Halo, blogger. Lamaaaa
sekali saya tidak mengotori linimasa blogspot dengan tulisan-tulisan amatir
saya. Tulisan kali ini akan mengawali cerita saya mengenai Praktik Pengalaman
Lapangan dan Kuliah Kerja Nyata di Thailand Selatan 2016 yang selanjutnya akan
saya sebut PPL/KKN Thailand.
Mungkin banyak pertanyaan datang, terutama dari mahasiswa
Universitas Negeri Malang (UM), kok bisa sih PPL dan KKN di Thailand? Kok enak,
sih? Kok pengumumannya ga terbuka, sih? Kok ini, kok itu...hehe. Banyak pesan
yang datang dari jejaring sosial saya seputar program ini semenjak saya
layangkan kegiatan saya melalui linimasa Instagram, Facebook, dan BBM. Akan
saya jawab di sini saja, agar lebih enak dan leluasa, ya. Tulisan kali ini
semacam menjawab Frequently Asked Questions.
Siapa sih yang
menyelenggarakan program ini? Program PPL/KKN Thailand merupakan program kerjasama yang dilaksanakan
oleh Abroad Alumni Association of Southern Border Provinces atau Badan Alumni Internasional
Thailand Selatan dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, termasuk UM. Sebenarnya,
program PPL di luar negeri banyak sekali jenisnya. Program PPL di Thailand pun
ada dua macam (kalau di UM). Hanya berbeda penyelengara. Ada yang di Thailand
Selatan, ada yang di universitas (yang bekerja sama dengan UM) seperti Walailak
University di Songkhla. Tahun ini pun, UM baru saja membuka kesempatan untuk
mahasiswa PPL di Sekolah Indonesia Singapura (SIS). Tapi, yang akan saya
ceritakan adalah program yang saya ikuti, yaitu PPL/KKN di Thailand Selatan di
semester genap.
Sejak kapan program ini
berjalan? Program ini
sudah berjalan sejak tahun 2014 dan diadakan tiap semester. UM baru bergabung
pada tahun 2015. Selain itu, UM hanya mengikuti program ini tiap akhir semester
genap atau mengikuti kalender pendidikan di Thailand, masih awal semester
gasal. Terhitung sudah ada enam angkatan hingga saat ini. Namun, di UM baru
angkatan kedua.
Di mana saja peserta
program akan ditempatkan? Kami akan ditempatkan di berbagai wilayah di Thailand Selatan meliputi
Thailand Selatan bagian atas (Krabi, Trang, Panga, Satun, Ranong, Nakhon Si
Thammarat, dan Pathalung), Songkhla, Yala, Pattani, dan Narathiwat. Seperti
yang media kekinian sampaikan, wilayah-wilayah ini merupakan wilayah yang
sedang disorot, wilayah yang berada di zona waspada konflik, terutama Pattani,
Yala, dan Narathiwat. Bila kita lihat di media, kita akan jumpai berita kurang
mengenakkan mengenai 5 wilayah ini. Tapi tenang, persepsi kita akan berubah
ketika sudah sampai di tanah rantauan seperti yang saya rasakan sekarang.
Ibarat saya orang asing yang berkunjung ke Indonesia, saya pasti akan takut
akan isu bom di Indonesia yang beredar di luar negeri. Tetapi, nyatanya tidak
selalu ada bom di Indonesia, ya kan? Memang benar, banyak askar atau tentara
dan polisi yang memeriksa semua kendaraan tiap hampir 2—5 kilometer di sini.
Semua itu dilakukan untuk menjaga keamanan, tidak perlu kita paranoid. Tidak
perlu pula kita terlalu menanyakannya. Kita hanya perlu pasrah kepada Allah dan
tetap waspada.
Mengapa harus mengirim
mahasiswa dari Indonesia untuk mengajar? Seperti informasi yang saya tangkap pada saat pembukaan
program, program ini diadakan dengan tujuan untuk memperbaiki pendidikan agama Islam
dan bahasa Melayu di Thailand Selatan.
