Followers

Friday, November 07, 2014

Untitled


Dear, My Dearest Day and Night: Allah

Allah, Allah, Allah
Aku tidak tahu, mengapa aku sesedih ini
Sedih di kala semua kira aku orang paling bahagia
Paling beruntung

Iya, cover-nya dikemas demikian
Tapi, aku hancur, Allah...

Aku tidak lagi menemukan bahu untuk bersandar, sungguh
Aku tidak lagi menemukan lengan untuk memeluk
Aku kedinginan di sini tanpa sweater, tanpa syal

Aku tidak lagi bisa didengar
Aku robot tidak bermesin

Allah, semua terasa sedang tidak pada tempatnya
Aku ingin menangis, bercerita, dan didengar

Tidak hanya oleh-Mu, Allah.
Kirimkan aku perwujudan kasih sayang-Mu yang sempat aku anggap semu

Buktikan bahwa aku tidak salah memilih-Mu sebagai Tuhan
Kirimkan aku satu, satu saja lengan-Mu yang hangat itu
dan bahu-Mu yang nyaman itu

Aku ingin merasa aman...kirimkan aku satu, Allah...

Aku sendirian...

Tidak berkawan.

Wednesday, November 05, 2014

Gombal Mukiyo*

“Aku selalu tunggu-tunggu. Tapi, sampai detik ini kamu ga pernah ngajak aku salaman. Bahkan berpamitan ketika akan pulang pun tidak,” Moon berkata pada Rose.


“Berpamitan ibarat memohon izin untuk berpisah dan tidak tahu kapan akan kembali lagi. Denganmu, aku tidak akan pernah ingin berpamitan,” jawab Rose.

______________________________________________________________________________

Heran

Aku sudah mencapai titik di mana aku bahkan tidak bisa lagi membaca hati sendiri. Kamu yang aku janjikan untuk tidak aku bahas-bahas lagi dalam setiap tulisanku, seakan disambar petir dan berubah menjadi spesies baru yang benar-benar membuat tanganku sangat gatal untuk tidak menuliskanmu dalam alur ceritaku.

Matamu adalah medan paling terjal yang pernah aku daki. Aku terpeleset lagi. Aku terjun bebas. Lagi.

Untuk seseorang yang ternyata terus terpatri dalam hati

Harah

Setiap pengguna kendaraan bermotor yang hendak ke luar gerbang kampusku harus menunjukkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Aku adalah salah satu mahasiswa yang sudah dihapal oleh beberapa satpam di gerbang utama. Bahkan pernah aku diberi kue dan es kelapa muda oleh salah satu satpam karena dia hapal denganku. Pernah suatu ketika saat aku akan keluar gerbang kampus, beberapa satpam yang hapal denganku tidak menahanku untuk diperiksa STNK-nya.

“Wis mbak, langsung ae sampeyan...wis apal1,” kata salah seorang satpam waktu aku akan mengeluarkan STNK dari saku belakang celanaku.

Masih ada lagi di hari yang berbeda.

“Wis, langsung ae, mbak2,” kata seorang satpam sambil senyum kepadaku.

“Lho, opo’o se mas, aku ate ngetokno STNK ngga oleh a3?” jawabku tidak terima.

“Wis, ga usah. Wong sampeyan ayu, manis pisan. Langsung ae wis...4timpal salah seorang satpam sambil tertawa kepadaku.

“Lho mas, sing genah a. Wong ayu dan manis iso lho dadi maling, harah...5kataku sedikit jutek sambil berlalu meninggalkan gerbang.

_____________________________________________________________________________

1) “Udah mbak, langsung aja sampeyan (sebutan dalam bahasa Jawa untuk menghormati seseorang)...sudah hapal,”
2) “Udah, langsung saja, mbak,”
3) “Lho,kenapa sih mas, aku mau ngluarin STNK ngga boleh, ya?”
4) “Udah, ngga perlu. Orang sampeyan cantik, manis pula. Langsung saja deh...”
5) “Lho mas, yang bener dong. Orang cantik dan manis bisa lho jadi maling, hayo...”

Kisah Pohon dan Angin: Mengeluh

14.42 WIB
Dalam keadaan penat dan lapar luar biasa.

Siang ini, tiba-tiba aku merasakan udara di dalam paru-paruku penuh sesak dengan tumpukan kata-kata yang melewati telinga atau bahkan terbaca mata, yang tadinya ingin aku sapu dengan tongkat sihir yang aku punya. Tapi kok siang ini, tiba-tiba dia kembali merajamku dengan seribu kesakitan tiada terperi yang menuntunku untuk menggerakkan tangan di atas keyboard baruku ini. Ya. Bapak baik sekali, aku dibelikan mainan baru. Bapak tahu aku suka berbicara dengan huruf-huruf di atas keyboard seperti saat ini.

Awalnya satu kalimat tajam itu masuk ke telingaku. Aku sudah membuangnya. Kedua kali kalimat tajam itu masuk, telingaku sudah aku tutup rapat dengan dua tanganku. Ketiga kalinya, kalimat itu masuk ke tubuhku melalui tempat yang lain. Dia menghujam mataku dan aku terlanjur membacanya. Aku tutup mataku. Keempat kalinya, kalimat itu datang lagi dan entah...aku ingin menangis, tapi aku tidak menemukan bahu untuk bersandar.

Ya Allah yang mahapengasih, aku sudah berjanji untuk mengurangi sifat kekanak-kanakanku: mengeluh. Tapi, hari ini izinkan aku mengeluh lewat tulisan ini...karena aku tidak menemukan bahu untuk bersandar dan tidak bisa mensujudkan tubuhku menghadap barat. Aku benar-benar ingin menangis karena aku sudah cukup kesakitan melarang air mata ini keluar.

Ya Allah yang mahamendengar, aku sungguh kedinginan sendirian di sini. Aku tidak menemukan di mana aku yang sebenarnya akhir-akhir ini. Aku merasa tubuhku disusun oleh ekspektasi, persepsi, citra, ambisi, tanggung jawab, kepercayaan, dan tuntutan dari orang-orang di luar sana.

Seenaknya saja mereka menempelkan semua itu ke dalam tubuhku dan seenaknya saja mereka menghembuskan angin kencang dan semakin kencang seiring laju batangku ke atas. Bukannya angin dan pohon tidak boleh bertengkar, angin membantu pohon tumbuh dengan menebarkan sari-sarinya ke udara dan menempel ke putik yang lain. Apakah angin juga tidak merasakan bahwa pohon membuatnya terlihat dengan goyangan daunnya yang menari lembut, sehingga orang bisa menyadari bahwa angin ada?

Kenapa sampai ada istilah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup? Harusnya tidak ada, kan?

Hmmmm...

Inhale...

Exhale...

Di paragraf ini, tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Untuk apa aku menuliskan kalimat-kalimat di atas. Aku bukan perempuan lemah!

Mereka memberiku kepercayaan besar sampai detik ini, karena mereka yakin aku bisa dan aku tidak boleh mengeluh. Jika aku mengeluh, itu hanya karena aku tidak yakin bisa menghadapinya sendirian. 

Yang harus dilakukan sekarang, aku akan tetap menjadi pohon yang kuat. Tidak peduli seberapa besar angin yang menghantam. Aku adalah pohon yang tidak bisa dirobohkan oleh angin seperti mereka. Bismillah.

Oh iya, jika ada angin-angin nakal yang mengganggu lagi, mungkin aku bisa meminjam beberapa kata dari lirik lagunya Mocca. Excuse me, Sir (Maam), you don’t even know me.



Ditulis di Miami Chicken (tempat cari gratisan Wi-Fi paling murah dan letaknya paling dekat dengan kampus. Cocok untuk menyendiri, walaupun menunya biasa saja. Terima kasih, Miami. )

Thursday, September 25, 2014

Sendu

Malam ini ada pergulatan seru antara otak dan hatiku.

Tiba-tiba, hati, yang entah itu organ atau bukan dan entah letaknya di mana, memenangkan pertandingan itu tanpa ragu. Otak, yang biasa jadi anak emas, seakan pasrah tanpa daya dan upaya untuk melaju.

Dia kaku.

Bisu.




Tolong bawa aku ke padang hijau bak permadani zamrud itu. Aku sudah cukup lelah dihimpit hutan beton yang penuh dengan hantu. Aku lelah dikejar waktu. Aku lelah dengan semua ragu. Aku lelah dengan sedu sedan itu. Aku lelah dengan duniaku. Aku lelah. Aku ingin lupa semua waktu. Aku ingin lupa semua rindu. Aku ingin lupa semua sendu.


Aku ingin lupa semua kaku.
Aku sendu.



Bawa aku. Dalam syahdu.
Bawa aku. Bukan pilu.

Bawa aku.



Ayo bermain gundu.

Saturday, August 30, 2014

Ada Adam

Ada seorang pria yang sama-sama malunya dengan seorang wanita pujaannya yang saling diam di atas motor merah merona, semerona pipi dua insan yang sama-sama diangkutnya. Ada.

Ada seorang pria lain yang datang setelah pria tadi dan tanpa permisi mengajari wanita itu peluk, cium, dan nafsu sampai dia hampir rusak. Ada.

