Followers

Tuesday, September 11, 2018

Thursday, September 06, 2018

Kabut


Tahukah kau, persamaanmu dengan kabut? Aku bisa merasakan hujan gerimis super mini di sekitar kulit tangan dan wajahku. Sungguh sejuk dan menggebu serunya. Namun aku tidak bisa melihat wujud hujan gerimis super mini itu. Aku hanya bisa melihat putih seolah aku berjalan di atas kapas yang tak berliku. Kini kau membuatku seolah bidadari yang sedang duduk di negeri yang berada di atas awan. Aku merasa istimewa walau kadang kedinginan. Dingin dan buram tetapi aku tahu pasti ada jalan. Karena kabut, seyogyanya akan hilang ketika matahari bangun melenyapkan hujan super mini di sekitarku itu. Semoga kau segera dimakan matahari, supaya tidak ada hujan gerimis super mini lagi.

Ditulis dalam keadaan mencintaimu sambil kedinginan.

Friday, August 24, 2018

Apa Ini Namanya?

Apa ini namanya, tiap kali angin berhembus karena kedatangannya, ada debar berbeda yang bahkan tidak mampu aku kondisikan.

Apa ini namanya, tiap kali udara bergetar karena gelombang pita suaranya, ada tarikan napas yang dalam, yang bahkan tidak mampu aku sembunyikan.

Apa ini namanya, tiap kali ada cahaya yang datang dari sudut ekor matanya, ada percingan dan binar bola mataku yang bahkan tidak mampu aku elakkan.

Mungkinkah aku telah jatuh cinta berulang kali padanya?

Saturday, June 02, 2018

Perpisahan

Tidak ada seorang pun yang menginginkan perpisahan bila sebelumnya mereka sudah merencanakan kebersamaan. Tidak ada satu kata pun yang tepat yang bisa mewakili sedihnya mengalami perpisahan. Mungkin, kalau aku sudah menemukan kata yang tepat, akan aku ajukan pada perumus lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi tidak sekarang. Aku belum siap. Terima kasih untuk semuanya. Semoga ini terakhir kalinya.

Malang, di sebuah ruang yang sangat dingin, 2018.

Saturday, March 31, 2018

Apakah Anda Pengendara yang Cerdas?

Saya lama ga pulang agak malam. Kebetulan kemarin ada acara, sehingga saya harus pulang malam. Agak seneng sih menghirup udara Malang selepas hujan malam-malam. Lalu lintas juga ga sepadat biasanya. Tapi tiba-tiba saya emosional gitu. 

Seperti biasa, di daerah yang saya sebut jalur E (jalur belakang dari Blimbing sampai Singosari) selalu padat dengan kendaraan besar seperti truk dan bus. Saya emang sengaja pelan kalau di daerah sana. Maklum, masih trauma pernah keserempet bus. Ternyata, ada yang lebih pelan di depan saya. Seorang bapak tua yang menyetir tepat di samping belakang truk besar.

Awalnya saya 'gatel' karena saya jadi ikutan terlalu pelan. Tapi setelah melihat kondisi si bapak, saya jadi maklum dan mengalah dengan ikut mengendarai motor dengan pelan. Kalau saya mendahului dari kanan, ada truk besar. Kalau saya ke kiri, batas aspal terlalu tinggi. Kondisi jalan di jalur E juga tidak karuan. Banyak lubang, pun licin sehabis hujan. 

Tiba-tiba dari belakang, saya diklakson ama 'mas-mas'. Ga cukup sekali. Tapi berkali-kali. Saya mengalah, membiarkan dia jalan duluan. Setelah itu, mas-mas itu mengklakson si bapak tadi. Kali ini disertai dengan mbleyer (mainin gas motor). Si bapak yang sudah sangat tua (mungkin 60-an) tidak memberi jalan, karena nyetirnya emang udah ga lincah. Si mas langsung mengencangkan klaksonnya. Guguplah si bapak tadi. Agak oleng-oleng gitu nyetirnya. Setelah si mas berhasil mendahului, eh malah nengok ke belakang sambil melotot. 

