Followers

Wednesday, December 25, 2013

Pesing

Sepotong dialog di suatu sore, waktu aku sedang antri kamar mandi.

              “Lho Dina, ngapain kok ga masuk kamar mandi ini?” kata Mas Lucky sambil noleh ke arah kamar mandi yang kosong di antara tiga kamar mandi yang ada di kompleks UKM lantai dua.
    
              “Ngga mau mas, pesing. Aku nunggu yang ini aja,” jawabku polos sambil menyandar pada tembok di depan pintu kamar mandi.

               “Terus kalo pesing siapa yang nyiram?” timpal

Mas Lucky sambil masuk ke kamar mandi yang aku hindari tadi.

               “Deep...” kataku lirih.

Source: Okejon

Well, do you get what I mean with that dialogue? Hal buruk memang layak untuk dihindari. Tapi, sampai kapan kita akan membiarkan yang buruk tetap buruk? Kalau kita tidak mau menghadapinya, ia akan tetap buruk. Tapi kalau kita mau merelakan hidung kita tersengat bau pesing sebentar, lalu menyiramnya, bukankah bau itu akan hilang? Dan bukankah kita telah melakukan satu perbuatan kecil yang berdampak besar tanpa kita sadari?

Belajarlah pada filosofi pesing hari ini. Ternyata hidup kadang perlu peka terhadap hal yang sepele J

Salam!


Sunday, October 27, 2013

Kota Batu dan Hati Yang Membatu

Alun-Alun Kota Batu, Malang, 19 Oktober 2013

Aku bergerak ke arah lubang-lubang itu. Menebak mana lubang yang akan menyemprotkan air ke atas, ke arah langit. Aku mendekat dan terkejut dengan kejutan dari bawah sana. Sial. Sepatuku basah. Aku tidak bisa tahu lubang mana lagi yang akan menyemprotkan air setelah ini. Mereka bergantian. Aku tidak bisa menebak. Sama sepertimu. Aku tidak tahu hal apa lagi yang akan terjadi padaku olehmu setelah ini. Entah itu akan membasahiku atau aku malah akan mengeluarkan tawa kemenangan karena bisa menghindar darimu. Entahlah.



Aku capek terkena cipratan air itu. Dingin. Kota ini sudah cukup dingin. Aku sandarkan saja punggungku pada kursi yang berjalan berputar di atas sana. Dari atas sana...sungguh banyak bintang-bintang imitasi--rumah-rumah yang berpendar seperti mercusuar--yang cukup membuat mataku memercing kagum. Menebak kamu sedang berada di bangunan bercahaya yang sebelah mana dan membayangkan apakah kamu melihatku di atas sini dari bawah sana, yang jauh...jauh...tapi nyata keberadaannya. Aku terus menikmati putaran ini. Jika aku di dalam sini, aku tidak merasakan ada di bawah atau di atas, hanya gambar-gambar di luar jendela yang berganti seperti slide show foto di laptop. Seperti kita, yang berputar-putar seolah berjalan, padahal masih tetap jalan di tempat. Seperti bianglala. Sibuk berputar, namun stagnan tanpa perubahan.



Ironis. Di tempat seramai pasar malam ini, aku berjalan seperti Lucy Pevensie di dalam hutan belantara. Makin ironis melihat ratusan pasang anak manusia yang bersenda-gurau sambil berpegangan tangan, mencubit pipi, menyandarkan kepala pada pundak...kepalaku hanya bersandar pada angin. Yang dingin.

Lagu apa yang bisa mengisi telingaku yang juga dingin malam ini selain suara gesekan angin pada dedaunan atau decit ayunan anak kecil di sana. 3 orang pengamen, pengabdi musik jalanan, datang mengucapkan "permisi, mbak" dan memulai ritual cari duitnya. Sial! Adakah koneksi di antara langit dan hatiku saat ini hingga langit mengirimkan isyarat pada ketiga pengamen itu untuk menyanyikan lagu ini: Sepanjang Jalan Kenangan. Kamu pasti ingat.

Ah. Biar. Mau bagaimana lagi, aku tetap kukuh. Aku wanita. Iya. Wanita. Yang hanya bisa menangis atau sekedar mengakhiri semua batu-batu dalam hati yang semakin dingin dan semakin membatu ini dengan emosi. Memikirkan kejutan dan putaran apa lagi nanti yang akan terjadi. Terlalu lelah sudah aku berekspektasi tentangmu, terlalu sakit jika terbang setinggi itu dan jatuh sekeras itu. Tepat satu tahun yang lalu, di bulan ini. Namun aku tidak bisa berbuat sesuatu. Tubuhku mematung, lalu melemas, pasrah, biarkan semua lelah, khawatir, kalut, dan benci berakhir...larut dalam segelas susu panas...


Hey! Aku merasa sedang dipeluk seseorang. Susu ini terlalu enak.

Selamat bermalam minggu.

Saturday, October 26, 2013

Kunci

Pada suatu siang di Koffie Cafe.

"Maaf terlambat. Sudah menunggu lama ya, Rose?" tanya Moon gelagapan sambil membenahi rambut yang basah.

"Sudahlah, jangan pikirkan aku. Pikirkan dulu bajumu yang basah itu. Kenapa nekat hujan-hujanan? Ke mana mobilmu?" jawab Rose tenang.

"Terlalu lama menunggu tukang kunci membuka pintu pagar rumahku, daripada kamu lebih lama lagi menungguku. Jam berapa sekarang?" basa-basi Moon.

" Baru jam 1."

"Aku kira sudah jam 5. Mendung membuat langit lebih tua 4 jam dari biasanya."

"Sepertinya tadi pagi aku melihatmu membawa kunci pagar rumah. Hilang?"

"Entah kunci yang asli ke mana. Yang aku bawa kunci dengan merek dan bentuk yang sama. Bersikukuh aku buka gemboknya, tidak juga ia berputar dan berbunyi 'klik'. Heran."

"Bodoh. Kenapa kamu tidak periksa sebelumnya? Penyakit lama."

"Aku kira hanya ada satu merek Yale yang berbentuk seperti itu. Aku ambil saja. Pasti itu kunci rumah. Ternyata bukan."

"Sekuat apa pun kamu berusaha membuka kunci itu, walaupun ia bisa masuk gembok dan terasa pas, kalau tidak ada bunyi 'klik' mau bagaimana lagi."

"Hanya tukang kunci yang bisa membukanya, ya?" tanya Moon dengan wajah polos.

"Kuncimu butuh diamplas dengan mesin, dibentuk sedemikian rupa agar pas dengan yang asli dan bisa membuka gembok pagar rumahmu. Atau kamu beli gembok yang baru dan simpan kunci yang baru dengan hati-hati, gandakan kalau perlu. Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Merek yang sama  belum tentu pas."

"Ah, kenapa jadi berbicara kunci? Kamu sudah pesan kopi?" Moon mengalihkan pembicaraan.

"Sudah habis. Kamu pesan saja, aku tidak mau kamu mengeluh jika nanti demam. Hangatkan perutmu."

"Mas, menunya!" Moon memanggil waitress di pojok ruangan.

***

"Kamu ngga makan?"

"Aku tidak selera...kamu saja," jawab Rose dingin.

"Kamu kenapa? Kamu masih marah aku datang terlambat?"

"Lupakan... Aku mau kembali, muridku sudah menunggu."

"Perlu aku antar?"

"Kau ini. Naik apa? Aku panggil taksi saja."

"Kamu marah?"

"Apa selalu begini?"

"Apanya?"

"Ah, kamu tidak juga mengerti. Kunci itu...urusi saja kunci itu. Andai kamu mengerti. Perkataanku tadi sudah menjawab pertanyaanmu. Segera beli kunci yang baru."

"Baiklah...hati-hati..." jawab Moon.

"He'emmmm..." sambil berlalu meninggalkan Moon.

"Aku menyayangimu...aku hanya tidak tahu, kenapa 'klik' itu tidak kunjung berbunyi. Rose, maafkan aku..." bisik Moon saat melihat Rose sudah mendapat taksi di seberang kafe.

