Followers

Sunday, July 21, 2013

This is The Answer!

Aku mendapat pesan dari si Vindy, kalau pengumuman hasil SMPDS (Seleksi Mandiri Program Diploma dan Sarjana) UM bisa diakses tanggal 20 Juli. Awalnya sih makin nervous, soalnya tanggal seharusnya adalah 23 Juli. Ah, sudah pasrah rasanya. Tawakkal total.

Walaupun pengumumannya dibuka pukul 24.00, aku sengaja membukanya setelah sahur, karena kalau kemungkinan terburuk terjadi, setidaknya aku tidak perlu tidak bisa tidur nyenyak. Setelah sholat shubuh, mengaji, dan melemaskan diri, aku putuskan untuk memainkan kombinasi angka-angka yang rumit ini ke dalam website yang paling aku takuti sedunia, lebih dari website primbon. 

Hormon-hormon adrenalinku mulai melambung tinggi sampai ke ubun-ubun dan sudah mau meletuskan ledakan yang mahadahsyat, lebih dari ledakan di Hiroshima dan Nagasaki. Terbang ke luar menembus langit ketujuh, berharap masih ada langit kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan keberapa pun yang ingin ku tembus. And, here is the answer...


Alhamdulillah... Allah really knows what the best for me is... Terima kasih untuk kesempatan yang entah sudah keberapa kali ini. Hanya Engkau yang paling maha tepat janji, memberiku kesempatan keempat di saat yang lain bilang bahwa kesempatan kedua saja sudah tidak ada. Dan berkat Engkau, "indah pada waktunya" bukan sekadar judul lagu ataupun sekadar janji manis bagi orang yang gagal sekarang. Engkau mahasegalanya, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam :-)

Terima kasih juga buat semua supporter di belahan bumi ini, kalian terbaik. Yang menguatkan dan mendoakan, memastikan bahwa kita tidak pernah sendiri di sini, jujur...tanpa kalian, mungkin sekarang aku tidak bisa berdiri. Di sini :-)

Wednesday, July 10, 2013

Pertanyaan, Pilihan, dan Jawaban

Halo...mungkin baru hari ini aku bisa menulis lagi di blog setelah beberapa  bulan sudah banyak draft yang sebenarnya mau aku post, tapi aku tidak punya waktu karena kesibukanku yang semakin merajalele (?) akhir-akhir ini. Kalo ibarat artis, mungkin inilah konferensi pers yang sudah ditunggu-tunggu sama wartawan dan pekerja infotainment.

Maaf tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar dan maaf sudah membuat bertanya-tanya. Sebenarnya Dina kenapa? Kok semua status terakhirnya di jejaring sosial galau gitu? Kok saat ditanya tidak pernah ada jawaban? Kok tiba-tiba tidak punya waktu untuk bertemu? Kok tiba-tiba menjadi sangat tidak asyik dan tertutup?

Ini nih jawabannya.

Sebenarnya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan dengan UAS, dengan kegiatan paduan suara, dengan 2 proyek kerjasama (yang tidak bisa aku sebutkan), dan dengan 1 perubahan terbesar yang mungkin akan aku jalani. Perubahan? Apa itu? Dina mau operasi plastik? Hahaha, baca sampe tuntas ya... ;-)

Sudah setahun aku kuliah di Pendidikan IPA di UM. Jurusan ini adalah jurusan yang aku PILIH SENDIRI saat SNMPTN Tulis tahun lalu (baca cerita lengkapnya di sini). Dan tahun ini, aku mengikuti SNMPTN Tulis lagi (yang sekarang sudah berubah nama menjadi SBMPTN) untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia UM.

Lho? Kenapa? Emang cita-citanya Dina apa?

Ada hal di dunia ini yang bernama cita-cita. Dari kecil, cita-citaku selalu berubah. Cita-cita pertamaku adalah menjadi arsitek. Mungkin karena aku melihat bapak yang setiap hari kerjanya menggambar rumah dan membuat bangunan-bangunan. Berdiri di atas gedung tinggi, memegang penggaris yang macam-macam bentuknya, menggulung-gulung gulungan kertas besar, mainan laptop tiap hari, bertemu dengan banyak orang di dunia dan membincangkan sesuatu yang menurutku fantastis.

