Followers

Tuesday, June 28, 2016

#Thailand 1: PPL/KKN Thailand 2016

Halo, blogger. Lamaaaa sekali saya tidak mengotori linimasa blogspot dengan tulisan-tulisan amatir saya. Tulisan kali ini akan mengawali cerita saya mengenai Praktik Pengalaman Lapangan dan Kuliah Kerja Nyata di Thailand Selatan 2016 yang selanjutnya akan saya sebut PPL/KKN Thailand.
Mungkin banyak pertanyaan datang, terutama dari mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM), kok bisa sih PPL dan KKN di Thailand? Kok enak, sih? Kok pengumumannya ga terbuka, sih? Kok ini, kok itu...hehe. Banyak pesan yang datang dari jejaring sosial saya seputar program ini semenjak saya layangkan kegiatan saya melalui linimasa Instagram, Facebook, dan BBM. Akan saya jawab di sini saja, agar lebih enak dan leluasa, ya. Tulisan kali ini semacam menjawab Frequently Asked Questions.

Siapa sih yang menyelenggarakan program ini? Program PPL/KKN Thailand merupakan program kerjasama yang dilaksanakan oleh Abroad Alumni Association of Southern Border Provinces atau Badan Alumni Internasional Thailand Selatan dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, termasuk UM. Sebenarnya, program PPL di luar negeri banyak sekali jenisnya. Program PPL di Thailand pun ada dua macam (kalau di UM). Hanya berbeda penyelengara. Ada yang di Thailand Selatan, ada yang di universitas (yang bekerja sama dengan UM) seperti Walailak University di Songkhla. Tahun ini pun, UM baru saja membuka kesempatan untuk mahasiswa PPL di Sekolah Indonesia Singapura (SIS). Tapi, yang akan saya ceritakan adalah program yang saya ikuti, yaitu PPL/KKN di Thailand Selatan di semester genap.

Sejak kapan program ini berjalan? Program ini sudah berjalan sejak tahun 2014 dan diadakan tiap semester. UM baru bergabung pada tahun 2015. Selain itu, UM hanya mengikuti program ini tiap akhir semester genap atau mengikuti kalender pendidikan di Thailand, masih awal semester gasal. Terhitung sudah ada enam angkatan hingga saat ini. Namun, di UM baru angkatan kedua.

Di mana saja peserta program akan ditempatkan? Kami akan ditempatkan di berbagai wilayah di Thailand Selatan meliputi Thailand Selatan bagian atas (Krabi, Trang, Panga, Satun, Ranong, Nakhon Si Thammarat, dan Pathalung), Songkhla, Yala, Pattani, dan Narathiwat. Seperti yang media kekinian sampaikan, wilayah-wilayah ini merupakan wilayah yang sedang disorot, wilayah yang berada di zona waspada konflik, terutama Pattani, Yala, dan Narathiwat. Bila kita lihat di media, kita akan jumpai berita kurang mengenakkan mengenai 5 wilayah ini. Tapi tenang, persepsi kita akan berubah ketika sudah sampai di tanah rantauan seperti yang saya rasakan sekarang. Ibarat saya orang asing yang berkunjung ke Indonesia, saya pasti akan takut akan isu bom di Indonesia yang beredar di luar negeri. Tetapi, nyatanya tidak selalu ada bom di Indonesia, ya kan? Memang benar, banyak askar atau tentara dan polisi yang memeriksa semua kendaraan tiap hampir 2—5 kilometer di sini. Semua itu dilakukan untuk menjaga keamanan, tidak perlu kita paranoid. Tidak perlu pula kita terlalu menanyakannya. Kita hanya perlu pasrah kepada Allah dan tetap waspada.

