Followers

Showing posts with label trip. Show all posts
Showing posts with label trip. Show all posts

Tuesday, December 19, 2017

Hotel Recommended Dekat UPI Bandung

Sebagai mahasiswa S2, saya akui, tidak mudah untuk mengeluarkan uang seboros waktu masih S1 dulu. Maklum, pengeluaran kami di bidang akademik harus diprioritaskan kali ini. Tanggal 16 Desember 2017 yang lalu, saya mengikuti seminar internasional di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak biaya yang harus saya keluarkan dari mulai dari biaya pendaftaran, biaya pencetakan prosiding, tiket kereta api pulang-pergi, dan tiket hotel. Sebenarnya, saya punya banyak saudara di Bandung. Jika saya mau lebih hemat lagi, saya bisa menginap di rumah mereka malam itu. Tapi, saya orangnya butuh privasi kalau keesokan harinya harus presentasi. Terlebih lagi, kemacetan Bandung di akhir pekan bisa membuat saya terlambat kalau saya menginap terlalu jauh dari UPI, yang memang terletak di daerah atas dari arah Kota Bandung.

Awalnya, saya berniat menginap di Dormitory UPI. Saya sudah browsing di laman UPI dan menemukan laman Dormitory UPI. Harga menginap di sana semalam sebesar Rp 200.000, 00. Saya sudah memesan via lamannya dan ada pemberitahuan bahwa pesanan saya akan segera ditanggapi via e-mail. Ternyata, sampai hari ketiga dari pemesanan, saya tak kunjung mendapat balasan. Akhirnya saya menghubungi nomor narahubung yang tertera, namun nomor tersebut ternyata tidak aktif. Saya lalu mencari nomor lain lewat Google dan malah terhubung dengan Isola Resort UPI dan mereka juga tidak punya nomor Dormitory UPI. Saya juga sudah menghubungi beberapa teman yang kuliah di UPI, tapi mereka juga tidak ada yang tahu. Akhirnya, saya memutuskan untuk cari hotel atau penginapan yang murah saja di sekitar UPI.

Saya mencari beberapa penginapan via Traveloka. Banyak variasi penginapan dari yang termurah hingga termahal, terdekat hingga terjauh. Dari hotel hingga kos harian. Saya lalu berkonsultasi dengan Juju, teman sekampus saya waktu S1 yang sekarang melanjutkan S2 di UPI. Dia tidak langsung mengiyakan pilihan saya. Dia malah menawarkan dua penginapan murah yang dia cari via Pegi-Pegi. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya memilih tawaran Juju. Saya memilih penginapan yang bekerja sama dengan Red Doorz (semacam Airy Rooms, saya juga baru tahu Red Doorz hari itu), yaitu kamar Red Doorz Near Isola UPI yang berada di Allure Guest House. Juju baik sekali. Dia survey lokasi dulu sebelum saya ke sana untuk memastikan lokasi hotel memang dekat dengan Pascasarjana UPI, tempat saya akan mengikuti seminar.

Red Doorz Near Isola UPI beralamatkan di Jl. Geger Kalong Girang Baru No. 13 Setiabudi, Bandung, tepatnya di kompleks pesantren Daarut Tauhid (DT) punya AA Gym. Jadi, kita bisa denger adzan nih dari kamar. Hotel ini cukup ditempuh dengan berjalan kaki tidak sampai 10 menit dari UPI (lewat pintu Doraemon-nya mahasiswa UPI di sebelah SD Isola). Makasih Juju yang udah ngasi tau jalan tembusan ala anak UPI, hihi.

Harga menginap semalam yang harus dibayar yang tertera di Pegi-Pegi sebesar Rp. 167.355, padahal, kalau bukan kamar yang Red Doorz, harganya lebih mahal, yaitu sebesar Rp 235.537. Oh iya, tapi setelah ditambah pajak+biaya pelayanan sebesar Rp 35.145 dan dikurangi kode unik Pegi-Pegi sebesar Rp. 937, totalnya jadi Rp 201.563.