Ada pria baru yang sangat mempesona, yang seolah menyelamatkan wanita itu dari pria barusan dengan cara merebutnya. Lalu ternyata ia sama saja. Ada.

Ada seorang pria yang kaku, beku, membisu, namun membuat wanita itu takluk. Si wanita nampaknya trauma dengan peluk, cium, dan nafsu. Namun kali ini dia sangat bodoh dibuat menunggu. Ada.

Ada seorang pria lucu, unik, dan serba bisa. Namun, imannya tak lebih baik dari wanitanya. Ada.

Ada seorang pria yang lebih sempurna dari pria satu, dua, tiga, empat, dan lima...namun sang wanita tidak cukup pede berjalan bersamanya. Ada.

Ada seorang pria yang baru dikenalnya kemarin sore, namun ia mampu mengalahkan pria satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Namun, ia tidak lebih cerdas dari wanitanya. Ada.






Ada jutaan kumbang menghisap bunga mawar di sudut taman itu. Ada. Namun, ada juga mawar yang mengatakan, "Tidak. Tidak sekarang!". Ada.


"Aku masih menunggu kumbang nomor delapan, sambil mengembangkan tubuhku. Agar nektarku tidak sia-sia ia hisap. Izinkan aku ada. Tanpa mengada-ada".







Dari seorang Hawa yang menunggu Adam untuk memeluknya sambil membaca ayat ke-23 Surat Al-A'raf. Adam yang membangunkan Hawa untuk sholat malam dan mengaji bersama. Adam yang datang dengan segelas air putih dalam genggamannya dan membisikkan kalimat penyembuh paling ampuh di dunia. Adam yang menyatukan spasi dalam malam suci bersama Hawa.

Tuesday, August 12, 2014

Sebuah Percakapan di Lantai Dua

15 Juli 2014

Hari ini tentunya spesial, karena aku akan bertemu dengan dua orang teman lamaku, Sundari dan Vindy (yang pernah aku ceritakan di sini). Formasi ini harusnya lengkap bila ditambah Mymo, tapi dia sudah pulang ke kampung halamannya di Blitar, jadi kami hanya akan bertemu bertiga.

Aku yang sedari pagi sudah di kampus karena ada urusan organisasi, memutuskan untuk tidak pulang dulu karena memang jarak dari pusat kota ke rumah cukup jauh dan cukup melelahkan bila ditempuh dalam keadaan dahaga luar biasa di tengah puasa. Aku memilih menunggu datangnya sore di masjid di dalam kampus sambil sesekali membaca beberapa ayat di Quran For Android-ku yang terlalu kecil dan malah membuat sakit mata. Setelah ashar, aku segera berangkat ke salah satu tempat makan favoritku, Warung Steak and Shake di Landungsari, bukan di pusat kota.

Aku bersemangat sekali datang setengah jam sebelum jam perjanjian. Aku pelanggan pertama yang datang ke sini, bahkan sebelum para pelayannya briefing. Kami memilih untuk makan di sini di saat sedang menjamurnya kafe baru di Malang yang sudah tidak terhitung jumlahnya, karena kami tahu kalau tempat ini pasti tidak terlalu ramai dan enak untuk ngobrol. Lagi pula, kami rasa makanan di sini rasanya lebih ngangenin daripada di kafe-kafe baru yang cuma bagus untuk berfoto.

Aku memilih duduk di pinggir balkon lantai atas, karena cahayanya bagus. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya Vindy dan Sundari datang bersamaan. Mereka tidak berubah, tetap apa adanya seperti dulu. Kami lalu berpelukan dan bersalaman melepas kangen masing-masing, tapi aku menolak dipeluk karena aku belum mandi sore, dan mereka menertawakan kebiasaan burukku, hehe.

Here we are: Sundari, Vindy, dan aku (yang belum sempat mandi)


Setelah berfoto, kami lalu memutuskan pindah ke tempat lesehan di pojok yang lebih terlihat hangat dan mejanya lebih besar. Kami memesan menu sebentar, lalu meletakkan hape masing-masing tanpa komando, ini hebatnya. Seperti yang sudah pernah aku bilang, bahwa quality time yang sejati tidak butuh orang-orang berhadapan yang saling memegang handphone. Sesekali kami hanya melirik jam untuk tahu apakah waktu berbuka sudah tiba,

Ritual dimulai. Diawali dengan Vindy yang bercerita tentang kisahnya. Aku menyusul. Sundari sengaja menolak untuk menceritakan kisahnya duluan, dia pilih belakangan. Topik yang kami bicarakan awalnya bukan soal cinta. Tapi, kami sudah cukup dewasa rupanya. Percakapan kami ujung-ujungnya berujung membicarakan cinta juga. 

Setelah aku dan Vindy selesai bercerita, Sundari hanya tertawa kecil. Lalu dia tidak banyak bersolusi seperti biasanya. Dia mengatakan hal yang membuat kami sedikit menekuk dahi. Dia hanya bilang, "Udah, udah selesai kan, ceritanya? Sekarang coba buka Twitter, buka @hitmansystem. Baca favoritnya."

Aku dan Vindy yang penasaran, langsung buru-buru membuka akun tersebut. Kami lalu membaca favoritnya, alhasil kami merasa sedang dipukuli oleh sejuta retorika yang sedikit mengejutkan soal cinta. 
"Gila...aku ngerasa kayak di-keplak banget", kataku setelah membaca apa yang tertulis di sana.

"Jadi gini, rek. Tau ngga kenapa daritadi aku diem aja nunggu kalian selesai cerita? Karena aku sudah mengalami fase itu. Aku sekarang wis jarang galau semenjak baca saran-saran dari akun itu. Kuncinya satu, kita mau berubah apa engga. Kita berani di-keplak apa engga," Sundari akhirnya bicara agak panjang.

Lalu kami melanjutkan membaca favorite tweets dari si Hitman System ini. Bener-bener akun ini secara gamblang membuatku melek sedikit soal permasalahan sepele yang sedang puncak-puncaknya menggandoli otakku akhir-akhir ini. 

"Sun, kata Hitman System, kalo sekarang ini udah ngga zaman ya namanya cewek itu nunggu. Nah trus, masa aku kudu agresif ngedeketin cowok duluan?" tanyaku polos.

"Kalo kamu ngerasa kamu pede dan layak mendapatkan cowok yang kamu suka itu, kenapa engga? Kalo kamu ga berani deketin duluan, berarti kamu ngga pede, kan?" jawab Sundari.

"Iya sih...tapi si cowok kalo aku chat, jawabannya cuek gitu. Suka singkat-singkat. Malu dong aku ngejar duluan..." aku tetap mencari pembelaan.

"Balikin ke diri kamu sendiri. Kalo ada cowok yang nge-chat kamu dan kamu balesnya singkat-singkat, artinya apa?" kata Sundari dengan sabar.

"Maksudnya?" aku masih ngga mudeng.

"Apa yang pengen kamu sampaikan ke si cowok itu dengan caramu bales yang singkat-singkat kayak gitu?" Sundari memperjelas.

"Ya...aku ngga suka sama cowok itu..." jawabku masih polos.

"Sekarang dibalik. Kalo kamu nge-chat cowok dan dia balesnya singkat-singkat?"

"Cowok itu ga suka aku," aku sedikit tercengang.

"Nah! Simple!" Sundari lega aku akhirnya mudeng.

Aku dan Vindy langsung terkesima dengan kata-kata simple Sundari yang seolah membangunkanku dari tidur panjangku. Kami lalu menertawakan kebodohan masing-masing. Iya, kami bodoh selama ini. Bodoh.

"Gini deh intinya. Cinta itu dibikin simple aja. Kalau kamu masih merasa ada yang salah sama cinta, kalo kamu masih ngerasa kesiksa dengan cinta, coba deh introspeksi. Yang salah cintanya, atau kamunya? Percuma sebenernya kamu curhat sana-sini, dapet solusi ini-itu, baca tweets Hitman System juga kalo kamu sendiri ga mau berubah," tambah Sundari.

"Iya Sun, aku baru sadar aku bodoh banget ya... Kayaknya emang ada yang salah sama aku, bukan sama cowok-cowok yang ngedeketin aku. Buktinya, sekarang kamu, Vindy, sama Mymo udah punya pacar semua. Aku masih jomblo aja. Aku kudu introspeksi ini," aku mulai melek.

"Gini deh, sekarang kamu ga dapet-dapet pacar kenapa? Yang deketin kamu ga ada?" tanya Sundari heran.

"Banyak sih..." jawabku.

"Kamu kebanyakan milih juga kali, Din..." akhirnya Vindy berbicara juga.

"Nah! Mungkin kamu jomblo juga selain kamu masih stuck sama satu orang yang jelas ga bisa sama kamu, ada alasan lain yang musti kamu tanyakan ke dirimu sendiri. Apakah standart kamu yang ketinggian?"

"Kayaknya bener kalian, aku kebanyakan pilih-pilih. Cari yang sempurna ya ga bakalan nemu, ya kan...bego..." jawabku makin tersudut.

