Followers

Wednesday, December 28, 2011

Back

My home is fun.
My home is my smile.
My home is my smiling photos.
My home is my shining parents.
My home is my glowing friends.
My home is my bright future.

My home is YOU.

And now, I am home-sick.

Please, take me back to my home.

Saturday, December 24, 2011

"Buat Pengalaman"

Jumat malam kemarin, aku diajak Budhe Al ke Surabaya. Ada apa tiba-tiba ke Surabaya? Jadi gini nih...kakak sepupuku, panggil saja Yayan, dia sekolah di Akademi Kepolisian di Semarang. Nah, hitung-hitung setelah penutupan masa awal pendidikan, korps Jawa Timur mengadakan acara ramah-tamah di Hotel Satelit di Surabaya. Nah, ketentuan acara ini, taruna (sebutan untuk murid di sini) harus membawa anggota keluarganya + 1 cewek (entah itu cewek dalam konotasi yang seperti apa). Karena Mas Yayan belum punya cewek, salah satu cewek yang mungkin diajak adalah aku. Dini waktu itu sedang di Surabaya juga, tapi dia lagi take a walk sama sahabatnya. Ini nih Mas Yayan.

Nah, apa yang bikin aku jadi mendadak not in the mood to go malem itu? Mbak Wulan, adiknya Mas Yayan bilang kalau aku tidak usah memakai baju yang terlalu formal, baju biasa saja sudah cukup. Eh, saat aku masuk mobil, aku dapati Mbak Wulan, Budhe Al, dan Pakde Pras memakai baju yang cukup formal. Walau Mbak Wulan memakai rok terusan berbahan kasual, tapi aku merasa sangat salah kostum dengan memakai baju berbahan jatuh bermotif tanpa lengan dan hanya sepanjang lutut lalu menutupnya dengan legging hitam dan memutuskan memakai jaket denim kesayanganku dari blazer yang harusnya lebih formal dan kerudung polos yang membuatku tampil sangat 'mall'.

Perjalanan menuju Surabaya yang harusnya hanya memakan waktu 2 jam, harus lebih panjang lagi karena hujan deras yang mengguyur kami sepanjang perjalanan. Macet. Itu problem kedua kota besar selain panas. Alhasil, acara yang harusnya dimulai jam 6, menjadi molor hingga jam setengah 8. Benar dugaanku. Ini hotel. Dengan dekorasi seperti itu, ini bukan mall, aku resmi salah kostum. Dan menyesal menanggalkan high-heels punya ibu yang aku ganti dengan sepatu flat super-casual karena punggungku terasa pegal dengan tumpuan hampir 10 senti itu. Melihat para undangan datang dengan baju mini khas pesta malam dengan gaun-gaun sifon, make-up tebal, clutch, sepatu hak dua puluh senti, rambut yang sengaja di-curly, aku menjadi semakin ingin menciut dari tempat itu dan pulang ke tempat tidurku. "Ngapain kamu diem? Gara-gara salah kostum, ya?" celetuk Mbak Wulan. "Jangan heran, mereka memang sudah terbiasa hidup glamour, jadi pakaiannya ya seperti itu, pede aja lagi,". Yeah, it's never mind. Yang terpenting memang kita harus menjadi superpede saat kita yakin itu tidak ada salahnya.

Mas Yayan itu orangnya hebat sekali. Dia selalu berada di ranking tertinggi di sekolahnya saat SMA dulu. Dia juga selalu hidup sederhana, tidak pernah minta dibelikan handphone canggih di saat teman-temannya memakai Blackberry. Tidak pernah ingin dibelikan sepatu baru, padahal nyatanya sepatunya sudah usang. Tidak pernah minta dibelikan baju baru, padahal Mbak Wulan sering meminta pada Pakde Pras dan Budhe Al. Bahkan saat diajak rekreasi pun, ia lebih memilih di rumah untuk belajar. Kata Pakde Pras, Mas Yayan sudah ngga punya nafsu duniawi. Bahkan karena kesal tidak diterima SNMPTN undangan di universitas yang dia inginkan, dia memutuskan untuk mendaftar di PTN yang berikatan dinas, karena dia ingin bersekolah tanpa membuat orang tuanya terus-terusan mengeluarkan biaya.

Seperti hal yang sangat tidak mungkin dan sangat bertentangan dengan kehidupan Mas Yayan yang jauh dari ketegasan. Dia adalah anak yang sopan, jika berbicara sangat lembut, berbeda dengan kebanyakan cowok. Ia tidak merokok. Bahkan ia rela menghabiskan waktu liburannya untuk berlatih fisik sampai sempat sakit karena tidak biasa. Saat seleksi saja, salah seorang temanku mengatakan bahwa ia anak mama. Tapi ternyata, mereka semua salah. Mas Yayan hebat bisa menyingkirkan ribuan orang di Indonesia untuk bersekolah di Akpol. Di Kabupaten Malang saja, hanya 3 orang yang berhasil lolos, termasuk Mas Yayan.

Di acara semalam, ternyata, cewek yang dimaksud itu ya cewek. 'Cewek'. Melihat para taruna bergandengan dengan pacar mereka yang cantik-cantik, membuatku mengerti kalau aku memang datang ke sini sebagai 'cewek', bukan keluarga. "Kapok, kamu disewa semalam buat jadi pacar bayaran," sindir Mbak Wulan. *sigh*

Dengan cara Mas Yayan yang sopan memperlakukan kami, membalik gelas-gelas kami, mengambilkan nasi, membuatku ingin sekali mempunyai suami yang berhati lembut seperti dia, hihihihi. Kata Pakde Pras, "Itu banyak taruna, pilih salah satu aja, enak punya suami pejabat, hidupnya terjamin". Aku lalu berkata, "Apa siiih pakde!". Bagiku, tidak harus kaya, yang penting kaya hatinya.