Waktu check in hotel tertulis pukul 14.00. Awalnya saya sudah bingung, karena kereta api saya tiba di Stasiun Bandung sekitar pukul 9 pagi. Akhirnya saya luntang-lantung di stasiun sambil menelepon narahubung (contact person) yang ada di Pegi-Pegi. Ternyata, nomor tersebut adalah nomor Red Doorz pusat di Jakarta. Saya akhirnya mencari nomor telepon Allure Guest House dan tak kunjung diangkat. Gambling saja, saya lalu memesan taksi Go Car ke sana. Letaknya hanya sekitar 30 menit dari stasiun. Sampai di sana, ternyata tanpa perlu repot memohon, resepsionis langsung memberikan kunci pada saya. Syukurlah, ternyata hotel ini melayani early check-in. That’s what a girl needs, apalagi yang tidak tahu Bandung seperti saya dan sedang dalam keadaan belum mandi.

Kamar saya terletak di lantai 2, tepatnya di kamar 2202. Kalau ke lantai dua, pasti beberapa tamu sempat tertipu seperti saya. Ternyata, kamarnya ada di lantai tiga, karena sebelum lantai tiga, ada lantai dua yang berisi ruangan semacam ruang tamu dan ada kamar-kamar bernomor mulai 1101. Hotel ini tidak dilengkapi dengan lift, jadi mungkin tidak bersahabat kalau yang menginap adalah lansia atau orang dengan kursi roda. Siapkan tenaga ya, kalau harus mengangkat koper seperti saya, hihi. Sampai di kamar hotel, saya tercengang melihat kamarnya. Maklum, saya tidak terlalu berekspektasi awalnya dengan harga segitu. Desain kamarnya terkesan mewah dengan wallpaper dan interior serba cokelat. Sampai di kamar, setelah mengunci pintu dan melepas sepatu, jujur, hal pertama yang saya lakukan adalah mendarat di kasur sambil mengucap ‘alhamdulillah’ berkali-kali, wkwkwk. Alay, ya. Tapi rasanya lega aja, setelah melalui perjalanan 16 jam yang kurang nyaman di kereta, menunggu lama di stasiun, dan kucing-kucingan sama taksi online, akhirnya saya mendapatkan hotel yang sangat nyaman dan luas.



Di kasur hotel, tertera identitas Red Doorz berwarna merah. Kasurnya lumayan besar dan empuk. Sprei, selimut, dan bantalnya juga wangi. Selimutnya sangat hangat untuk menangkal udara Bandung yang cukup dingin. Selain kasur, kamar ini juga dilengkapi dengan Wifi yang kenceng (oh iya, minta password dulu ya, soalnya resepsionisnya lupa ngasi password pas itu), meja kecil di samping kasur dan ada colokan yang dilengkapi dengan T (jadi kita ngga perlu repot bawa T sendiri), AC dengan remote, televisi layar datar dengan remote yang nempel di tembok (TV-nya dilengkapi juga dengan fasilitas TV kabel, lho!), meja di depan TV yang cukup lebar, meja rias yang juga bisa difungsikan jadi meja belajar (cocok banget sama apa yang saya cari, tapi colokannya terlalu jauh dari meja belajar, jadi pastikan baterai laptop keisi penuh dulu), lemari besar dengan 5 hanger, dan semua perabot ada cerminnya! Buat cewek, pasti seneng banget soalnya di mana-mana bisa ngaca, hihi. Tapi buat yang fobia liat bayangan sendiri, kayaknya bakalan takut, soalnya saya sempet kaget juga pas liat bayangan saya sendiri lewat di kaca atas kasur, hahaha!





Siapa yang bisa nolak selfie di tempat seperti ini?

Kamar mandinya bersih banget. Kamar mandi ini bukan tipe dry closet, jadi bakalan becek kayak kamar mandi biasa. Ada shower air dingin (tapi sayangnya, kalau saya nyalain shower statis, shower dinamisnya ikut nyala, saya cari kran mana yang bisa buat nutup ga ketemu, ini saya yang kampungan atau memang rusak, heheheheh), trus wastafel air dingin yang dilengkapi dengan cermin, gantungan handuk, rak tinggi (ini terlalu tinggi, jadi kalau orang yang kurang tinggi kayaknya ngga nyampe, saya aja soalnya jinjit, hehe), WC duduk dengan semprotan tangan, dan... bathtub air hangat! Saya paling seneng kalau nemu bathtub! Setelah capek perjalanan jauh, saya berendam di sana, rasanya legaaaa. Oh iya, karena shower-nya air dingin aja, pas mandi pagi jadinya saya mandi di bathtub lagi soalnya butuh air hangatnya, ehehhe.