Saya langsung pengen nangis. Tiba-tiba saya inget kalau misal yang dibegituin itu bapak saya. Kok rasanya gak tega, ya. Bayangkan aja sih, bapak-bapak, udah tua renta, duduknya udah ga tegak, kedinginan malem-malem, tapi terpaksa keluar rumah naik motor, melewati truk dan bus, gelap-gelap, dipelototin lagi. Di usia senjanya, seharusnya dia sedang di rumah dengan aman. Tapi ini tidak.

Kadang saya suka geram sih emang sama beberapa orang yang hobi main klakson, gas motor, pelototan, dan sumpah serapah di jalanan. Sering gak sih yang dibeginiin biasanya dilabelin "Oooh, ancen wedok!", "Oooh, ancen emak-emak!", "Wooo ancen wis tuwek!". Emangnya kenapa kalau cewek? Kenapa kalau emak-emak? Kenapa kalau udah tua? Apakah jalanan hanya milik yang muda dan bukan cewek? Apakah jalanan hanya milik yang berkendara dengan cepat dan yang lambat kemudian disalahkan? 

Kebanyakan wanita emang nyetirnya gak sekuat cowok. Itulah kenapa kami memilih menggunakan kecepatan yang standar. Kebanyakan emak-emak nyetirnya juga ga terlalu bagus. Bayangin, mereka banyak pikiran. Terpaksa nganter anak ke sekolah karena ga ada pilihan lain. Wajar kalau nyetirnya ga pinter-pinter amat. Namanya juga kepaksa. Begitu juga dengan bapak-bapak yang udah tua. Apakah tangannya masih kuat? Wajar kalau mereka semua menyetir dengan cara yang berbeda.

Pernah gak sih saat kalian menyakiti orang di jalan baik dengan komunikasi verbal maupun nonverbal, kalian mikir dulu, andaikan saja si emak-emak itu ibu kalian? Andaikan si bapak tua itu ayah kalian? Andaikan si mbak-mbak lemot itu adik kalian? Tega ngga buat nggupuhi di jalan pake klakson, gas, dan sumpah serapah? Kecuali kalau mereka emang melanggar peraturan lho, ya. Beda cerita.

Saya jadi ingat cerita Prof. Sumadi, dosen saya, yang baru pulang berlibur dari Korea. Beliau berkata bahwa di sana, hampir tidak pernah beliau mendengar suara klakson kendaraan bermotor. Kenapa? Karena memang tingkat responsibilitas mereka sangat tinggi. Kalau di sini?

Sebagai seorang calon ahli bahasa, saya mencoba memandang fungsi bunyi klakson sebagai pengganti bahasa verbal.
1) Penyapa (misal sopir angkot saling sapa pas papasan),
2) Penghindar mara bahaya (misal mengingatkan orang lain agar jangan melaju dulu, karena kita tidak memungkinkan untuk menghindar), dan
3) 'Pemersilakan' (misal kita di persimpangan dan pengen mempersilakan orang lain untuk melaju terlebih dahulu).
Selain tiga fungsi itu, saya anggap klakson yang berbunyi sudah melampaui batas fungsi.

Guys. Malang macetnya udah makin parah. Singosari ke pusat kota udah ga bisa dalam setengah jam. Kalau kalian ga bisa ngasi solusi untuk mengatasi kemacetan, minimal jangan menambah tingkat stres dengan memainkan fungsi kendaraan kalian di luar batas. Percayalah, kalian sama sekali gak keren dengan kebut-kebutan bak pembalap. Karena pembalap sejati mainnya gak di jalan raya.

Sekian cerita pengantar tidur dari saya yang selalu cerewet.

Cerdas tidak melulu soal inteligensi.
Cerdas bersikap itu lebih penting.
Semoga bermanfaat.
Semoga kita semua adalah pengendara yang bermartabat.


Salam, Dina.