Lalu tiba-tiba aku ingin menjadi programmer. Melihat Mbak Anja (kakak pertamaku) yang bermain angka dan matematika di laptop. Membuat animasi lucu, mendesain web, sampe Mbak Anja pake kacamata tebal yang menurutku sangat keren.

Aku juga sempat ingin menjadi jewelry designer. Melihat Mbak Hani yang setiap hari berkutat dengan prakaryanya. Menjahit, merangkai aksesoris, wanita banget. Dan sepertinya enteng. Tapi banyak duit.

Terakhir, cita-citaku menjadi sangat mantap untuk menjadi guru saja. Aku suka sama Bu Iva, guru matematikaku di SMA. Aku juga suka sama Mbak Cinta, guru Bahasa Indonesiaku di Neutron. Aku ngefans sama Bu Susi, Oom Wawan, Mbak Ida, Mbak Upik, aku ngefans sama Bu Erna. Itu semua adalah guru yang menurutku sangat fantastis dan sangat membuatku ingin menjadi guru. Mereka bekerja tanpa pamrih, tetap tersenyum, rela belajar beberapa jam lebih awal, dengan gaji yang tidak banyak, namun mereka bahagia, hanya untuk mencerdaskan kami. Menurutku, itu adalah pekerjaan paling keren dan paling mulia, di dunia.

Akhirnya, aku memutuskan, aku ingin menjadi guru, yang sangat hebat tentunya.

Terus, kenapa pilih IPA?

Saat kenaikan kelas 11, ada hal yang membuatku galau. Ini adalah titik pertama aku harus memilih sendiri masa depanku. Aku harus masuk jurusan apa. IPA, IPS, atau Bahasa. Semua nilaiku bagus di Bahasa. Semua nilai IPS-ku rendah. Dan nilai IPA-ku biasa-biasa saja. Tapi 2 kali psycho-test menyarankanku untuk masuk jurusan IPA atau IPS.

Aku tidak suka menghapal. Ingatanku sama halnya dengan ingatan ikan. Hanya beberapa detik. Jadi, aku memutuskan untuk tidak pilih IPS, karena aku benci harus menghapal tanggal-tangal di sejarah. Secara, tidak ada 1 pun orang di dunia ini yang aku ucapkan ulang tahunnya jam 12 malam karena aku tidak pernah hapal ulang tahun siapa pun kecuali keluargaku di rumah, sekali pun itu ulang tahun pacar. Aku juga tidak suka menghitung uang. Aku tidak suka ngurusin uang. Aku tidak suka ekonomi. Aku benci politik. Aku tidak memilih IPS.

Aku suka sekali bermain verbal. Aku suka Bahasa Inggris. Karena aku bisa merasa keren tiap nilai bahasa Inggrisku muncul di rapor. Aku tidak pernah remidi pelajaran ini. Bahkan, nilai bahasa Inggrisku semester ini A. Walaupun aku sangat gagap tiap harus mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku suka bahasa Indonesia. Aku juga tidak pernah remidi. Walaupun nilaiku masih lebih rendah dari bahasa Inggris, tapi aku suka menulis. Aku suka blogging.  Saat SD dan SMP pun, aku suka bikin cerpen. Dan kalau teman SD-ku masih ingat, aku dulu suka sekali meminjamkan hasil kumpulan cerpenku sampai guru olahragaku bilang, “Pinter nulis ya, Dina”. Saat SMP pun aku sempat bikin 1 novel, aku jilid sendiri, aku bikin cover sendiri dan teman-teman bilang, aku berbakat. Aku sering bikin puisi di mading. Aku suka teater. Aku suka bikin naskah drama. Sudah 3 judul naskah drama yang pernah dipentaskan di  SMA yang aku tulis. Naskah film pendek yang aku tulis juga pernah menjadi juara cerita terbaik se-kota Malang saat festival pelajar. Aku punya banyak follower di blog, artinya, mereka menyukai tulisanku. Tapi, entah kenapa...aku sama sekali tidak melirik jurusan Bahasa.