Fasilitas lain yang diberikan, yaitu perlengkapan mandi mulai dari sampo cair, sabun cair, shower cap, dua sikat gigi, odol, cotton bud, sisir, dan kresek kecil. Oh iya, dikasih air mineral ukuran tanggung dua buah juga. Untuk handuk, bawa sendiri ya dari rumah, karena tidak disediakan.


Hal yang tidak ada di hotel ini adalah sarapan gratis. Ya maklum sih, dengan harga segitu. Tapi, di hotel ini ada warung nasinya, kok. Kita bisa pesan dan diantar ke kamar. Di lingkungan kompleks juga banyak banget makanan mulai dari yang mahal sampe yang ala anak kos.

Kekurangan lain dari hotel ini adalah tempat sampah hotel ini tidak disediakan di dalam ruangan, tapi di luar pintu masing-masing, mungkin untuk menjaga agar tetap higienis. Waktu itu, sempat beberapa kali juga ‘rumah kunci’ kamar saya sepertinya rusak, jadi harus sabar menguncinya dari luar (untung ada Pak OB baik yang bantuin). Tapi, pas tengah malem, sempet ada gempa bumi dan karena panik itu kunci ga bisa, saya tinggalin aja kamar dalam keadaan ga dikunci, alhamdulillah aman, haha. Semoga segera diperbaiki, ya.Trus kamar saya deket banget sama TK Laboratorium UPI (kalau tidak salah), jadi pas buka jendela, keliatan ruang-ruang kelas TK dari jendela. Saya tidak tahu jendelanya tembus pandang atau tidak, tapi untuk antisipasi, walau siang, saya tutup gordennya agar tidak malu. Kamar hotel ini sepertinya juga tidak kedap suara, jadi saya tetap bisa mendengar suara HP atau suara orang di kamar sebelah kalau terlalu keras. Tapi itu tidak terlalu masalah buat saya, selama tidak mengganggu. Oh ya, pengunjung yang mau salat juga siapkan aplikasi pengarah kiblat, ya...karena tidak ada tanda arah kiblat di kamar ini.

Saya hanya menginap semalam di sana, karena acara saya hanya sehari di UPI. Karena bingung bawa koper dan tidak mungkin saya bawa ke UPI, saya menitipkan barang saya di resepsionis. Abang-abang resepsionisnya baik banget. Saya boleh nitipin barang di sana walau udah check out. Jadwal check out yang seharusnya adalah pukul 12.00, tapi saya check out jam 6.30 trus ambil barang saya jam 16.00.

Wallpaper-nya yang unyu, sayang banget kalau ngga dipake foto-foto, hihi


Sekian ulasan saya. Secara keseluruhan, hotel ini layak untuk direkomendasikan. Tidak heran kalau di Pegi-Pegi, pengunjung memberi nilai 8.5 dari 10 untuk penginapan ini. Semoga sharing saya kali ini bermanfaat untuk teman-teman yang mencari informasi penginapan murah yang dekat dengan UPI, ya! Selamat berlibur!

P.S.: Tonton vlog singkatku tentang Bandung di sini, ya !

Monday, December 18, 2017

Tips Bepergian dengan Kereta Api untuk Cewek

Halo! Assalamualaikum! Pa kabar?!
So excited to be back to this old blog. Ceritanya, sempet kemarinan saya bikin polling di Instagram Story yang saya bagikan untuk para netijen. Isinya tentang kekangenan saya nge-blog. Sebenarnya ini bentuk kegundahan hati saya karena saya merasa Instagram sudah sangat tidak private buat saya dan saya rasa, di blog, saya lebih bebas berekspresi dan punya pembaca yang memang niat baca blog saya (paling ngga, kesasar di jalan yang benar, hihi). Polling itu isinya tentang kalau saya balik nge-blog, bentuk tulisan apa yang para netijen suka, cerita ulang atau cerita fiksi? Ternyata, 65% memilih cerita ulang dan 35% memilih cerita fiksi. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis cerita ulang yang saya fiksi-fiksikan (?). Haha. Ngga, ngga. Saya akan tetap menulis keduanya, tapi porsi keduanya bergantung ide dan mood saja. Trus apa gunanya polling, dong? Emmm... Ga tau, ya...pengen tau aja sih selera pembaca, hihihi.