Mengapa harus mengirim mahasiswa dari Indonesia untuk mengajar? Seperti informasi yang saya tangkap pada saat pembukaan program, program ini diadakan dengan tujuan untuk memperbaiki pendidikan agama Islam dan bahasa Melayu di Thailand  Selatan. Sebagian besar masyarakat Thailand Selatan beragama muslim. Muslim di sini pun tidak seperti di Indonesia yang bebas berekspresi dalam busana. Muslim di sini selalu menutup aurat dengan baik, terutama para perempuan. Jarang dijumpai perempuan yang memakai celana dan kerudung tidak menutup dada, kecuali di pasar atau pemukiman warga. Bila di tempat umum, semua muslim perempuan memakai gamis, jubah, khimar, bahkan tak jarang bercadar. Pergaulan perempuan dan laki-laki di sini pun tidak sebebas di Indonesia dalam hal berinteraksi. Bahasa sehari-hari yang digunakan di sini dalam lingkungan informal adalah bahasa Melayu dan dalam lingkungan formal digunakan bahasa Thai. Namun, bahasa Melayu yang digunakan di sini berbeda dengan bahasa Melayu yang kita jumpai di bagian barat Indonesia maupun di Malaysia. Itulah kenapa alasan negara ini mengirim kami yang berasal dari Indonesia untuk mengajar ilmu agama lebih dalam dan memperbaiki bahasa Melayu di Thailand Selatan. Tak jarang pula, kami harus mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Seperti kita tahu, bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional dan bahasa Indonesia juga baru saja resmi menjadi bahasa pengantar di ASEAN.

Nah, sudah tahu kenapa alasan diadakannya program ini, bukan? Terjawab sudah pertanyaan “Mengapa harus mengirim mahasiswa dari Indonesia untuk mengajar di Thailand Selatan?”. Sekarang, saya akan menjawab pertanyaan selanjutnya. Apakah semua mahasiswa berkesempatan ikut program ini atau hanya mahasiswa tertentu? Jawabannya adalah semua mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi yang melakukan kerjasamalah yang berhak mengikuti program ini. Namun, mengingat kebutuhan, medan, dan tujuan program ini seperti itu, akan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mengikuti program ini.

Apakah harus dari jurusan bahasa Indonesia? Tidak ada batasan harus berasal dari jurusan apa. Yang jelas, gambaran program ini sudah cukup. Di sana, kita akan mengajarkan bahasa, agama, dan keterampilan sosial lainnya sesuai kebutuhan sekolah penempatan (misal nasyid, debat, kerajinan tangan, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, bekal kita dalam mengajar harus cukup. Minimal sudah menempuh mata kuliah pembelajaran seperti materi, program, metode, dan evaluasi pembelajaran. Untuk teman-teman dari program studi non pendidikan, tidak usah khawatir. Beberapa perguruan tinggi seperti UM, mengadakan pembekalan pembelajaran untuk mahasiswa yang terpilih.

Berapa dana yang harus disiapkan untuk mengikuti program ini? Program ini merupakan program yang didanai oleh penyelenggara. Peserta akan mendapatkan bantuan dana untuk kebutuhan bulanan sebesar 4000 Baht atau setara dengan kurang lebih Rp 1.600.000,- (bila melihat kurs beli Baht dengan Rupiah saat ini) per bulan. Namun, peserta dianjurkan menyiapkan dana untuk kebutuhan pribadi selama satu bulan pertama. Untuk persiapannya, bisa diperkirakan sendiri, terutama peserta perempuan yang tidak biasa memakai jubah dan khimar seperti saya, harus menyiapkannya dan itu dengan menggunakan dana pribadi. Kebutuhan lain pun harus dipersiapkan seperti persediaan makanan instan hingga alat mandi, bahkan media-media sederhana untuk mengajar. Intinya, bila memang berniat mengikuti program ini, tidak dipungkiri, saya katakan fakta agar tidak terjadi kesalahpahaman, harus menyiapkan finansial jauh-jauh hari mengingat kebutuhan yang harus disiapkan tidak sedikit. Tapi, ini semua demi kelancaran program, bukan demi gaya-gayaan atau apapun. Kalau tidak punya biaya pun, tidak usah ragu ikut program ini. Tidak ada yang percuma dan terbuang, terbayar dengan pengalaman luar biasa yang didapatkan di sini.