"Tapi berhenti menyalahkan diri terus-terusan. Kalo kamu aja ga mencintai dirimu sendiri, gimana orang lain mau cinta sama kamu, ya kan?" kata Sundari.

"Iyesssss. Gini deh analoginya. Kalo kamu pengen dapet cowok wangi, jangan harap dapet deh, kalo kamu aja keramas palingan seminggu sekali, ahahahaha" aku sedikit mencairkan suasana.

"Iyaaaa, jadi, kalo mau dihargai cowok, hargai dulu dirimu. Tampillah cantik, buat dirimu, bukan buat dilihat orang sih sebenernya, " Sundari lagi yang ngomong ini .__.

"Benerrrrr! Dandanlah cantik karena kamu menghargai anugrah Allah yang udah dikasih ke kamu, kamu berdandan cantik karena tubuhmu memang layak mendapatkan penghargaan darimu berupa itu!" sepertinya percakapan kami mulai meluber ke mana-mana.

"Iyo sih ya...by the way, kita semua ngelanggar komitmen kita lho!" Vindy mengingatkan sesuatu.

"Apa, Vin?" tanyaku.

"Kita ingkar janji buat komitmen ga pacaran sampe sekolahnya bener dulu, ya kan? Di antara kita cuman Dina yang masih komitmen, aahahahaha..." jawab Vindy.

"Bahahaha, aku jaga komitmen apa emang ga laku-laku, ya? Tapi kayaknya aku jaga komitmen lho... Aku udah ditembak tiga cowok tapi aku tetep jomblo. Berarti aku laku sebenernya, ahahahhaha..." kataku pamer.

"Aduh aduh, uda gede semua, obrolannya cowok mulu. Udah, mulai sekarang udah ga boleh galau lagi. Sadar ngga sih, kalo ada orang galau berkepanjangan sebenernya kita ilang feeling liatnya?" potong Sundari.

"Banget! Berarti selama ini ternyata banyak yang ilfeel sama aku gara-gara aku kebanyakan galau di socmed, ya? Ahahaha..." jawabku semakin melek.

"Yap! Wis paham gitu, lho..." kata Sundari.

Gitu deh percakapan kami yang cukup panjang dalam waktu singkat sore itu. Kami sampai tidak bisa merasakan lezatnya rasa steak yang kami makan untuk berbuka, karena pembicaraan kami nampaknya lebih lezaaaaaat :-D. Sayang sekali pembicaraan kami tidak bisa lebih lama, karena kami sadar diri kalau rumah kami sama-sama jauh dari kota. Aku di Singosari, Vindy di Pujon, dan Sundari di Ngantang. Akhirnya Sundari pulang duluan karena memang rumahnya paling jauh. Vindy lalu mengajakku berkenalan dengan pacarnya setelah itu. Setelah berkenalan singkat, aku buru-buru ke masjid untuk solat tarawih. Aku janji sama bapak, Ramadhan ini ga boleh bolong sekali pun tarawihnya. Tapi akhirnya juga  bolong satu hari selain pas datang bulan, sih, hihihi. 

Sepulang solat tarawih, aku menyetir motorku sambil melamun di tengah kegelapan kota ke arah rumah. Entah malam itu, pikiranku ke mana-mana. Tiba-tiba tanpa permisi, air mataku menetes satu-satu tanpa petir, mengguyur wajah kumal belum mandiku. Sepertinya ini hadiah karena aku belum mandi. Sampai rumah, aku langsung tidur dalam keadaan penat maksimal. Besoknya, aku memutuskan memulai tantangan untuk diriku sendiri. Aku namakan program itu: Move On dalam 7 Hari. Alhamdulillah, aku berhasil move on tanpa ragu, tanpa galau, tanpa air mata, yang sudah aku ceritakan di postinganku yang lalu: Surat untuk Kamu.

Selamat pagi. Semoga menginspirasi, hai para wanita! :-)

Friday, July 25, 2014

Belajar dari Aluna

Baru kemarinan ini aku terenyuh oleh Aluna, salah satu keponakanku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Aluna adalah anak pertama dari sepupuku yang bernama Mbak Ina dan Mas Luthfi. Keduanya sama-sama bekerja. Terkadang, aku sama Dini main ke rumah Aluna atau Aluna yang dititipin ke rumahku kalo pas Mbak Ina sama Mas Luthfi lagi ngga di rumah.

Seperti yang sudah-sudah, Aluna ditemani oleh dua tante kembarnya ini nonton tv, menggambar, mewarna, bermain boneka, bahkan minta didandanin ala Masha and The Bear.

"Aluna puasa?" tanyaku pada Aluna.
"Puasa te...tadi sahur..." jawab Aluna polos.
"Ya udah, sip. Kuat ya..." kataku sambil memberi semangat.

Eh, taunya Aluna ngeliat bungkusan parsel dari kantor bapak yang salah satunya berisi jajan populer bermerk Roka.

"Tante...Luna mau Roka..." sambil memohon.
"Lho...Luna kan puasa, nanti ya pas buka ya..." jawab Dini.
"Ngga mau, mau Roka..." Luna mulai merengek.

Dini lalu ingat kalau Aluna baru bisa tahan tidak makan dan minum sampai jam sembilan pagi saja. Aku juga baru sadar kalo Aluna masih 5 tahun, tidak wajib baginya berpuasa penuh. Tapi kami harus tetap mengenalkan arti puasa pada Aluna.

"Ya udah, ini masih jam sepuluh kurang sepuluh menit. Nanti kalo jarum panjangnya udah di angka 12, Luna baru boleh makan Roka, ya?" jawab Dini.
"Lhaaah...tante...Roka..." Luna tetap merengek namun tidak memaksa.

Kami mengalihkan perhatian Luna dari Roka dengan mengajarinya menggambar kubis dan mewarnainya. Jam sepuluh sudah lewat dua puluh menit. Aluna baru sadar kalau seharusnya, dua puluh menit yang lalu dia mendapatkan Roka-nya.

"Tante...Roka..." Aluna mulai ingat.
"Ahaha...iya iya...sekalian makan siang, ya? Sama telor, mau?" jawabku.
"Iya...sama kecap..." pinta Aluna.

Aluna lalu aku beri satu bungkus Roka, menyusul sepiring nasi porsi Aluna dan telor ceplok ber-topping kecap manis. Aku ikut makan juga bersama Aluna, kebetulan saat itu aku dan Dini sedang halangan, sehingga kami tidak puasa.

"Lho kok tante ngga puasa, sih?" tanya Aluna heran.
"Tante libur, Lun...lagi ngga boleh puasa sama ngga boleh sholat." jawabku sedikit memutar otak.
"Kok gitu sih?" Aluna mulai penasaran.
"Maem dulu yuk, Lun...udah dingin nih...ayo lomba ama Tante Dini yooook" jawabku mengalihkan perhatian. Huft. Bingung.
***

Selesai makan, Aluna melanjutkan adegan bermain dengan buku mewarnainya. Sudah jam 12 lewat beberapa menit, kami mengarahkan Aluna agar berganti piyama dan mengajaknya tidur siang. Dia tidak menolak.

"Aluna mau tidur di kamar siapa? Kamar Uti Eli, kamar Tante Dini, apa Tante Dina?" tanya Dini.
"Di kamar Tante Dina aja..." jawab Aluna karena kasurku bernuansa ungu, warna kesukaan Aluna.

Aluna lalu ke kamarku, aku juga ikut tiduran di sampingnya. Sambil mengarahkan dia berdoa sebelum tidur, aku memeluk Aluna, dalam bahasa Jawa biasa disebut ngeloni. Aku tidak mengeluarkan satu kata pun setelah berdoa, karena kalau anak kecil tidak melakukan sesuatu selama 15 menit, dia pasti akan tertidur. Tapi, sudah lebih dari 15 menit Aluna hanya berkedip-kedip melihat ke atas langit-langit kamarku.

"Lho, kok belom bobo, Lun?" tanyaku.
"Aluna belom sholat...tante, Aluna mau sholat" jawab Aluna polos.
Deg. Aku langsung terenyuh.
"Luna mau sholat? Bawa mukena, ngga?" 
"Engga, dipinjemin tante, ya?"
"Oke deh...tapi tante ngga sholat ya..."
"Kenapa sih? Libur ya?" Aluna ternyata masih heran.
"Iya...tante libur..."
"Mana sih, perut tante yang katanya ayah berdarah?" dengan polosnya Aluna bertanya.
"Lho, ayah bilang gitu?" tanyaku heran.
"Iya, kata ayah, tante kemarin ngga tarawih soalnya perutnya berdarah. Mana sih te, Aluna mau liat" Aluna makin heran sambil membuka kaosku ke arah atas.
"Eh...Luna..." aku kaget, "Iya, jadi..." aku berpikir keras, "Nanti, semua anak perempuan kalo sudah besar, pasti perutnya berdarah. Kalo perutnya berdarah, Allah ngasi libur sama anak perempuan itu buat engga puasa, engga sholat...Gitu..." jawabku seadanya.
"Bunda juga?" tanya Luna.
"Iya, bunda juga...uti juga...tante juga...nanti Aluna kalo sudah besar juga..."
"Kalo udah jadi tante, ya?" Aluna menjawab sambil tertawa kecil.
"Iya, kalo udah tante-tante, hehehe...udah ayo sholat..." ajakku.