Secangkir kopi datang. Moon menikmati kehangatan yang berjalan dari kerongkongan hingga lambungnya. Ditemani bau hujan dan percikannya yang menempel di jendela. Melihat langit yang ditutup tabir mendung seperti hati wanita yang baru saja ada di depannya dan meninggalkan segelintir tanya.

"Aku menyesal, bertahun aku meninggalkan ketidakpastian. Kamu benar, aku menjadikanmu opsi. Kamu tidak layak menjadi sebuah opsi." gumam Moon.


(Untukmu dan segala ketidakpastianmu)

Thursday, August 01, 2013

Sajadah

Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati


Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi


Aku tiba-tiba ingin menuliskan cerita tentang sajadah. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang salah dengan sajadah belakangan ini. Sajadah, barang sakral yang selalu mereka bawa menuju rumah-Nya. Iya, sajadah.

Aku selalu membawa mukena parasutku ke mana-mana. Untuk tetap mengingatkanku akan kewajiban yang tidak boleh ditanggalkan. Aku suka kain parasut, mudah dilipat di dalam tas dan tidak membuat berat di pundak. Tapi aku tidak suka membawa sajadah ke mana-mana. Bukan karena berat, tapi ada satu cerita di balik kebencianku membawa sajadah.

Tiap kali ke masjid maupun musholla kecil, jamaah yang terbanyak adalah jamaah kaum Adam. Tidak heran, —selain karena kami juga harus berhalangan rutin tiap bulannya—karena sunnah untuk mereka adalah sholat di masjid, sedangkan untuk kaum Hawa adalah di rumah. Selain itu, kaum Adam adalah kaum tersolid yang pernah aku temui di masjid, daripada anak-anak dan kaum Hawa tentang kerapatan dan kelurusan shaf.

Saat imam sudah menyebutkan hadist yang mengisyaratkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf, aku mulai benci dengan sajadah. Sajadah selalu membuat beberapa orang tidak mau pergi darinya. 
Sajadah seringkali dianggap sebagai batas antara kami untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Sajadah yang harusnya menjadi alas suci, kini berubah menjadi pembeda antara jamaah. Aku salut dengan kaum Adam yang shafnya selalu rapi tanpa celah, sedangkan kaum Hawa masih jauh tertinggal dengan mereka. Itu alasanku mengapa aku tidak suka membawa sajadah. Sajadah harusnya merapatkan, bukan malah merenggangkan.

Alangkah lebih baik saat aku tidak membawa sajadah, tiba-tiba ada seorang wanita yang menawariku untuk berbagi sajadah, dan ia mulai melintangkan sajadahnya dan kami memakainya berdua, terlebih lagi syukur-syukur kalau bisa dipakai bertiga. Mari kita renungkan, seharusnya sajadah adalah pemersatu seperti ini, bukan pemecah belah umat :-).

NB: Analogikan sajadah ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba


Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya



-Bimbo-

Sudah, Begitu Saja


Pada suatu malam di pameran lukisan, di sebuah kafe, di lantai dua, pinggir jalan...

Malam ini aku tidak berhasil berangkat denganmu. Aku kadang tidak sadar kalau aku sudah bisa membawa kuda besi sendiri sekarang. Tapi kadang aku bosan membonceng teman, aku ingin dibonceng. Manja, ya? Kau berangkat dengan kudamu sendiri, aku pun demikian. Tapi aku sengaja memarkir kuda besiku agak dekat dengan punyamu. Sesampainya di kafe, kita berjalan sendiri-sendiri secara terpisah.

Terpampang banyak lukisan di sini. Dan semua lukisan di sini tidak mainstream. Ada juga botol-botol bir yang dimasukkan dalam keranjang bayi yang difungsikan sebagai wadah putung rokok. Banyak orang-orang berambut gondrong dan bergaya serabutan. Sedangkan kita semua datang dengan dandanan rapi, warna-warni, dengan eyeshadow yang menarik, sudah siap menyanyi bak biduan di atas panggung. Pemandangan yang sedikit mengagetkan, terutama buatku, aku sempat sedikit bosan di sana.

Aku suka lukisan ini. Aku suka apa pun yang berbau hewan berbulu. Apalagi beruang dan panda.
Sembari bosan, aku pura-pura saja menikmati lukisan-lukisan di sana. Toh, aku masih bisa berimajinasi sambil sedikit mengalihkan perhatian dan menyembunyikan kebosananku. Sambil sesekali melihat jam biru tosca muda kesayanganku yang sudah usang. Berharap kita semua segera menyanyi dan pergi dari sana, karena aku sudah mulai mengantuk dan ingin tidur. Kadang sesekali diajak foto oleh beberapa teman, untung saja mereka tau cara mengusir kebosanan.

Mereka mengerti cara mengusir kebosanan
Sesekali aku melihat ke arahmu yang berjarak denganku, kira-kira 10 meter atau lebih. Kamu mulai berjalan menikmati lukisan-lukisan itu, dengan mereka yang mengerti cara menikmati dan mengapresiasi lukisan. Sambil sesekali menunjuk dan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Lalu kamu berhenti pada satu lukisan. Dan mengeluarkan kotak besi selularmu. Kamu mulai merangkak ke lukisan yang lain. Diam-diam aku menghampiri lukisan yang tadi sempat kamu berhenti lama di sana. Aku amati tiap detilnya. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Menurutku itu hanya lukisan kegelapan.

Aku duduk tepat di dekat lukisan itu. Sambil mengeluarkan kotak selularku. Itu pertanda aku mulai bosan dengan sekitarku. Ada satu pesan. Aku buka. Darimu.

“Kau berikan sebuah telur, telur besar yang entah apa isinya, lalu kau pergi, kemudian telur itu menetas. Menetaskan seekor burung, burung yang entah mengapa membuatku sakit. Burung itu memakan hatiku hingga kosong dan berlubang. Baiklah, terima kasih.”

Tiba-tiba jantungku berdebar. Aku tidak mengerti maksud pesan singkatmu. Aku balas sekenanya,

“Apa telur itu terlalu cepat menetas dan menetaskan sesuatu yang salah...harusnya bukan burung, karena ia mudah terbang bebas. Mungkin bebek, yang mudah ditangkap dan tidak terbang?”

Lalu balasan secepat kilat datang darimu,

“Hahaha, serius amat. Itu lho...tulisan di lukisan yang nempel tiang, di belakangmu...”

Sedikit malu dan tidak percaya, aku bergegas berdiri dan melihat lagi lukisan itu. Iya, ada. Kamu mengamatinya sampai ke detil terkecil. Tulisan itu ada di di tengah lukisan itu dan tidak terlalu terlihat bila dilihat sekilas. Namun ada beberapa kata di awal yang kamu buat sendiri. Aku bingung membalas apa.
Iseng!”, balasku.

Hahaha ;-)”, balasmu lagi.

Mohon ditunggu,” aku bingung membalas apa, aku tulis kata-kata yang ada di lukisan di sampingku.

Oke...ditunggu,” balasmu.

Itu tulisan di lukisan juga! Hahahaha!” balasku puas.

Botek -__-“, katamu. Botek dalam bahasa Jawa berarti berbohong.
Salah satu band yang mengisi acara. Ia menyanyikan lagu My Only One-nya Mocca malam itu. Menemani kebosananku. Aku suka Mocca.
Lalu surat-menyurat elektronik kita berlangsung walau kita hanya berjarak beberapa meter. Dan akhirnya terhenti saat tiba waktunya kita harus menyanyi. Kita semua menyanyi lagu cinta itu dengan ceria. Sambil sesekali (dan selalu sesekali), aku melihat ke arah senyummu. Lucu. Rasanya ingin lebih lama dan lebih panjang lagi lagu itu.

Selesai menyanyi, aku hampiri kamu. Dan kita tertawa bersama, walau sebentar karena terhenti dengan ucapan “cie cie” dari salah seorang teman. Sudah, begitu saja...