Aku suka matematika. Walaupun aku sering remidi, tapi aku selalu duduk depan saat ulangan. Bu Iva bilang, yang pinter-pinter biar di depan, biar ga dicontek. Aku pernah diikutkan olimpiade matematika saat SMP. Bahkan, nilai UNAS tertinggiku saat SMP adalah matematika, hampir absolut. Aku suka biologi. Aku suka mempelajari kesehatan. Aku suka alam. Aku suka menganalisis. Apalagi soal skoliosis, tidak akan pernah ada habisnya. Aku suka teori fisika. Tapi aku benci rumusnya. Aku tidak pernah suka kimia. Dan tidak pernah mendapat nilai bagus. Aku tidak bisa mengerti kimia sampai detik ini. Entah kenapa. Tapi, dengan mantap aku pilih jurusan IPA waktu SMA. Karena waktu itu, IPA adalah hal terkeren di dunia. Bapakku juga senang sekali aku masuk IPA. Sama seperti Mbak Anja dan Mbak Hani. Aku juga mendapat nilai kesenian (yang waktu aku kelas 12 adalah seni mendesain seperti arsitek) yang di atas rata-rata. Kata Pak Joko, aku adalah 3 besar cewek yang desainnya bagus dan rapi di kelas setelah Ressy dan Mia.

Entah kenapa, aku juga masih tidak mengerti, mengapa aku memilih IPA. Pilihan yang dibuat oleh seorang remaja yang masih labil. Yang masih belum mantap cita-citanya, dan masih belum melihat masa depan, yang beberapa tahun lagi harus ia jalani. Dengan tidak main-main.

Gimana ceritanya pas milih jurusan kuliah dulu?

SNMPTN Undangan

Sebodoh-bodohnya aku, ternyata aku masih termasuk anak yang dianggap pintar sama guru-guru. Sedikit arogan, ya? Memang. Aku masuk di daftar murid yang diberi kesempatan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan (dulu PMDK). Walaupun rangkingku di sekolah sangat tidak seberapa dan itu hanya kebetulan saja. Aku bingung harus memilih jurusan apa. Aku mencocokkan dengan cita-citaku. Aku memilih Pendidikan Matematika di UM, karena aku ingin menjadi guru. Pilihan kedua, aku pilih Matematika murni, karena siapa tau kalau tidak masuk pilihan pertama, pilihan kedua bisa nyantol dan aku bisa ambil PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan menjadi guru juga nantinya.

Kenapa pilih matematika? Karena, setelah 2 tahun sekolah mempelajari IPA, aku tidak bisa mengikuti. Semua nilai yang aku dapatkan sejak SMA, tidak jujur. Walaupun sudah les privat fisika dan les di bimbel, aku tetap tidak bisa menyerap pelajaran-pelajaran IPA. Aku hanya mengandalkan google, contekan teman, dan kertas contekan yang aku buat semalam sebelum ujian. Tapi entah kenapa, nilai ujian lisan fisikaku bagus. Aneh. Intinya, ujian IPA adalah mimpi buruk, kecuali biologi. Dan hanya matematika dan biologi yang bisa menyelamatkanku, karena nilaiku di 2 pelajaran itu yang paling lumayan.

Jurusan ketiga yang aku pilih adalah Ilmu Gizi di UB. Aku ingin menjadi orang yang paling sehat di dunia dan menjadi orang yang paling mengerti kesehatan (karena semenjak aku sakit, aku jadi lebih peduli kesehatan) melalui makanan. Aku sempat ingin menjadi dokter, tapi aku sadar diri, otakku tidak pernah sampai. Setidaknya, ilmu gizi tidak perlu banyak main rumus fisika dan kimia, ku kira.

Di SNMPTN Undangan, nilai yang paling stabil-lah yang paling dilihat. Sedangkan nilaiku naik-turun seperti grafik cosinus. 2 hari sebelum pengumuman SNMPTN Undangan, aku bermimpi ada seseorang yang mengatakan padaku, aku tidak cocok masuk jurusan ilmu gizi. Dan ternyata benar. Malah aku gagal di ketiga-tiganya.

