Halo...mungkin baru hari ini aku bisa menulis lagi di blog
setelah beberapa bulan sudah banyak
draft yang sebenarnya mau aku post, tapi aku tidak punya waktu karena
kesibukanku yang semakin merajalele (?) akhir-akhir ini. Kalo ibarat artis,
mungkin inilah konferensi pers yang sudah ditunggu-tunggu sama wartawan dan
pekerja infotainment.
Maaf tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar dan maaf
sudah membuat bertanya-tanya. Sebenarnya Dina kenapa? Kok semua status
terakhirnya di jejaring sosial galau gitu? Kok saat ditanya tidak pernah ada
jawaban? Kok tiba-tiba tidak punya waktu untuk bertemu? Kok tiba-tiba menjadi
sangat tidak asyik dan tertutup?
Ini nih jawabannya.
Sebenarnya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan
dengan UAS, dengan kegiatan paduan suara, dengan 2 proyek kerjasama (yang tidak
bisa aku sebutkan), dan dengan 1 perubahan terbesar yang mungkin akan aku
jalani. Perubahan? Apa itu? Dina mau operasi plastik? Hahaha, baca sampe
tuntas ya... ;-)
Sudah setahun aku kuliah di Pendidikan IPA di UM. Jurusan
ini adalah jurusan yang aku PILIH SENDIRI saat SNMPTN Tulis tahun lalu (
baca cerita lengkapnya di sini). Dan tahun ini, aku mengikuti SNMPTN Tulis lagi
(yang sekarang sudah berubah nama menjadi SBMPTN) untuk kuliah di jurusan
Sastra Indonesia UM.
Lho? Kenapa? Emang
cita-citanya Dina apa?
Ada hal di dunia ini yang bernama cita-cita. Dari kecil,
cita-citaku selalu berubah. Cita-cita pertamaku adalah menjadi arsitek. Mungkin
karena aku melihat bapak yang setiap hari kerjanya menggambar rumah dan membuat
bangunan-bangunan. Berdiri di atas gedung tinggi, memegang penggaris yang
macam-macam bentuknya, menggulung-gulung gulungan kertas besar, mainan laptop
tiap hari, bertemu dengan banyak orang di dunia dan membincangkan sesuatu yang
menurutku fantastis.
Lalu tiba-tiba aku ingin menjadi programmer. Melihat Mbak
Anja (kakak pertamaku) yang bermain angka dan matematika di laptop. Membuat
animasi lucu, mendesain web, sampe Mbak Anja pake kacamata tebal yang menurutku
sangat keren.
Aku juga sempat ingin menjadi jewelry designer. Melihat Mbak
Hani yang setiap hari berkutat dengan prakaryanya. Menjahit, merangkai
aksesoris, wanita banget. Dan sepertinya enteng. Tapi banyak duit.
Terakhir, cita-citaku menjadi sangat mantap untuk menjadi
guru saja. Aku suka sama Bu Iva, guru matematikaku di SMA. Aku juga suka sama
Mbak Cinta, guru Bahasa Indonesiaku di Neutron. Aku ngefans sama Bu Susi, Oom
Wawan, Mbak Ida, Mbak Upik, aku ngefans sama Bu Erna. Itu semua adalah guru
yang menurutku sangat fantastis dan sangat membuatku ingin menjadi guru. Mereka
bekerja tanpa pamrih, tetap tersenyum, rela belajar beberapa jam lebih awal,
dengan gaji yang tidak banyak, namun mereka bahagia, hanya untuk mencerdaskan
kami. Menurutku, itu adalah pekerjaan paling keren dan paling mulia, di dunia.
Akhirnya, aku memutuskan, aku ingin menjadi guru, yang
sangat hebat tentunya.
Terus, kenapa pilih
IPA?