***
"Ayo sini wudhu dulu, Lun..." ajakku ke kamar mandi di sebelah kamarku.
"Ga mau...Luna ga mau wudhu..."
"Lho, kalo mau sholat syaratnya wudhu dulu..."
"Luna ga mau wudhu tante..."
"Cuci muka aja, cuci tangan?" aku memohon.
"Ga mau, Luna mau langsung sholat aja..." jawab Luna setengah mewek.
Oke, aku maklum, hari itu dingin sekali. Luna juga belum terlalu wajib. Aku harus ingat itu.

Aku lalu mengambilkan mukena warna unguku dan sajadah anak-anak agar Aluna semangat sholat. Karena mukenaku kebesaran untuknya, dia hanya memakai atasan mukenaku saja. Dia terlihat sangat lucu tenggelam di dalam mukenaku, hihi.

"Tante nungguin Aluna sholat ya..." pinta Aluna.



Aku menungguinya. Dia sholat sangat tertib empat rakaat. Walaupun sekali dua kali dia selalu melirik ke arahku, memastikan aku masih menungguinya. Aku lalu terenyuh lagi. Anak sekecil Aluna...dia bahkan tidak bisa tidur hanya karena belum sholat dhuhur, padahal dia juga belum baligh, belum wajib sholat. Sedangkan kita, yang sudah baligh bertahun-tahun, kadang pura-pura lupa sholat karena takut ketinggalan asyiknya dunia. Kalau diingatkan, jawabannya masih "Sek...sek...habis ini". (Sek dalam bahasa Jawa berarti sebentar).

***
Aluna sudah menyelesaikan empat rakaatnya. Dia lalu melipat mukenaku dengan rapi dan mengembalikannya kepadaku. Kami lalu kembali ke kamar. Kami berdoa sebelum tidur, aku memeluknya, dan dalam lima menit dia sudah berada di Wonderland. Aku memberinya selimut dan kursi di samping kasur, jaga-jaga kalau dia jatuh ke lantai. Aku bersiap-siap mandi untuk rapat organisasi di kampus. Lalu Aluna bangun menyadari aku tidak di sampingnya. Aluna hanya tidur satu jam. Aku tersenyum dan menggandengnya.

"Lho...Aluna bangun...kurang lama Lun, tidurnya...".

:)

Saturday, July 05, 2014

Cerpen: Semoga Cepat Sembuh!

Ini hari keempat Rose mulai muak hanya bisa tertidur di kasur yang ukurannya setengah dari kasur kamarnya di Romanland, kota yang terletang pada 07º 59’ LS 112º 36’ BT. Ia mulai merindukan memeluk boneka kelinci berukuran tinggi 50 inchi dan berbulu ungu di kamarnya itu, yang selalu jadi bantal air matanya, sampai warnanya tak lagi ungu. Tapi ungu muda. Hari ini infusnya sudah dilepas. Tapi dokter belum memperbolehkannya untuk pulang. 

Tidak pernah dalam sehari ia tidak melihat senyum bocah-bocah mungilnya di sekolah. Ia sudah sangat merindukan kelas. Rose merindukan pekerjaannya sebagai seorang guru di sekolah dasar favorit di kota itu. Rose hanya bisa menghibur diri dengan beberapa game di smartphone-nya pagi ini. Tak lupa, ia tak pernah lepas dari kaleng-kaleng obat galaunya, Bear Brand Malt Putih.

"Ah, aku terlalu pintar untuk semua game ini!" kata Rose dengan nada cukup bosan.

Tiba-tiba smartphone-nya bergetar. Moon. Itu Moon. Pria yang sudah sangat ia harapkan untuk datang sejak empat hari yang lalu.



***
Tak lama setelah chat terakhir masuk, siluet Moon di balik pintu kamar inap bernama Atlas tersebut terlihat. Sambil membawa empat kaleng Bear Brand yang dinginnya sampai berembun-embun, ia mengetuk pintu, Rose bergegas merapikan rambutnya. Tok, tok, tok...

"Siapa?" tanya Rose yang sebenarnya sudah hapal benar postur lelaki idamannya tersebut.

"Bear Brand!" jawab Moon menirukan gaya pengantar pizza di kompleksnya.

"Ahaha... Masuk!" Rose mempersilahkan Moon.

"Bear Brand segar di siang hari, nona?" kalimat pertama Moon sambil menatap mata manja wanita itu.

"Angin apa yang membuatmu tiba-tiba ke mari sambil berdandan ala Mas Broto pengantar pizza di Ambarawa? Kamu nggak sedang mabuk, kan? Atau kamu tiba-tiba bermimpi aku mati, jadi kamu mau ngasih kesan terakhir yang baik sama aku sebelum kamu kehilangan waktu?" celetuk Rose setengah tidak percaya dengan kehadiran pria yang memiliki tingkat jaim kelas Lee Young-jae itu.

"Aku juga tidak tahu, cenayang mana yang tiba-tiba menghipnotisku untuk ke mari. Anggap saja dua dugaanmu tadi semuanya benar" jawab Moon malas berpikir.

Keduanya lalu saling bercanda. Andai saja ruangan itu adalah ruangan inap kelas tiga, mungkin penunggu pasien lain akan bergantian melirik keduanya sambil melempar isyarat ampuh, "Psssssssttt!". Keduanya terlampau bahagia untuk saling beradu mata. Menikmati obat galau paling mujarab sedunia sambil sesekali bergelut manja dengan kata-kata. Tidak peduli terik di luar jendela, alat pendingin di ruangan ini lebih bisa terasa hangat karena berperang dengan aura yang dipancarkan keduanya. Ramah, manja, hangat, dan nyaman. 

***

Sudah dua jam. Akhirnya Moon setengah tertidur sambil duduk, kepalanya bersandar di samping kanan Rose. Tangannya menggenggam erat tangan kanan Rose. Seperti adegan yang lazim di film-film roman picisan. Moon sebenarnya ingin tidur satu bed dengan Rose, tapi tidak mungkin. Selain karena mereka belum menikah, Moon tidak mau kena gertakan suster-suster galak yang sedang jaga keliling, "Maaf mas, penunggu ngga boleh duduk di bed!". 

"Semoga cepat sembuh..." bisik Rose pada Moon.

"Kok aku, kamu yang cepat sembuh..." jawab Moon sambil masih telungkup kepalanya di samping Rose. Suaranya lebih terdengar seperti ini, "Ouk a'u, amu ang e'at hembuh...".

"Fisiknya sih aku. Tapi yang lebih butuh ucapan itu harusnya kamu. Kamu yang cepat sembuh ininya. Hatinya. Biar nggak bodoh terus. Aku berharap kamu cepat sembuh dari kebodohanmu. Menyia-nyiakan aku."

Sambil berkata demikian, tangan kiri Rose setengah ragu ingin mendarat mengelus rambut Moon. Tapi gagal. Moon bangun duluan.

"Boleh aku memelukmu?" tanya Moon.

"Boleh, tapi aku belum mandi. Jadi...ngga boleh." jawab Rose.

"Ngga boleh?" Moon heran.

"Setidaknya aku sudah tahu ternyata kamu ingin memelukku. Aku sudah sangat senang. Sama senangnya dengan dipeluk". jawaban Rose membuat Moon tenang.

Keduanya saling senyum. Lagi. Terik di luar mulai tergelincir. Keduanya bahagia. Mungkin... Iya, bahagia. Apabila semua adegan di atas dilakukan satu jam lebih awal.

Mungkin. Iya. Satu jam lebih awal. Moon memang bodoh. Satu jam setelah chat terakhirnya pada Rose, ia tidak bergegas menemui Rose. Tapi ia terlalu mengabaikan pertolongan manja Cita, wanita yang menyukainya, untuk sekadar minta antar ke bandara. Padahal hari itu bukan akhir pekan. Taksi masih banyak. Cita hanya terlalu manja dan Moon tidak sadar, dia adalah akar di saat Cita kehabisan rotan. Moon hanya cadangan yang termakan pikiran "tidak enak apabila menolak mengantar".

Andai Moon datang satu jam lebih awal, mungkin ia tidak akan memberikan Bear Brand yang sudah tidak dingin dan tidak berembun lagi itu masuk ke kamar Rose. Andai Moon datang enam puluh menit lebih awal, pasti ia masih harus mengetuk pintu. Andai Moon datang 3600 detik lebih awal, pasti ia masih bisa berteriak, "Bear Brand!" sambil bergaya ala Mas Broto.

Tapi ia sudah terlambat, untuk mengetuk pintu...

***
Photo source: Daily Plate of Crazy

Rose sedang tersenyum malu memandang seorang lelaki di depannya. Di tangannya ada sekaleng Bear Brand Malt Putih dan di tangan lelaki itu ada sekaleng Bear Brand rasa original. Lelaki itu mengajak Rose bercanda dengan sopan. Tidak terbahak-bahak. Nampaknya ia lelaki yang cukup terpandang. Jasnya rapi. Ia sangat serasi bila dilihat bersama Rose dari balik pintu masuk kamar Atlas ini.

