Followers

Monday, April 17, 2023

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 4)

 Tepat sehari sebelum aku operasi, Dini tiba-tiba laporan kalau sudah merasakan kontraksi secara intens. Malam sebelum operasi, aku harusnya istirahat yang cukup, tapi mendadak nggak bisa tidur dan nggak selera makan  karena ikut nervous  kepikiran Dini. πŸ˜‚

Kok bisa-bisanya ini mau ngajak lomba lahiran apa gimana ceritanya πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚.


Setelah proses panjang, Dini alhamdulillah melahirkan bayinya pada tanggal 17 April 2022 jam 9-an malam. Jam 11 malamnya, aku baru bisa tidur. πŸ˜… Tanggal 18 April 2022 jam 2 pagi, aku sudah check in di RS dan jam 4 pagi, aku sudah masuk ruang operasi. 


Pas masuk ruang operasi, aku diantar seorang perawat wanita yang lemah-lembut. Aku bilang ke beliau "Sus, nanti tugas di dalam? Saya nanti pinjem tangannya ya waktu dibius". Ini tips yang aku dapet dari sepupu yang pinjam tangan perawat supaya tenang ketika dibius, wkwk. Soalnya, asli, disuntik bius dan gagal itu bener-bener traumatik. Apalagi kita cuman bisa pegangan bantal. Allah saja mengutus Jibril mendampingi Maryam ketika melahirkan, apalagi Dina Nisrina, nggak mungkin berani lahiran sendirian πŸ˜‚. Di sini emang penting banget sih perannya doula atau pendamping persalinan, supaya si ibu merasa tenang secara psikis.


dr. Dino dan tim masuk duluan sambil membawa X-ray tulang belakangku. FYI, yang punya masalah dengan tulang belakang, X-ray lebih baik ditunjukkan sebelum proses operasi, ya. Lebih baik lagi kalau ada RS yang punya poli anestesi. Ini untuk membantu tim dr. anestesi mempelajari titik biusnya karena bisa jadi berbeda dengan orang normal. Terdengar basmallah diucapkan oleh dr. Dino. Aku langsung bilang, "Dok, tunggu susternya, ya...saya butuh pegangan πŸ˜‚". Suster yang tadi langsung menepati janji meskipun aslinya dia masih sibuk jadi asisten yang nyiapin barang-barang lain di ruang operasi. Makasih, sus...lupa belum tanya namanya. πŸ₯Ί

dr. Dino pun menghitung dan menekan ruas tulang belakangku dengan teliti & sangat gentle. Para asisten juga membantu membacakan X-ray-ku dengan teliti. Setelah sekitar 2 menit, akhirnya beliau mengucap hamdallah. Tiba-tiba sekujur kakiku terasa hangat seperti diguyur air hangat. Aku pun tanya "Ketemu, dok?". Beliau bilang "Alhamdulillah berhasil, Bu. Sekarang Ibu pelan-pelan kami rebahkan, ya". Masih nggak percaya kalau biusnya berhasil (ya karena trauma), aku tanya ke asisten biusnya "Taunya kalau berhasil gimana ya, Pak?" Wkwkwk. Beliau menjawab "Angkat aja kakinya, Bu, bisa nggak?". Ternyata udah nggak bisa. Alhamdulillah. Allah permudah melalui dr. Dino.


Tak lama kemudian, dr. Anin datang dengan sapaan khasnya "Halo! Assalamualaikum! Ini bener Mbak Dina, ya? Coba saya lihat wajahnya? Oh iya, bener...biasanya pakai masker dan kacamata soalnya". Lalu, dr. Anin menyapa dr. Dino "Halo, dr. Dino. Gimana? Wah, berhasil ya biusnya. Ya ampun! dr. Dino! Makasih, dr. Dino!". Sumringahnya dr. Anin ketika tahu biusnya berhasil. Tak lama, dr. Dino pun menjawab "Ya Allah... Aku pas lihat X-ray-nya, Ya Allah, Aniiiiin, ngerjain aku apa gimana ini, Aniiiin! Panjang banget titaniumnya sampe bawah". Ternyata, dokter pun nervous lho guys. Jujur aja, pen sepanjang 30 cm di tulang belakangku itu benar-benar membuat segala hal di hidupku harus banyak pertimbangan. πŸ˜…