Alhamdulillah, UM memberi bantuan dana tiket pesawat untuk peserta PPL/KKN Thailand ini. Selain itu, pengurusan visa juga dibantu oleh universitas. Tapi, dana pengurusan paspor dan visa tetap ditanggung peserta. Namun perlu diingat, tidak semua fakultas bahkan tidak semua universitas mendanai dan membantu proses ini. Kalau Fakultas Sastra di UM, memang secara langsung mendanai. Tapi, ada salah satu peserta dari Fakultas Ekonomi yang harus mengajukan dana dulu ke fakultas. Tidak langsung diberi ketika telah dinyatakan lolos seleksi. Mahasiswalah yang harus aktif. Jadi, para mahasiswa di luar fakultas dan universitas yang mendanai secara langsung, harus mempersiapkan hal ini.

Bagaimana dengan semester yang ditinggalkan? Ya. Pasti banyak yang bertanya mengenai waktu pelaksanaan program yang bertabrakan dengan mulainya semester gasal di UM. Mohon maaf, sedari tadi saya bercerita tentang UM, karena saya berasal dari UM, hehe. Saya kurang tahu bagaimana sistem di universitas yang lain. Program ini berlangsung selama lima bulan. Itu artinya, akan ada dua bulan di semester tujuh yang tidak ditempuh di Indonesia. Hal tersebut tidak jadi masalah. UM memberi keringanan berupa penyetaraan atau ekuivalensi program ini dengan 15 Sistem Kredit Semester (SKS). Seperti saya, di semester 7, saya harus menempuh mata kuliah Kajian dan Praktik Lapangan (KPL) yang setara dengan 4 SKS, skripsi yang setara dengan 6 SKS, dan satu mata kuliah yaitu Strategi Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing yang setara dengan 3 SKS. Itu artinya, saya memanfaatkan 13 SKS untuk disetarakan. Namun perlu diingat, tidak semua matakuliah bisa dibayar dengan 15 SKS ini. Kami harus berkonsultasi dengan Ketua Jurusan, mana yang bisa dan tidak bisa disetarakan. Pun, kami tidak langsung lulus mendapat nilai A. Sepulangnya ke Indonesia, kami tetap harus mengikuti prosedur perkuliahan yang berupa tugas akhir dan lain sebagainya untuk mendapatkan nilai. Note that.

Bagaimana seleksi pesertanya? Sekali lagi, mohon maaf saya bercerita tentang UM, ya, hehe. Seleksi yang dilaksanakan di UM meliputi beberapa aspek. Ada wawancara menggunakan bahasa Inggris (berlaku untuk semua peserta), wawancara bahasa asing lainnya (bila peserta memiliki kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris), membaca kitab bertulisan Arab, menghapal surat di Al-Quran, dan wawancara mendalam (depth interview) tentang kesiapan mental untuk ditempatkan di sana. Wawancara tersebut harus dilakukan, sekali lagi mengingat medan yang akan ditempati nanti berbeda dengan medan PPL di Indonesia. Selain wawancara, peserta juga diminta menunjukkan kemampuan di bidang sosial, misal menyanyi, menari, bercerita, dan lain sebagainya. Pada saat itu saya menunjukkan kemampuan saya melantunkan tembang Jawa dan salah satu penguji menyuruh saya mengganti liriknya dengan bahasa Indonesia dengan nada yang sama. Spontan saya harus berpikir keras, hehe. Hal ini karena kita nantinya tidak hanya mengajar formal, tapi besar kemungkinan sekaligus menjadi duta budaya Indonesia.

