Followers

Monday, February 20, 2017

#Thailand 7: Jejak Muslim di Songkhla

24 September 2016

Bapak, terima kasih ya, sudah mengizinkan saya menginap semalam di sini. Saya pamit pulang dulu,“ ucapku pada salah satu staff konsulat yang sedang piket di hari Minggu kala itu.
“Lho, kok buru-buru? Langsung pulang, apa masih mampir-mampir?” tanya beliau.
“Langsung pulang, Pak, supaya sampai di Narathiwat tidak terlalu sore,
“Ke terminal ini? Saya antar saja tidak apa-apa,” tawar beliau.
“Tidak usah, Pak. Saya naik tuk-tuk saja. Berapa ya tarifnya, Pak?”
“Ya...paling 20 Baht,”
“Iya, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak. Saya pamit dulu. Mungkin ini terakhir saya ke sini sebelum kembali ke Indonesia. Saya mohon maaf ya, Pak, kalau-kalau saya dan teman-teman selalu merepotkan pihak konsulat. Semoga lain kali bertemu lagi,” ucapku.
“Sudah jadi tugasnya konsulat. Ya sudah, kalau begitu, kamu hati-hati, ya. Salam untuk yang lainnya, “
Siap, Pak. Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam”.

Bapak berkumis tersebut langsung menekan tombol untuk membukakan gerbang konsulat dan melihat saya dari jauh, memastikan saya tidak salah naik kendaraan umum. Saya akan naik ‘tuk-tuk’, sebuah angkutan umum tradisional Thailand yang berbentuk seperti pick up yang beratap.

Tak seberapa lama menunggu di seberang konsulat, saya melihat angkutan berwarna oranye itu dari jauh. Saya lantas mengawe-awekan tangan. Pak sopir itu lalu berhenti di depan saya. Saya bertanya dalam bahasa Thailand “Pai kyu rot tu, mai kha? (Pergi ke terminal minibus, tidak?)”. Lelaki paruh baya berwajah Siam tersebut langsung menjawab, “Cak pai nai khab? (Mau pergi ke mana?”, saya mengulang lagi, “Kyu rot tu kha (terminal mini bus),”. Dia tetap bertanya, “Pai nai a (pergi ke mana?)”. Saya baru mudeng. Oh, mungkin maksudnya, saya akan naik mini bus ke tujuan mana. Saya menjawab, “Sungai Kolok kha (Ke Sungai Kolok),”. Dia langsung menjawab dalam bahasa Thailand yang panjang dan ada beberapa kosakata yang saya tidak mengerti. Namun, dari konteksnya, dia mengucapkan, “Ya sudah, mari naik, saya antar”.

Saya lalu membuka pintu penumpang di depan, kebetulan kosong. Saat Pak Sopir itu memulai mengendarai tuk-tuknya, ia mengucapkan “Bismillah...”. Saya langsung kaget. Di Songkhla, susah sekali menemukan orang muslim. Biasanya, kalau ada muslim keturunan Melayu dan tahu kalau saya muslim, dia pasti berbahasa Melayu-Pattani. Jadi, saya tidak mengira kalau Pak Sopir ini muslim juga. Lalu saya melihat ada sajadah yang ia lipat dan letakkan di dashboard depan.  Di spion tengah pun ia gantungi dengan gantungan bertuliskan lafadz Allah. Doa saya terjawab. Sebelum berangkat, saya berdoa agar dipertemukan dengan orang yang bisa mengerti maksud saya. Syukur-syukur kalau saya ditemukan dengan saudara sesama muslim.

Di perjalanan, Pak Sopir mengajak saya berbicara dengan bahasa Thailand yang dicampur Inggris. Saya mengerti sedikit-sedikit maksudnya. Ia mengira bahwa saya berasal dari Malaysia. Saya jelaskan bahwa saya orang Indonesia. Dia lalu berkata, “Oh...khon Indo...moslem good good (Oh, orang Indonesia, muslimnya bagus)”. Saya bercerita bahwa saya adalah guru praktikan di Narathiwat. Ia lalu bercerita bahwa memang banyak orang Indonesia mengajar di selatan Thailand.

Tidak lama kemudian, ia berhenti di depan Songkhla Annuban School. Di sana, banyak mini bus yang nge-time menunggu penumpang. Ia lalu turun dalam keadaan mesin kendaraan masih menyala. Ia terlihat berbincang-bincang dengan para sopir mini bus. Saya kaget, tiba-tiba tuk-tuk-nya berjalan mundur. Saya kira ia lupa mengerem. Saya sudah mau menginjakkan kaki saya di rem kaki tuk-tuk itu. Tiba-tiba Pak Sopir muncul dari jendela kiri dan mengatakan bahwa saya sudah sampai di ‘kyu rot tu’. Ternyata, tadi dia yang menarik tuk-tuknya dari belakang. Maklum, tuk-tuk memang terlihat ringan sekali dan mudah didorong atau ditarik dengan tangan.

Saya kaget. Lah. Ini ya, terminal mini busnya. Saya kira, tuk-tuk ini akan membawa saya ke terminal sungguhan. Ternyata, hanya di tempat ngetime. Pantas saja, tadi bapak yang piket di konsulat hanya mengatakan bahwa tarifnya 20 Baht saja. Tahu begitu, saya bisa jalan kaki dan menghemat 20 Baht, hihi. Jaraknya dari konsulat hanya sekitar 1,5 km. Hehehehe. Ya sudahlah, setidaknya, dengan 20 Baht, saya bisa bertemu dengan Pak Sopir yang ramah itu.

Saya akhirnya bertanya padanya, “Thaorai, kha? (Berapa?)”. Ia menjawab “20 Baht,”. Akhirnya saya membayarnya dan mengucapkan “Khop khun kha (terima kasih),”. Ia menjawab “Mai pen rai khab, cok dee (Tidak apa-apa, hati-hati)”. Saya lalu turun dan ia mengucapkan “Assalamualaikum”.

Saya lalu mengucapkan “Waalaikumsalam” dan tersenyum.

Di kota yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan muslimnya hanya ‘sedikit persen’, bahkan adzan pun tidak pernah terdengar ini, ternyata Allah masih mempertemukan kami tanpa terduga. Di situlah saya merasa, bahwa seluruh muslim di dunia ini sebenarnya terkoneksi dalam satu batin yang sama, yaitu keyakinan akan Islam. Saya lalu berpikir, mengapa di negeri saya yang mayoritas penduduknya muslim, saya malah jarang mendengar “Assalamualaikum” diucapkan dengan percaya dirinya bila bertemu dengan sesama muslim.

Ya, salah satu dari ribuan pengalaman berharga saya saat hidup selama lima bulan di Thailand adalah: saya semakin rindu dengan Islam. Semoga, kalimat "Khon Indo, moslem good good"-nya Pak Sopir tadi memang benar. Aamiin.




Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.
Love, Dina.