Saat kenaikan kelas 11, ada hal yang membuatku galau. Ini
adalah titik pertama aku harus memilih sendiri masa depanku. Aku harus masuk
jurusan apa. IPA, IPS, atau Bahasa. Semua nilaiku bagus di Bahasa. Semua nilai
IPS-ku rendah. Dan nilai IPA-ku biasa-biasa saja. Tapi 2 kali psycho-test
menyarankanku untuk masuk jurusan IPA atau IPS.
Aku tidak suka menghapal. Ingatanku sama halnya dengan ingatan
ikan. Hanya beberapa detik. Jadi, aku memutuskan untuk tidak pilih IPS, karena
aku benci harus menghapal tanggal-tangal di sejarah. Secara, tidak ada 1 pun
orang di dunia ini yang aku ucapkan ulang tahunnya jam 12 malam karena aku
tidak pernah hapal ulang tahun siapa pun kecuali keluargaku di rumah, sekali
pun itu ulang tahun pacar. Aku juga tidak suka menghitung uang. Aku tidak suka
ngurusin uang. Aku tidak suka ekonomi. Aku benci politik. Aku tidak memilih
IPS.
Aku suka sekali bermain verbal. Aku suka Bahasa Inggris.
Karena aku bisa merasa keren tiap nilai bahasa Inggrisku muncul di rapor. Aku
tidak pernah remidi pelajaran ini. Bahkan, nilai bahasa Inggrisku semester ini
A. Walaupun aku sangat gagap tiap harus mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris.
Aku suka bahasa Indonesia. Aku juga tidak pernah remidi. Walaupun nilaiku masih
lebih rendah dari bahasa Inggris, tapi aku suka menulis. Aku suka blogging. Saat SD dan SMP pun, aku suka bikin cerpen.
Dan kalau teman SD-ku masih ingat, aku dulu suka sekali meminjamkan hasil
kumpulan cerpenku sampai guru olahragaku bilang, “Pinter nulis ya, Dina”. Saat
SMP pun aku sempat bikin 1 novel, aku jilid sendiri, aku bikin cover sendiri dan teman-teman bilang,
aku berbakat. Aku sering bikin puisi di mading. Aku suka teater. Aku suka bikin
naskah drama. Sudah 3 judul naskah drama yang pernah dipentaskan di SMA yang aku tulis. Naskah film pendek yang
aku tulis juga pernah menjadi juara cerita terbaik se-kota Malang saat festival
pelajar. Aku punya banyak follower di blog, artinya, mereka menyukai tulisanku.
Tapi, entah kenapa...aku sama sekali tidak melirik jurusan Bahasa.
Aku suka matematika. Walaupun aku sering remidi, tapi aku
selalu duduk depan saat ulangan. Bu Iva bilang, yang pinter-pinter biar di
depan, biar ga dicontek. Aku pernah diikutkan olimpiade matematika saat SMP.
Bahkan, nilai UNAS tertinggiku saat SMP adalah matematika, hampir absolut. Aku
suka biologi. Aku suka mempelajari kesehatan. Aku suka alam. Aku suka
menganalisis. Apalagi soal skoliosis, tidak akan pernah ada habisnya. Aku suka
teori fisika. Tapi aku benci rumusnya. Aku tidak pernah suka kimia. Dan tidak
pernah mendapat nilai bagus. Aku tidak bisa mengerti kimia sampai detik ini.
Entah kenapa. Tapi, dengan mantap aku pilih jurusan IPA waktu SMA. Karena waktu
itu, IPA adalah hal terkeren di dunia. Bapakku juga senang sekali aku masuk
IPA. Sama seperti Mbak Anja dan Mbak Hani. Aku juga mendapat nilai kesenian
(yang waktu aku kelas 12 adalah seni mendesain seperti arsitek) yang di atas
rata-rata. Kata Pak Joko, aku adalah 3 besar cewek yang desainnya bagus dan
rapi di kelas setelah Ressy dan Mia.
Entah kenapa, aku juga masih tidak mengerti, mengapa aku
memilih IPA. Pilihan yang dibuat oleh seorang remaja yang masih labil. Yang
masih belum mantap cita-citanya, dan masih belum melihat masa depan, yang
beberapa tahun lagi harus ia jalani. Dengan tidak main-main.