Ini namanya Mas Althof, yang waktu itu semeja dengan kami.


Saat aku bercerita kepada bapak melalui sms tentang kejadian hari ini, bapak hanya bilang, "buat pengalaman".

Hari yang melelahkan. Dan membuatku berpikir panjang tentang masa depan, akan kah aku tetap ingin menjadi guru yang gajinya tidak seberapa. Dan akan kah aku memilih suami karena apanya, karena hartanya atau karena hatinya. Akan kah aku bisa sesukses Mas Yayan, atau bagaimana? Aku tidak tahu skenario sang sutradara akan bagaimana, aku hanyalah seorang aktris yang harus berusaha. Semoga mimpi-mimpiku akan terus menggantung setinggi langit, tidak pernah jatuh sampai aku berhasil mewujudkannya. Amin...

Mom and Maternal

"Bu', bu', selamat hari ibu,"

Ucapku sedikit malu saat aku pulang terlambat hari ini sambil membawa setangkai bunga mawar merah yang aku keluarkan dari tas. Mungkin aku adalah anak paling terlambat di Indonesia yang mengucapkan kalimat itu. Sebenarnya bunga itu Boem yang membelinya di pasar bunga untuk Bu Wulan. Karena ada sisa, ia memberikannya pada Ridho. Dan Ridho memberikannya padaku saat aku menangis tadi. Menangis? Iya. Tadi aku sempat menangis di sekolah karena hal sepele.

Aku mengucapkannya pada pukul 8 malam, sepulang dari rumah Ressy. Dan saat aku datang, ibu dan bapak akan ke luar menemui dosennya bapak. Jadi, ibu menerimanya dengan terburu waktu dan hanya mengucapkan, "Aneh-aneh wae" dan aku tahu, "aneh-aneh wae" itu bermakna "terima kasih untuk hadiah kecil yang sebenarnya aku tidak pernah minta, aku senang kamu masih menghargaiku sebagai seorang ibu".

Dia ibuku. Mungkin aku tidak memanggilnya 'mama' seperti kebanyakan teman-temanku memanggil buyungnya itu. Kami tidak pernah menjalin keakraban seperti layaknya teman curhat, tapi andai ibu tahu, aku senang telah bisa mengungkapkan apa yang aku tahan selama 17 tahun belakangan. Tahun ini, aku berhasil memberi kado kepada ibu. Untuk pertama kalinya. Aku juga berhasil memberi bunga kepada ibu, untuk pertama kalinya. Ternyata, aku tidak butuh uang untuk memberikan kado. Aku hanya cukup membuang jauh rasa jaim yang terlalu besar untuk sekedar membuatmu menggariskan senyum di wajah penuh kasih dan perjuangan itu.
Aku mungkin juga anak paling terlambat di dunia yang membuat posting ini. Tapi aku tahu, tidak ada kata terlambat untuk menunjukkan betapa indahnya rasa tersembunyi yang selama ini berbusa di dalam mulut yang kelu, dan hanya berani diungkapkan lewat mulut keduaku, tulisan.

Selamat hari ibu...

Tuesday, December 20, 2011

Jalanan Berbatu, Keras

Bloggers dan peepers, kali ini aku mau cerita tentang lingkungan di sekitar kita yang tiap hari kita temuin nih, ja-la-nan. Yap, jalanan. Banyak kisah menarik, inspiratif, dan mencengang yang aku temui tiap berangkat dan pulang sekolah. Yuk, mari intip!

Jalanan lebih keras dari batu, dan dari aspal. Jalanan itu 99% terbuat dari keringat, air mata, darah, amarah, dan harapan. Tiap aku berangkat sekolah, yang aku lihat bukanlah jalanan yang penuh dengan mobil yang berisikan anak sekolah, motor yang berisikan anak-anak SMP yang belum layak mengendarainya, atau pun angkutan umum yang berisi ibu-ibu ingin ke pasar. Namun, berisi para pembalap mobil F1 yang tidak mau ketinggalan start, bahkan mencuri start mungkin adalah kewajiban saat lampu merah mulai berkedip menjadi kuning, bahkan belum sempat menjadi hijau.

Belum selesai para pembalap mencapai garis finish, masalah sudah datang untuk menghalau kemenangan. Contohnya? Hanya pembalap bodoh yang mengatakan "ayo pake helm, daripada kena tilang" atau "pake sabuk pengamannya, 150 ribu melayang ntar", masalah yang utama sebenarnya bukan Pak Polisi berkumis yang siap menghadang, tapi masalah nyawa yang lebih berharga dan patut diberi penghargaan lebih.

Beralih dari masalah pembalap, kali ini aku akan membahas kehidupan yang lebih keras yang datang dari para 'empunya jalan'. Kalau masalah yang ini akan lebih mudah kita temui saat pulang sekolah. Terutama di angkot. Saat pulang les di Neutron, aku menemukan pemandangan lucu dari anak-anak yang sering berada di pojok taman kota depan stasiun karena ikut orang tua mereka berjualan di tenda-tenda yang telah disediakan pemerintah kota.