SNMPTN Tulis

Kegagalanku di SNMPTN Undangan membuatku makin galau, karena aku harus memilih lagi. Dan kali ini lebih berat. Belum lagi, Dini dan saudara sepupuku diterima lewat jalur undangan. Sedangkan aku masih harus berjuang lagi. Ada faktor mental yang lebih berat kali ini. Tiba-tiba aku ingin menjadi guru SD. Aku sangat suka anak-anak. Dan aku adalah orang yang tidak bisa fokus pada 1 bidang secara total. Aku kira, dengan menjadi guru SD, aku bisa memelajari banyak bidang dengan tidak terlalu detail. Aku juga akhirnya ingin memilih Pendidikan Bahasa Indonesia. Tapi...aku terlalu pengecut untuk mengambil IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) atau bahkan IPS saat tes. Karena aku merasa, untuk memelajari IPA saja sudah susah. Apalagi harus memelajari IPS secara dadakan dalam 1 bulan saja. 

Karena pengecut, aku tetap memilih jurusan di bidang IPA. Aku tetap memilih Pendidikan Matematika UM. Aku masih sangat ingin menjadi penerus Bu Iva. Dan saat aku bingung menentukan jurusan kedua, tiba-tiba aku melihat ada jurusan Pendidikan IPA di daftar. Aku kira, dengan mengajar SMP, aku tidak perlu terlalu detail memelajari Fisika dan Kimia. Apalagi, pelajaran SMP pasti lebih mudah dari SMA, jadi aku tidak perlu khawatir aku tidak bisa Fisika dan Kimia.

Dan akhirnya dengan bangga, aku lolos SNMPTN Tulis, di Pendidikan IPA. Dan menjalaninya sampai sekarang.

Lantas, apa alasan ingin pindah jurusan?

Awal masuk, aku sangat sumringah walaupun aku kesulitan dari awal untuk menyerap pelajaran di kelas. Aku kira kesulitan ini karena aku masih dalam proses adaptasi. Ternyata aku salah, di sini tidak semudah bayanganku. Lambat laun, aku bukannya menemukan peningkatan pemahaman. Entah mengapa, makin lama aku makin tidak paham. Aku mudah mengantuk di kelas, karena aku sama sekali tidak mengerti. Parahnya, aku baru sadar, aku tidak mengerti dari konsep awal, yang diberikan di SMA dulu. Ketidakmengertian yang ditumpuk-tumpuk lama-lama menjadi menggunung. Makin hari aku makin tidak mengerti, tidak mengerti, dan tidak mengerti. Semua laporan praktikum Fisika yang aku buat adalah hasil pekerjaan teman yang aku copy. Hanya 2 laporan awal yang aku kerjakan sendiri, karena materinya masih mudah. Saat pembagian pengerjaan laporan biologi dan kimia secara kelompok, aku selalu meminta teman sekelompokku untuk mengerjakan dasar teori, data pengamatan, dan analisis data saja. Di luar itu, aku sudah tidak paham. Aku benci presentasi biologi. Setiap presentasi, aku selalu terlihat bodoh, gagap, dan selalu ditertawakan. Akhirnya, aku selalu meminta untuk menjadi operator saja. Hanya praktikum biologi yang membuatku terlihat pintar. Dan nilaiku selalu A. Di praktikum kimia, aku selalu salah takaran, selalu menumpahkan larutan, dan saat ujian praktikum kimia, aku selalu tidak bisa mengerjakan apa-apa selain prosedur pengerjaan. Aku tidak mengerti sama sekali arti rumus dalam kimia. Bahkan, saat ujian praktik Fisika, dari 2 praktikum yang diundi dari 5, hanya 1 praktikum saja yang bisa aku kerjakan. Sisanya, blank. Dan aku menangis saat pulang ujian. Karena, sudah 2 semester aku mengalami hal yang sama. Aku tidak betah, aku tidak menemukan diriku di sini.