Kaki Moon terpaku di balik pintu yang sedang mengintip itu. Tangannya kaku. Bibirnya kelu. Matanya sendu. Suaranya beku, ia tidak bisa berteriak untuk menawarkan Bear Brand yang sudah tidak berembun-embun itu. 

Sebelum dua pasangan yang serasi di dalam ruang Atlas itu tahu ada yang mengintip dari balik pintu, Moon berbalik. Berlalu pergi menuju mobil pemberian almarhum kakeknya. Membuka pintu mobil, menutupnya kencang. Mengeraskan musik. Membuka botol-botol Bear Brand yang sudah tidak berembun itu. Menegak empat botol hingga habis. Dan pergi...hingga tukang parkir rumah sakit tidak sempat meminta uang lima ribu rupiah kepada lelaki muda berhati pilu itu.

***

Saggio berpamitan pulang. Setengah jam lelaki tampan itu duduk di samping Rose. Cukup membuat Rose melengkungkan bulat sabit di bibirnya. Namun Rose masih menunggu satu lelaki untuk memenuhi senyumnya. Cukup bukan berarti sudah. Rose hanya cukup tersenyum oleh Saggio. Tapi dengan Moon, ia baru bisa merasa sudah tersenyum.




Friday, June 13, 2014

Kalian Membuat Saya Tetap Menulis

Halo, assalamualaikum, selamat malam, semua blog reader! Saya kembali setelah berbulan-bulan tidak menyempatkan waktu untuk berbicara lewat tangan di sini. Kali ini saya mau berterima kasih kepada seluruh pembaca blog saya yang entah itu masuk kategori pembaca setia, pembaca kebetulan, pembaca kesasar, pembaca kepaksa, pembaca penasaran, atau pembaca yang kepo (pede banget ya -__-) yang udah menyempatkan waktu membaca tulisan saya ini. Hihi, makasiiiiiih sekali lagi buat apresiasinya yang saaaaangat membuat saya tetap menulis sampai detik ini. Di usia blog saya yang sudah 5 tahun lebih beberapa hari ini, saya akan bercerita tentang seluk beluk "menulis" dari sudut pandang saya.

Eits, jangan bosan dulu. Inshaa Allah apa yang akan saya ceritakan ini akan membuat temen-temen semua berubah pandangan  bahwa menulis itu tidak membosankan! Percaya deh ;)

Nah, kenapa saya suka menulis? Gini awalnya. Saya adalah seseorang yang dilahirkan bukan dari seorang keluarga yang mencintai dunia sastra. Tidak seperti kebanyakan anak-anak yang selalu diberi dongeng sebelum tidur, dari kecil saya hanya sering dibelikan buku cerita oleh ibu dan bapak. Selebihnya, saya dibiasakan untuk mencoba membaca sendiri, yang akhirnya berujung saya berimajinasi saja dengan gambarnya, tidak mencoba membaca tulisannya. Saya pun baru lancar membaca saat hampir naik kelas 2 SD. Sangat terlambat sekali untuk kemampuan yang lazim dicapai anak usia TK. Itu yang menyebabkan saya kurang bisa berbahasa lisan dengan baik pada saat kecil. Saya terbiasa menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang saya gunakan pun bukan  bahasa yang halus, karena  notabene saya tinggal di Malang, jadi terbiasa menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa kasar). Itulah alasannya kenapa saya agak terbata-bata untuk berbahasa Indonesia lisan dengan baik dan benar sampai sekarang. Bisa dicoba deh bicara ama saya, hehehehehehehe.

Alasan lain yang menjadikan saya komunikator yang kurang baik adalah saya terbiasa mempunyai saudara kembar sejak lahir. Dini namanya. Sudah pada tahu, kan? Yang udah pernah baca blog ini pasti tahu, hehehehe (lagu-lagi ke-pede-an). Yak. Jadi, hampir semua masalah saya dan masalahnya si Dini pasti kita share berdua saja. Kami tidak pernah menceritakan masalah pribadi kepada orang tua maupun kedua kakak kami. Masalah teman yang nakal, masalah kegalauan ujian, masalah universitas mana yang akan kami masuki, bahkan masalah percintaan. Sampai sekarang, belum ada teman curhat yang bisa mengalahkan si Dini. Walaupun terkadang di tengah curhat malah kita berdebat dan akhirnya bertengkar, hehe.

Ketiga (ga nyebutin kedua, kok ada ketiga ya), sudah pada tau kan saya skoliosis? Nah, sejak saya mulai sadar bahwa skoliosis membuat saya semakin minder, saya menjadi seseorang yang super duper ekstra ultra tertutup. Sifat introvert ini yang membuat saya akhirnya menuangkan semua yang saya pikirkan di dalam sebuah tulisan (selain karena film kartun Hamtaro yang suka bikin saya ikut-ikutan nulis diary sebelum tidur, hihi).

Saya tidak tahu pasti kapan mulai suka nulis. Yang saya tahu, sejak kelas 2 SD, saya suka menulis semua kegiatan saya yang saya rangkum di dalam sebuah buku yang saya sebut "orji". Kemarin waktu bersih-bersih kamar, saya menemukannya dan membacanya ulang. Hihi, tertawa sendiri membacanya. Mulai dari kata-kata yang membuat saya malu dan tidak mau mengaku bahwa itu dulu tulisan saya. "Hari ini aku sebel. Aku ulang tahun, tapi tidak ada yang memberi kado. Semua jahat kecuali Evi sama Indah yang mau kasih kado". Masalah klasik yang terjadi di usia itu, kan? :D. Ada lagi yang seperti ini, "Aku tidak suka sama semua orang. Semua jahat. Temen-temen suka pamer barang barunya! Aku benci!". Ahahahahaha, tidak berhenti ngakak kalo baca hal seperti itu.

Lalu saya juga menemukan buku diary saya waktu SMP. Mulai kelas 7, saya mulai mengenal yang namanya cinta. Di dalam diary saya banyak sekali foto laki-laki yang saya suka, hehehehe. Saya ingat dulu "mencuri" foto itu dari Friendster. Saat SMP, saya juga punya buku diary geng. Jadi, setiap satu minggu sekali, kami bertukar diary dan saling menulis di buku milik teman, hihi.

Ini nih kumpulan buku curhatan alias diary dari SD sampai kuliah

Mulai kelas 9 saya ikut-ikutan kedua kakak saya yang suka nulis blog juga. Namun sayang, mereka tidak meneruskan hobinya tersebut hingga sekarang. Dari situlah awal mula saya meninggalkan diary dan mulai suka nulis di blog, hihi. Kalo flashback baca mulai 2009, geli juga bacanya, Hihihihihihihihi *ketawa ala Kunti*. Yaaaaa, namanya juga remaja, semua tulisan saya ga jauh dari tema cinta, galau, dan persahabatan.

Dari situlah saya mulai sukaaaa sekali menulis cerita, puisi, drama, atau sekedar quote kurang bermutu, ekekkek.
Novel yang saya tulis saat SMP

Teks drama saya sempat dipentaskan di salah satu lomba drama di sekolah dan juara 2 lhoooh, hehe
Sudah tahu kan, alasan yang menjadikan tangan saya tidak bisa berhenti menulis? Sekarang saya mau bagi-bagi tips menulis kreatif ala Dina Nisrina nih, hehehe. By the way, tips ini asli dari pikiran dan pengalaman saya, tidak mengutip dari sumber mana pun.

1. Ide cerita yang mengalir
Tidak perlu bingung menentukan ide cerita apa yang akan kamu wujudkan dalam sebuah tulisan. Apa yang kamu ingin tulis, tulis saja. Lebih pekalah dengan sekitar. Misalnya seketika kamu pengen nulis pengalaman abis jalan-jalan ke pantai, tapi belum ada mood buat nulis, tulis saja ide cerita itu di sebuah waiting list. Atau biasanya aku nih, kalo lagi males, nulis dikit, trus berakhir jadi draft doang, hehehe...jangan ditiru.

Tidak usah muluk-muluk membuat cerita. Dua ekor semut yang lewat di samping tempat tidurmu yang kemudian bersalaman saja bisa jadi cerita. Semuanya asal kamu peka ;-)

2. Tentukan tujuan penulisan
Setiap orang melakukan sesuatu pasti ada tujuannya. Nah, kalau kalian menulis untuk memberikan bacaan yang informatif, tulislah sesuai dengan inti pesan yang ingin kalian sampaikan. Misalnya, pengen nulis tentang fotografi, fokuslah pada informasi soal fotografi, bukan hal lain. Kalo bercabang ngomongin hal lain, itu cuman intermezzo dan nggak bikin terkesan ada dua tema dalam satu tulisan. Itu kalo tulisan informatif. Kalo pengen persuasif, gunakan kalimat-kalimat yang terkesan mengajak secara halus tanpa ada kalimat-kalimat yang terkesan memaksa dan membohongi. Beda lagi kalo tulisan yang bertujuan untuk mengungkapkan isi hati. Tulisan ini biasanya lebih bebas dan terkesan tidak tertuju pada khalayak umum, tapi kepada satu atau beberapa pihak saja. Berikan kesan yang membuat pembacanya tahu bahwa kamu sedang menujukan tulisan itu kepada seseorang. *Bingung, ya? Saya juga bingung ama kata-kata saya*

3. Buatlah kerangka karangan
Mungkin bagian kedua ini bisa menjelaskan bagian pertama. Kalo ngga pengen topik bahasan kita ke mana-mana dan ngga terstruktur, buatlah kerangka karangan terlebih dahulu. Selain itu, kerangka karangan bisa menghindarkan dari informasi-informasi yang kadang terlewat buat dicantumkan. Tapi, kalo tipe tulisan yang bertujuan sekedar curhat (seperti kebanyakan tulisan saya), tidak masalah jika dituangkan secara langsung mengalir mengikuti emosi otak kepada tangan *tsaaaah*.