Yang membuat aku kaget adalah saat aku melihat anak tersebut masih sangat kecil, duduk di jalanan sambil menggendong adik kecil yang sepertinya terlalu berat untuknya. Anak sekecil ini menggendong anak sekecil itu. Saat aku meminta dia untuk berfoto sebentar, beberapa teman lainnya melihat dengan pandangan polos dan tersirat keinginan untuk difoto juga. Akhirnya aku 'mengawe-awe' tanganku, mengajak mereka bergabung. Dengan semangat, mereka bergabung dan memasang wajah lugu mereka. Lalu datang seorang anak yang berbeda dari lainnya, dia memiliki kelainan mental. Awalnya, seorang anak perempuan yang paling pinggir mengusirnya karena dia tidak bisa diam. Anak perempuan itu mendorongnya, hingga gambar yang ini shaked.

Lalu si anak laki-laki yang di tengah, dengan baiknya, membimbing si anak yang tadi ditendang, menyuruhnya melihat kamera, dan mendongakkan kepalanya menuju arah kamera.

Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak, yang seharusnya belajar setidaknya di rumah dengan orang tua dan merasakan nyamannya kasur saat hari sudah menjelang malam, harus berada di jalanan sedingin itu, beralih fungsi dari kakak menjadi bapak, menghirup udara penuh polusi, melihat pemandangan orang-orang yang merokok, berkata kotor, anak-anak muda yang 'nongkrong' di pinggir jalan setiap harinya.

Saat di angkot pula, kisahnya beragam. Aku menemui berbagai orang dengan sifat berbeda tiap harinya. Aku biasanya pulang dengan Ernita saat selesai les, kami selalu mencari angkot yang lumayan sepi, karena kami adalah teman curhat, jadi kami perlu ruang. Mencari angkot yang sepi di antara angkot-angkot yang nge-time itu serumit menawar mangga di pasar besar. Kalau kita naik angkot yang sepi, di depan masih ada angkot yang nge-time dan memaksa kami naik di sana. Sopir angkot bisa saja mengucapkan kata-kata kotor pada kami, bahkan pernah juga ada yang menghina sopir yang angkotnya kosong tadi. Jadi, untuk menjaga perasaan, kami lebih baik diam, pura-pura menunggu angkot jurusan lain jika ingin angkot yang nge-time tadi pergi. Mendapatkan angkot juga bukan perang yang terakhir. Kami juga masih menghadapi pertempuran batin di dalam angkot. Pernah aku duduk di pojok sendiri dengan Ditong, temanku, dan kami digoda rombongan calon anggota militer yang baru saja ke luar dari stasiun dan naik angkot yang kami tumpangi. Saking risihnya, apalagi kami satu-satunya wanita di dalam angkot, kami memang hanya digoda dengan kata-kata, namun bagi wanita, itu adalah pelecehan yang tidak bermoral. Akhirnya aku bilang "kiri, pak!" tanpa pikir panjang dan naik angkot yang lain daripada kami kenapa-napa nantinya.

Kadang juga ada oom-oom yang sedikit kegatelan, padahal tempat duduk masih banyak yang kosong, namun sengaja merapat ke penumpang wanita sambil sok akrab, dan membuat pikiran negatif para penumpang wanita bermunculan. Belum lagi masalah copet yang sering meresahkan kami. Aku pernah naik angkot yang sangat sesak, dan handphone-ku aku taruh saku rok. Tiba-tiba tangan pria di sebelahku meraba rokku dan aku tidak bisa bergerak karena angkotnya memang sangat sesak. Aku lalu berdehem dan melotot ke arah pria itu, tapi dia tetap saja meneruskan. Akhirnya aku tidak peduli dengan yang lain, aku bergerak cepat menyingkirkan tangan pria itu dengan sedikit memukulnya, penumpang yang lain hanya melihatku aneh, aku lalu turun karena aku tau pencopet tidak hanya sendirian di dalam angkot.

Tidak hanya masalah penumpang, sopir pun sering membuat masalah. Mengejar setoran tanpa peduli perasaan. Angkot yang selalu overload, bahkan sampe tega membiarkan ibu-ibu duduk di pinggir pintu, duduk bersama kenek, berbagi kursi kayu kecil tambahan, membiarkan karbondioksida di dalam angkot bercampur keringat tanpa ada ruang gerak untuk mendapatkan oksigen. Sudah tahu seperti itu, masih saja mengebut dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya jika dihiperbolakan, mengerem mendadak sampai membuat semua penumpang menyebut nama Tuhan dan menyalahkan sopir. Belum juga kalau sopir yang nakal, suka membohongi penumpang yang masih awam, menurunkan mereka di tempat yang tidak seharusnya, dan memberi kembalian tidak sesuai dengan tarif. Aku juga pernah digoda oleh sopir saat aku mengatakan ingin turun di pertigaan fly-over Arjosari. “Sampeyan kok ayu se, mbak? Melu aku wae timbang mudhun setopan. (Kamu kok cantik sih, mbak? Ikut saya saja daripada turun di pertigaan)”, kata-kata itu lantas membuatku risih. Perempuan berjilbab seperti aku saja masih bisa dilecehkan dengan kata-kata, apalagi perempuan yang membuka auratnya.

Belum lagi, saat aku menunggu bison, jenis angkutan luar kota berbentuk minibus, para makelar angkot sering bercerita ke sana ke mari. Pernah mereka bercerita tentang seorang wanita yang berlari sambil menangis menuju arah mereka meminta bantuan, dengan pakaian berantakan mengatakan, “aku takut...tolong aku”. Kata makelar itu, dia tidak berani menolong karena takut di-massa dikira dia yang telah mencelakai wanita itu. Makelar itu mengatakan “paling mari diperkosa (mungkin habis diperkosa)” dengan entengnya, tanpa rasa iba. Padahal sebagai perempuan, mendengarnya bagaikan mendapat petir di siang bolong. Miris sekali, tidak bermoral.