Lalu kita semua turun, menikmati kue yang diberi oleh penyelenggara acara. Setelah selesai, aku dapati si Magic, kuda besiku, terjepit di antara kuda besi-kuda besi yang lain. Dan di sana ada kamu, sedang berusaha mengeluarkan kuda besimu. Dan akhirnya tiba pada satu saat di mana hanya dengan ke luarnya kuda besiku, punyamu bisa ke luar dari tempat parkir itu.

Aku berikan kunci si Magic padamu. Kamu mengeluarkannya. Misiku berhasil.

Makasih ya...”, ucapku.

Setelah itu kuda besimu sudah bisa ke luar. Dan kita pulang. Secara terpisah. Sudah. Begitu saja...

Sunday, July 21, 2013

This is The Answer!

Aku mendapat pesan dari si Vindy, kalau pengumuman hasil SMPDS (Seleksi Mandiri Program Diploma dan Sarjana) UM bisa diakses tanggal 20 Juli. Awalnya sih makin nervous, soalnya tanggal seharusnya adalah 23 Juli. Ah, sudah pasrah rasanya. Tawakkal total.

Walaupun pengumumannya dibuka pukul 24.00, aku sengaja membukanya setelah sahur, karena kalau kemungkinan terburuk terjadi, setidaknya aku tidak perlu tidak bisa tidur nyenyak. Setelah sholat shubuh, mengaji, dan melemaskan diri, aku putuskan untuk memainkan kombinasi angka-angka yang rumit ini ke dalam website yang paling aku takuti sedunia, lebih dari website primbon. 

Hormon-hormon adrenalinku mulai melambung tinggi sampai ke ubun-ubun dan sudah mau meletuskan ledakan yang mahadahsyat, lebih dari ledakan di Hiroshima dan Nagasaki. Terbang ke luar menembus langit ketujuh, berharap masih ada langit kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan keberapa pun yang ingin ku tembus. And, here is the answer...


Alhamdulillah... Allah really knows what the best for me is... Terima kasih untuk kesempatan yang entah sudah keberapa kali ini. Hanya Engkau yang paling maha tepat janji, memberiku kesempatan keempat di saat yang lain bilang bahwa kesempatan kedua saja sudah tidak ada. Dan berkat Engkau, "indah pada waktunya" bukan sekadar judul lagu ataupun sekadar janji manis bagi orang yang gagal sekarang. Engkau mahasegalanya, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam :-)

Terima kasih juga buat semua supporter di belahan bumi ini, kalian terbaik. Yang menguatkan dan mendoakan, memastikan bahwa kita tidak pernah sendiri di sini, jujur...tanpa kalian, mungkin sekarang aku tidak bisa berdiri. Di sini :-)

Wednesday, July 10, 2013

Pertanyaan, Pilihan, dan Jawaban

Halo...mungkin baru hari ini aku bisa menulis lagi di blog setelah beberapa  bulan sudah banyak draft yang sebenarnya mau aku post, tapi aku tidak punya waktu karena kesibukanku yang semakin merajalele (?) akhir-akhir ini. Kalo ibarat artis, mungkin inilah konferensi pers yang sudah ditunggu-tunggu sama wartawan dan pekerja infotainment.

Maaf tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar dan maaf sudah membuat bertanya-tanya. Sebenarnya Dina kenapa? Kok semua status terakhirnya di jejaring sosial galau gitu? Kok saat ditanya tidak pernah ada jawaban? Kok tiba-tiba tidak punya waktu untuk bertemu? Kok tiba-tiba menjadi sangat tidak asyik dan tertutup?

Ini nih jawabannya.

Sebenarnya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan dengan UAS, dengan kegiatan paduan suara, dengan 2 proyek kerjasama (yang tidak bisa aku sebutkan), dan dengan 1 perubahan terbesar yang mungkin akan aku jalani. Perubahan? Apa itu? Dina mau operasi plastik? Hahaha, baca sampe tuntas ya... ;-)

Sudah setahun aku kuliah di Pendidikan IPA di UM. Jurusan ini adalah jurusan yang aku PILIH SENDIRI saat SNMPTN Tulis tahun lalu (baca cerita lengkapnya di sini). Dan tahun ini, aku mengikuti SNMPTN Tulis lagi (yang sekarang sudah berubah nama menjadi SBMPTN) untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia UM.

Lho? Kenapa? Emang cita-citanya Dina apa?

Ada hal di dunia ini yang bernama cita-cita. Dari kecil, cita-citaku selalu berubah. Cita-cita pertamaku adalah menjadi arsitek. Mungkin karena aku melihat bapak yang setiap hari kerjanya menggambar rumah dan membuat bangunan-bangunan. Berdiri di atas gedung tinggi, memegang penggaris yang macam-macam bentuknya, menggulung-gulung gulungan kertas besar, mainan laptop tiap hari, bertemu dengan banyak orang di dunia dan membincangkan sesuatu yang menurutku fantastis.

Lalu tiba-tiba aku ingin menjadi programmer. Melihat Mbak Anja (kakak pertamaku) yang bermain angka dan matematika di laptop. Membuat animasi lucu, mendesain web, sampe Mbak Anja pake kacamata tebal yang menurutku sangat keren.

Aku juga sempat ingin menjadi jewelry designer. Melihat Mbak Hani yang setiap hari berkutat dengan prakaryanya. Menjahit, merangkai aksesoris, wanita banget. Dan sepertinya enteng. Tapi banyak duit.

Terakhir, cita-citaku menjadi sangat mantap untuk menjadi guru saja. Aku suka sama Bu Iva, guru matematikaku di SMA. Aku juga suka sama Mbak Cinta, guru Bahasa Indonesiaku di Neutron. Aku ngefans sama Bu Susi, Oom Wawan, Mbak Ida, Mbak Upik, aku ngefans sama Bu Erna. Itu semua adalah guru yang menurutku sangat fantastis dan sangat membuatku ingin menjadi guru. Mereka bekerja tanpa pamrih, tetap tersenyum, rela belajar beberapa jam lebih awal, dengan gaji yang tidak banyak, namun mereka bahagia, hanya untuk mencerdaskan kami. Menurutku, itu adalah pekerjaan paling keren dan paling mulia, di dunia.

Akhirnya, aku memutuskan, aku ingin menjadi guru, yang sangat hebat tentunya.

Terus, kenapa pilih IPA?

Saat kenaikan kelas 11, ada hal yang membuatku galau. Ini adalah titik pertama aku harus memilih sendiri masa depanku. Aku harus masuk jurusan apa. IPA, IPS, atau Bahasa. Semua nilaiku bagus di Bahasa. Semua nilai IPS-ku rendah. Dan nilai IPA-ku biasa-biasa saja. Tapi 2 kali psycho-test menyarankanku untuk masuk jurusan IPA atau IPS.

Aku tidak suka menghapal. Ingatanku sama halnya dengan ingatan ikan. Hanya beberapa detik. Jadi, aku memutuskan untuk tidak pilih IPS, karena aku benci harus menghapal tanggal-tangal di sejarah. Secara, tidak ada 1 pun orang di dunia ini yang aku ucapkan ulang tahunnya jam 12 malam karena aku tidak pernah hapal ulang tahun siapa pun kecuali keluargaku di rumah, sekali pun itu ulang tahun pacar. Aku juga tidak suka menghitung uang. Aku tidak suka ngurusin uang. Aku tidak suka ekonomi. Aku benci politik. Aku tidak memilih IPS.