Sebagian besar masyarakat Thailand Selatan beragama muslim. Muslim di sini pun
tidak seperti di Indonesia yang bebas berekspresi dalam busana. Muslim di sini
selalu menutup aurat dengan baik, terutama para perempuan. Jarang dijumpai
perempuan yang memakai celana dan kerudung tidak menutup dada, kecuali di pasar
atau pemukiman warga. Bila di tempat umum, semua muslim perempuan memakai
gamis, jubah, khimar, bahkan tak jarang bercadar. Pergaulan perempuan dan
laki-laki di sini pun tidak sebebas di Indonesia dalam hal berinteraksi. Bahasa
sehari-hari yang digunakan di sini dalam lingkungan informal adalah bahasa
Melayu dan dalam lingkungan formal digunakan bahasa Thai. Namun, bahasa Melayu
yang digunakan di sini berbeda dengan bahasa Melayu yang kita jumpai di bagian
barat Indonesia maupun di Malaysia. Itulah kenapa alasan negara ini mengirim
kami yang berasal dari Indonesia untuk mengajar ilmu agama lebih dalam dan
memperbaiki bahasa Melayu di Thailand Selatan. Tak jarang pula, kami harus
mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Seperti kita tahu, bahasa Inggris
adalah bahasa komunikasi internasional dan bahasa Indonesia juga baru saja
resmi menjadi bahasa pengantar di ASEAN.
Nah, sudah tahu kenapa alasan diadakannya program ini,
bukan? Terjawab sudah pertanyaan “Mengapa
harus mengirim mahasiswa dari Indonesia untuk mengajar di Thailand Selatan?”. Sekarang,
saya akan menjawab pertanyaan selanjutnya. Apakah
semua mahasiswa berkesempatan ikut program ini atau hanya mahasiswa tertentu?
Jawabannya adalah semua mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi yang melakukan
kerjasamalah yang berhak mengikuti program ini. Namun, mengingat kebutuhan,
medan, dan tujuan program ini seperti itu, akan ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengikuti program ini.
Apakah harus dari jurusan
bahasa Indonesia? Tidak
ada batasan harus berasal dari jurusan apa. Yang jelas, gambaran program ini
sudah cukup. Di sana, kita akan mengajarkan bahasa, agama, dan keterampilan
sosial lainnya sesuai kebutuhan sekolah penempatan (misal nasyid, debat, kerajinan
tangan, dan lain sebagainya). Oleh karena itu, bekal kita dalam mengajar harus
cukup. Minimal sudah menempuh mata kuliah pembelajaran seperti materi, program,
metode, dan evaluasi pembelajaran. Untuk teman-teman dari program studi non
pendidikan, tidak usah khawatir. Beberapa perguruan tinggi seperti UM,
mengadakan pembekalan pembelajaran untuk mahasiswa yang terpilih.
Berapa dana yang harus
disiapkan untuk mengikuti program ini? Program ini merupakan program yang didanai oleh
penyelenggara. Peserta akan mendapatkan bantuan dana untuk kebutuhan bulanan
sebesar 4000 Baht atau setara dengan kurang lebih Rp 1.600.000,- (bila melihat
kurs beli Baht dengan Rupiah saat ini) per bulan. Namun, peserta dianjurkan
menyiapkan dana untuk kebutuhan pribadi selama satu bulan pertama. Untuk
persiapannya, bisa diperkirakan sendiri, terutama peserta perempuan yang tidak
biasa memakai jubah dan khimar seperti saya, harus menyiapkannya dan itu dengan
menggunakan dana pribadi. Kebutuhan lain pun harus dipersiapkan seperti
persediaan makanan instan hingga alat mandi, bahkan media-media sederhana untuk
mengajar. Intinya, bila memang berniat mengikuti program ini, tidak dipungkiri,
saya katakan fakta agar tidak terjadi kesalahpahaman, harus menyiapkan
finansial jauh-jauh hari mengingat kebutuhan yang harus disiapkan tidak
sedikit. Tapi, ini semua demi kelancaran program, bukan demi gaya-gayaan atau
apapun. Kalau tidak punya biaya pun, tidak usah ragu ikut program ini. Tidak
ada yang percuma dan terbuang, terbayar dengan pengalaman luar biasa yang
didapatkan di sini.