Tidak sembarang orang berani naik bison dan memilih naik angkutan biasa, karena bison lebih ekstrim daripada angkutan lainnya. Biasanya, aku lebih suka naik bison karena tidak pernah nge-time, bison sebenarnya angkutan lintas kota yang beralih fungsi menjadi angkutan umum dalam kota/kabupaten.

Lucu sekali jika melihat angkutan yang bertuliskan macam-macam di muka, maupun badan angkot. Dari mulai judul lagu sampai nama sinetron, Doa Ibu, Dia Vega, Wanita Hiburan, Cinta Satu Malam, Rosalinda, Teman Tapi Mesra, Putri Yang Ditukar, Abang Suka, Bawa Pulang, sampai Pergi Karena Tugas, Pulang Karena Beras. Namun satu yang disayangkan, kenapa rata-rata kalimat dan gambar yang digunakan selalu melecehkan wanita, pernah juga aku menemui truk bergambarkan wanita tanpa memakai sehelai baju pun. Apakah wanita hanya sebatas hiasan dan patut diinjak-injak yang dipertontonkan di depan umum tanpa batasan?

Dan yang terakhir, aku mau bercerita tentang seorang anak kecil berumur 10 tahunan yang kemarin aku temui di bison. Bajunya lusuh walaupun tidak compang-camping, bau, dia tidak membawa apa-apa, kulitnya penuh bekas luka seperti cacar. Dia tertawa-tawa sendiri, melontarkan kalimat-kalimat aneh yang membuat semua orang hanya terheran-heran. Menggunakan dialek Bahasa Jawa yang kasar bercampur bahasa entah itu dari planet mana sambil sesekali melotot dan mengupil lalu mengelapnya kea rah kursi bison. Semua penumpang pria menertawakan dia karena mereka tahu, anak kecil itu tidak waras. Namun kami para wanita hanya terdiam, beristighfar, sambil memandang dengan mata kasihan, sebelum akhirnya kami tertawa juga karena tidak tahan dengan anak kecil itu yang terus tertawa tanpa henti. Kenek bison sempat bertanya, dia ingin turun di mana. Dia menjawab ingin turun di Demak. Spontan semua orang kaget. Padahal ini Malang, Demak terletak di Jawa Tengah, benarkah dia ingin turun di sana? Ia lalu meminta uang seribu dengan kata-kata anehnya kepada penumpang di dalam bison, lalu mulai berteriak lagi dan mengganggu sopir. “Roti-roti...roti kayu, roti umbel (ingus), roti sempak (celana dalam)! Buahahahaha, goblok, kemplu kabeh, moso aku maeng diarani gendeng! (Bodoh semua, masa’ aku tadi dibilang gila). Buahahahahahahaha Demak iku ning kene lho, irung kene lho, metu kene, irung sing iki! (Demak itu di sini lho, di hidung sini, ke luar di hidung ini). Buahahahahah! Bumi meledak! Kapan bumi meledak, hahahahaha!”. Begitulah sebagian kalimat yang bisa aku ingat. Dia positif gila. Aku hanya beristighfar, bisa-bisanya anak sekecil itu, menjadi seperti itu, di jalan ini sendirian tanpa tujuan, tanpa kasih sayang.

Saat aku turun, aku terus berpikir. Mungkin dia korban penculikan di Demak sana, lalu dibawa ke Malang dan dia berhasil kabur, namun menjadi gila akibat stres karena jauh dari keluarganya. Atau dia memang sudah keterbelakangan mental sejak kecil dan dia lepas kendali dari orang tuanya dan tersasar sampai sejauh ini. Aku tidak tahu. Apakah nantinya dia benar-benar sampai di Demak, padahal bison hanya sampai Pasuruan. Apakah dia akan bertemu orang baik, lalu dia dirawat dan diperbaiki ingatannya.

Kalau aku bisa membuat sketsa wajah, aku akan menggambarnya, namun sayang, aku tidak jago menggambar. Ciri-cirinya bertubuh pendek, tidak terlalu tinggi untuk anak usia 10 tahunan, berkulit hitam akibat sinar matahari khas anak jalanan, bergigi besar-besar, kulitnya banyak bekas luka semacam cacar, rambutnya ikal namun cepak, bola mata kanannya selalu menghadap ke atas, namun mata kirinya normal, berwajah sedikit bulat, tubuhnya lumayan kekar untuk anak usia 10 tahunan, saat itu mengenakan baju kaos merah polos dan celana pendek hitam, sandal jepit berwarna oranye yang sudah lusuh. Dan suka berbicara sendiri dengan kata-kata aneh lalu tertawa dengan apa yang dia ucapkan. Semoga Allah selalu melindungi bocah malang itu, amin...

Monday, December 19, 2011

Mia Si Kecil

Blogger, kali ini aku bakal nulis sesuatu yang bisa dibilang special edition, nih. Aku mau bercerita tentang salah satu teman sekelasku. Panggil saja Mia. Nama lengkapnya Mia Permatasari Putri. Siapa sih yang tidak kenal dengan Mia? Makanya, sekarang aku mau cerita tentang Mia, nih. Mari memulai.

Postingan ini aku buat sesuai pesanan lho ya, Mi, jadi kurang dan lebihnya dibayar 'maaf', ya... Mia adalah temannya Dini, saudara kembarku, saat masih SMP dulu. Dini dan aku sering bertukar cerita tentang teman masing-masing tiap pulang sekolah. Salah satunya Mia. Makanya, waktu awal aku masuk SMA 4, aku sangat familiar dengan wajah Mia, karena aku sudah sering melihat wajahnya di Friendster. Walaupun aku tidak kenal dengan Mia, aku senyum kepadanya. Mungkin dia akan berpikir, "Ini anak udah ngga kenal, senyam-senyum, mana mukanya mirip Dini pula" :-D

Ini nih si Mia...cantik, bukan?