Aku suka sekali bermain verbal. Aku suka Bahasa Inggris. Karena aku bisa merasa keren tiap nilai bahasa Inggrisku muncul di rapor. Aku tidak pernah remidi pelajaran ini. Bahkan, nilai bahasa Inggrisku semester ini A. Walaupun aku sangat gagap tiap harus mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku suka bahasa Indonesia. Aku juga tidak pernah remidi. Walaupun nilaiku masih lebih rendah dari bahasa Inggris, tapi aku suka menulis. Aku suka blogging.  Saat SD dan SMP pun, aku suka bikin cerpen. Dan kalau teman SD-ku masih ingat, aku dulu suka sekali meminjamkan hasil kumpulan cerpenku sampai guru olahragaku bilang, “Pinter nulis ya, Dina”. Saat SMP pun aku sempat bikin 1 novel, aku jilid sendiri, aku bikin cover sendiri dan teman-teman bilang, aku berbakat. Aku sering bikin puisi di mading. Aku suka teater. Aku suka bikin naskah drama. Sudah 3 judul naskah drama yang pernah dipentaskan di  SMA yang aku tulis. Naskah film pendek yang aku tulis juga pernah menjadi juara cerita terbaik se-kota Malang saat festival pelajar. Aku punya banyak follower di blog, artinya, mereka menyukai tulisanku. Tapi, entah kenapa...aku sama sekali tidak melirik jurusan Bahasa.

Aku suka matematika. Walaupun aku sering remidi, tapi aku selalu duduk depan saat ulangan. Bu Iva bilang, yang pinter-pinter biar di depan, biar ga dicontek. Aku pernah diikutkan olimpiade matematika saat SMP. Bahkan, nilai UNAS tertinggiku saat SMP adalah matematika, hampir absolut. Aku suka biologi. Aku suka mempelajari kesehatan. Aku suka alam. Aku suka menganalisis. Apalagi soal skoliosis, tidak akan pernah ada habisnya. Aku suka teori fisika. Tapi aku benci rumusnya. Aku tidak pernah suka kimia. Dan tidak pernah mendapat nilai bagus. Aku tidak bisa mengerti kimia sampai detik ini. Entah kenapa. Tapi, dengan mantap aku pilih jurusan IPA waktu SMA. Karena waktu itu, IPA adalah hal terkeren di dunia. Bapakku juga senang sekali aku masuk IPA. Sama seperti Mbak Anja dan Mbak Hani. Aku juga mendapat nilai kesenian (yang waktu aku kelas 12 adalah seni mendesain seperti arsitek) yang di atas rata-rata. Kata Pak Joko, aku adalah 3 besar cewek yang desainnya bagus dan rapi di kelas setelah Ressy dan Mia.

Entah kenapa, aku juga masih tidak mengerti, mengapa aku memilih IPA. Pilihan yang dibuat oleh seorang remaja yang masih labil. Yang masih belum mantap cita-citanya, dan masih belum melihat masa depan, yang beberapa tahun lagi harus ia jalani. Dengan tidak main-main.

Gimana ceritanya pas milih jurusan kuliah dulu?

SNMPTN Undangan

Sebodoh-bodohnya aku, ternyata aku masih termasuk anak yang dianggap pintar sama guru-guru. Sedikit arogan, ya? Memang. Aku masuk di daftar murid yang diberi kesempatan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan (dulu PMDK). Walaupun rangkingku di sekolah sangat tidak seberapa dan itu hanya kebetulan saja. Aku bingung harus memilih jurusan apa. Aku mencocokkan dengan cita-citaku. Aku memilih Pendidikan Matematika di UM, karena aku ingin menjadi guru. Pilihan kedua, aku pilih Matematika murni, karena siapa tau kalau tidak masuk pilihan pertama, pilihan kedua bisa nyantol dan aku bisa ambil PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan menjadi guru juga nantinya.

Kenapa pilih matematika? Karena, setelah 2 tahun sekolah mempelajari IPA, aku tidak bisa mengikuti. Semua nilai yang aku dapatkan sejak SMA, tidak jujur. Walaupun sudah les privat fisika dan les di bimbel, aku tetap tidak bisa menyerap pelajaran-pelajaran IPA. Aku hanya mengandalkan google, contekan teman, dan kertas contekan yang aku buat semalam sebelum ujian. Tapi entah kenapa, nilai ujian lisan fisikaku bagus. Aneh. Intinya, ujian IPA adalah mimpi buruk, kecuali biologi. Dan hanya matematika dan biologi yang bisa menyelamatkanku, karena nilaiku di 2 pelajaran itu yang paling lumayan.

Jurusan ketiga yang aku pilih adalah Ilmu Gizi di UB. Aku ingin menjadi orang yang paling sehat di dunia dan menjadi orang yang paling mengerti kesehatan (karena semenjak aku sakit, aku jadi lebih peduli kesehatan) melalui makanan. Aku sempat ingin menjadi dokter, tapi aku sadar diri, otakku tidak pernah sampai. Setidaknya, ilmu gizi tidak perlu banyak main rumus fisika dan kimia, ku kira.

Di SNMPTN Undangan, nilai yang paling stabil-lah yang paling dilihat. Sedangkan nilaiku naik-turun seperti grafik cosinus. 2 hari sebelum pengumuman SNMPTN Undangan, aku bermimpi ada seseorang yang mengatakan padaku, aku tidak cocok masuk jurusan ilmu gizi. Dan ternyata benar. Malah aku gagal di ketiga-tiganya.

SNMPTN Tulis

Kegagalanku di SNMPTN Undangan membuatku makin galau, karena aku harus memilih lagi. Dan kali ini lebih berat. Belum lagi, Dini dan saudara sepupuku diterima lewat jalur undangan. Sedangkan aku masih harus berjuang lagi. Ada faktor mental yang lebih berat kali ini. Tiba-tiba aku ingin menjadi guru SD. Aku sangat suka anak-anak. Dan aku adalah orang yang tidak bisa fokus pada 1 bidang secara total. Aku kira, dengan menjadi guru SD, aku bisa memelajari banyak bidang dengan tidak terlalu detail. Aku juga akhirnya ingin memilih Pendidikan Bahasa Indonesia. Tapi...aku terlalu pengecut untuk mengambil IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) atau bahkan IPS saat tes. Karena aku merasa, untuk memelajari IPA saja sudah susah. Apalagi harus memelajari IPS secara dadakan dalam 1 bulan saja. 

Karena pengecut, aku tetap memilih jurusan di bidang IPA. Aku tetap memilih Pendidikan Matematika UM. Aku masih sangat ingin menjadi penerus Bu Iva. Dan saat aku bingung menentukan jurusan kedua, tiba-tiba aku melihat ada jurusan Pendidikan IPA di daftar. Aku kira, dengan mengajar SMP, aku tidak perlu terlalu detail memelajari Fisika dan Kimia. Apalagi, pelajaran SMP pasti lebih mudah dari SMA, jadi aku tidak perlu khawatir aku tidak bisa Fisika dan Kimia.

Dan akhirnya dengan bangga, aku lolos SNMPTN Tulis, di Pendidikan IPA. Dan menjalaninya sampai sekarang.

Lantas, apa alasan ingin pindah jurusan?

Awal masuk, aku sangat sumringah walaupun aku kesulitan dari awal untuk menyerap pelajaran di kelas. Aku kira kesulitan ini karena aku masih dalam proses adaptasi. Ternyata aku salah, di sini tidak semudah bayanganku. Lambat laun, aku bukannya menemukan peningkatan pemahaman. Entah mengapa, makin lama aku makin tidak paham. Aku mudah mengantuk di kelas, karena aku sama sekali tidak mengerti. Parahnya, aku baru sadar, aku tidak mengerti dari konsep awal, yang diberikan di SMA dulu. Ketidakmengertian yang ditumpuk-tumpuk lama-lama menjadi menggunung. Makin hari aku makin tidak mengerti, tidak mengerti, dan tidak mengerti. Semua laporan praktikum Fisika yang aku buat adalah hasil pekerjaan teman yang aku copy. Hanya 2 laporan awal yang aku kerjakan sendiri, karena materinya masih mudah. Saat pembagian pengerjaan laporan biologi dan kimia secara kelompok, aku selalu meminta teman sekelompokku untuk mengerjakan dasar teori, data pengamatan, dan analisis data saja. Di luar itu, aku sudah tidak paham. Aku benci presentasi biologi. Setiap presentasi, aku selalu terlihat bodoh, gagap, dan selalu ditertawakan. Akhirnya, aku selalu meminta untuk menjadi operator saja. Hanya praktikum biologi yang membuatku terlihat pintar. Dan nilaiku selalu A. Di praktikum kimia, aku selalu salah takaran, selalu menumpahkan larutan, dan saat ujian praktikum kimia, aku selalu tidak bisa mengerjakan apa-apa selain prosedur pengerjaan. Aku tidak mengerti sama sekali arti rumus dalam kimia. Bahkan, saat ujian praktik Fisika, dari 2 praktikum yang diundi dari 5, hanya 1 praktikum saja yang bisa aku kerjakan. Sisanya, blank. Dan aku menangis saat pulang ujian. Karena, sudah 2 semester aku mengalami hal yang sama. Aku tidak betah, aku tidak menemukan diriku di sini.