Lanjut pas proses SC. Karena ini pengalaman pertama operasi dengan bius regional, aku bisa melihat dan mendengar segala hal di ruang operasi. Entah kenapa, ternyata situasinya benar-benar rileks. Semua orang santai banget tapi tetap profesional, malah dr. Anin dan para asisten ngobrolin hal-hal receh yang bikin aku pengin ketawa. Cuman 1 hal yang bikin deg-degan, karena efek bius, aku tiba-tiba sesak napas di tengah operasi. Akhirnya, aku diberi oksigen tambahan. Pas Aleya lahir, dokter bilang "Siap-siap, ya...habis ini adeknya lahir". Tiba-tiba, terdengar suara grok grok grok di dalam perutku dan taraaaa "Oek oek oek". Aleya nangisnya kenceng banget, alhamdulillah, berarti paru-parunya aman. dr. Anin mengarahkan Aleya ke atasku dan bilang "Assalamualaikum, Halo Mama. Ternyata besar kok bayinya". Alhamdulillah. Ternyata beneran ada bocil di dalem perutku. πŸ₯Ί


Setelah dibersihkan, suster membawa Aleya kepadaku. "Ibu Dina, ini bayinya. Beratnya 2550 gr, panjangnya 47 cm". Aku tanya "Normal ya, sus?" dan beliau jawab normal. MasyaAllah. Dilebihin 50 gram sama Allah dari yang kita minta. πŸ₯Ί Alhamdulillah, aku kecup pipi lembut Aleya 3 kali sambil menyapa "Aleyaaa". Dia cuma berkedip lucu dengan pipi kemerahannya. Priceless banget. πŸ₯Ί Sayangnya, kami tidak bisa melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) karena ruangannya terlalu dingin. Seusai operasi, aku harus menunggu 1 jam di ruang observasi sebelum kembali ke ruang rawat inap dan baru bisa ketemu Aleya setelah 6 jam. 


Pertemuan pertama kami secara intens terjadi di ruang rawat inap. Untuk pertama kalinya, akhirnya aku bisa memeluknya dengan lengan, bukan lagi dalam angan. Sungguh perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Matanya yang lebar menatapku dengan binar. Bibirnya yang mungil mencariku dengan nalurinya. Kulitnya yang lembut dan berwarna kemerahan sungguh membuatku gemas dan ingin terus bersamanya.


Aleya, 18 April 2022, kamu lahir ke dunia. Bersamaan dengan itu, kami juga terlahir kembali sebagai orang tua yang akan terus belajar. Terima kasih telah memberi warna di hidup kami. Semoga kelak, kau akan menjadi anak yang salihah dan menjadi qurrota a'yun bagi semua. Selamat satu tahun, Aleya, anakku sayang. ❤️

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 3)

Selama proses perbaikan gizi di rumah ortu, aku memaksakan diri harus bisa makan 2 kali lipat dari biasanya dan memaksakan diri minum semua suplemen dari dokter (karena aku sebenernya nggak bisa nelan obat). Jadi, setiap jam, isinya makaaan melulu, terutama nambah protein yang banyak. Daging, buah-buahan, sayur, dan makanan tinggi gula (yang ini dengan pantauan dokter, ya), bener-bener nggak boleh ada waktu yang terbuang percuma tanpa makan.

Setelah masuk week ke-37 (tanggal rencana awal SC), ternyata BB Aleya nambah lumayan banyak, tapi belum menyentuh angka 2500 gr. Selain itu, tiba-tiba aja tekanan darahku tinggi, padahal nggak pernah terjadi sebelumnya. Karena juga belum ada tanda lahiran, dokter memutuskan untuk menunda operasi untuk menunggu sampai Aleya BB-nya optimal. Sekali lagi, dr. Anin tanya "Beneran yakin ya nggak salah hitung tanggal haid terakhir?". Beliau melanjutkan "Bisa jadi si adek ini juga bukannya kecil, tapi belum waktunya besar". Setelah mempertimbangkan risiko dan melihat kondisiku, janin, serta plasenta, aku disuntik obat pematang paru janin supaya kalau sewaktu-waktu dia lahir dan ternyata kondisinya memang seperti bayi prematur, organ parunya sudah siap. Aku juga dites lab. untuk mengetahui ada kemungkinan preeklamsia atau enggak karena tekanan darahnya tinggi. Yah, pulang dari disuntik tuh down lagi si mamak sampe nangis kejer di kamar πŸ˜‚.