Mencari Mia mudah, kok. Cari saja cewek yang berkacamata dengan rambut lebih panjang dari bahu. Tentu saja susah jika hanya itu petunjuknya. Nah, ini yang jadi ciri lainnya. Mia sering dipanggil oleh teman-temanku Micil, Mia Kecil. Mungkin karena badannya yang mungil dan bikin gemas teman-temanku seperti Ridho, dkk. Justru karena dia mungil itu, dia selalu jadi sasaran usil anak-anak di kelas. Mia juga unik. Entah kenapa, kesan awal bertemu dengan dia akan jauh berbeda dengan kesan setelah mengenalnya. Jika baru kenal, pasti kalian akan berpikir dia sangat jutek, karena memang wajahnya serius. Tapi, setelah kenal, kalian akan tidak habis pikir dengan imajinasinya yang segudang, dan hal yang seharusnya tidak lucu, tabu, dan tidak layak ditertawakan menjadi layak dan patut untuk ditertawakan. Bahkan kata temanku, dia dijuluki Ibu Cekakak'an saat masih kelas 1o dulu di kelasnya karena dia suka cekakak-cekikik tidak ada habisnya. Apalagi saat bergabung dengan Radea dan Pipit, dunia ini akan jadi panggung srimulat.

Mia adalah bagian dari masa lalu Sony. Hah? Apa? Sony? Sony yang itu? Yang itu??? Iya, yang itu, haha. Awal aku masuk kelas 11, aku kaget saat sekelas dengan Mia. Aku merasa sungkan karena aku waktu itu pacarnya Sony. Entah kenapa aku sungkan, padahal aku tidak tahu aku sungkan untuk apa. Mungkin aku takut aku dibandingkan dengannya, seperti yang biasa orang lakukan terhadap si pacar dan si mantan. Mia rajin sekali orangnya. Cerdas. Kreatif. Atraktif. Sedangkan aku, aku sangat pendiam. Tidak rajin. Tidak cerdas, hanya sedikit dianggap pintar. Dan sangat kriuk-kriuk garing tidak bisa berhumor. Namun, asal kalian tahu, itu yang membuatku berlomba untuk membuktikan pada Sony, bahwa aku juga bisa seperti Mia :-D

Aku jadi penasaran dengan hasil ulangan Mia tiap ulangan dibagikan. Aku jadi takut jika nilaiku ada di bawahnya. Aku jadi tidak mau kalah tiap PR-nya selesai duluan. Haha, aku jadi ingin tertawa mengingat kelucuanku. Kamu pasti ga habis pikir ya, Mi. Akhirnya setelah beberapa lama, baru setelah aku tidak dengan Sony lagi, aku baru bisa berani membahas tentang Sony dengan Mia. Ternyata kisah kami lucu-lucu. Rasa sungkanku yang dulu jadi hilang sekarang.

Mia juga punya keahlian lain selain rajin mengerjakan PR. Dia suka cheer-leading karena memang dia sangat ceria.



Satu yang aku kagum juga dari Mia, dia konsisten dengan cita-citanya menjadi akuntan di bank, sama seperti mama, papa, dan kakaknya. Jangan salah saat pelajaran matematika, fisika, kimia, dan pelajaran yang menggunakan teknik seperti arsitektur pun dia hampir sempurna. Selain teknik, Mia juga punya cara menggambar yang unik dan gambarnya selalu lucu walaupun terkesan sedikit kekanak-kanakan. Dia bahkan tidak pernah menunjukkan air matanya meskipun dia bilang dia sedang galau di Twitter-nya. Beda sekali denganku yang mencium bau uang saja sudah tidak suka, apalagi menghitung uang dan bermain logika angka, menangis waktu aku rasa ada yang tidak nyaman. Semoga Mia bisa menjadi salah satu kontributor Indonesia di bidang keuangan nantinya, amin...

Nah, aku udah cerita beberapa tentang Mia, bukan? Sekarang aku mau kasih saran sama Mia, nih. Mi, lebih sering kumpul sama anak-anak, ya, habis gini kan kita udah lulus, bakal sibuk sendiri-sendiri, jadi...1 kehadiran anggota IPA 3 aja berarti banget buat kita, oke-oke? Sekian postingan-ku kali ini, udah hampir jam 10 malam, aku musti istirahat karena besok harus remidi PKn. Ciaooooo, blogger! ;-)

Photos: Mia's Facebook Profile Pictures

Menangis Lewat Warna

Aloha blogger...lama banget aku ngga nge-post di blog sampe lumutan, jamuran, lapuk, dan aku rasa tercium bauuuuu tanah. Efek hujan. Baru aja selesai ujian hari ini, dan alhamdulillah lancar. Tapi, ada tapinya nih. Seperti biasa, bukan ujian namanya kalo ngga ada remidial test. Dan seperti biasa, tissue akan menjadi idola. Ingus akan menggantikan hujan. Dan teman akan menjadi sasaran. Ye yeah, udah 2 orang yang saya temui, menangis karena nilai mereka yang aku rasa...tidak perlu ditangisi.