Bukannya aku tidak berusaha, tapi entah mengapa, aku tidak bergairah untuk belajar kali ini. Aku selalu ketiduran saat belajar, karena bosan dan tidak mengerti. Saat diterangkan teman, aku mengerti. Tapi setelah ujian, aku selalu tidak mengerti lagi. Aku tidak paham, kenapa aku. Kenapa semua harus berakhir dengan bantuan Google, dan beberapa teman yang kasihan melihatku tidak bisa, dan akhirnya memberi contekan. Adakah seorang calon guru yang lebih hina dari aku? Bagaimana muridku nanti? Apa yang akan aku jelaskan di depan kelas? Apa aku bisa menjawab saat ada murid bertanya? Apa iya, setiap ada teman dari fakultas lain meminta bantuan kepadaku untuk membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bersama, aku selalu menolak, karena aku tidak bisa IPA? Apa iya, saat ada teman dari teknik minta diajari fisika aku selalu melempar pada teman lain, karena aku sendiri tidak mengerti? Apa iya saat salah satu temanku minta dikerjakan PR-nya soal vektor, aku harus membuka google lagi dan lagi lalu mengirimkan jawabannya lewat BBM dan ia berterima kasih karena aku telah membantu menjawab, mengatakan aku pintar, padahal itu bukan pekerjaanku sendiri? Apa aku bangga menjadi seperti itu? Menjadi orang yang sama sekali tidak berfungsi secara optimal? Dan sampai kapan aku bergantung seperti ini?

Tulisan yang ada di kertas ujian Kimia. Astaghfirullah... :-(

Aku berusaha bertahan, berusaha suka, berusaha komitmen dengan pilihan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dipaksa. Yaitu passion. Seperti kata seseorang, “Passion energizes your talent”. Ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ada satu hal yang tidak bisa dimengerti. Ada satu hal yang jika diterima dan dimengerti bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Passion. Passion. Dan passion. Dengan berat hati, aku mengatakan, aku tidak ada passion di sini. Di pilihanku sendiri. Pilihan yang tidak dipilih dengan pertimbangan luas. Pilihan yang lahir dari pengecut yang tidak berani mengikuti hatinya. Astaghfirullah...maafkan aku Yaa Rahman L

Lalu, mengapa harus sastra?

Tidak ada yang kaget kenapa aku suka sastra. Jika aku di sastra, aku bisa mensinergikan dan menyalurkan kesukaanku akan menulis dengan layak dan sejalan, bukan hanya sekedar hobi. Ada energi tersendiri yang lahir saat kau mengerjakan apa yang kau sukai tanpa ada paksaan. Ada tanggung jawab besar yang menyenangkan walaupun berat jika kau berada di zona yang membuatmu menemukan jati dirimu seutuhnya, sesulit apa pun itu. Dan aku masih mau meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, S2, S3, dan berapa S lagi yang akan tercipta jika aku di sini. Karena aku suka. Dan aku yakin, aku dilahirkan memang untuk itu. Jika semua kemampuanku dilumpuhkan oleh Allah, hanya ada satu hal yang aku ingin tetap ada. Yaitu kemampuan dan kemauanku untuk menulis. Karena dengan menulis, aku bisa berbicara pada dunia, mengatakan apa yang tidak mampu aku katakan dengan suara. Writing works more than voices. Bahkan, ketika aku sudah tidak mampu lagi berbicara, ketika aku dilarang melakukan apa pun di dunia ini, tolong...jangan larang aku untuk menulis. Itu saja. Aku suka. Dan aku cinta. Tanpa paksaan.

Mendramatisir memang.

Ujian SBMPTN

Aku lalu mengambil uang tabungan dan uang saku kosku. Ke bank sendiri. Mendaftar SBMPTN. Ke Gramedia, membeli buku-buku kumpulan soal dan buku materi IPS. Ke gudang, mengobrak-abrik buku SMA, dan memulai belajar...sebagai anak IPS.

Ujiannya tidak terlalu sulit untuk pengetahuan umum, aku mengerjakan dengan yakin dalam jumlah yang lumayan banyak. Untuk ujian SOSHUM, memang hanya sedikit yang aku yakin. Namun kali ini, aku mengerjakan lebih pede dari tahun lalu, entah karena sudah pernah, atau memang karena aku bisa. Aku sangat optimis sekali.

Bagaimana hasil SBMPTN kemarin?

Mungkin ini jawaban yang ditunggu. Jadi, malam hari sebelum pengumuman, aku bermimpi sangat indah. Aku bermimpi ada di medan perang ujian praktik SIM C sedang mengendarai motor bebek. Aku memakai rok hitam, kemeja putih, dan jas almamater UM, persis seperti gaya mahasiswa baru yang sedang ospek. Kebetulan, tanggal 8 Juli kemarin, aku akan mendapatkan 2 hal spesial, harusnya sih. Aku akan ujian praktik SIM C untuk kedua kalinya dan akan menerima pengumuman hasil SBMPTN. Di mimpi itu, aku sangat bahagia mengendarai motor itu. Dan aku berhasil melalui ujian praktik SIM itu dengan sangat lancar, mulus, dan sempurna. Sampai-sampai di mimpi itu, namaku tersohor di pelosok negeri karena aku adalah wanita dengan nilai praktik tertinggi. Pulang dari praktik, aku yang masih berpenampilan sama, berbelanja kebutuhan ospek di sebuah mini market. Sungguh, itu mimpi paling indah sedunia.

8 Juli 2013

Tiba-tiba aku terbangun, aku bangun kesiangan. Maklum, aku sedang tidak solat, jadi tidak memasang alarm di saat subuh. Aku bangun 30 menit sebelum kantor SATLANTAS buka. Sampai di sana bersama ibu, aku sangat percaya diri walaupun masih deg-degan gara-gara kesiangan. Dengan senyum dan berkali-kali membaca Al-Fatihah, aku memulai ujian. Aku tidak terlalu gugup karena sudah pernah melakukannya. Dan aku sangat optimis, entah kenapa. Tapi, baru beberapa detik ujian, aku sudah menjatuhkan palang. Parahnya lagi, kakiku turun ke tanah. Motorku juga ke luar jalur. Aku tetap bersikukuh menyelesaikan ujian, walaupun nyata-nyata sudah gagal. Ujian kali ini lebih  buruk dari ujian sebelumnya. Di ujian sebelumnya, aku hanya menjatuhkan 2 palang tanpa menurunkan kaki. Tapi di ujian ini, sudah berapa kali aku melakukan kesalahan. Dan aku harus mengulang 2 bulan lagi. Mimpiku ternyata bukan untuk sekarang.

Masih down gara-gara gagal dapat SIM untuk ketiga kalinya, sore ini aku harus membuka website resmi SBMPTN untuk melihat hasil SBMPTN-ku. Aku sengaja melihatnya agak malam, karena aku tau kalau sore, pasti masih lemot. Aku buka dulu website Lipsus Kompas. Dan aku memasukkan namaku, nomer ujian, dan kode prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Tidak ada hasil. Ah, mungkin di prodi satunya. Aku masukkan kode prodi Sastra Indonesia. Tidak juga ada. Ah, mungkin Kompas yang eror.