Gimana ceritanya pas
milih jurusan kuliah dulu?
SNMPTN Undangan
Sebodoh-bodohnya aku, ternyata aku masih termasuk anak yang
dianggap pintar sama guru-guru. Sedikit arogan, ya? Memang. Aku masuk di daftar
murid yang diberi kesempatan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan (dulu PMDK).
Walaupun rangkingku di sekolah sangat tidak seberapa dan itu hanya kebetulan
saja. Aku bingung harus memilih jurusan apa. Aku mencocokkan dengan
cita-citaku. Aku memilih Pendidikan Matematika di UM, karena aku ingin menjadi
guru. Pilihan kedua, aku pilih Matematika murni, karena siapa tau kalau tidak
masuk pilihan pertama, pilihan kedua bisa nyantol dan aku bisa ambil PPG
(Pendidikan Profesi Guru) dan menjadi guru juga nantinya.
Kenapa pilih matematika? Karena, setelah 2 tahun sekolah
mempelajari IPA, aku tidak bisa mengikuti. Semua nilai yang aku dapatkan sejak
SMA, tidak jujur. Walaupun sudah les privat fisika dan les di bimbel, aku tetap
tidak bisa menyerap pelajaran-pelajaran IPA. Aku hanya mengandalkan google,
contekan teman, dan kertas contekan yang aku buat semalam sebelum ujian. Tapi
entah kenapa, nilai ujian lisan fisikaku bagus. Aneh. Intinya, ujian IPA adalah
mimpi buruk, kecuali biologi. Dan hanya matematika dan biologi yang bisa
menyelamatkanku, karena nilaiku di 2 pelajaran itu yang paling lumayan.
Jurusan ketiga yang aku pilih adalah Ilmu Gizi di UB. Aku
ingin menjadi orang yang paling sehat di dunia dan menjadi orang yang paling
mengerti kesehatan (karena semenjak aku sakit, aku jadi lebih peduli kesehatan)
melalui makanan. Aku sempat ingin menjadi dokter, tapi aku sadar diri, otakku
tidak pernah sampai. Setidaknya, ilmu gizi tidak perlu banyak main rumus fisika dan kimia, ku kira.
Di SNMPTN Undangan,
nilai yang paling stabil-lah yang paling dilihat. Sedangkan nilaiku naik-turun
seperti grafik cosinus. 2 hari sebelum pengumuman SNMPTN Undangan, aku bermimpi
ada seseorang yang mengatakan padaku, aku tidak cocok masuk jurusan ilmu gizi.
Dan ternyata benar. Malah aku gagal di ketiga-tiganya.
SNMPTN Tulis
Kegagalanku di SNMPTN Undangan membuatku makin galau, karena
aku harus memilih lagi. Dan kali ini lebih berat. Belum lagi, Dini dan saudara
sepupuku diterima lewat jalur undangan. Sedangkan aku masih harus berjuang
lagi. Ada faktor mental yang lebih berat kali ini. Tiba-tiba aku ingin menjadi
guru SD. Aku sangat suka anak-anak. Dan aku adalah orang yang tidak bisa fokus
pada 1 bidang secara total. Aku kira, dengan menjadi guru SD, aku bisa
memelajari banyak bidang dengan tidak terlalu detail. Aku juga akhirnya ingin
memilih Pendidikan Bahasa Indonesia. Tapi...aku terlalu pengecut untuk
mengambil IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) atau bahkan IPS saat tes. Karena aku
merasa, untuk memelajari IPA saja sudah susah. Apalagi harus memelajari IPS secara
dadakan dalam 1 bulan saja.
Karena pengecut, aku tetap memilih jurusan di
bidang IPA. Aku tetap memilih Pendidikan Matematika UM. Aku masih sangat ingin
menjadi penerus Bu Iva. Dan saat aku bingung menentukan jurusan kedua,
tiba-tiba aku melihat ada jurusan Pendidikan IPA di daftar. Aku kira, dengan
mengajar SMP, aku tidak perlu terlalu detail memelajari Fisika dan Kimia.