Alhamdulillah, UM memberi bantuan dana tiket pesawat
untuk peserta PPL/KKN Thailand ini. Selain itu, pengurusan visa juga dibantu
oleh universitas. Tapi, dana pengurusan paspor dan visa tetap ditanggung
peserta. Namun perlu diingat, tidak semua fakultas bahkan tidak semua
universitas mendanai dan membantu proses ini. Kalau Fakultas Sastra di UM,
memang secara langsung mendanai. Tapi, ada salah satu peserta dari Fakultas
Ekonomi yang harus mengajukan dana dulu ke fakultas. Tidak langsung diberi
ketika telah dinyatakan lolos seleksi. Mahasiswalah yang harus aktif. Jadi,
para mahasiswa di luar fakultas dan universitas yang mendanai secara langsung,
harus mempersiapkan hal ini.
Bagaimana dengan
semester yang ditinggalkan? Ya. Pasti banyak yang bertanya mengenai waktu pelaksanaan program yang
bertabrakan dengan mulainya semester gasal di UM. Mohon maaf, sedari tadi saya
bercerita tentang UM, karena saya berasal dari UM, hehe. Saya kurang tahu
bagaimana sistem di universitas yang lain. Program ini berlangsung selama lima
bulan. Itu artinya, akan ada dua bulan di semester tujuh yang tidak ditempuh di
Indonesia. Hal tersebut tidak jadi masalah. UM memberi keringanan berupa
penyetaraan atau ekuivalensi program ini dengan 15 Sistem Kredit Semester
(SKS). Seperti saya, di semester 7, saya harus menempuh mata kuliah Kajian dan
Praktik Lapangan (KPL) yang setara dengan 4 SKS, skripsi yang setara dengan 6
SKS, dan satu mata kuliah yaitu Strategi Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing yang setara dengan 3 SKS. Itu artinya, saya memanfaatkan 13 SKS untuk
disetarakan. Namun perlu diingat, tidak semua matakuliah bisa dibayar dengan 15
SKS ini. Kami harus berkonsultasi dengan Ketua Jurusan, mana yang bisa dan
tidak bisa disetarakan. Pun, kami tidak langsung lulus mendapat nilai A.
Sepulangnya ke Indonesia, kami tetap harus mengikuti prosedur perkuliahan yang
berupa tugas akhir dan lain sebagainya untuk mendapatkan nilai. Note that.
Bagaimana seleksi
pesertanya? Sekali
lagi, mohon maaf saya bercerita tentang UM, ya, hehe. Seleksi yang dilaksanakan
di UM meliputi beberapa aspek. Ada wawancara menggunakan bahasa Inggris
(berlaku untuk semua peserta), wawancara bahasa asing lainnya (bila peserta
memiliki kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris), membaca kitab
bertulisan Arab, menghapal surat di Al-Quran, dan wawancara mendalam (depth interview) tentang kesiapan mental
untuk ditempatkan di sana. Wawancara tersebut harus dilakukan, sekali lagi
mengingat medan yang akan ditempati nanti berbeda dengan medan PPL di
Indonesia. Selain wawancara, peserta juga diminta menunjukkan kemampuan di
bidang sosial, misal menyanyi, menari, bercerita, dan lain sebagainya. Pada
saat itu saya menunjukkan kemampuan saya melantunkan tembang Jawa dan salah
satu penguji menyuruh saya mengganti liriknya dengan bahasa Indonesia dengan
nada yang sama. Spontan saya harus berpikir keras, hehe. Hal ini karena kita
nantinya tidak hanya mengajar formal, tapi besar kemungkinan sekaligus menjadi
duta budaya Indonesia.
Syaratnya apa saja? Syarat administrasi yang harus
dipenuhi berbeda-beda di masing-masing kampus. Misalnya saja ada kampus yang
mensyaratakan belum menikah, IP minimal sekian, dll. Namun, syarat umum yang
dibutuhkan adalah:
-Terdaftar sebagai mahasiswa aktif di masing-masing
perguruan tinggi.