Syaratnya apa saja? Syarat administrasi yang harus dipenuhi berbeda-beda di masing-masing kampus. Misalnya saja ada kampus yang mensyaratakan belum menikah, IP minimal sekian, dll. Namun, syarat umum yang dibutuhkan adalah:
-Terdaftar sebagai mahasiswa aktif di masing-masing perguruan tinggi.
-Jumlah peserta KKN/PPL terpadu sesuai dengan kebutuhan sekolah/madrasah di wilayah Thailand Selatan dan kesepakatan Badan Alumni Internasional Thailand Selatan.
-Memiliki kemampuan di bidang bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
-Memiliki kemampuan baca tulis Al-Quran.
-Memiliki kemampuan nonakademik seperti MC, Nasyid, Banjari, dsb.
-Memiliki kemampuan mendidik, terbukti bersedia menjadi tenaga pengajar di sekolah/madrasah tempat mengikuti program PPL/KKN Terpadu.

Berapa mahasiswa yang diambil? Semua bergantung kebutuhan. Di angkatan saya, ada 91 mahasiswa se-Indonesia yang berangkat. Dari UM, ada 16 mahasiswa yang berangkat. Semua melalui proses seleksi dengan menyisakan lebih dari sekitar 100 mahasiswa yang mendaftar di UM.

16 delegasi Universitas Negeri Malang untuk PPL/KKN Thailand Selatan 2016 yang berasal dari berbagai jurusan
Bagaimana dengan bahasa pengantar? Bahasa pengantar yang nantinya akan digunakan dalam mengajar bergantung jenis sekolah dan bergantung wilayah mana. Di dalam lingkungan formal, bahasa Thai banyak digunakan di sekolah. Dalam lingkungan informal, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Thailand (sedikit berbeda dengan Malaysia dan barat Indonesia, namun lebih condong ke arah bahasa Melayu Kelantan). Namun, di beberapa sekolah pondok, kita tidak perlu menggunakan bahasa Thai, karena semua berbahasa Melayu khas Pattani. Kita pun sangat diizinkan mengajar menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris, sejauh siswa dapat memahami. Berbeda bila mengajar di sekolah kerajaan (di Indonesia kita sebut sekolah negeri), akan banyak kita jumpai penggunaan bahasa Thai, karena tidak semua siswa adalah muslim dan dapat berbahasa Melayu.

Untuk yang ditempatkan di Pattani, Yala, dan Narathiwat, tak usah khawatir karena mayoritas menggunakan bahasa Melayu Pattani, selama sekolah tersebut bukan sekolah kerajaan. Namun di wilayah Songkhla dan wilayah Thailand Selatan bagian atas, akan lebih banyak dijumpai penggunaan bahasa Thai. Seperti saya, saya ditempatkan di Narathiwat, tapi di sekolah kerajaan. Otomatis saya juga harus menghargai murid saya yang nonmuslim dengan menggunakan bahasa Thai sedikit-sedikit.

Bagaimana jika peserta tidak bisa berbahasa Thailand dan Melayu? Tidak perlu khawatir. Kita bisa belajar selagi belum berangkat. Beli saja buku pintar bahasa Thai sebagai bekal komunikasi dasar. Minimal bisa memperkenalkan diri, umur, asal. Hal ini berguna untuk menarik minat peserta didik di awal pembelajaran. Untuk bahasa Melayu, kita bisa belajar juga dengan buku manual. Manfaatkan teman-teman asal Thailand yang belajar di universitas kita. Kita bisa meminta bantuan pada mereka, minimal dalam hal pengetahuan budaya. Ingat, budaya. Hal yang paling penting kita ketahui terlebih dulu adalah budaya. Misalnya, budaya salam di sana. Salam dengan menyatukan kedua tangan di depan dada hanya ditujukan kepada pemeluk agama Budha sambil mengatakan sawadee khra/khrap. Sedangkan salam sesama muslim harus menyentuh tangan dengan kedua telapak dan mencium bekas salam dengan mengarahkan ke arah hidung. Hanya untuk mukhrim. Bila bukan mukhrim, kita hanya cukup mengangguk. Di Indonesia, bila bukan mukhrim, kita melakukan salam berjauhan. Di sini tidak wajar.