Akhirnya aku membuka website SBMPTN karena masih kurang lega dengan jawaban yang diberikan Kompas. Dan ternyata...Kompas benar.  Aku lalu menghubungi salah satu temanku yang ikut SBMPTN ulang, sama denganku. Dan dia juga senasib denganku. 2 temanku lainnya juga sama. Kami sama-sama tidak lolos.

 Tulisan ini sama sekali jelek dan tidak memberi semangat. Harusnya ada kata-kata penyemangatnya. Tidak heran kalau anak-anak yang tidak lolos merasa sangat down.

Rasanya...benar-benar...campur aduk. Sambil memandang laptop, tanpa rasa apa pun. Flat. Sesekali tertawa dan bicara sendiri pada laptop, “Pasti kamu bercanda, ya kan...ya kan?”. Sedikit linglung dan mendadak galau luar biasa sangat, dan tidak bisa berpikir jernih. Melihat handphone yang sedari tadi berbunyi mengantarkan puluhan SMS, chat, dan mention Twitter dari teman-teman yang menanyakan hasil ujianku. Rasanya kacau. Mereka tidak akan mengerti. Dan aku malas menjelaskan satu-satu dari mana. Akhirnya aku mematikan handphone. Dan membiarkan mereka dengan rasa penasaran. Bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran sampai airnya penuh, aku tidak peduli. Seperti di sinetron. Seperti film Pocong. Sayangnya aku tidak punya shower. Menangis sejadi-jadinya. Lalu aku ke kamar. Melihat cermin. Berbicara sendiri. Memotivasi diri. Seperti orang gila. Lalu aku sadar, aku mulai gila. Aku tidak mau gila. Dan semua luluh...karena Al-Quran. Hanya Allah yang bisa aku ajak bicara sekarang. Di saat rumah sepi, di saat semua tarawih. Aku merasa sangat sendirian. Mengalami 4 kegagalan dalam sehari. Gagal dapat SIM, gagal lolos SBMPTN, dan gagal mengikuti tarawih pertama, serta gagal memberi kabar gembira pada Vindy, sahabatku yang hari itu ulang tahun, memberi tahu bahwa aku lolos. Itu sungguh menyakitkan. Dan tidak ada yang bisa mengerti...

Akhirnya aku membuat status di Twitter, membiarkan mereka yang bertanya-tanya menyimpulkan sendiri.

“Alhamdulillah... Allah showed so many things today for me, for my future. Allah knows how to make me wiser, knows the best. Alhamdulillah J

Lalu seketika banyak yang memberi respon dengan mengucapkan selamat atas kelolosanku. Aku hanya bisa tertawa miris, mereka tidak juga mengerti. “Alhamdulillah” adalah pujianku atas kemahadahsyatan Allah. Bukan selalu hanya ungkapan gembira atas suatu pencapaian. Aku bersyukur, Allah masih mempercayaiku menjadi orang yang selalu harus berusaha. Aku harus ditempa bolak-balik agar menjadi baja yang paling kuat. Allah suka hamba-Nya yang berusaha. Allah tidak akan memberi cobaan lebih berat dari kemampuan hamba-Nya. Allah suka orang yang sabar.

Lalu paginya, saat semua sahur, aku memutuskan untuk membuka HP dan membalas beberapa pesan hanya untuk orang yang aku percaya dan benar-benar bisa mengerti aku. Aku sungguh sangat berterimakasih pada Sundari dan Didin, yang paling tahu alasanku begini, dan yang menemani hingga saat ini, aku tidak tahu siapa lagi yang akan mengerti. Terima kasih selalu menjadi tempatku mengeluh. Oh iya, FYI, Sundari diterima di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir tahun ini, dan dia akan segera pindah dari Pendidikan IPA. Congrats, kamu berani jadi dirimu sendiri, Sun :-)

So...what’s next?

Siangnya, aku ke UM ditemani Dini. Aku ke gedung  di mana aku bisa mendapatkan informasi yang akurat tentang cara ke luar dari fakultas lama ke fakultas baru sambil menunggu pengumuman ujian mandiri. Tapi sayang, aku kurang mendapat pelayanan yang baik di sana, entah mengapa mereka tidak bisa menangkap dengan baik maksudku. Akhirnya, tanpa berpikir lama, aku pergi ke bank dan membeli formulir ujian mandiri. Sambil hujan-hujanan. Sampai pilek.

Bismillah, aku akan mencoba cara terakhir ini. Aku akan belajar lagi. Ya Allah, aku serahkan semua pada-Mu. Terima kasih telah percaya padaku untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Engkau yang hidup dan kekal, yang tidak pernah tidur dan yang paling mengerti, Engkau tahu mana yang terbaik untuk hamba-Mu yang terkadang masih melupakanmu ini. Aku terima, apa pun nanti hasilnya. Aku akan berubah lebih baik lagi...aku janji, ini terakhir kali kecewa dan mengecewakan.

Allah paling tahu, isi hati yang terkunci dan yang hilang kuncinya. Allah bisa membukanya dengan cepat. Bismillahirrahmannirrahim...


Semoga tidak akan ada Dina-Dina yang lain, yang senasib. 

Semoga pilihan, tidak akan lagi membingungkan. Dan semoga pilihan, adalah jawaban, bukan pembingungan. Selamat, buat manusia yang diciptakan bisa dengan mudah memilih, hargai itu, kalian hebat :-)

"Allahumma yassir wala tu'assir. Rabbi tammim bilkhoir. Birohmatikaya Arhamarrohimin."

Tuesday, May 21, 2013

3 Bungkus Kacang Bali


Bulan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, aku hanya bisa melihatmu dari senyum yang tidak bisa bergerak. Di layar LCD itu, senyum itu pun melihat balik ke arahku. Aku berkata, “Senyummu manis...”, tapi itu tidak membuat senyummu bergerak juga. Mata itu memandangku balik, setidaknya aku senang. Dengan duduk diam di sini, aku selalu melihat senyum yang sama. Dan setidaknya dengan begini, aku tidak pernah melihatmu tidak tersenyum. Dari foto itu.

Selama ini, aku hanya bisa menyampaikan pesan lewat gelombang-gelombang transversal. Menyampaikan emosi lewat jari-jemariku. Mengadu padamu saat aku ingin manja seperti wanita-wanita lain di luar sana pada prianya. Memelukmu lewat lagu-lagu itu. Namun aku hanya bisa menitipkan rindu pada sujudku, pada Tuhanku, energi terbesar yang kita semua puji dan sebut sejak masih kecil. Karena aku percaya, hanya Tuhan yang menyampaikan rinduku sampai selamat di telingamu, tanpa berkurang satu pun kata, bukan lewat Facebook, “Aku rindu kamu, pulanglah...”.

Saat aku mulai ragu, aku tidak ingin mendengar kata apa pun yang ke luar dari mulut mereka. Aku hanya percaya satu makhluk, yaitu kamu. Kamu yang berkata aku tidak boleh menunggumu pulang, kamu juga tidak pernah berjanji untuk pulang, bahkan di saat aku sedang meniup lilin ke-19, kamu tidak juga pulang. Kenapa kamu tidak mencari penggantiku saja, kenapa kamu tetap memilihku di antara jutaan wanita di Indonesia yang bisa kamu tunjuk. Bahkan, di Pulau Dewata sana sangat banyak wanita cantik. Kenapa kamu mengajariku menjadi lebih dewasa dengan cara ini, aku tidak mengerti. Dan kenapa di saat bibir-bibir yang lain mengecap kata “Sudah, tinggalkan saja dia!”, aku tetap bersikukuh dengan jawabanku untuk tetap mendeklarasikan diri bahwa aku milikmu dan tidak akan pergi hanya karena...jarak.