4. Gunakan bahasa yang mudah dipahami
Ragam bahasa menentukan pembaca tertarik atau tidak. Jika ingin ditulis menggunakan bahasa yang baku, boleh saja. Tapi, untuk menghindari kesan kaku, gunakanlah sentuhan-sentuhan bahasa sehari-hari, tapi jangan terlalu lebay dalam penggunaannya. Penggunaan emoticon sah-sah saja, asal jangan terlalu mengganggu estetika yah...hehe. Tidak perlu takut harus mengikuti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Mainkan emosi pembaca. Misalnya seperti saya ini suka sekali menggunakan penekanan seperti ini:

Dia.
Dan aku.
Duduk bersama.
Berdua.
Berhadapan.
Bertatapan.
Saling berkata-kata.

Bedakan dengan bila ditulis seperti ini:
Dia dan aku, duduk bersama, berdua, berhadapan, bertatapan, dan saling berkata-kata.

Akan ada efek emosi yang berbeda. Tanda titik seakan-akan memotong di tengah jalan, dan memberi efek shocking pada setiap kata untuk menegaskan rima a a a a a a yang saya gunakan, ya kan?

5. Berikan judul yang menarik
Judul adalah kunci apakah pembaca memilih untuk membaca atau tidak. Judul yang menarik, bisa membuat pembaca penasaran. Judul bisa diambil dari konklusi cerita atau sebagian dari cerita kita yang menjadi point of view. Biasanya sih saya sok-sok-an menggunakan bahasa Inggris atau bahasa lain yang saya anggap menarik apabila judul dalam bahasa Indonesianya saya ngga nemu yang puitis, hehehehe

6. Berikan gambar-gambar ilustratif
Terkadang, kalo ada penjelasan kita yang kurang imajinatif, pembaca kesusahan untuk membayangkan. Berikan gambar-gambar ilustratif. Bikin aja gambar-gambar dari jepretan kamera handphone atau bikin oret-oretan sederhana kayak di posting-anku yang ini nih. Jika tidak bisa membuat foto sendiri, ambil saja dari internet. Eits, tapi jangan lupa, cantumkan sumbernya ya...kita berada di dunia jaringan yang serba mudah, tapi jangan lupa menghormati karya orang lain ;). Selain fungsi itu, gambar juga bikin tulisan kita ga terkesan monoton.

7. Cantumkan label terkait
Label atau tag dalam blog akan mempermudah penglasifikasian tulisan. Misalnya buat saja label sesuai tema tulisan. Kalau tulisan itu termasuk puisi, beri saja label puisi, atau poem (yang lebih universal). Misalnya tulisan tersebut tentang kesehatan, tentang cinta, dll. Selain itu, label juga mempermudah pencarian di Google dan mesin pencari lainnya. Kalo misalnya ada orang yang search dengan kata kunci poem, tulisanmu akan muncul juga lhoh...tapi tergantung seberapa populer atau banyak dibukanya halaman tulisan itu oleh orang.

8. Sunting tulisan sebelum di-publish
Sebelum di-publish, ada baiknya kita baca ulang tulisan. Perbaiki kata-kata yang salah, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Kita perlu berhati-hati dalam hal ini, karena manusia tempatnya salah, tidak menutup kemungkinan tulisan kita bisa menimbulkan efek negatif setelah membacanya, heheheheh naudzubillah, ya.

9. Promosikan tulisanmu
Aku pernah baca salah satu buku yang aku lupa judulnya. Ada satu kalimat menarik nih, "Penulis tanpa pembaca sama dengan pembuang sampah". Maksud dari kalimat ini adalah, percuma kita menulis sedemikian banyaknya kalo ga ada satu pun orang yang baca. Jadi, memromosikan tulisanmu itu perlu. Saya kira, media sosial sudah semakin mudah untuk share link sekarang. Promosikan blog kamu di Fb, Twitter, Instagram, Path, dll. Semakin banyak yang baca, akan semakin banyak yang menilai. Semakin berkembang juga penulisnya!

10. Be your self
Terakhir, yaaaaaang paaaaling penting. Just be true to your self! Seorang penulis hanyalah seorang pencundang apabila ia menulis untuk membohongi jati dirinya sendiri. Biarkan tangan dan otakmu bersinergi. Percayalah, tulisan yang membuat pembacanya merasa tulisan itu magis adalah pembaca yang menemukan jati diri penulis dalam tulisannya. J. K. Rowling memang menulis seorang tokoh Harry Potter. Tapi dia jujur untuk menggambarkan tokoh seperti apa si Harry sesuai dengan imajinasinya, bukan orang lain. Dewi Lestari menuliskan sesosok Kuggy yang seorang Aquarian, sama dengan dirinya. Tidak ada yang salah, kan?

Selain itu, jangan gunakan bahasa yang dipaksakan. Kalo emang ngga cocok pake elo, gue, ya ngga usah dipake, hehe. Kalo emang ngga suka pake bahasa yang baku, yang ngga usah dipake. Yang penting, jadilah natural dan tidak terkesan memaksakan.

Itu deh...tips-tips tipis menulis ala gueh gueh gueh, Dina Nisrina, seorang gadis blasteran Purwokerto-Banjarnegara, seorang mahasiswi Fakultas Sastra, seorang skolioser, seorang gadis yang punya kembaran, gadis biasa yang pengen jadi gak biasa yang mungkin bisa sedikit menjawab pertanyaan temen-temen yang bertanya biar blog bisa menarik dan punya follower banyak *padahal follower saya juga cuman 149*. Seneng banget rasanya cuman gara-gara tulisan curcol di blog ini, banyak temen dan sepupu yang bikin blog juga setelah baca, hehe terharu. Seneng juga kalo baca apresiasi temen-temen soal tulisan-tulisan di blog ini selama 5 tahun ke belakang. Jujur, niat awal bikin blog ini cuman pengen mindahin diary, hehe. Tapi ga tau kalo ternyata bisa nemuin temen baru, bisa share sama skolioser, bisa kasi info, bisa ngasilin duit juga, bisa jadi inspirasi. I feel so blessed, I'm thankful, guys! 




Ada satu quote yang sampe sekarang terngiang di otak saya gara-gara baca bukunya Mbak Yulia.

“If there’s a book you really want to read, but it hasn’t been written yet,

then you must write it.” ~ Toni Morrison ~


Semua tulisan di blog ini tidak akan dihapus, walau saat membacanya di masa datang, saya merasa bahwa tulisan ini alay. Dia saksi perkembangan psikologiku *tsaaaaah*. Ntar, kalo uda jadi orang terkenal, wartawan ngga bakal susah wawancara dan cari info, kan semua udah komplit di blog, hehehehehehheeheheh *lagi-lagi ke-pede-an, kan?*. Semoga salah satu impianku, yaitu menerbitkan buku, akan segera tercapai. Semoga bermanfaat, good night! :)

Sunday, June 08, 2014

Under The Sky

Sore itu. Kamu bertanya dengan siapa aku berangkat. Aku menjawab aku sendirian. Aku bertanya bolehkah aku berangkat bersamamu. Kamu setuju. Kamu ingin menjemputku. Sore itu juga. Aku bilang habis sholat maghrib saja. Kamu setuju. Aku menunggu. Kita akan menonton konser paduan suara seperti biasa, aku denganmu. Konser malam itu berlangsung seperti biasa, bagus, meriah, dan banyak komentar di mana-mana. Tidak ada yang spesial. Aku duduk di sebelahmu. Sudah pernah.

Sekitar jam setengah sembilan lebih beberapa menit. Di balkon terbuka sebuah rumah makan. Malam itu malam minggu. Ramai sekali. Kita duduk di ujung pojok. Berdua. Berhadapan. Sudah pernah. Langit penuh bintang. Bulan setengah kelihatan. Angin berhembus sopan. Dan makanan tak kunjung datang.

Awalnya sepi. Kamu dan aku sama-sama bermain jempol di atas gadget. Kamu meletakkan smartphone itu duluan. Aku mulai sadar tingkah laku autisku. Aku lalu menaruhnya di tas. Quality time yang sejati tidak butuh dua orang berhadapan yang saling memegang handphone.

Setelah itu, kamu banyak tersenyum kepadaku. Kamu banyak bicara seakan-akan aku orang yang paling seru untuk diajak bicara. Dan aku suka. Nuansa kerinduan sangat terasa di mata itu, karena kita lama tidak bertemu. Padahal hanya sekitar seminggu. Aku anggap itu sudah sangat lama. Karena kita terbiasa bertemu setiap hari dalam rutinitas yang sama.