Apalagi, pelajaran SMP pasti lebih mudah dari SMA, jadi aku tidak perlu
khawatir aku tidak bisa Fisika dan Kimia.
Dan akhirnya dengan bangga, aku lolos SNMPTN Tulis, di
Pendidikan IPA. Dan menjalaninya sampai sekarang.
Lantas, apa alasan
ingin pindah jurusan?
Awal masuk, aku sangat sumringah walaupun aku kesulitan dari
awal untuk menyerap pelajaran di kelas. Aku kira kesulitan ini karena aku masih
dalam proses adaptasi. Ternyata aku salah, di sini tidak semudah bayanganku. Lambat laun, aku bukannya menemukan peningkatan
pemahaman. Entah mengapa, makin lama aku makin tidak paham. Aku mudah mengantuk
di kelas, karena aku sama sekali tidak mengerti. Parahnya, aku baru sadar, aku
tidak mengerti dari konsep awal, yang diberikan di SMA dulu. Ketidakmengertian
yang ditumpuk-tumpuk lama-lama menjadi menggunung. Makin hari aku makin tidak
mengerti, tidak mengerti, dan tidak mengerti. Semua laporan praktikum Fisika
yang aku buat adalah hasil pekerjaan teman yang aku copy. Hanya 2 laporan awal yang aku kerjakan sendiri, karena
materinya masih mudah. Saat pembagian pengerjaan laporan biologi dan kimia
secara kelompok, aku selalu meminta teman sekelompokku untuk mengerjakan dasar
teori, data pengamatan, dan analisis data saja. Di luar itu, aku sudah tidak
paham. Aku benci presentasi biologi. Setiap presentasi, aku selalu terlihat
bodoh, gagap, dan selalu ditertawakan. Akhirnya, aku selalu meminta untuk
menjadi operator saja. Hanya praktikum biologi yang membuatku terlihat pintar. Dan
nilaiku selalu A. Di praktikum kimia, aku selalu salah takaran, selalu
menumpahkan larutan, dan saat ujian praktikum kimia, aku selalu tidak bisa
mengerjakan apa-apa selain prosedur pengerjaan. Aku tidak mengerti sama sekali
arti rumus dalam kimia. Bahkan, saat ujian praktik Fisika, dari 2 praktikum
yang diundi dari 5, hanya 1 praktikum saja yang bisa aku kerjakan. Sisanya,
blank. Dan aku menangis saat pulang ujian. Karena, sudah 2 semester aku
mengalami hal yang sama. Aku tidak betah, aku tidak menemukan diriku di sini.
Bukannya aku tidak berusaha, tapi entah mengapa, aku tidak
bergairah untuk belajar kali ini. Aku selalu ketiduran saat belajar, karena
bosan dan tidak mengerti. Saat diterangkan teman, aku mengerti. Tapi setelah
ujian, aku selalu tidak mengerti lagi. Aku tidak paham, kenapa aku. Kenapa
semua harus berakhir dengan bantuan Google, dan beberapa teman yang kasihan
melihatku tidak bisa, dan akhirnya memberi contekan. Adakah seorang calon guru
yang lebih hina dari aku? Bagaimana muridku nanti? Apa yang akan aku jelaskan
di depan kelas? Apa aku bisa menjawab saat ada murid bertanya? Apa iya, setiap
ada teman dari fakultas lain meminta bantuan kepadaku untuk membuat PKM
(Program Kreativitas Mahasiswa) bersama, aku selalu menolak, karena aku tidak
bisa IPA? Apa iya, saat ada teman dari teknik minta diajari fisika aku selalu
melempar pada teman lain, karena aku sendiri tidak mengerti? Apa iya saat salah
satu temanku minta dikerjakan PR-nya soal vektor, aku harus membuka google lagi
dan lagi lalu mengirimkan jawabannya lewat BBM dan ia berterima kasih karena
aku telah membantu menjawab, mengatakan aku pintar, padahal itu bukan
pekerjaanku sendiri? Apa aku bangga menjadi seperti itu? Menjadi orang yang
sama sekali tidak berfungsi secara optimal? Dan sampai kapan aku bergantung
seperti ini?