Tapi tapi, hingga detik ini aku mendapat kabar yang sangat buruk. Aku adalah 1 di antara 2 cewek di kelas yang remidi Matematika. Aku adalah 1 di antara 2 cewek di kelas yang remidi Pkn. Aku adalah satu-satunya cewek di kelas yang remidi Kimia. Bisa kamu bayangkan, cewek macam apa aku ini. Mendengar berita seperti itu, aku memang kecewa. Sangat kecewa dengan hasilnya. Belum selesai aku kecewa, aku mendapat kabar buruk lagi dari teman tentang...yap, tentang dia. Aku langsung tarik napas panjang...panjang sekali, melihat ke atas atap, menahan air mata yang sepertinya ingin sekali melihat dunia di luar mata. Aku langsung menarik tangan Ressy, sahabatku, dan bilang, "Res, ayo cepet pergi, aku mau ujan kayaknya,". Aku lalu berjalan cepat menuju tempat paling sepi di sekolah. Di depan ruang Waka Kurikulum.

Untung saja air mataku hanya menetes sekali, dan ia berhenti. Yes. Aku berhasil menahannya. Tanganku dingin tidak karuan, rusukku rasanya mau copot hanya demi menahan si air mata manja biar tidak main di luar mata. Temanku Mep, yang juga remidi Matematika, lalu datang dan menenangkanku (agak lebay rupanya bagian yang ini). Dia memegang tanganku dan berkata, "Jangan nangis, Sri, kita sama, kan? Kita bisa!". Aku lupa, aku lupa bahwa sekeras apa pun aku berusaha, kalau memang kemampuanku sudah ditentukan, aku hanya bisa bertawakkal. Aku ikhlas, aku bisa. Aku lalu menarik napas panjang lagi, dan mendengarkan curhatan Ressy dan Karina. Tidak lama kemudian, teman-teman yang lain datang.

Dan. Mereka membawa kebahagiaan. Safa, si penggemar kartun Timmy, membawa beberapa lembar gambar tokoh-tokoh Timmy dan pensil warna. Beberapa penggemar Timmy pun memainkan warna di atas wajah-wajah konyol teman-teman Timmy. Aku penasaran, akhirnya aku bergabung dengan mereka. Safa memberikan selembar wajah Timmy. Wow sekali, aku diberi kesempatan mewarnai tokoh utama, padahal aku tidak tahu, seperti apa wajah Timmy, tokoh macam apa si Timmy itu.

Aku suka. Sangat suka. Saat pensil warna bergelatakkan di meja bundar kecil yang dipaksakan muat untuk 9 anak. Berebut pensil warna sampai tertawa dan berlagak dengan aksen khas anak sekolah dasar yang sedang asyik berdebat. Dan inilah Timmy dan kawan-kawan...!

Setelah menggambar Timmy, kami semua berkumpul di balkon ruang serbaguna. Kami akan mendiskusikan liburan minggu depan. Selain itu, Icus, yang berkacamata di foto atas, berulang tahun hari ini. Kami semua memberi ucapan satu persatu, walaupun tidak ada yang terlihat spesial, tapi kami membuat ucapan spesial untuknya, doa dari sahabat.

Setelah semua kegiatan di sekolah berakhir, aku, Dina Nisrina Amelinda (temanku yang namanya sangat mirip denganku), Safa, Mep, Taju, Cah, dan Icus memutuskan untuk cuci mata di Gramedia. Aku juga ingat, habis ini liburan dateng, aku musti punya persediaan bacaan buat mentata ulang pikiranku yang sudah suntuk. Akhirnya aku beli Madre, buku terbarunya Dewi Lestari. Aku tahu aku terlambat membelinya, tapi late is better than never, kan? Aku segel buku ini sampai aku selesai menjalankan remidial test. Anggap saja, ini hadiah untuk diriku sendiri.
Bicara tentang Gramedia, aku jadi ingat dia. Dulu, kami lumayan sering ke sini. Dan aku ingat, saat aku membeli bukunya Dewi Lestari yang Filosofi Kopi, aku membeli bersamanya. Menghabiskan waktu berdua sambil bertukar cerita, dan aku suka saat dia bingung memahami selera bukuku dan bolak-balik bertanya buku mana yang aku suka, tapi aku tidak bisa membelinya sekarang. Dan saat aku ulang tahun, dia berkata, "Maaf, aku lupa dulu kamu suka buku yang mana, jadi aku beli ini," sambil menyodorkan buku berjudul Lupakan Palermo yang jujur, aku belum bisa habis membacanya.

Kembali ke teman-teman. Lucu sekali mendengar Taju dan Cah mengambil buku tata cara menggombal yang membuat cewek berkata "mana tahannn" dan mempraktikkannya pada kami. "Percuma tiap hari aku lihat humor kalo nyatanya cuman kamu yang bisa bikin aku senyum," gombal si Taju pada Safa yang membuat aku sedikit menyembur saat aku sedang membaca buku tata cara membuat kerajinan dari kain. Lalu kami melihat-lihat resep puding yang ingin sekali saat liburan nanti aku belajar memasak lagi.

Kami lalu berpisah dengan para cowok, karena mereka akan ke 21 Mandala untuk menonton Mission Impossible, yang di antara para cewek tidak ada yang suka karena notabene cewek jarang suka film action. Kami para cewek lalu memutuskan makan di KFC di seberang jalan. Memesan menu yang sama, kecuali Mep yang mengaku rugi memesan teh botol yang ternyata harganya sama dengan minuman float kami, dan bercerita ke sana ke mari sampai siang. Bicara KFC, aku juga jadi ingat dia yang pernah memberi senyuman manisnya di sini bersamaku sambil bercerita dan tertawa dan tersipu. Aku ingat dia. Di sepanjang jalan yang aku dan dia pernah lewati, aku ingat dia. Aku ingat dia lagi. Maaf, aku masih belum bisa secepat itu berpindah hati. Tapi aku suka punya teman-teman seperti Chemisthree, mereka baik, mereka yang membuatku berpikir bahwa untuk mendapatkan kelegaan, tidak perlu dengan menangis ;-)

Thanks for making my day.