Alhamdulillah, di UM, kami mendapatkan pembekalan bahasa dan budaya Thailand dan Melayu dari para mahasiswa Thailand yang belajar di kampus kami. Kami mendapatkan pembekalan bahasa Thailand hampir setiap hari bersama Khru Palm dan Khru Dew, mahasiswa S2 Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk bahasa Melayu, kami mendapatkan pembekalan dari Cikgu Nana dan Cikgu Sofia, mahasiswa program In Country Walailak University yang belajar bahasa Indonesia di kampus kami selama kurang lebih 4 bulan.

Untuk teman-teman kampus lain yang tidak mendapat pembekalan, harus proaktif membekali diri. Tidak perlu khawatir juga, kita akan ditempatkan selama 5 bulan di lingkungan penutur asli. Secara terpaksa, kita akan bisa berbahasa bila setiap hari tercelup dalam masyarakatnya. Awal mula datang ke mari, saya hanya bisa bahasa Thailand sederhana dan bahasa Melayu yang sangat Indonesia. Bahkan, para murid menertawakan bahasa Thailand saya saat saya memperkenalkan diri di depan lapangan akibat bahasa saya yang aneh dan intonasinya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Ya, bahasa Thai adalah tonal language. Beda intonasi, beda sudah maknanya. Bila sudah deadlock, saya hanya bisa mengatakan Chan pud pasa Thai mai dai, yang artinya saya tidak bisa berbahasa Thailand. Akhirnya, guru bahasa Inggris turun tangan sebagai penyambung komunikasi saya. Maka dari itulah, pentingnya bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Jika tidak, terpaksa bahasa isyaratlah yang harus berperan. Hehe.

Lokasi penempatan berdasarkan apa? Beberapa sekolah penempatan mempunyai syarat untuk menerima peserta PPL. Misalnya saja ada sekolah yang menginginkan dua orang guru, laki-laki dan perempuan. Ada juga yang hanya ingin satu orang guru. Kalau di sekolah saya, menginginkan dua orang guru, yakni guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun, akibat beberapa pertimbangan, akhirnya sekolah tempat saya mengajar hanya ditempati oleh saya seorang, mengajar bahasa Indonesia.

Lokasi penempatan beragam dan jangan harap bisa bertemu sesama teman seuniversitas secara mudah. Kami ber-16 dari UM tidak ada yang ditempatkan di sekolah yang berdekatan. Bahkan, ada satu orang teman saya, Asep, yang ditempatkan di Yala seorang diri, tidak ada mahasiswa UM selain dia di Yala. Saya ditempatkan di Narathiwat, di provinsi paling selatan, dan di kabupaten paling selatan. Berbatasan dengan Malaysia. Awalnya, saya kira di sini akan banyak bahasa Melayu. Tapi, ternyata sekolah saya adalah sekolah kerajaan. Jadi, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Thai. Hanya sedikit guru yang bisa berkomunikasi bahasa Melayu secara lancar.

Sekolah yang akan ditempati pun beragam. Ada yang di sekolah negeri seperti saya (sekolah plural, namun mengikuti aturan kerajaan. Biasa disebut sekolah kerajaan.), ada yang di sekolah Islam, bahkan ada yang di pondok. Semua sama saja. Hanya budaya dan aturan sekolah yang berbeda-beda.

