24 September 2016
“Bapak,
terima kasih ya, sudah mengizinkan saya menginap semalam di sini. Saya pamit
pulang dulu,“ ucapku pada salah satu staff
konsulat yang sedang piket di hari Minggu kala itu.
“Lho, kok
buru-buru? Langsung pulang, apa masih mampir-mampir?” tanya beliau.
“Langsung
pulang, Pak, supaya sampai di Narathiwat tidak terlalu sore,”
“Ke terminal
ini? Saya antar saja tidak apa-apa,” tawar beliau.
“Tidak usah,
Pak. Saya naik tuk-tuk saja. Berapa
ya tarifnya, Pak?”
“Ya...paling
20 Baht,”
“Iya, Pak.
Terima kasih banyak ya, Pak. Saya pamit dulu. Mungkin ini terakhir saya ke sini
sebelum kembali ke Indonesia. Saya mohon maaf ya, Pak, kalau-kalau saya dan
teman-teman selalu merepotkan pihak konsulat. Semoga lain kali bertemu lagi,” ucapku.
“Sudah jadi
tugasnya konsulat. Ya sudah, kalau begitu, kamu hati-hati, ya. Salam untuk yang
lainnya, “
“Siap, Pak.
Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam”.
Bapak berkumis tersebut langsung menekan tombol untuk membukakan
gerbang konsulat dan melihat saya dari jauh, memastikan saya tidak salah naik
kendaraan umum. Saya akan naik ‘tuk-tuk’, sebuah angkutan umum tradisional
Thailand yang berbentuk seperti pick up
yang beratap.
Tak seberapa lama menunggu di seberang konsulat, saya melihat angkutan
berwarna oranye itu dari jauh. Saya lantas mengawe-awekan
tangan. Pak sopir itu lalu berhenti di depan saya. Saya bertanya dalam
bahasa Thailand “Pai kyu rot tu, mai kha? (Pergi ke terminal minibus, tidak?)”.
Lelaki paruh baya berwajah Siam tersebut langsung menjawab, “Cak pai nai khab?
(Mau pergi ke mana?”, saya mengulang lagi, “Kyu rot tu kha (terminal mini bus),”.
Dia tetap bertanya, “Pai nai a (pergi ke mana?)”. Saya baru mudeng. Oh, mungkin maksudnya, saya akan
naik mini bus ke tujuan mana. Saya menjawab, “Sungai Kolok kha (Ke Sungai
Kolok),”. Dia langsung menjawab dalam bahasa Thailand yang panjang dan ada
beberapa kosakata yang saya tidak mengerti. Namun, dari konteksnya, dia
mengucapkan, “Ya sudah, mari naik, saya antar”.
Saya lalu membuka pintu penumpang di depan, kebetulan kosong. Saat Pak
Sopir itu memulai mengendarai tuk-tuknya, ia mengucapkan “Bismillah...”. Saya
langsung kaget. Di Songkhla, susah sekali menemukan orang muslim. Biasanya,
kalau ada muslim keturunan Melayu dan tahu kalau saya muslim, dia pasti
berbahasa Melayu-Pattani. Jadi, saya tidak mengira kalau Pak Sopir ini muslim
juga. Lalu saya melihat ada sajadah yang ia lipat dan letakkan di dashboard depan. Di spion tengah pun ia gantungi dengan
gantungan bertuliskan lafadz Allah. Doa saya terjawab. Sebelum berangkat, saya
berdoa agar dipertemukan dengan orang yang bisa mengerti maksud saya.
Syukur-syukur kalau saya ditemukan dengan saudara sesama muslim.
Di perjalanan, Pak Sopir mengajak saya berbicara dengan bahasa
Thailand yang dicampur Inggris. Saya mengerti sedikit-sedikit maksudnya. Ia
mengira bahwa saya berasal dari Malaysia. Saya jelaskan bahwa saya orang
Indonesia. Dia lalu berkata, “Oh...khon Indo...moslem good good (Oh, orang
Indonesia, muslimnya bagus)”. Saya bercerita bahwa saya adalah guru praktikan
di Narathiwat. Ia lalu bercerita bahwa memang banyak orang Indonesia mengajar
di selatan Thailand.
Tidak lama kemudian, ia berhenti di depan Songkhla Annuban School. Di
sana, banyak mini bus yang nge-time menunggu
penumpang. Ia lalu turun dalam keadaan mesin kendaraan masih menyala. Ia
terlihat berbincang-bincang dengan para sopir mini bus. Saya kaget, tiba-tiba
tuk-tuk-nya berjalan mundur. Saya kira ia lupa mengerem. Saya sudah mau menginjakkan kaki saya di rem kaki tuk-tuk
itu. Tiba-tiba Pak Sopir muncul dari jendela kiri dan mengatakan bahwa saya
sudah sampai di ‘kyu rot tu’. Ternyata, tadi dia yang menarik tuk-tuknya dari
belakang. Maklum, tuk-tuk memang terlihat ringan sekali dan mudah didorong atau
ditarik dengan tangan.
Saya kaget. Lah. Ini ya, terminal mini busnya. Saya kira, tuk-tuk ini
akan membawa saya ke terminal sungguhan. Ternyata, hanya di tempat ngetime. Pantas saja, tadi bapak yang
piket di konsulat hanya mengatakan bahwa tarifnya 20 Baht saja. Tahu begitu,
saya bisa jalan kaki dan menghemat 20 Baht, hihi. Jaraknya dari konsulat hanya
sekitar 1,5 km. Hehehehe. Ya sudahlah, setidaknya, dengan 20 Baht, saya bisa
bertemu dengan Pak Sopir yang ramah itu.
Saya akhirnya bertanya padanya, “Thaorai, kha? (Berapa?)”. Ia menjawab
“20 Baht,”. Akhirnya saya membayarnya dan mengucapkan “Khop khun kha (terima
kasih),”. Ia menjawab “Mai pen rai khab, cok dee (Tidak apa-apa, hati-hati)”.
Saya lalu turun dan ia mengucapkan “Assalamualaikum”.
Saya lalu mengucapkan “Waalaikumsalam” dan tersenyum.
Di kota yang mayoritas penduduknya beragama Buddha dan muslimnya hanya
‘sedikit persen’, bahkan adzan pun tidak pernah terdengar ini, ternyata Allah masih mempertemukan kami tanpa terduga. Di
situlah saya merasa, bahwa seluruh muslim di dunia ini sebenarnya terkoneksi
dalam satu batin yang sama, yaitu keyakinan akan Islam. Saya lalu berpikir,
mengapa di negeri saya yang mayoritas penduduknya muslim, saya malah jarang
mendengar “Assalamualaikum” diucapkan dengan percaya dirinya bila bertemu
dengan sesama muslim.
Ya, salah satu dari ribuan pengalaman berharga saya saat hidup selama
lima bulan di Thailand adalah: saya semakin rindu dengan Islam. Semoga, kalimat "Khon Indo, moslem good good"-nya Pak Sopir tadi memang benar. Aamiin.