Tuesday, November 29, 2011

Ibu Kedua

25 November 2011

"Terpujilah wahai engkau, ibu, bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...

'Hernawati'. Begitulah satu kata yang beliau tulis di papan saat awal berkenalan dengan kami. Lalu, beliau mulai memberi garis pada dua suku kata yang ada di tengah kata itu. 'Erna'. Lalu beliau mulai mengutip lagu "Berkibarlah Bendera Negeriku" dengan mengganti satu kata menjadi "...bendera Stetsaku". Begitulah beliau akrab disapa, Bu Erna. Saat ada bersama beliau, kami memang selalu memanggilnya Bu Erna. Tapi, jika di luar kelas, kami lebih suka memanggil dengan sebutan Mam Er. Jika kalian belum mengenalnya, bahkan hanya mengenalnya sekedar dari cuap-cuap atau mulut ke mulut orang yang hanya bisa sekedar berasumsi tanpa mengalami, pasti kalian akan berpikir negatif tentang beliau. Entah mengapa sebagian besar murid di sekolahku selalu takut dan lebih memilih jalan pintas untuk menghindar jika berpapasan dengan beliau. Demikian pula aku. Awalnya, aku seperti itu. Tapi ternyata, aku salah besar. Ada makna di balik senyum Mam Er.

Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku 'tuk pengabdianmu

Memang. Jika kalian belum mengenal beliau, kalian pasti menganggap beliau orang yang jutek. Sekali. Bahkan, kalian bisa saja menganggap beliau banyak maunya, sok disiplin, bahkan jahat. Tapi kalian salah. Aku juga awalnya salah. Namun, aku telah menemukan jawabannya sendiri. Beliau tidak jutek. Beliau hanya ingin menunjukkan pada kita, bahwa seorang guru, seorang ibu, juga harus menjadi seorang teman. Namun, sikap yang beliau tunjukkan mungkin akan terlihat jutek dan terkesan jaga image. Tapi, itu semua hanya untuk mengajari kita, bahwa walaupun orang tua adalah teman, tapi kita ingat, bahwa ada tirai pembatas yang semu namun tetap harus dijunjung tinggi, yaitu rasa hormat. Beliau memang banyak maunya. Tapi, itu adalah tuntutan, acuan untuk kita agar kita optimis dan bisa membuktikan pada beliau, bahkan pada khalayak bahwa kita memang bisa memenuhi tuntutan itu. Beliau memang disiplin. Beliau dibesarkan di lingkungan militer, karena notabene sejak kecil dididik oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai tentara. Namun, itu yang aku suka. Lihat, saat pelajaran beliau, mana ada yang bajunya tidak rapi. Seragamnya tidak beratribut lengkap. Buku tidak rapi. Dan semua serba on time! Beliau tidak hanya sekedar mengajar, namun juga mendidik. Bahkan, sebagian besar waktu pada jam pelajaran, beliau gunakan untuk mendidik kami, bukan mengajar kami.

Siapa lagi guru yang mau turun langsung ke lapangan saat praktik drama, membenahi blocking kami, bahkan sampai beliau lupa memakai kembali alas kakinya.

Beliau bahkan tidak peduli apa kata orang nanti, beliau tetap ingin mengajar kami. Bahkan saat beliau sakit, beliau tetap memaksakan diri.

Aku suka cara mengajar beliau. Kami tidak hanya dituntut pintar menyelesaikan soal. Tapi juga life-skill kami benar-benar diasah tiap pelajaran beliau. Aku suka, karena di sini kami tidak hanya sekadar membaca. Tapi juga menulis, mengarang, bernyanyi, berakting, berpuisi, dan kami jadi tahu, kami memang bisa itu. Beliau juga selalu memberi alasan yang tepat terhadap permasalahan dalam soal. Jadi, kami tidak pernah ragu jika beliau mencetuskan satu jawaban. Dan siapa lagi, guru yang mengarangkan sebuah puisi secara cepat di hari ulang tahun salah seorang dari kami...dan aku ditugaskan untuk membacakannya di depan kelas, sungguh suatu kehormatan.

Beliau juga tidak lupa mengajari kami caranya berbagi. Di akhir tahun ajarannya waktu kami masih kelas 11 kemarin, ia mengajarkan kami berbagi dengan cara bertukar kado satu kelas. Beliau juga tidak lupa untuk memberi sebuah kado pada dua orang temanku, Amal dan Dias, saat mereka berulang tahun. Di saat kami belum bisa memberi, beliau sudah selalu di depan untuk memberi. Siapa lagi guru yang seperti ini?


Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Hari-hari yang kami lalui dengan beliau memang terasa sangat menegangkan. Kami harus selalu berlari-lari satu kelas tiap perpindahan pelajaran ke pelajaran Bahasa Indonesia, karena sekolah kami memiliki sistem moving setiap pelajaran, hanya untuk mendapatkan tempat paling aman agar tidak tegang saat beliau sedang sedikit tegas. Tapi, justru itulah serunya. Jangan pernah mengaku sekolah di SMAN 4 Malang kalau belum mengalami hal ini, hehe.

Beliau suka sekali foto dengan kami. Beliau juga mengajari kami rasa hormat tidak hanya di depan beliau saja. Dan tidak hanya dengan beliau saja. Saat kami menyapa dan bersalaman dengan beliau, beliau juga selalu mengingatkan agar kami tidak lupa juga bersalaman dan menyapa guru yang lain, terutama yang ada di sebelah beliau saat kami bertemu di jalan. Dan siapa lagi guru yang memelukku dan memberi dua kecupan di pipi kanan dan kiri, beberapa hari sebelum aku berangkat ke Purwokerto untuk operasi skoliosisku? Lalu beliau mulai memanggil guru yang lain untuk memberiku semangat sebelum aku tidur di meja operasi.