Pembicaraanmu lain dari biasanya. Kita tidak lagi berbicara soal paduan suara. Kita berbicara soal apa pekerjaan ayahmu, nenekmu lebih pintar masak daripada ibumu, siapa nama keponakannmu, nenekmu suka main tenis, kakakmu kerja di mana, suaminya tinggal di mana, dan itu seru. Sungguh. Walaupun sebenarnya sebagian yang kamu ceritakan, aku sudah tahu. Kan aku kepo. Aku sudah tahu kok nama ayah dan ibumu. Apa pekerjaan ibumu. Siapa nama keponakanmu. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Biar seru.

Minumannya sudah datang. Pelayan memanggil namaku. “Dina....Dina...!”. Aku menjawab, “Dina mas, Dina!” sampai tiga kali dan pelayannya tidak mendengar. Mungkin karena suaraku terlalu cempreng. Seperti Minnie Mouse terjepit pintu. Akhirnya pelayan itu menemukan tempat duduk kami dan ia tertawa.

Minuman itu dingin sekali. Pembicaraan juga mulai kehabisan stock. Aku memandang langit. Yang penuh bintang dan bulan bersembunyi malu tadi. Aku membayangkan kita berada di kutub. Dan mendadak ada aurora.

“Oh hush thee, my baby. The night is behind us. And black are the waters that sparkled so deep...” Aku bernyanyi dengan suara Minnie Mouse-ku.
“Hehe...” terdengar senyum hematmu.

Lagu itu adalah lagu yang pernah kita nyanyikan bersama di konser yang lalu. Ya. Konser terakhirku. Dan entah kenapa, setiap memandang langit malam, aku hanya ingat lagu itu. Dan aku mendadak berubah menjadi anak anjing laut yang mengantuk di tengah salju kutub. Romantis.

Source: http://plusmood.com/2011/03/the-luna-collection-graff/luna-moon-and-stars/

Makanan datang. Sepiring mie pedas level satu dan sepiring mie yang sama sekali tidak pedas. Oh iya. Dengan dua pasang sumpit kayu dibungkus plastik. Dan kamu sudah hapal sepertinya. Aku kan tidak suka memakai sumpit. Kamu lalu memanggil pelayan.

“Mas, minta sendok!”
“Wah, ngga ada mas...habis” jawab pelayannya.
“Ya udah, ngga papa. Sampai kapan menghindari tantangan?” kataku sok bijak.

Dan kamu tersenyum. Lagi.

Aku mulai menggunakan sumpit itu. Kamu mengajariku. Bagaimana menggunakan jari-jariku untuk membuat sumpit itu menurut. Aku mulai menikmatinya. Ternyata tidak sulit. Walaupun sempat terlihat bodoh. Lalu aku bercerita. Makan dengan sumpit sama susahnya dengan makan menggunakan tangan kosong. Aku terbiasa disuapi oleh ibu dan terbiasa menggunakan sendok-garpu sejak kecil.

Makananmu habis duluan. Seperti biasa, seperti yang pernah kamu bilang, cowok yang makannya cepet atau cewek yang makannya lambat. Aku terlalu lama menghabiskan makanannku. Malam itu terlalu dingin. Mie ini cepat dingin. Apalagi dia tidak pedas. Semakin tidak berasa. Aku sengaja pesan tanpa cabe karena tiga hari lalu aku baru saja kena diare. Tapi, entah kenapa mie ini tidak bisa habis. Aku menyerah.

“Mas, aku ngga habis...”

Kamu tertawa kecil dengan senyum setengah bulan sabit. Lalu kamu menghabiskan makananku.
Mulai dingin. Malamnya. Dan kamunya.

“Yuk pulang, udah malam...”

Aku hanya mengangguk.
***
“Sudah sampaaaaaai....” celotehku seperti anak kecil yang baru sampai di rumah.

Kamu menyuruhku masuk gerbang. Dan kamu berlalu. Begitu saja. Sudah. Tidak ada pembicaraan. Hanya tanganku yang melambai, “Daah...”.



Aku merindukan kamu yang melihatku sampai masuk ke pintu kost dan saat aku mengintip, kamu masih ada di situ. Seakan ingin memastikan aku aman sampai di rumah. Itu saja. Ya. Aku masih rindu. Sebentar lagi, pertemuan kita hanya akan disebut kebetulan. Karena kita tidak lagi dipertemukan dalam rutinitas yang sama. Sampai jumpa. Di lain waktu. Kamu.

Tuesday, January 07, 2014

Our Tongues Were Made of Glass

"If only our tongues were made of glass, how much more careful we would be when we speak?"
-Shaun Shane-

Kalau aja bener lidah kita ini diciptakan dari kaca, mungkin yang terjadi akan berbeda. Kita akan lebih berhati-hati, karena goresan sedikit saja bisa meninggalkan luka. Kita tidak akan sembarangan, karena ia mudah pecah. Dan ia akan menjadi lebih sulit digerakkan, jadi kita akan lebih banyak diam tidak mengeluarkan kata-kata tidak penting karena untuk mengeluarkan sepatah kata saja butuh usaha yang sangat susah. Lidah jadi tidak elastis dan tidak otomatis.

Sayangnya lidah kita terbuat dari otot yang paling besar, yang tidak ada sedikit pun tulang di dalamnya. Sayangnya lagi, yang mengontrol hanyalah otak, yang sering kali lupa untuk kita kendalikan. Aku punya pengalaman mengesankan soal lidah beberapa hari yang lalu.

Waktu itu aku dan Assa main ke rumah Mas Sokran, salah satu teman dari STK (Sanggar Tari Karawitan), salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di kampus, yang berada di seberang kampus. Mas Sokran punya dua orang anak yang masih balita bernama Zua (sekitar 3 tahun) dan Ocas (sekitar 1,5 tahun). Waktu aku ke sana, mereka berdua masih berada di sekolah (begitulah mereka menyebut tempat belajar untuk balita itu). Namun Mbak Nia, istri Mas Sokran, memutuskan untuk menjemput mereka lebih awal karena guru Zua dan Ocas sedang rapat. Sekitar jam satu siang, mereka akhirnya datang dengan wajah gembira. Ocas yang selalu menempel dengan ibunya karena memang usianya yang masih sangat kecil dan harus menyusu kepada ibunya berbeda sekali dengan Zua yang lebih enerjik dan suka bergerak ke sana-ke mari. Aku langsung menyapa Zua dan mengajaknya ngobrol sana-sini. Maklum, aku memang tidak bisa membiarkan anak kecil bermain sendiri, aku sangat gemas terhadap anak kecil.

Rumah Mas Sokran memang selalu ramai, karena notabene Mas Sokran membuka kos-kosan putri. Teman-teman juga sering main ke rumahnya, makanya rumahnya tidak pernah sepi. Jadi, Zua sudah terbiasa main dengan siapa pun yang ada di sana. Tiap Zua bertemu denganku, yang ia cari pertama kali adalah Pou. "Tante, Pou...". Dia selalu mengatakan hal itu. Pou adalah aplikasi permainan yang ada di Android. Kebetulan hari itu aku tidak membawa HP Android-ku. Sebelum Zua kecewa, akhirnya aku mengajaknya untuk bermain apa pun asal dia lupa kalau ada permainan bernama Pou. Aku mengajaknya untuk menggambar.

Kebetulan di sana ada Mas Hamzah, teman dari STK juga. Dia dan aku sering bermain olok-olokan tentang "upil" dan "eek". Di tengah-tengah menggambar, Zua menuding-nuding titik-titik seperti kotoran di tembok rumahnya. Dia bertanya padaku itu apa. Tiba-tiba Mas Hamzah menimpali dengan berkata, "Itu upilnya Mbak Dina". Spontan aku langsung membalasnya, "Ih...bukan Zua...itu upilnya Oom Hamzah". Lalu Zua minta digambarkan upil kepadaku. Aku langsung menggambar banyak sekali titik-titik sekecil upil dan aku gambar topless juga seakan-akan upil itu adalah kudapan. Olok-olokanku dan Mas Hamzah berlanjut sampai akhirnya kami menyebutkan kata "eek" dan menggambarnya di kertas tersebut. Aku membalas Mas Hamzah dan Mas Hamzah membalasku, sama-sama tidak mau mengalah. 
Sampai pada Zua sedang makan bakso goreng dan dia mengambil isinya lalu dibuat mainan di tangannya. Dan dia bertanya padaku, "Tante...hi...ini apa?". Aku langsung spontan menjawab, "Itu upilnya Oom Hamzah, hi...". 

Hari berlangsung cepat sampai pada aku harus pamitan karena aku harus berangkat latihan paduan suara. Sepulang latihan, aku bertemu dengan Mas Sokran. Dan aku sungguh terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Mas Sokran dalam bahasa Jawa. 

