Followers
Wednesday, December 28, 2011
Back
Saturday, December 24, 2011
"Buat Pengalaman"
Mom and Maternal
Tuesday, December 20, 2011
Jalanan Berbatu, Keras
Tidak hanya masalah penumpang, sopir pun sering membuat masalah. Mengejar setoran tanpa peduli perasaan. Angkot yang selalu overload, bahkan sampe tega membiarkan ibu-ibu duduk di pinggir pintu, duduk bersama kenek, berbagi kursi kayu kecil tambahan, membiarkan karbondioksida di dalam angkot bercampur keringat tanpa ada ruang gerak untuk mendapatkan oksigen. Sudah tahu seperti itu, masih saja mengebut dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya jika dihiperbolakan, mengerem mendadak sampai membuat semua penumpang menyebut nama Tuhan dan menyalahkan sopir. Belum juga kalau sopir yang nakal, suka membohongi penumpang yang masih awam, menurunkan mereka di tempat yang tidak seharusnya, dan memberi kembalian tidak sesuai dengan tarif. Aku juga pernah digoda oleh sopir saat aku mengatakan ingin turun di pertigaan fly-over Arjosari. “Sampeyan kok ayu se, mbak? Melu aku wae timbang mudhun setopan. (Kamu kok cantik sih, mbak? Ikut saya saja daripada turun di pertigaan)”, kata-kata itu lantas membuatku risih. Perempuan berjilbab seperti aku saja masih bisa dilecehkan dengan kata-kata, apalagi perempuan yang membuka auratnya.
Belum lagi, saat aku menunggu bison, jenis angkutan luar kota berbentuk minibus, para makelar angkot sering bercerita ke sana ke mari. Pernah mereka bercerita tentang seorang wanita yang berlari sambil menangis menuju arah mereka meminta bantuan, dengan pakaian berantakan mengatakan, “aku takut...tolong aku”. Kata makelar itu, dia tidak berani menolong karena takut di-massa dikira dia yang telah mencelakai wanita itu. Makelar itu mengatakan “paling mari diperkosa (mungkin habis diperkosa)” dengan entengnya, tanpa rasa iba. Padahal sebagai perempuan, mendengarnya bagaikan mendapat petir di siang bolong. Miris sekali, tidak bermoral.
Tidak sembarang orang berani naik bison dan memilih naik angkutan biasa, karena bison lebih ekstrim daripada angkutan lainnya. Biasanya, aku lebih suka naik bison karena tidak pernah nge-time, bison sebenarnya angkutan lintas kota yang beralih fungsi menjadi angkutan umum dalam kota/kabupaten.
Lucu sekali jika melihat angkutan yang bertuliskan macam-macam di muka, maupun badan angkot. Dari mulai judul lagu sampai nama sinetron, Doa Ibu, Dia Vega, Wanita Hiburan, Cinta Satu Malam, Rosalinda, Teman Tapi Mesra, Putri Yang Ditukar, Abang Suka, Bawa Pulang, sampai Pergi Karena Tugas, Pulang Karena Beras. Namun satu yang disayangkan, kenapa rata-rata kalimat dan gambar yang digunakan selalu melecehkan wanita, pernah juga aku menemui truk bergambarkan wanita tanpa memakai sehelai baju pun. Apakah wanita hanya sebatas hiasan dan patut diinjak-injak yang dipertontonkan di depan umum tanpa batasan?
Dan yang terakhir, aku mau bercerita tentang seorang anak kecil berumur 10 tahunan yang kemarin aku temui di bison. Bajunya lusuh walaupun tidak compang-camping, bau, dia tidak membawa apa-apa, kulitnya penuh bekas luka seperti cacar. Dia tertawa-tawa sendiri, melontarkan kalimat-kalimat aneh yang membuat semua orang hanya terheran-heran. Menggunakan dialek Bahasa Jawa yang kasar bercampur bahasa entah itu dari planet mana sambil sesekali melotot dan mengupil lalu mengelapnya kea rah kursi bison. Semua penumpang pria menertawakan dia karena mereka tahu, anak kecil itu tidak waras. Namun kami para wanita hanya terdiam, beristighfar, sambil memandang dengan mata kasihan, sebelum akhirnya kami tertawa juga karena tidak tahan dengan anak kecil itu yang terus tertawa tanpa henti. Kenek bison sempat bertanya, dia ingin turun di mana. Dia menjawab ingin turun di Demak. Spontan semua orang kaget. Padahal ini Malang, Demak terletak di Jawa Tengah, benarkah dia ingin turun di sana? Ia lalu meminta uang seribu dengan kata-kata anehnya kepada penumpang di dalam bison, lalu mulai berteriak lagi dan mengganggu sopir. “Roti-roti...roti kayu, roti umbel (ingus), roti sempak (celana dalam)! Buahahahaha, goblok, kemplu kabeh, moso aku maeng diarani gendeng! (Bodoh semua, masa’ aku tadi dibilang gila). Buahahahahahahaha Demak iku ning kene lho, irung kene lho, metu kene, irung sing iki! (Demak itu di sini lho, di hidung sini, ke luar di hidung ini). Buahahahahah! Bumi meledak! Kapan bumi meledak, hahahahaha!”. Begitulah sebagian kalimat yang bisa aku ingat. Dia positif gila. Aku hanya beristighfar, bisa-bisanya anak sekecil itu, menjadi seperti itu, di jalan ini sendirian tanpa tujuan, tanpa kasih sayang.
Saat aku turun, aku terus berpikir. Mungkin dia korban penculikan di Demak sana, lalu dibawa ke Malang dan dia berhasil kabur, namun menjadi gila akibat stres karena jauh dari keluarganya. Atau dia memang sudah keterbelakangan mental sejak kecil dan dia lepas kendali dari orang tuanya dan tersasar sampai sejauh ini. Aku tidak tahu. Apakah nantinya dia benar-benar sampai di Demak, padahal bison hanya sampai Pasuruan. Apakah dia akan bertemu orang baik, lalu dia dirawat dan diperbaiki ingatannya.