Tulisan yang ada di kertas ujian Kimia. Astaghfirullah... :-(
Aku berusaha bertahan, berusaha suka, berusaha komitmen
dengan pilihan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dipaksa. Yaitu passion. Seperti
kata seseorang, “Passion energizes your talent”. Ada satu hal yang tidak bisa
diganggu gugat. Ada satu hal yang tidak bisa dimengerti. Ada satu hal yang jika
diterima dan dimengerti bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Passion.
Passion. Dan passion. Dengan berat hati, aku mengatakan, aku tidak ada passion di sini. Di pilihanku sendiri.
Pilihan yang tidak dipilih dengan pertimbangan luas. Pilihan yang lahir dari
pengecut yang tidak berani mengikuti hatinya. Astaghfirullah...maafkan aku Yaa
Rahman L
Lalu, mengapa harus
sastra?
Tidak ada yang kaget kenapa aku suka sastra. Jika aku di
sastra, aku bisa mensinergikan dan menyalurkan kesukaanku akan menulis dengan
layak dan sejalan, bukan hanya sekedar hobi. Ada energi tersendiri yang lahir
saat kau mengerjakan apa yang kau sukai tanpa ada paksaan. Ada tanggung jawab
besar yang menyenangkan walaupun berat jika kau berada di zona yang membuatmu
menemukan jati dirimu seutuhnya, sesulit apa pun itu. Dan aku masih mau
meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, S2, S3, dan berapa S lagi yang akan
tercipta jika aku di sini. Karena aku suka. Dan aku yakin, aku dilahirkan
memang untuk itu. Jika semua kemampuanku dilumpuhkan oleh Allah, hanya ada satu
hal yang aku ingin tetap ada. Yaitu kemampuan dan kemauanku untuk menulis.
Karena dengan menulis, aku bisa berbicara pada dunia, mengatakan apa yang tidak
mampu aku katakan dengan suara. Writing works more than voices. Bahkan, ketika
aku sudah tidak mampu lagi berbicara, ketika aku dilarang melakukan apa pun di
dunia ini, tolong...jangan larang aku untuk menulis. Itu saja. Aku suka. Dan
aku cinta. Tanpa paksaan.
Mendramatisir memang.
Ujian SBMPTN
Aku lalu mengambil uang tabungan dan uang saku kosku. Ke bank sendiri. Mendaftar SBMPTN. Ke Gramedia, membeli buku-buku kumpulan soal dan buku materi IPS. Ke gudang, mengobrak-abrik buku SMA, dan memulai belajar...sebagai anak IPS.
Ujiannya tidak terlalu sulit untuk pengetahuan umum, aku mengerjakan dengan yakin dalam jumlah yang lumayan banyak. Untuk ujian SOSHUM, memang hanya sedikit yang aku yakin. Namun kali ini, aku mengerjakan lebih pede dari tahun lalu, entah karena sudah pernah, atau memang karena aku bisa. Aku sangat optimis sekali.
Bagaimana hasil
SBMPTN kemarin?
Mungkin ini jawaban yang ditunggu. Jadi, malam hari sebelum
pengumuman, aku bermimpi sangat indah. Aku bermimpi ada di medan perang ujian
praktik SIM C sedang mengendarai motor bebek. Aku memakai rok hitam, kemeja
putih, dan jas almamater UM, persis seperti gaya mahasiswa baru yang sedang
ospek. Kebetulan, tanggal 8 Juli kemarin, aku akan mendapatkan 2 hal spesial,
harusnya sih. Aku akan ujian praktik SIM C untuk kedua kalinya dan akan menerima
pengumuman hasil SBMPTN. Di mimpi itu, aku sangat bahagia mengendarai motor
itu. Dan aku berhasil melalui ujian praktik SIM itu dengan sangat lancar,
mulus, dan sempurna. Sampai-sampai di mimpi itu, namaku tersohor di pelosok negeri
karena aku adalah wanita dengan nilai praktik tertinggi. Pulang dari praktik,
aku yang masih berpenampilan sama, berbelanja kebutuhan ospek di sebuah mini
market. Sungguh, itu mimpi paling indah sedunia.