Beliau selalu menyatukan kami dengan foto-foto ini. Dan momen-momen ini.

Beliau tidak peduli saat rata-rata guru membawa sepeda motor atau bahkan mobil ke sekolah. Beliau rasa cukup dengan angkutan umum yang setiap hari tidak pernah lupa untuk mengantar-jemput beliau. Bahkan, saat beliau satu angkutan dengan temanku, Abi, dan tas Abi tertinggal di angkot, beliau juga yang membawakannya.

Begitulah beberapa kisah yang mungkin bisa menjadi salah satu inspirasiku dalam hidup. Terkadang, saat kita bisa memberi, dan itu cukup, kita tidak perlu berandai-andai akan mendapat balasan apa. Mereka adalah guru kita. Mereka ada di sekitar kita. Tak perlu jauh-jauh untuk mencari orang yang bisa disanjung. Mereka tidak butuh apa-apa. Tidak butuh pujian bahkan sekali pun itu hanya diingat, mereka tidak berharap demikian. Gaji mereka satu bulan, tidak sebanding dengan keringat mereka mendidik kita semua. Bukan hanya mengajar. Jasa mereka tidak bisa diukur. Yang mengajariku menulis dari nol. Yang mengajariku membaca dari nol. Yang mengajariku menjadi sampai sejauh ini, sampai aku bisa menulis sebanyak ini, padahal dulu, aku baru bisa membaca ketika kelas 1 SD, beda dengan teman-temanku yang sudah fasih sejak TK.

Bu, Pak, ketika besar nanti, aku juga ingin menjadi seperti kalian. Tidak peduli teman-temanku akan menjadi dokter, akuntan, arsitek, insinyur, bahkan jutawan sekali pun, cita-citaku masih tetap sama, guru. Tidak peduli seberapa besar gaji yang akan aku dapat, aku ingin bisa mendidik dan mengajar. Tidak peduli salah satu temanku menertawakanku dengan "gaya mengajar murid TK" yang menurutku ia lebih mirip dengan "orang yang kehilangan akal" saat aku mengatakan, "Aku ingin jadi guru", aku masih tetap sama.

Selamat hari guru, tetaplah menjadi seorang guru, guru!

Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa..."

What's New?

Terimakasih buat kepercayaan belasan pelanggan yang notene sih memang teman-teman sekolah saya dan teman sekolah Mba Hani yang sudah berkontribusi dalam hal ikut meramaikan usaha Mba Hani, kakak saya. Hehe...

Nah, buat mempermudah pemesanan, kami telah membuat display book yang berisi macam-macam warna benang, dan macam-macam bentuk rajutan dan aksesoris lainnya.


Ada barang baru nih pemirsa... Hanie's Handmade juga telah meluncurkan (apa deh peluncuran segala, roket kali) gelang-gelang baru lho... Harganya hanya berkisar di bawah 5 ribu rupiah. Murah, bukan? Kualitasnya pun bagus, dengan paduan warna yang feminin ;-)









Ada juga gelang rajutan!


Kalung juga ada, dan harganya hanya 13 ribu!





Mari terus berkarya, jangan ragu untuk mengeksplor kemampuan kalian! Salam ;-)

Operator Abal-Abal

Aku tidak perlu takut kesepian lagi. Tidak perlu takut handphone-ku jadi sepi karena kamu sudah tidak pernah menghiasi Si Mesin Balok Besi Kecil ini dengan kata-kata manis yang bisa membuat aku melayang ke seluruh galaksi Bimasakti, Andromeda, dan bertemu manusia planet yang unik sambil berteriak "hai" lalu dikirim lagi ke bumi dan dihempas ke Samudera Hindia bertemu dengan warga Bikini Bottom dan ditendang oleh David Jones ke tempat dudukku. Aku tidak perlu takut lagi.

Kenapa? Apa aku sudah punya yang baru? Apa aku memang sudah melupakanmu? Apa karena Si Mesin Balok Besi memang sudah dijual? Tidak. Jawabannya tidak. Lalu kenapa? Ya. Karena aku lupa, aku masih 'selalu' punya mereka. ME-RE-KA. Teman. Ya. Teman. Mereka yang selalu menghiasi dekorasi yang kurang pas di pesta perasaanku yang kadang hampir gagal padahal tinggal 1 menit untuk launching. Mereka yang selalu ada, membuatku ketawa-ketiwi sebelum tidur hanya karena sms mereka yang membuatku seperti orang gila dengan mata sudah tinggal 5 Watt tapi masih saja tertawa setelah selesai membaca doa sebelum tidur. Mereka yang selalu menemaniku mengerjakan tugas-tugas aneh yang dijadikan ajang mencari prestasi. Mereka yang membuatku ingin selalu melihat ke arah Si Mesin Balok Besi ini setiap menit.

Yanuar, atau biasa kami panggil Bos John, Taju, Ridho, atau biasa kami panggil So, Dheni, atau biasa kami panggil Icus, selalu memenuhi layar Si Mesin Balok Besi kami sekelas tiap malam. Bahkan kadang mereka bertindak sebagai operator kelas yang menyampaikan pesan ke seluruh anggota kelas. Bahkan kadang hanya mengirimkan guyonan-guyonan aneh, bahkan juga puisi cinta. Lihat!

Seru sekali, bukan?