Maeng yo Din, Mbak Nia ngomel nang aku. Jarene, "Gi, temen-temenmu itu kalo maen ke sini mbok yo diajari ngomong sing apik. Zua iki malih tiru-tiru ngomong elek". Aku langsung kenek, Din...trus aku kaget kok Zua moro-moro ngomong "Pak, aku gambarno eek". Aku langsung takon. "Lho, sopo sing ngajari eek he?". Zua mek njawab, "Iki..." ambek nduduhno gambar. Wooooooooo Hamzah ambek Dina iki ancen tersangkane. Wis, ancene arek loro iki...

Yang artinya:
Tadi ya Din, Mbak Nia ngomel ke aku. Katanya, "Gi (nama panggilan sayang Mbak Nia buat Mas Sokran), temen-temenmu itu kalo maen ke sini ya harusnya diajari ngomong yang baik. Zua ini jadi ikut-ikut ngomong jelek". Aku langsung kena, Din...trus aku kaget kok Zua tiba-tiba bilang "Pak, aku gambarin eek". Aku langsung tanya, "Lho, siapa yang mengajari bilang eek?". Zua cuma menjawab, "Ini..." sambil menunjukkan gambar (yang tadi). Woooooooo Hamzah dan Dina ini memang tersangkanya. Sudah, dasar anak dua ini...

Mas Brian yang juga ada di sana waktu itu langsung menasihatiku panjang lebar. 

Barang bukti kejahatan 

Aku dan Mas Hamzah lupa kalau ada makhluk kecil tidak berdosa di depanku waktu itu yang belum bisa mem-filter kata-kata yang tidak seharusnya ia dengar dan ia ucapkan. Kami lupa kalau kami sudah besar dan semestinya bisa memberi contoh yang baik untuk anak kecil. Memang lidah tidak sekolah, makanya harus ada yang menyekolahkan.



"Zua itu cerdas, Din. Waktu itu pernah aku ajak nonton teater. Dari awal pertunjukkan sampai akhir, dia serius merhatiin. Eh pas di rumah, tiba-tiba si Ocas disuruh duduk dan Zua melakukan acting yang persis kayak yang ada di pertunjukkan tadi," lanjut Mas Sokran. 

Dan kami lupa kalau anak kecil itu mudah menangkap apa yang baru saja mereka indera. Ah...so sorry for missing that point. Hari itu aku belajar banyak sekali tentang dahsyatnya satu kata yang diucapkan. Karena satu kata benar bisa menyelamatkan dunia, tapi satu kata yang salah bisa saja membunuh dirimu sendiri.


Thanks for helping me remember that a tongue sometimes can be a dangerous glass too, Mas Sokran, Mbak Nia...



Have you done your homework today? Keep your tongue to be a glass :-)

Monday, January 06, 2014

My First Stepping Stone

Haaaaaaaaalooooooooooooooooooooooooooooooooooooo, dunia! Wehehehe, oke! Aku semangat banget, ya? Iya dong...harus dong... Kenapa, nih? Ada apaan, nih? Heboh banget sih...dapet pacar baru, ya? Dapet uang? Menang lomba? Apa sih? 

Leeeeeebih dari itu! Setelah deg-degan selama satu semester, akhirnya aku bisa buktikan kepada dunia pada umumnya dan orang tua pada khususnya tentang hal yang selalu aku perjuangkan di masa lalu (ecieh sok dramatis dikit ga papa lah, ya). Yak! Ini dia yang ditunggu-tunggu. Pasti yang baru baca postingan ini mikir, "Apaan sih, ngomong apa sih Dina ini?". Jadi gini, inget kan cerita melankolis yang pernah aku tulis panjang lebar kayak truk tangki Pertamina tentang keputusanku buat pindah jurusan dulu? Kalo lupa, coba cek dulu deh biar nyambung. Cek di sini dan di sini.

Masih inget juga tentang "Passion energizes your talent?" mungkin kali ini aku bakal sedikit mengutip quote ini dengan ditambahi sedikit, kalau tidak salah, quote barusan adalah punya Deddy Corbuzier. Kali ini aku mau bikin quote sendiri aja deh. "Keberhasilan adalah hibrida dari niat dan usaha, dibumbui dengan dukungan dan passion". Keren ngga, tuh? Itu deh yang bikin aku semangat banget masuk Pendidikan Sasindo dan bikin aku yakin aku ga salah pilih lagi. *By the way penjabaranku rada ga nyambung, pemirsahh*

Hal pertama yang mau aku pamerin adalah ini. Tararaaaaaaaa... *drum roll*

Hasil tes prediksi Uji Kemahiran bahasa Indonesia untuk mahasiswa baru Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang punyaku.
Kalo dibanding sama hasil tes TOEFL sih jauh banget gitu ya, hampir setengah. Ini nih "sesuatu" awal yang bikin aku sedikit lega dan berbesar hati sambil mikir kalo I'm good enough di Sasindo ini. Yang bikin semangatku panas di awal buat ngelanjutin dan ngebuktiin ke dunia "aku lhoooo pantes jadi anak Sasindo", "aku lho emang passion-nya di sini", "aku bisa buktiin prestasiku jauh lebih bagus di sini" tanpa harus banyak berceloteh ini itu. Jadi, selama aku masuk Sasindo ini aku akan minimalisasi ngomong dan banyak action. Just let them see, tanpa harus banyak berkata-kata. Terutama buat beberapa orang yang bilang kalau ilmu bahasa itu ngga terlalu penting :-)

Dan bukti kedua yang bisa aku kasih adalah ini nih...

Ini semacam rapor online. Right click and open in new tab to enlarge picture.
Jujur awalnya aku bingung. Aku udah bisa ngebuktiin ke ortu kalau aku emang bener-bener ga ada passion di dunia IPA. Tapi aku belum bisa kasih bukti kalau aku bisa lebih baik di bahasa. Bukti apa lagi yang bisa bikin ortu percaya kalau aku emang "bakat" dikit gitu ya di sini selain IP (Indeks Prestasi). Yaaaah, walaupun aku selalu percaya kalau angka bukan segalanya buat menilai seseorang. Aku ulangi, pake capslock ga kontrol nih ya ANGKA BUKAN JAMINAN BROOO, BUKAN JAMINAN SESEORANG ITU PINTER BENERAN, BUKAN JAMINAN ITU MURNI DAN ASELIIII LI LI, MAS BRO...MBAK BRO :-)

Tapi, buat sementara waktu ini ga ada cara lain yang nyata dan bisa diliat selain IP, apa boleh buat. Dan jujur aku lumayan suka sama IP semester ini. Waktu itu targetku adalah di atas 3,5. Dan alhamdulillah Allah ngasih bonus. IP-ku semester ini adalah 3,70. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang di atas ekspektasi. Dan jujur sebenernya aku pesimis buat ngedapetin IP di atas 3. Soalnya, semester ini kegiatanku di luar kuliah sungguh sangat amat sibuk sekali pemirsahhh (kudu banget pake pleonasme dan hiperbola kayak gini). Tapi alhamdulillah lagi, aku bisa bagi waktu dalam sehari antara kuliah, kegiatan nonkuliah, istirahat, dan bobo cantik dengan selisih waktu yang mevet bin mripit. Jadi, em...maaf banget buat berbagai macam teman yang aku kecewain gara-gara aku sama sekali ga punya waktu buat main atau sekedar ngopi. Next time, I will. Tunggu ya :')

Hhhh... Aku anggep ini adalah batu loncatan pertama buat membuktikan ke dunia bahwa di sini ada gadis besar (badannya) yang masih kecil, dan perlu dipeluk (oke, salah fokus), yang perlu dibimbing buat mencapai cita-citanya untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya, orang tuanya, sekitarnya, dan Tuhannya. Cita-cita yang simple, kan?

Jujur, bukan perkara mudah untuk menebalkan telinga selama enam bulan aku berkeputusan seperti ini. Terkadang bahkan orang terdekat, teman terdekat, siapa pun bahkan yang belum mengenal, berani sekali melukai hati kecil yang sedang memilih ini (oke, sisi sensitifku muncul, ga papa ya...). Sering banget aku denger "Dulu yang milih IPA siapa, yang milih pindah siapa", "Ngabisin duit aja sih", "Kamu ga pengen cepet nikah apa", "Hah, aku sih pengen cepet lulus" yang mewarnai hariku. Bahkan sampe ada yang bilang "Mbak, kamu dari kecil diajari bahasa planet ya sama papa-mama? Kok baru sekarang belajar bahasa Indonesia. Sini aku ajari aja, mbak...", kata salah seorang satpam di kampus. Aku cuman senyum sambil dalam hati bilang "Please ya, mas...rektor kita berkali-kali periode adalah dosen Sastra Indonesia. Trus mas udah tanya hal begituan belom sama Pak Rektor? Berani kagak?". 

Untuk saat ini dan sampai aku bisa benar-benar membuktikan, aku akan terus diam sambil terus berusaha. Karena terkadang ada orang-orang yang hatinya perlu disentuh. Kamu tidak usah banyak bicara dan berlaku jahat. Cukup dengan biarkan mereka melihatmu membuktikan. Itu sudah menyentuh mereka dengan caramu. Sesukamu :-)



Jangan bosan menjadi orang yang berbeda. Selama itu tidak salah.
Selalu terima kasih sama Allah, sahabatku yang tidak pernah mencela.