Bukannya aku tidak berusaha, tapi entah mengapa, aku tidak bergairah untuk belajar kali ini. Aku selalu ketiduran saat belajar, karena bosan dan tidak mengerti. Saat diterangkan teman, aku mengerti. Tapi setelah ujian, aku selalu tidak mengerti lagi. Aku tidak paham, kenapa aku. Kenapa semua harus berakhir dengan bantuan Google, dan beberapa teman yang kasihan melihatku tidak bisa, dan akhirnya memberi contekan. Adakah seorang calon guru yang lebih hina dari aku? Bagaimana muridku nanti? Apa yang akan aku jelaskan di depan kelas? Apa aku bisa menjawab saat ada murid bertanya? Apa iya, setiap ada teman dari fakultas lain meminta bantuan kepadaku untuk membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bersama, aku selalu menolak, karena aku tidak bisa IPA? Apa iya, saat ada teman dari teknik minta diajari fisika aku selalu melempar pada teman lain, karena aku sendiri tidak mengerti? Apa iya saat salah satu temanku minta dikerjakan PR-nya soal vektor, aku harus membuka google lagi dan lagi lalu mengirimkan jawabannya lewat BBM dan ia berterima kasih karena aku telah membantu menjawab, mengatakan aku pintar, padahal itu bukan pekerjaanku sendiri? Apa aku bangga menjadi seperti itu? Menjadi orang yang sama sekali tidak berfungsi secara optimal? Dan sampai kapan aku bergantung seperti ini?

Tulisan yang ada di kertas ujian Kimia. Astaghfirullah... :-(

Aku berusaha bertahan, berusaha suka, berusaha komitmen dengan pilihan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dipaksa. Yaitu passion. Seperti kata seseorang, “Passion energizes your talent”. Ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ada satu hal yang tidak bisa dimengerti. Ada satu hal yang jika diterima dan dimengerti bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Passion. Passion. Dan passion. Dengan berat hati, aku mengatakan, aku tidak ada passion di sini. Di pilihanku sendiri. Pilihan yang tidak dipilih dengan pertimbangan luas. Pilihan yang lahir dari pengecut yang tidak berani mengikuti hatinya. Astaghfirullah...maafkan aku Yaa Rahman L

Lalu, mengapa harus sastra?

Tidak ada yang kaget kenapa aku suka sastra. Jika aku di sastra, aku bisa mensinergikan dan menyalurkan kesukaanku akan menulis dengan layak dan sejalan, bukan hanya sekedar hobi. Ada energi tersendiri yang lahir saat kau mengerjakan apa yang kau sukai tanpa ada paksaan. Ada tanggung jawab besar yang menyenangkan walaupun berat jika kau berada di zona yang membuatmu menemukan jati dirimu seutuhnya, sesulit apa pun itu. Dan aku masih mau meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, S2, S3, dan berapa S lagi yang akan tercipta jika aku di sini. Karena aku suka. Dan aku yakin, aku dilahirkan memang untuk itu. Jika semua kemampuanku dilumpuhkan oleh Allah, hanya ada satu hal yang aku ingin tetap ada. Yaitu kemampuan dan kemauanku untuk menulis. Karena dengan menulis, aku bisa berbicara pada dunia, mengatakan apa yang tidak mampu aku katakan dengan suara. Writing works more than voices. Bahkan, ketika aku sudah tidak mampu lagi berbicara, ketika aku dilarang melakukan apa pun di dunia ini, tolong...jangan larang aku untuk menulis. Itu saja. Aku suka. Dan aku cinta. Tanpa paksaan.

Mendramatisir memang.

Ujian SBMPTN

Aku lalu mengambil uang tabungan dan uang saku kosku. Ke bank sendiri. Mendaftar SBMPTN. Ke Gramedia, membeli buku-buku kumpulan soal dan buku materi IPS. Ke gudang, mengobrak-abrik buku SMA, dan memulai belajar...sebagai anak IPS.

Ujiannya tidak terlalu sulit untuk pengetahuan umum, aku mengerjakan dengan yakin dalam jumlah yang lumayan banyak. Untuk ujian SOSHUM, memang hanya sedikit yang aku yakin. Namun kali ini, aku mengerjakan lebih pede dari tahun lalu, entah karena sudah pernah, atau memang karena aku bisa. Aku sangat optimis sekali.

Bagaimana hasil SBMPTN kemarin?