8 Juli 2013
Tiba-tiba aku terbangun, aku bangun kesiangan. Maklum, aku
sedang tidak solat, jadi tidak memasang alarm di saat subuh. Aku bangun 30
menit sebelum kantor SATLANTAS buka. Sampai di sana bersama ibu, aku sangat percaya diri
walaupun masih deg-degan gara-gara kesiangan. Dengan senyum dan berkali-kali membaca Al-Fatihah, aku memulai ujian. Aku tidak terlalu gugup karena sudah pernah
melakukannya. Dan aku sangat optimis, entah kenapa. Tapi, baru beberapa detik
ujian, aku sudah menjatuhkan palang. Parahnya lagi, kakiku turun ke tanah.
Motorku juga ke luar jalur. Aku tetap bersikukuh menyelesaikan ujian, walaupun
nyata-nyata sudah gagal. Ujian kali ini lebih
buruk dari ujian sebelumnya. Di ujian sebelumnya, aku hanya menjatuhkan
2 palang tanpa menurunkan kaki. Tapi di ujian ini, sudah berapa kali aku
melakukan kesalahan. Dan aku harus mengulang 2 bulan lagi. Mimpiku ternyata
bukan untuk sekarang.
Masih down gara-gara gagal dapat SIM untuk ketiga kalinya,
sore ini aku harus membuka website resmi SBMPTN untuk melihat hasil SBMPTN-ku.
Aku sengaja melihatnya agak malam, karena aku tau kalau sore, pasti masih
lemot. Aku buka dulu website Lipsus Kompas. Dan aku memasukkan namaku, nomer
ujian, dan kode prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Tidak
ada hasil. Ah, mungkin di prodi satunya. Aku masukkan kode prodi Sastra
Indonesia. Tidak juga ada. Ah, mungkin Kompas yang eror.
Akhirnya aku membuka website SBMPTN karena masih kurang lega
dengan jawaban yang diberikan Kompas. Dan ternyata...Kompas benar. Aku lalu menghubungi salah satu temanku yang
ikut SBMPTN ulang, sama denganku. Dan dia juga senasib denganku. 2 temanku
lainnya juga sama. Kami sama-sama tidak lolos.
Tulisan ini sama sekali jelek dan tidak memberi semangat. Harusnya ada kata-kata penyemangatnya. Tidak heran kalau anak-anak yang tidak lolos merasa sangat down.
Rasanya...benar-benar...campur aduk. Sambil memandang laptop,
tanpa rasa apa pun. Flat. Sesekali tertawa dan bicara sendiri pada laptop,
“Pasti kamu bercanda, ya kan...ya kan?”. Sedikit linglung dan mendadak galau
luar biasa sangat, dan tidak bisa berpikir jernih. Melihat handphone yang sedari tadi berbunyi mengantarkan puluhan SMS, chat,
dan mention Twitter dari teman-teman yang menanyakan hasil ujianku. Rasanya
kacau. Mereka tidak akan mengerti. Dan aku malas menjelaskan satu-satu dari
mana. Akhirnya aku mematikan handphone. Dan membiarkan mereka dengan rasa
penasaran. Bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran sampai airnya penuh, aku
tidak peduli. Seperti di sinetron. Seperti film Pocong. Sayangnya aku tidak
punya shower. Menangis sejadi-jadinya. Lalu aku ke kamar. Melihat cermin.