-Jumlah peserta KKN/PPL terpadu sesuai dengan kebutuhan
sekolah/madrasah di wilayah Thailand Selatan dan kesepakatan Badan Alumni
Internasional Thailand Selatan.
-Memiliki kemampuan di bidang bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia.
-Memiliki kemampuan baca tulis Al-Quran.
-Memiliki kemampuan nonakademik seperti MC, Nasyid,
Banjari, dsb.
-Memiliki kemampuan mendidik, terbukti bersedia menjadi
tenaga pengajar di sekolah/madrasah tempat mengikuti program PPL/KKN Terpadu.
Berapa mahasiswa yang
diambil? Semua
bergantung kebutuhan. Di angkatan saya, ada 91 mahasiswa se-Indonesia yang
berangkat. Dari UM, ada 16 mahasiswa yang berangkat. Semua melalui proses
seleksi dengan menyisakan lebih dari sekitar 100 mahasiswa yang mendaftar di UM.
|
16 delegasi Universitas Negeri Malang untuk PPL/KKN Thailand Selatan 2016 yang berasal dari berbagai jurusan |
Bagaimana dengan bahasa
pengantar? Bahasa
pengantar yang nantinya akan digunakan dalam mengajar bergantung jenis sekolah
dan bergantung wilayah mana. Di dalam lingkungan formal, bahasa Thai banyak
digunakan di sekolah. Dalam lingkungan informal, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Melayu Thailand (sedikit berbeda dengan Malaysia dan barat Indonesia,
namun lebih condong ke arah bahasa Melayu Kelantan). Namun, di beberapa sekolah
pondok, kita tidak perlu menggunakan bahasa Thai, karena semua berbahasa Melayu
khas Pattani. Kita pun sangat diizinkan mengajar menggunakan bahasa Indonesia
atau Inggris, sejauh siswa dapat memahami. Berbeda bila mengajar di sekolah
kerajaan (di Indonesia kita sebut sekolah negeri), akan banyak kita jumpai
penggunaan bahasa Thai, karena tidak semua siswa adalah muslim dan dapat
berbahasa Melayu.
Untuk yang ditempatkan di Pattani, Yala, dan Narathiwat,
tak usah khawatir karena mayoritas menggunakan bahasa Melayu Pattani, selama
sekolah tersebut bukan sekolah kerajaan. Namun di wilayah Songkhla dan wilayah
Thailand Selatan bagian atas, akan lebih banyak dijumpai penggunaan bahasa
Thai. Seperti saya, saya ditempatkan di Narathiwat, tapi di sekolah kerajaan.
Otomatis saya juga harus menghargai murid saya yang nonmuslim dengan menggunakan
bahasa Thai sedikit-sedikit.
Bagaimana jika peserta
tidak bisa berbahasa Thailand dan Melayu? Tidak perlu khawatir. Kita bisa belajar selagi belum berangkat.
Beli saja buku pintar bahasa Thai sebagai bekal komunikasi dasar. Minimal bisa
memperkenalkan diri, umur, asal. Hal ini berguna untuk menarik minat peserta
didik di awal pembelajaran. Untuk bahasa Melayu, kita bisa belajar juga dengan
buku manual. Manfaatkan teman-teman asal Thailand yang belajar di universitas
kita. Kita bisa meminta bantuan pada mereka, minimal dalam hal pengetahuan
budaya. Ingat, budaya. Hal yang paling penting kita ketahui terlebih dulu
adalah budaya. Misalnya, budaya salam di sana. Salam dengan menyatukan kedua
tangan di depan dada hanya ditujukan kepada pemeluk agama Budha sambil
mengatakan sawadee khra/khrap. Sedangkan
salam sesama muslim harus menyentuh tangan dengan kedua telapak dan mencium
bekas salam dengan mengarahkan ke arah hidung. Hanya untuk mukhrim. Bila bukan
mukhrim, kita hanya cukup mengangguk. Di Indonesia, bila bukan mukhrim, kita
melakukan salam berjauhan. Di sini tidak wajar.