Bagaimana dengan tempat tinggal? Ada beragam jawaban bila berkaitan dengan tempat tinggal. Ada yang tinggal bersama santri di pondok. Otomatis, harus terbiasa dengan keberagaman santri dan harus terbiasa meluangkan sedikit ruang pribadi. Ada yang ditempatkan di rumah guru dalam kompleks sekolah seperti saya. Saya tinggal bersama seorang guru muda di sebuah rumah sewa. Ada yang ditempatkan di kontrakan bersama dengan beberapa kawan Indonesia. Ada juga yang tidur di ruangan seadanya. Semua sama saja. Sekali lagi, inilah fakta. Saya percaya, di mana pun lokasi penempatan dan tempat tinggal, Allah sudah punya rencana indah di baliknya.
Maka dari itu, persiapan kebutuhan sehari-hari harus bisa diprediksi jauh-jauh hari. Penting mengetahui tempat penempatan kita sebelum berangkat. Sebisa mungkin, gali informasi dari kakak tingkat atau dari internet dan dari apa pun agar kita siap secara materi. Namun, sekali lagi, sekali lagi, tidak perlu paranoid dan merepotkan berlebihan. Jalani saja.

Kebetulan sekolah saya belum pernah kedatangan mahasiswa PPL Indonesia. Jadi, saya mendapatkan sedikit sekali informasi mengenai sekolah saya dan di mana saya tinggal nantinya. Pada saat saya mencari informasi di internet, yang keluar adalah bahasa Thai semua dan saya tidak paham. Alhasil, saya hanya bisa melihat-lihat beberapa foto. Itu pun beberapa di-lock karena situs yang dipakai adalah lokal Thailand dan tidak bisa dibuka di Indonesia. Berbekal bismillah, saya pasrah mendapatkan rumah tinggal seperti apa. Alhasil, ibu menyuruh saya membawa banyak sekali peralatan seperti setrika, pemanas air, makanan instan, sampai bagasi pesawat saya kelebihan 5 kg dan saya harus membayar denda. Tetapi, alhamdulillah, semua barang yang saya bawa dari Indonesia sangat bermanfaat, tidak ada yang nganggur, karena saya ditempatkan di rumah sewa.

Bagaimana dengan pembekalan pembelajaran? Kita tidak mungkin dilepas oleh kampus begitu saja sebelum mengajar. Apalagi ini mengajar anak di negeri orang. Kampus akan memberikan pengarahan dan juga latihan mengajar micro teaching  sebelum kita berangkat. Di UM, kami mendapakan pembekalan ini selama satu minggu. Inilah mengapa tadi saya mengatakan, untuk peserta dari prodi non pendidikan, tidak perlu terlalu berkecil hati. Tapi, memang harus lebih berlari karena banyak sekali PR yang harus dipenuhi.

Hal yang paling penting saya rasakan sekarang adalah sebagai guru, kita harus bisa mengondisikan kelas secara optimal. Di Indonesia saja, belum tentu semua guru bisa mengondisikan kelas, apalagi di negeri orang dengan bahasa yang sudah berbeda. Setelah itu, persiapan materi dan bahan ajar harus matang. Kalau bisa, susun materi sejak dari Indonesia. Waktu sudah sampai di Thailand, tinggal menyesuaikan saja. Jangan juga mengandalkan media elektronik karena tidak semua sekolah sudah modern. Masih banyak sekolah yang menggunakan papan tulis kapur. Di sekolah saya, tidak semua kelas mempunyai LCD atau TV. Jadi, saya menyiapkan beberapa media sederhana yang saya  bawa dari Indonesia. Ini penting sekali. Jangan sampai kita asyik mempersiapkan kebutuhan pribadi sampai lupa bahwa kita datang untuk mengajar dan kebutuhan pengajaranlah yang seharusnya paling utama disiapkan.


Di mana pengumuman seleksi bisa kita dapatkan? Ya, sampailah saya pada penghujung tulisan panjang lebar ini. Semoga bisa bermanfaat untuk para calon peserta PPL/KKN Thailand dan pembaca lain yang sudah menyempatkan membaca. Info mengenai program ini bisa didapatkan di web PPL masing-masing kampus atau di papan-papan pengumuman di masing-masing fakultas. Jangan sampai jadi generasi yang malas membaca dan hanya bisa mengatakan “Kok pengumumannya gak terbuka, sih? Kok aku ga tahu? Di mana sih pengumumannya?” Hehe...just kidding, tapi dalem J.