Mungkin ini jawaban yang ditunggu. Jadi, malam hari sebelum pengumuman, aku bermimpi sangat indah. Aku bermimpi ada di medan perang ujian praktik SIM C sedang mengendarai motor bebek. Aku memakai rok hitam, kemeja putih, dan jas almamater UM, persis seperti gaya mahasiswa baru yang sedang ospek. Kebetulan, tanggal 8 Juli kemarin, aku akan mendapatkan 2 hal spesial, harusnya sih. Aku akan ujian praktik SIM C untuk kedua kalinya dan akan menerima pengumuman hasil SBMPTN. Di mimpi itu, aku sangat bahagia mengendarai motor itu. Dan aku berhasil melalui ujian praktik SIM itu dengan sangat lancar, mulus, dan sempurna. Sampai-sampai di mimpi itu, namaku tersohor di pelosok negeri karena aku adalah wanita dengan nilai praktik tertinggi. Pulang dari praktik, aku yang masih berpenampilan sama, berbelanja kebutuhan ospek di sebuah mini market. Sungguh, itu mimpi paling indah sedunia.

8 Juli 2013

Tiba-tiba aku terbangun, aku bangun kesiangan. Maklum, aku sedang tidak solat, jadi tidak memasang alarm di saat subuh. Aku bangun 30 menit sebelum kantor SATLANTAS buka. Sampai di sana bersama ibu, aku sangat percaya diri walaupun masih deg-degan gara-gara kesiangan. Dengan senyum dan berkali-kali membaca Al-Fatihah, aku memulai ujian. Aku tidak terlalu gugup karena sudah pernah melakukannya. Dan aku sangat optimis, entah kenapa. Tapi, baru beberapa detik ujian, aku sudah menjatuhkan palang. Parahnya lagi, kakiku turun ke tanah. Motorku juga ke luar jalur. Aku tetap bersikukuh menyelesaikan ujian, walaupun nyata-nyata sudah gagal. Ujian kali ini lebih  buruk dari ujian sebelumnya. Di ujian sebelumnya, aku hanya menjatuhkan 2 palang tanpa menurunkan kaki. Tapi di ujian ini, sudah berapa kali aku melakukan kesalahan. Dan aku harus mengulang 2 bulan lagi. Mimpiku ternyata bukan untuk sekarang.

Masih down gara-gara gagal dapat SIM untuk ketiga kalinya, sore ini aku harus membuka website resmi SBMPTN untuk melihat hasil SBMPTN-ku. Aku sengaja melihatnya agak malam, karena aku tau kalau sore, pasti masih lemot. Aku buka dulu website Lipsus Kompas. Dan aku memasukkan namaku, nomer ujian, dan kode prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Tidak ada hasil. Ah, mungkin di prodi satunya. Aku masukkan kode prodi Sastra Indonesia. Tidak juga ada. Ah, mungkin Kompas yang eror.


Akhirnya aku membuka website SBMPTN karena masih kurang lega dengan jawaban yang diberikan Kompas. Dan ternyata...Kompas benar.  Aku lalu menghubungi salah satu temanku yang ikut SBMPTN ulang, sama denganku. Dan dia juga senasib denganku. 2 temanku lainnya juga sama. Kami sama-sama tidak lolos.

 Tulisan ini sama sekali jelek dan tidak memberi semangat. Harusnya ada kata-kata penyemangatnya. Tidak heran kalau anak-anak yang tidak lolos merasa sangat down.