Alhamdulillah, di UM, kami mendapatkan pembekalan bahasa
dan budaya Thailand dan Melayu dari para mahasiswa Thailand yang belajar di
kampus kami. Kami mendapatkan pembekalan bahasa Thailand hampir setiap hari
bersama Khru Palm dan Khru Dew, mahasiswa S2 Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk
bahasa Melayu, kami mendapatkan pembekalan dari Cikgu Nana dan Cikgu Sofia,
mahasiswa program In Country Walailak
University yang belajar bahasa Indonesia di kampus kami selama kurang lebih
4 bulan.
Untuk teman-teman kampus lain yang tidak mendapat
pembekalan, harus proaktif membekali diri. Tidak perlu khawatir juga, kita akan
ditempatkan selama 5 bulan di lingkungan penutur asli. Secara terpaksa, kita
akan bisa berbahasa bila setiap hari tercelup dalam masyarakatnya. Awal mula
datang ke mari, saya hanya bisa bahasa Thailand sederhana dan bahasa Melayu yang
sangat Indonesia. Bahkan, para murid menertawakan bahasa Thailand saya saat
saya memperkenalkan diri di depan lapangan akibat bahasa saya yang aneh dan
intonasinya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Ya, bahasa Thai adalah tonal language. Beda intonasi, beda
sudah maknanya. Bila sudah deadlock, saya
hanya bisa mengatakan Chan pud pasa Thai
mai dai, yang artinya saya tidak bisa berbahasa Thailand. Akhirnya, guru bahasa
Inggris turun tangan sebagai penyambung komunikasi saya. Maka dari itulah,
pentingnya bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional. Jika tidak, terpaksa
bahasa isyaratlah yang harus berperan. Hehe.
Lokasi penempatan
berdasarkan apa? Beberapa
sekolah penempatan mempunyai syarat untuk menerima peserta PPL. Misalnya saja
ada sekolah yang menginginkan dua orang guru, laki-laki dan perempuan. Ada juga
yang hanya ingin satu orang guru. Kalau di sekolah saya, menginginkan dua orang
guru, yakni guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun, akibat beberapa
pertimbangan, akhirnya sekolah tempat saya mengajar hanya ditempati oleh saya
seorang, mengajar bahasa Indonesia.
Lokasi penempatan beragam dan jangan harap bisa bertemu
sesama teman seuniversitas secara mudah. Kami ber-16 dari UM tidak ada yang
ditempatkan di sekolah yang berdekatan. Bahkan, ada satu orang teman saya,
Asep, yang ditempatkan di Yala seorang diri, tidak ada mahasiswa UM selain dia
di Yala. Saya ditempatkan di Narathiwat, di provinsi paling selatan, dan di
kabupaten paling selatan. Berbatasan dengan Malaysia. Awalnya, saya kira di
sini akan banyak bahasa Melayu. Tapi, ternyata sekolah saya adalah sekolah
kerajaan. Jadi, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Thai. Hanya
sedikit guru yang bisa berkomunikasi bahasa Melayu secara lancar.
Sekolah yang akan ditempati pun beragam. Ada yang di
sekolah negeri seperti saya (sekolah plural, namun mengikuti aturan kerajaan.
Biasa disebut sekolah kerajaan.), ada yang di sekolah Islam, bahkan ada yang di
pondok. Semua sama saja. Hanya budaya dan aturan sekolah yang berbeda-beda.
Bagaimana dengan tempat
tinggal? Ada beragam
jawaban bila berkaitan dengan tempat tinggal. Ada yang tinggal bersama santri
di pondok. Otomatis, harus terbiasa dengan keberagaman santri dan harus
terbiasa meluangkan sedikit ruang pribadi. Ada yang ditempatkan di rumah guru
dalam kompleks sekolah seperti saya. Saya tinggal bersama seorang guru muda di
sebuah rumah sewa. Ada yang ditempatkan di kontrakan bersama dengan beberapa
kawan Indonesia. Ada juga yang tidur di ruangan seadanya. Semua sama saja.