Di saat-saat itu, aku introspeksi diri. Rencana indah apa ya yang sedang Allah siapkan untuk keluarga kecil kami sehingga kehamilan ini MasyaAllah tantangannya. Sekarang aku tahu, kenapa surga itu letaknya di bawah kaki ibu...karena sejak hari pertama aku tahu aku hamil, setiap bangun tidur aku hanya memikirkan apakah bayiku masih hidup di dalam sana? Apakah bayiku sejahtera di dalam kandungan sana?

Aku introspeksi lagi. Mengingat-ingat ketika aku menangis di bawah air hujan untuk menunggu datangnya dua garis merah di testpack-ku setiap bulan. Mengingat betapa bahagianya kami ketika akhirnya garis itu nyata. Bahkan, egoisnya aku, di saat sekarang sudah mendekati lahiran, kok aku tidak menyambutnya dengan bahagia tapi justru khawatir terus-menerus? Kok aku menuntutnya harus berberat badan normal? Aku terlalu menuntutnya untuk terlahir sebagai bayi yang sempurna, padahal aku lupa, aku sendiri tidak sempurna. Tubuhku saja punya banyak bekas luka. Di punggung ada bekas jahitan skoliosis. Di perut ada bekas jahitan usus buntu dan nantinya ditambah jahitan SC. Secara fisik, aku tidak sempurna. Kok aku berani-beraninya menuntut anakku udah begini-begitu? 😭


Akhirnya, aku ajak bicara Aleya dari luar perut. Aku elus-elus perutku dan aku yakin Aleya dengar. Aku bilang "Nak, terima kasih sudah hadir di tengah keluarga ini. Sebentar lagi Bunda bisa ketemu Aleya. Tahan sedikit, ya. Aleya boleh keluar kapan aja, tapi semoga ketika Aleya sudah keluar, BB-nya Aleya optimal. Maaf kalau Bunda terlalu menuntut BB-nya Aleya harus normal terus. Nggak harus di atas 2,5 kok, Nak. Yang penting optimal saja...itu sudah lebih dari cukup. Bunda tunggu, ya..."

Sejak saat itu, semuanya jadi lebih enteng. Aku nggak harus memaksakan diri makan berlebihan supaya gemuk. Nggak harus menimbang berat badan tiap jam. Nggak harus USG berkali-kali (iya, aku sempat ke dokter 2 kali seminggu demi mantau BB bayi). πŸ˜… Yang aku butuhkan hanya mensyukuri semua yang terjadi, menerima ketidaksempurnaan ini, dan menyambut datangnya Aleya dengan bahagia.

Alhamdulillah, atas izin Allah, tiba-tiba BB Aleya naik drastis di minggu ke-39 menjadi 2700 gr. Kata dokter, kalau dilahirkan, kira-kira akan plus/minus 200 gr. Dokter pun menentukan tanggal operasinya 18 April 2022.

To be continued to Part 4.

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 2)

 

Di usia kandungan 35 weeks, akhirnya aku memutuskan untuk cuti mendadak. Udah nggak kepikiran kerjaan dan segala urusan belanja perintilan bayi lainnya, kayak udah bodoh amat, yang penting anakku selamat, hehe. Cuti yang sebelumnya direncanakan pada weeks ke-37, harus aku percepat. Alasannya, ini nggak bisa dibiarin, nih. Nggak mungkin nih bayi udah mau lahir, tapi beratnya belum optimal.

BB bayi yg optimal itu di atas 2,5 kg.  Kalau kurang dari itu, istilahnya berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR itu perlu penanganan ekstra khusus meskipun tidak seekstra bayi prematur. Karena BB-nya rendah, dia rawan kedinginan sehingga kebanyakan perlu diinkubator. Belum lagi, ketika pulang ke rumah, ibu dan keluarga yang merawat harus melanjutkan proses penghangatan dengan gendong metode kangguru (M-Shape) yang skin to skin berjam-jam tiap harinya. Selain itu, bayi-bayi IUGR juga berisiko mengalami perlambatan pertumbuhan otak seperti cerebal palsy, dll. Hati ortu mana yang enggak teriris denger semua kemungkinan itu, kan? Mana ini anak udah ditunggu-tunggu dari lama...masa iya nggak diusahakan supaya bisa optimal.

Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk segera pulang ke rumah ortu, supaya aku bisa perbaikan gizi dan nggak kepikiran kerjaan (karena tempat tinggal kami deket banget sama tempat kerjaku saat itu). HP langsung mode pesawat dan nggak nerima segala bentuk urusan kerjaan, wkwk. Dengan segala kondisi lahiranku yang bakal banyak penyulit ini, dokter udah mantep menyarankanku untuk lebih baik SC saja. Aku pun menurunkan ekspektasi. Kalau aku pengin lahiran pervaginam, berarti ada 1 hal lagi yang harus aku garap selain ngejar BB Aleya: pengoptimalan tubuh karena skoliosisku. Nampaknya, hal itu terlalu stressful untuk diusahakan dalam waktu yang sudah hitungan minggu. Melahirkan itu harusnya bahagia dan minim trauma, kan?


Setelah istikoroh, aku dan suami pun mantap untuk lahiran secara SC. Lalu, bagaimana dengan riwayat bius regionalku yang sempat gagal dan harus dibius total? Alhamdulillah, dr. Anin (dr. kandunganku) mau membantuku nge-booking dokter anestesi (bius) yang berbeda dengan dr. anestesi ketika aku operasi usus buntu (aku akan operasi di RS yang sama, btw). Beliau mencarikan dokter yang lebih muda dengan harapan punya metode yang lebih mutakhir. Namanya dr. Dino. Nggak tanggung-tanggung, dr. Anin langsung chat dr. Dino dan beliau mengiyakan untuk satu tim sama dr. Anin di operasi ini.

Beliau berharap banget aku berhasil dibius regional meskipun tulang belakangku sudah fusi dengan titanium, karena itu memudahkan proses operasi SC. Kalau bius total, tim dokter harus bergerak lebih cepat sebelum janinnya terkena efek bius πŸ˜…. Btw, baru kali ini aku tahu kalau ternyata dokter anestesi itu bisa request πŸ˜‚apalagi dari dua operasi sebelumnya, aku baru bisa ketemu dr. anestesi di hari-H operasi dan beliau-beliau baru diskusi menjelang operasi. Eh, yang ini bahkan bisa di-request melalui bagian booking RS juga πŸ˜‚. MasyaAllah, baik banget dr. Anin udah mengusahakan yang terbaik buat pasiennya yang trauma dibius ini.

To be continued to Part 3.

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 1)

 Halo, bloggie. Lama tak bersua sampai blog ini penuh sarang laba-laba. Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya. Sekalinya bersua, aku mau nitip cerita tentang anak pertamaku, Aleya. Sebelum memori ini terhapus, semoga kelak Aleya bisa membaca cerita ini dan kami saling berbagi cerita. Aamiin. 

Cerita tentang kehamilan sudah aku share di Instagram dengan highlight Pregnancy. Semoga bermanfaat untuk yang membaca. Kali ini, aku langsung saja ke cerita dari awal hamil sampai melahirkan.


Masa hamil Aleya tuh bener-bener bikin aku belajar tentang arti ikhlas yang luar biasa. Di trimester 1, aku harus belajar ikhlas ketika dokter bilang kehamilanku berisiko karena harus menjalani operasi usus buntu sembari hamil. FYI, seperti yang pernah aku ceritakan di Highlight 'Pregnancy' di Instagram, aku sempat mengalami gagal bius ketika operasi usus buntu akibat tulang belakangku ada pen titaniumnya karena operasi skoliosis. Setelah operasi, berat badan turun drastis ditambah hiperemesis (mual-muntah berlebihan) sampai bener-bener sulit kemasukan nutrisi.


Di trimester 2, alhamdulillah mual-muntahnya tiba-tiba hilang, tapi aku harus belajar ikhlas lagi ketika aku mengalami perdarahan ringan. Ini ternyata karena posisi plasenta si bayik rendah banget (posisi plasenta nggak bisa diubah, hanya bisa bergeser ke atas seiring besarnya janin) hingga sebagian besar jalan lahir tertutup. Dokter bilang, melahirkan secara pervaginam terlalu berisiko dengan kondisiku saat itu karena dikhawatirkan terjadi perdarahan yang berlebihan kalau dipaksakan. Akhirnya diminta bed rest satu pekan dan harus mengonsumsi obat penguat kandungan. Down, ya? Pasti...apalagi dengan riwayat gagal bius sebelumnya, aku trauma kalau harus dihadapkan dengan meja operasi untuk ketiga kalinya nanti saat lahiran. Kata dokter, kalau memang harus dilahirkan secara SC, Aleya setidaknya akan dilahirkan ke minggu ke-37 supaya menghindari adanya kontraksi, karena kalau sampe udah bukaan banyak, dikhawatirkan perdarahannya nggak bisa dikontrol. Jadi, sejak akhir trimester 2 tuh aku bener-bener menghindari segala hal yang bisa bikin aku kontraksi.