Rasanya...benar-benar...campur aduk. Sambil memandang laptop, tanpa rasa apa pun. Flat. Sesekali tertawa dan bicara sendiri pada laptop, “Pasti kamu bercanda, ya kan...ya kan?”. Sedikit linglung dan mendadak galau luar biasa sangat, dan tidak bisa berpikir jernih. Melihat handphone yang sedari tadi berbunyi mengantarkan puluhan SMS, chat, dan mention Twitter dari teman-teman yang menanyakan hasil ujianku. Rasanya kacau. Mereka tidak akan mengerti. Dan aku malas menjelaskan satu-satu dari mana. Akhirnya aku mematikan handphone. Dan membiarkan mereka dengan rasa penasaran. Bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran sampai airnya penuh, aku tidak peduli. Seperti di sinetron. Seperti film Pocong. Sayangnya aku tidak punya shower. Menangis sejadi-jadinya. Lalu aku ke kamar. Melihat cermin. Berbicara sendiri. Memotivasi diri. Seperti orang gila. Lalu aku sadar, aku mulai gila. Aku tidak mau gila. Dan semua luluh...karena Al-Quran. Hanya Allah yang bisa aku ajak bicara sekarang. Di saat rumah sepi, di saat semua tarawih. Aku merasa sangat sendirian. Mengalami 4 kegagalan dalam sehari. Gagal dapat SIM, gagal lolos SBMPTN, dan gagal mengikuti tarawih pertama, serta gagal memberi kabar gembira pada Vindy, sahabatku yang hari itu ulang tahun, memberi tahu bahwa aku lolos. Itu sungguh menyakitkan. Dan tidak ada yang bisa mengerti...

Akhirnya aku membuat status di Twitter, membiarkan mereka yang bertanya-tanya menyimpulkan sendiri.

“Alhamdulillah... Allah showed so many things today for me, for my future. Allah knows how to make me wiser, knows the best. Alhamdulillah J

Lalu seketika banyak yang memberi respon dengan mengucapkan selamat atas kelolosanku. Aku hanya bisa tertawa miris, mereka tidak juga mengerti. “Alhamdulillah” adalah pujianku atas kemahadahsyatan Allah. Bukan selalu hanya ungkapan gembira atas suatu pencapaian. Aku bersyukur, Allah masih mempercayaiku menjadi orang yang selalu harus berusaha. Aku harus ditempa bolak-balik agar menjadi baja yang paling kuat. Allah suka hamba-Nya yang berusaha. Allah tidak akan memberi cobaan lebih berat dari kemampuan hamba-Nya. Allah suka orang yang sabar.

Lalu paginya, saat semua sahur, aku memutuskan untuk membuka HP dan membalas beberapa pesan hanya untuk orang yang aku percaya dan benar-benar bisa mengerti aku. Aku sungguh sangat berterimakasih pada Sundari dan Didin, yang paling tahu alasanku begini, dan yang menemani hingga saat ini, aku tidak tahu siapa lagi yang akan mengerti. Terima kasih selalu menjadi tempatku mengeluh. Oh iya, FYI, Sundari diterima di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir tahun ini, dan dia akan segera pindah dari Pendidikan IPA. Congrats, kamu berani jadi dirimu sendiri, Sun :-)

So...what’s next?

Siangnya, aku ke UM ditemani Dini. Aku ke gedung  di mana aku bisa mendapatkan informasi yang akurat tentang cara ke luar dari fakultas lama ke fakultas baru sambil menunggu pengumuman ujian mandiri. Tapi sayang, aku kurang mendapat pelayanan yang baik di sana, entah mengapa mereka tidak bisa menangkap dengan baik maksudku. Akhirnya, tanpa berpikir lama, aku pergi ke bank dan membeli formulir ujian mandiri. Sambil hujan-hujanan. Sampai pilek.

Bismillah, aku akan mencoba cara terakhir ini. Aku akan belajar lagi. Ya Allah, aku serahkan semua pada-Mu. Terima kasih telah percaya padaku untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Engkau yang hidup dan kekal, yang tidak pernah tidur dan yang paling mengerti, Engkau tahu mana yang terbaik untuk hamba-Mu yang terkadang masih melupakanmu ini. Aku terima, apa pun nanti hasilnya. Aku akan berubah lebih baik lagi...aku janji, ini terakhir kali kecewa dan mengecewakan.

Allah paling tahu, isi hati yang terkunci dan yang hilang kuncinya. Allah bisa membukanya dengan cepat. Bismillahirrahmannirrahim...


Semoga tidak akan ada Dina-Dina yang lain, yang senasib. 

Semoga pilihan, tidak akan lagi membingungkan. Dan semoga pilihan, adalah jawaban, bukan pembingungan. Selamat, buat manusia yang diciptakan bisa dengan mudah memilih, hargai itu, kalian hebat :-)

"Allahumma yassir wala tu'assir. Rabbi tammim bilkhoir. Birohmatikaya Arhamarrohimin."