Aku berpikir lagi. Keras. Aku mengerti mengapa kamu tidak mengizinkanku untuk berharap kamu pulang. Kamu hanya tidak ingin aku kecewa. Kamu hanya tidak ingin aku sudah terlanjur berdandan cantik dari biasanya, memakai rok, memakai bedak, lipstick, parfum, dan memikirkan percakapan apa yang nantinya akan aku lontarkan di depanmu, namun kamu hanya mempunyai waktu tidak lebih dari 5 menit untuk bertemu denganku.

Kemarin, di tempat itu...tempat yang tidak romantis. Kurang dari 5 menit. Sampai aku belum sempat menata jantungku yang masih berdebar karena ini kali pertama kau akan bertemu denganku sejak pertemuan terakhir kita lima bulan yang lalu, aku bersyukur. Setidaknya walau pertemuan ini tidak berarti apa-apa dan hanya sempat mengucap beberapa kali “Hai...” tanpa sempat mengucap yang lebih, kamu bisa baca mataku, mata yang mengucapkan “Aku rindu kamu...lebih lama lah di sini... Aku ingin bercerita. Dan aku hanya ingin mengatakan, rasa itu tetap sama sampai kapan pun. Aku tidak mau menunggumu. Tapi aku selalu di sini, sampai kamu pulang pun, aku tetap di sini. Tanpa ada nama lain yang mengisi. Hanya kamu...”.



Dan bonus lain yang aku dapatkan, yang tidak orang lain dapatkan hanya dengan lima menit saja. Setidaknya aku sempat mengecup tangan wanita yang melahirkanmu, dia sangat cantik. Serta aku sangat terkejut membuka bingkisan mungil itu. Kamu paling tahu, obat rindu apa yang paling ampuh buatku. Terima kasih, kamu membawakan makanan kesukaanku walau aku tidak pernah bilang kamu harus membawanya ke mari, kemarin. Aku akan mengunyahnya, dan merasakan tiap butir yang mengandung rindumu ini. Lewat manis, gurih, dan asin di setiap butirnya, aku bisa merasakan betapa kamu mencintaiku dengan dewasa. Betapa kamu merindukanku juga secara profesional. Dan betapa kamu menjadi sangat spesial buatku walau aku tidak bisa ke bioskop bersamamu sekarang, tidak bisa naik bianglala setiap minggu, tidak bisa ke Taman Safari di saat liburan, tidak bisa fotobox berdua dan dijadikan foto profil di jejaring sosial. Namun, dari caramu menahan jariku saat bersalaman dan berpisah denganku untuk melanjutkan tugas yang menantimu di depan sana kemarin, aku semakin percaya, bahwa kamu akan kembali lebih cepat dari perkiraanmu untuk mengobati rindu yang sudah semakin tebal seperti bola salju yang meluncur.

Terima kasih telah datang dan membawakanku makanan kesukaanku...


"Andai bulan kan mengerti, 
andai bintang kan pahami, 
sampaikan kesunyian, 
sampaikan kerinduan 

di remang langit pagi 
berharap hal yg tak pasti 
hanya bisa menanti dan menanti, 

Salam sayang dariku untukmu yg terkasih..."

-Sincerely, Yours-
For Endra, who lives in 177,09045 miles apart from Aida.


Saturday, January 26, 2013

New Friends

Halo bloggies! Udah semester dua aku ada di dunia perkuliahan dan baru sekarang sempet ngenalin keluarga baruku, hihihi. Yap, kali ini aku mau nyeritain soal kelas baruku di S1 Pendidikan IPA Universitas Negeri Malang.

Kami tinggal di koordinat 7° 57' 37.15" S  112° 37' 7.72" E di bumi ini. Nah lhoooo, apaannnn coba itu. Itu alamat lengkapnya kita kalo kuliah. Hehehehe, jadi, kami kuliahnya di Gedung Kuliah Bersama FMIPA UM, ini nih gedungnya...

Photo source: Panoramio
Kok kuliahnya di GKB? Ya maklum lah, ga kayak 4 jurusan lainnya di FMIPA yang udah lama berdiri dan punya gedung sendiri-sendiri, buat sementara waktu (yang entah sementaranya itu berapa lama lagi), PIPA numpang di GKB ini nih. Semoga ga lama lagi ya, friends :')

Ini nih sebagian dari kita pas selesai ospek, dan aku engga ikutan foto :-D
Apaan itu di foto kok ada tulisan Omega segala? Jadi gini. Pas ospek di fakultas Matematika dan IPA kemaren (kemaren banget) , setiap jurusan punya identitas sendiri. Di FMIPA ada 4 jurusan dan 1 prodi. Prodi? Iya, FYI, Pendidikan IPA itu prodi (program studi) paling baru di FMIPA, dan kami adalah angkatan pertama, makanya di foto itu ada tulisan "PIPA Pioneer" gitu kan. Nah lho Omega tadi apaan? (Maaf agak ribet daritadi jelasinnya). Tiap jurusan punya HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) masing-masing dan punya nama masing-masing. Matematika namanya Vektor, Fisika namanya Nukleon, Kimia namanya Oksigen, Biologi namanya Apis Indica (Lebah Madu), dan terakhir Pendidikan IPA dinamai Omega sama kakak-kakak BEM-nya, soalnya masih belum punya HMJ. Toh, kalo ada HMJ pun ntar namanya bukan HMJ, tapi Hima Prodi. 

Nah, filosofinya Omega sendiri sampe sekarang aku masih engga ngerti. Pas ada yang bilang "Salam MIPA!" seketika anak Mat kudu bilang "Vektor" sambil ngacungin ibu jari, telunjuk, sama jari tengah kayak vektor. Fisika bentuk ibu jari ama telunjuk jadi kayak nukleon. Kimia bikin bunderan kayak oksigen. Lebah madu bikin sayap. Sedangkan Omega malah bikin segitiga dengan empat jari rapat di kanan-kiri (ribet ya bayanginnya?) yang katanya melambangkan gabungan antara keempat elemen MIPA gitu deh. Jadi, menurut aku bentuknya kayak simbol Delta gitu, engga ngerti Omega dari mananya :-D. (Peace ya buat yang bikin)

Oke, aku kenalin satu-satu temen-temen di PIPA yang notabene cuman 1 offering (kelas) yang terdiri dari 54 mahasiswa, dan dipecah jadi offering A dan B doang pas praktikum. Di kelas, cuman ada 9 cowok dan ada 45 cewek. Bisa dibayangkan kan pemirsaaaah 1: 5, enak banget jadi cowok di kelas tiap hari dikelilingin cewek-cewek kece hihi. Dari 54 orang itu, cuman 14 orang (kalo aku ga salah itung) yang asli Malang (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu), sisanya berasal dari berbagai penjuru Jawa Timur. Yap, di kelasku semuanya dari Jawa Timur. Okeeee, jadi UM di Malang, tapi kami dijajah, hahaaha kidding. That's why aku sekarang kalo ngomong jadi kepengaruh logat kulonan dan lebih halus gitu. Seneng bisa belajar bahasa-bahasa dari berbagai daerah, padahal masih 1 provinsi tapi bahasanya udah macem-macem, lho. Aku sekarang jadi ngerti artinya panggah, gek, wi, cah, kari, cemeng. Dan kadang aku ngomongnya ada "tho tho"-nya padahal sebelumnya ga gini, hihihi. Indonesia emang kaya budayanya ya ;-).

Di kelas, aku uda mulai ngilangin kebiasaan kecil yang suka bikin gang. Aku main ama siapa aja dan engga mau bikin batesan pertemanan gitu. Tapi nalurilah, pasti ada temen-temen yang paling akrab, itu pasti. Aku kenalin mereka...

Ini namanya Vindy, dia asal Kabupaten Malang juga sama kayak aku. Cuman, dia tinggalnya deket gunung sana, di daerah Pujon, deket Batu. Makanya dia subur nih, sering minum susu asli Batu soalnya, hihihi kidding, Vin!