Di trimester 3, aku ngalamin berkali-kali mom shamming, huhu. Kebanyakan orang yang ketemu aku bilang kalau aku nggak kayak orang hamil karena perutku terlihat kecil. Awalnya aku biasa aja, tapi karena sudah terlalu banyak yang bilang bahkan nggak jarang berulang, aku selalu nangis di rumah tiap abis di-shamming. πŸ˜‚ Bumil kan sensi banget, gaes...takut anaknya kenapa-napa. Siapa yan marah duluan pas tahu aku nangis? Ya paksu! Hehe. Dia sampe sempet bilang ke aku "Sini, kirim WA-nya mbak itu yang sering bilang perutnya Adik kecil. Biar Mas bilangin nggak usah kebanyakan komentar". Wakakakak segitunya.


Selain itu, di TM 3 ini aku sempat mengalami kontraksi palsu pada bulan ketujuh (bisa jadi efek kecapean) dan harus bed rest lagi. Abis itu dicek lagi posisi plasentanya, ternyata tetep nutupi jalan lahir, dan dokter bilang diobservasi dulu sampe bulan kesembilan sambil diusahakan dengan yoga, dll. Pada bulan kedelapan, pas rame-ramenya Covid varian Omicron, aku juga tertular dari suami, terpaksa bed rest lagi (tapi tetep kerja dari rumah, wkwk). Sudah risiko kalau kami berdua kerjanya harus ketemu banyak orang, jadi bener-bener nggak bisa menghindar dari Covid.

Abis itu...jeng jeng jeng...pas periksa kandungan setelah tertular percopidan duniawi ini, ternyata Aleya berhenti tumbuh di dalam kandungan! Usianya hampir 9 bulan di kandungan, tapi beratnya nggak sampe 2000 gram. 😭 Down se-down-down-nya karena merasa kayak APE LAGIII INI, DOOOOK???? Udah deket lahiran ini, doook... Nggak ada berhentinya ya rasa khawatir seorang bumil itu. Kata dokter, Aleya mengalami Intrauterine growth restriction (IUGR) atau bahasa awamnya ya perlambatan pertumbuhan.

Penyebabnya apa? Macem-macem. Pertama, bisa kelainan pada plasenta sehingga oksigennya nggak bisa optimal masuk ke bayi, jadinya penyerapan nutrisi pun kurang. Gampangnya, ibunya makan apa pun, efeknya tidak signifikan ke BB bayi kalau kondisi begini. Kok bisa plasentanya kelainan? Kalau ngomongin kelainan, itu ngomongin sesuatu yang agak-agak takdir gitu, ya, hehe. Kecuali ngomongin penyakit, sebabnya lebih jelas. Penyebab IUGR yang kedua, bisa karena infeksi. Kalau dirunut kebelakang, setelah aku terpapar virus Corona itu, sebenarnya aku demam tinggi lagi sepekan kemudian dan demamnya lebih dari 3 hari (iya, pokoknya hamil sambil kerja kemarin kayak banyak izinnya πŸ˜‚). Karena bumil nggak berani konsumsi obat sembarangan, aku cuman berani minum paracetamol aja ketika itu. Nah, menurut dokter, kalau demamnya lebih dari 3 hari begitu, ada kemungkinan infeksi. Entah yg terinfeksi nih bagian mana. Terakhir, penyebab IUGR yg ketiga, paparan udara yang kurang bagus (perokok pasif, paparan udara kendaraan bermotor, dll.). 

Dari ketiga penyebab yang udah disebutkan itu, yang paling mungkin adalah karena infeksi itu tadi dan dicurigai pas aku demam tinggi tidak jelas itu, karena dari bulan pertama hingga kedelapan, Aleya tumbuhnya optimal, kok tiba-tiba aja begini. Kemungkinan kedua, juga karena plasentaku sedikit 'istimewa'. Selain letaknya yang aku ceritakan kurang optimal tadi, usia plasentanya kalau dilihat dari warnanya, kata dokterku seperti plasenta trimester 2, padahal harusnya ini sudah akhir trimester 3. Dokter sampe bolak-balik tanya, "Beneran nggak salah itung kan haid terakhirnya kapan?". Soalnya janinnya bener-bener terlalu kecil untuk usia seharusnya dan plasentanya terlalu muda. InsyaAllah nggak salah hitung, karena mensku teratur banget dan aku selalu masukkan data tanggalnya ke kalender haid.


To be continued to Part 2.