Sekali lagi, inilah fakta. Saya percaya, di mana pun lokasi penempatan dan
tempat tinggal, Allah sudah punya rencana indah di baliknya.
Maka dari itu, persiapan kebutuhan sehari-hari harus bisa
diprediksi jauh-jauh hari. Penting mengetahui tempat penempatan kita sebelum
berangkat. Sebisa mungkin, gali informasi dari kakak tingkat atau dari internet
dan dari apa pun agar kita siap secara materi. Namun, sekali lagi, sekali lagi,
tidak perlu paranoid dan merepotkan berlebihan. Jalani saja.
Kebetulan sekolah saya belum pernah kedatangan mahasiswa
PPL Indonesia. Jadi, saya mendapatkan sedikit sekali informasi mengenai sekolah
saya dan di mana saya tinggal nantinya. Pada saat saya mencari informasi di
internet, yang keluar adalah bahasa Thai semua dan saya tidak paham. Alhasil,
saya hanya bisa melihat-lihat beberapa foto. Itu pun beberapa di-lock karena situs yang dipakai adalah
lokal Thailand dan tidak bisa dibuka di Indonesia. Berbekal bismillah, saya pasrah mendapatkan rumah
tinggal seperti apa. Alhasil, ibu menyuruh saya membawa banyak sekali peralatan
seperti setrika, pemanas air, makanan instan, sampai bagasi pesawat saya
kelebihan 5 kg dan saya harus membayar denda. Tetapi, alhamdulillah, semua
barang yang saya bawa dari Indonesia sangat bermanfaat, tidak ada yang nganggur, karena saya ditempatkan di
rumah sewa.
Bagaimana dengan
pembekalan pembelajaran? Kita tidak mungkin dilepas oleh kampus begitu saja sebelum mengajar.
Apalagi ini mengajar anak di negeri orang. Kampus akan memberikan pengarahan
dan juga latihan mengajar micro teaching sebelum kita berangkat. Di UM, kami mendapakan
pembekalan ini selama satu minggu. Inilah mengapa tadi saya mengatakan, untuk
peserta dari prodi non pendidikan, tidak perlu terlalu berkecil hati. Tapi,
memang harus lebih berlari karena banyak sekali PR yang harus dipenuhi.
Hal yang paling penting saya rasakan sekarang adalah
sebagai guru, kita harus bisa mengondisikan kelas secara optimal. Di Indonesia
saja, belum tentu semua guru bisa mengondisikan kelas, apalagi di negeri orang
dengan bahasa yang sudah berbeda. Setelah itu, persiapan materi dan bahan ajar
harus matang. Kalau bisa, susun materi sejak dari Indonesia. Waktu sudah sampai
di Thailand, tinggal menyesuaikan saja. Jangan juga mengandalkan media
elektronik karena tidak semua sekolah sudah modern. Masih banyak sekolah yang
menggunakan papan tulis kapur. Di sekolah saya, tidak semua kelas mempunyai LCD
atau TV. Jadi, saya menyiapkan beberapa media sederhana yang saya bawa dari Indonesia. Ini penting sekali.
Jangan sampai kita asyik mempersiapkan kebutuhan pribadi sampai lupa bahwa kita
datang untuk mengajar dan kebutuhan pengajaranlah yang seharusnya paling utama
disiapkan.
Di mana pengumuman
seleksi bisa kita dapatkan? Ya, sampailah saya pada penghujung tulisan panjang lebar ini. Semoga
bisa bermanfaat untuk para calon peserta PPL/KKN Thailand dan pembaca lain yang
sudah menyempatkan membaca. Info mengenai program ini bisa didapatkan di web
PPL masing-masing kampus atau di papan-papan pengumuman di masing-masing
fakultas. Jangan sampai jadi generasi yang malas membaca dan hanya bisa
mengatakan “
Kok pengumumannya gak
terbuka, sih? Kok aku ga tahu? Di mana sih pengumumannya?” Hehe...
just kidding, tapi
dalem J.