. Di tangannya ada sekaleng Bear Brand Malt Putih dan di tangan lelaki itu ada sekaleng Bear Brand rasa original. Lelaki itu mengajak Rose bercanda dengan sopan. Tidak terbahak-bahak. Nampaknya ia lelaki yang cukup terpandang. Jasnya rapi. Ia sangat serasi bila dilihat bersama Rose dari balik pintu masuk kamar Atlas ini.

Kaki Moon terpaku di balik pintu yang sedang mengintip itu. Tangannya kaku. Bibirnya kelu. Matanya sendu. Suaranya beku, ia tidak bisa berteriak untuk menawarkan Bear Brand yang sudah tidak berembun-embun itu. 

Sebelum dua pasangan yang serasi di dalam ruang Atlas itu tahu ada yang mengintip dari balik pintu, Moon berbalik. Berlalu pergi menuju mobil pemberian almarhum kakeknya. Membuka pintu mobil, menutupnya kencang. Mengeraskan musik. Membuka botol-botol Bear Brand yang sudah tidak berembun itu. Menegak empat botol hingga habis. Dan pergi...hingga tukang parkir rumah sakit tidak sempat meminta uang lima ribu rupiah kepada lelaki muda berhati pilu itu.

***

Saggio berpamitan pulang. Setengah jam lelaki tampan itu duduk di samping Rose. Cukup membuat Rose melengkungkan bulat sabit di bibirnya. Namun Rose masih menunggu satu lelaki untuk memenuhi senyumnya. Cukup bukan berarti sudah. Rose hanya cukup tersenyum oleh Saggio. Tapi dengan Moon, ia baru bisa merasa sudah tersenyum.