Berbicara sendiri. Memotivasi diri. Seperti orang gila. Lalu aku sadar, aku
mulai gila. Aku tidak mau gila. Dan semua luluh...karena Al-Quran. Hanya Allah
yang bisa aku ajak bicara sekarang. Di saat rumah sepi, di saat semua tarawih.
Aku merasa sangat sendirian. Mengalami 4 kegagalan dalam sehari. Gagal dapat
SIM, gagal lolos SBMPTN, dan gagal mengikuti tarawih pertama, serta gagal
memberi kabar gembira pada Vindy, sahabatku yang hari itu ulang tahun, memberi
tahu bahwa aku lolos. Itu sungguh menyakitkan. Dan tidak ada yang bisa
mengerti...
Akhirnya aku membuat status di Twitter, membiarkan mereka
yang bertanya-tanya menyimpulkan sendiri.
“Alhamdulillah... Allah showed so many things today for me,
for my future. Allah knows how to make me wiser, knows the best. Alhamdulillah J”
Lalu seketika banyak yang memberi respon dengan mengucapkan
selamat atas kelolosanku. Aku hanya bisa tertawa miris, mereka tidak juga
mengerti. “Alhamdulillah” adalah pujianku atas kemahadahsyatan Allah. Bukan
selalu hanya ungkapan gembira atas suatu pencapaian. Aku bersyukur, Allah masih
mempercayaiku menjadi orang yang selalu harus berusaha. Aku harus ditempa
bolak-balik agar menjadi baja yang paling kuat. Allah suka hamba-Nya yang
berusaha. Allah tidak akan memberi cobaan lebih berat dari kemampuan hamba-Nya.
Allah suka orang yang sabar.
Lalu paginya, saat semua sahur, aku memutuskan untuk membuka
HP dan membalas beberapa pesan hanya untuk orang yang aku percaya dan
benar-benar bisa mengerti aku. Aku sungguh sangat berterimakasih pada
Sundari
dan
Didin, yang paling tahu alasanku begini, dan yang menemani hingga saat ini,
aku tidak tahu siapa lagi yang akan mengerti. Terima kasih selalu menjadi
tempatku mengeluh. Oh iya,
FYI, Sundari diterima di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir tahun ini, dan dia akan segera pindah dari Pendidikan IPA. Congrats, kamu berani jadi dirimu sendiri, Sun :-)
So...what’s next?
Siangnya, aku ke UM ditemani Dini. Aku ke gedung di mana aku bisa mendapatkan informasi yang
akurat tentang cara ke luar dari fakultas lama ke fakultas baru sambil menunggu
pengumuman ujian mandiri. Tapi sayang, aku kurang mendapat pelayanan yang baik
di sana, entah mengapa mereka tidak bisa menangkap dengan baik maksudku.
Akhirnya, tanpa berpikir lama, aku pergi ke bank dan membeli formulir ujian
mandiri. Sambil hujan-hujanan. Sampai pilek.
Bismillah, aku akan mencoba cara terakhir ini. Aku akan
belajar lagi. Ya Allah, aku serahkan semua pada-Mu. Terima kasih telah percaya
padaku untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Engkau yang hidup dan kekal, yang
tidak pernah tidur dan yang paling mengerti, Engkau tahu mana yang terbaik
untuk hamba-Mu yang terkadang masih melupakanmu ini. Aku terima, apa pun nanti
hasilnya. Aku akan berubah lebih baik lagi...aku janji, ini terakhir kali
kecewa dan mengecewakan.
Allah paling tahu, isi hati yang terkunci dan yang hilang kuncinya.
Allah bisa membukanya dengan cepat. Bismillahirrahmannirrahim...
Semoga tidak akan ada Dina-Dina yang lain, yang senasib.
Semoga pilihan, tidak akan lagi membingungkan. Dan semoga pilihan, adalah jawaban, bukan pembingungan. Selamat, buat manusia yang diciptakan bisa dengan mudah memilih, hargai itu, kalian hebat :-)
"Allahumma
yassir wala tu'assir. Rabbi tammim bilkhoir. Birohmatikaya Arhamarrohimin."