Ini temen-temen cewek  pas lagi glesotan mau latihan drama

Dari kiri: Mymo, dia asli dari Blitar. Dan ngomongnya alus banget khas orang Jawa Timur bagian selatan. Mymo bilang dia kaget pas awal denger orang Malang yang ngomongnya kayak kereta yang remnya blong. Nah abis itu ada aku, seblahku ada si Sundari. Dia asli Kabupaten Malang juga, deketan sama Vindy, daerah Ngantang. Jadi kalau ke Batu trus nemu daerah yang berkelok-kelok, itu daerah kekuasaanya Sundari, wkwk

Yang kiri sendiri pake jilbab kuning itu namanya Ichi, si anak pantai. Yang pernah aku ceritain, dia temen kos aku juga. Dia asal Banyuwangi, daerah paling ujung di Jawa Timur.

Pas nganggur ga ada kelas nih

Ini pas pulang kuliah agama, aku menjulang kayak jerapah ya  :-D. Makanya sama Ichi aku dibilang "Ibu Jerapah"

Ini sama Gilda, kebetulan banget pake baju yang warnanya senada :-D

Sama si imut Mymo
Dikit banget ya foto-fotonya, hehe...kerasa banget lho perbedaan SMA ama kuliah. Kalo di SMA dulu, ga usah disuruh foto, kalo ada hape nganggur pasti langsung pada pasang aksi. Nah kuliah ini susaaaah banget ngajak foto temen-temen kalo ga kudu dipaksa dulu, hihi. Ya maklumlah, masanya uda beda. Uda pada dewasa, bukan anak kecil lagi *sedih*.

Oke, peeps, segitu dulu cerita kecilnya, next time aku ceritain yang lebih lengkap lagi tentang seluk beluk isi GKB 102 (ruang kelas abadinya anak PIPA, hiks). Ini ceritaku, mana ceritamu?

Thursday, January 10, 2013

Missing Part: I've Got My Gold

Hari ini adalah hari kuliah yang cukup padat banget sekali (pleonasme ya).  Hari ini adalah hari yang aku nanti-nanti setelah satu semester mengikuti pelatihan di Paduan Suara Mahasiswa Swara Satata Çakti. Pelatihan? Jadi gini, di Unit Kegiatan Mahasiswa yang aku ikuti tahun ini, sistemnya berbeda dengan sistem tahun-tahun sebelumnya di mana yang ingin masuk ke UKM ini harus diseleksi dahulu lalu didiklat untuk menjadi anggota. Tahun ini, seleksi yang diadakan bukan semata-mata diaudisi lalu yang gagal dibuang begitu saja. Semua calon anggota yang ingin menjadi anggota PSM SSÇ harus mengikuti pelatihan selama satu semester yang dibina langsung oleh choir master-nya SSÇ, Pak Anang dan kakak-kakak dari tim kepelatihan. 

Ini dia Pak Hadrianus Anang Brotoseno, sang choir master kita
Jadi, tahun ini para calon anggota beruntung banget. Soalnya sebelum menjadi anggota, kami diberi pembekalan tentang musik dan paduan suara dari dasar banget. Semua anggota akan mendapat ilmu musik dari nol, jadi buat yang belum punya pengalaman bermusik ga usah takut buat masuk PSM SSÇ. Semua calon anggota yang awalnya berjumlah 100 lebih akan terseleksi sendiri oleh alam. Kemudian dibagi menjadi 4 kelompok latihan. Kami diberi buku partitur lagu-lagu klasik yang kami pelajari selama berada di kepelatihan ini.


100 orang lebih itu kemudian memang benar terseleksi sendiri oleh alam. Terbukti, hanya 80-an saja yang terdaftar menjadi anggota ujian. 20-an sisanya? Mereka telah membuat pilihan. Di kepelatihan ini, hanya diberi kesempatan untuk tidak mengikuti latihan maksimal 3 kali. Banyak yang sudah diberi tinta merah karena melebihi batas maksimal. Nah, ujiannya berbentuk apa saja? Ada dua sesi ujian. Ujian hari pertama adalah ujian individu. Masing-masing individu akan masuk ruangan yang berisi para penguji yang siap melahap kita habis-habisan. Beneran. Saking gugupnya, nada do ke re saja aku sampai tidak pas. Yang diujikan itu materi-materi yang sudah diajarkan sejak pertama masuk SSÇ. Tentang partitur, menentukan nada dasar, voicing, cara mengambil napas, macem-macem deh pokoknya. Saking takutnya, aku sampai berlatih setiap hari dan menulis semua materi di cermin kamar kos. Sampai-sampai aku tidak belajar Fisika demi ujian ini, hihihi nakal ya. Setelah ujian individu, ada ujian kelompok. Setiap kelompok diuji menyanyikan lagu My Silence Now Speaks For Me bersama konduktor yang telah ditunjuk dari tim kepelatihan. Setelah itu, kami bernyanyi bersama 1 kelompok lain lagi yang ditunjuk di depan 16 juri dari tim kepelatihan.

Setelah melalui semua tahapan ujian, kami akan diberi sertifikat dengan predikat Diploma Emas (Gold), Perak (Silver), dan Perunggu (Bronze). Bayangkan, semua yang sudah kami lalui selama 1 semester harus kami perjuangkan hanya dalam 2 hari ujian.

Dan setelah udah putus asa menunggu karena pesimis banget rasanya bisa dapet Silver aja, hari pengumuman dateng juga. Kami dikumpulkan di ruang ublek SSÇ. Kami dipanggil satu persatu dan diberi sertifikat. Alhamdulillah, kelompok 3 (kelompok latihanku) dapet juara 2 dan kelompok A (kelompok 1 dan 3) dapet juara 2 juga, hehe. Kelompok A dan 3 mendapat predikat Silver. Juara 1 dari kelompok 1, juara 3 dari kelompok 2, dan juara 4 dari kelompok 4. Dan konduktor berinterpretasi terbaik disandang sama Mas Candra.  

Gimana-gimana yang paling ditunggu-tunggu adalah sertifikat individu yang bakal nentuin latihan ke depannya. Waktu semua udah dipanggil, tinggal aku dan beberapa teman yang namanya belum disebut.

"Yang namanya belum disebut, silahkan menemui Pak Anang di office," kata Mas Widi.
Langsung deh, jantung mau copot rasanya, udah nahan air mata gitu, hehehe. Waktu di kantor SSÇ, aku sama Nana (temen baru nih) langsung pegangan tangan.

"Kalian tau kenapa kalian ada di sini?" kata Mas Latih, ketua umum SSÇ waktu itu.
"Kalian ngerasa bisa ngga ujian kemarin?" sahut Pak Anang.
"Kalian janji bakal konsisten ada di sini? Janji mau tetep belajar lagi apa pun hasilnya?" kata Mas Latih.
"Iya mas, belajar kan ga ada berhentinya," sahutku gugup.
"Yakin? Bener? Semua kakak-kakak lama juga awalnya bilang gitu, akhirnya rontok..." Mas latih menimpali.

Setelah interogasi yang panjang sekitar 5 menit, akhirnya Pak Anang memecah bayanganku yang udah mau mati,
"Ini buat Dina...ini buat Nana" sambil ngasih sertifikat.

Yaaaaaaaaaaaa rasanya kayak jagung yang digoreng trus meletup-letup tapi ga bisa ke luar gara-gara kepentok tutup panci trus pas tutupnya dibuka, pop corn-nya pada loncat ga tau ke mana-mana...subhanallah...ga sia sia....

Alhamdulillah, aku termasuk orang yang beruntung bisa diberi kepercayaan untuk menjadi Diploma Gold. Ga sia-sia selama ini latihan sampe malem, kujanan, kedinginan, sampe capek juga. Semoga aku bisa menjaga amanah SSÇ yang udah ngasi hadiah ini. Semoga aku ga ngecewain, dan aku bisa buktiin kalo aku emang pantes dapet gold.

Bismillah...kurang selangkah lagi aku bisa jadi anggota resmi PSM Swara Satata Çakti :-)