Buat mengawali postingan kali ini, saya akan bercerita tentang perjalanan saya ke Bandung mulai tanggal 15 Desember—18 Desember 2017 yang saya bagi dalam lima judul. Agak nervous sih lama ngga nulis. Buat pemanasan dulu, saya kasih topik yang ringan aja kali, ya. Nah, di judul pertama ini, saya mau memberi tips bepergian dengan kereta ala saya.



1.    Pesan Tiket Kereta di Stasiun
Apa? Di stasiun? Ngga salah? Pasti pada kaget, kan...kok Dina kuno banget ya pesen tiketnya di stasiun. Gini. Di perjalanan kali ini, saya memang tidak memesan tiket pulang dan pergi di stasiun, tapi saya pesan via Traveloka. Teman-teman pasti juga lebih sering pesan via website Kereta Api Indonesia atau aplikasi lain seperti Traveloka, Pegi-Pegi, dan lain-lain. Sebelumnya, saya tidak pernah berpikiran demikian sampai beberapa hari sebelum berangkat, ibu saya tanya “Sudah pesan tiket?”, saya jawab sudah. Lalu ibu tanya “Duduknya dapet sama cowok apa cewek?”. Saya jawab, “Ngga tau lah, kan ngga bisa milih”. Ibu langsung wajahnya berubah khawatir dan bilang, “Seharusnya pesen langsung aja di stasiun, biar bisa bilang ke petugasnya, milih kursi yang di sebelah kita jelas cewek atau cowoknya”. Dari situ, perasaan saya langsung ngga enak. Saya sudah lumayan sering sih bepergian naik kereta api atau pesawat sendirian, tapi saya baru kali ini kepikiran. Ya sudahlah, saya serahkan aja semuanya sama Allah.

Saya khawatir apa hayo? Entah kenapa, tiap ibu udah mengkhawatirkan sesuatu, saya sekarang lebih milih nurut, soalnya apa-apa yang dipikirkan ibu itu kok selalu kejadian, ya. Nah, kekhawatiran saya ternyata memang tidak terjadi. Saya duduk bersama seorang bapak-bapak pengusaha kaya raya yang turun di stasiun sebelum saya turun. Tapi ‘bapak-bapak’, bukan ‘mas-mas’, jadi saya ngga terlalu takut. Takut di sini adalah rasa insecure terhadap maling atau terhadap cowok nakal yang selalu dialami para cewek kalau bepergian sendirian.

Bapak-bapak itu minta nomor saya. Saya maklumi, karena biasanya, orang pas pertama ketemu dan ‘mungkin’ tertarik dengan topik kita, dia akan minta kontak kita untuk keep contact atau ‘siapa tau nanti-nanti butuh’. Saya hanya berpikir sedangkal itu. Ya sudah, saya beri. Lagian, sepanjang perjalanan beliau  terus bercerita tentang keluarganya. Beliau menunjukkan foto anak-anaknya dan usahanya, tapi satu yang tidak beliau ceritakan. Istrinya. Ya! Saya baru sadar. Beliau tidak menunjukkan foto istrinya sama sekali dan tidak menceritakannya. Saya pun tipe orang yang tidak terlalu banyak tanya pada orang yang baru saya kenal, jadi saya sama sekali tidak menanyakan “Istri bapak kerja di mana?” atau “Istri bapak asal mana?”.

Dari situlah, kekhawatiran saya muncul lagi. Tengah malam, saat saya terbangun, ternyata beliau sudah tidak duduk di samping saya. Beliau sudah turun di stasiun tujuannya. Tiba-tiba ada chat datang dari beliau. Pamitan. Ya, kami belum pamitan. Akhirnya beliau chat saya untuk pamitan. Saya masih berusaha biasa saja. Tapi...ternyata chat itu beliau lanjutkan sampai hari ini. Beliau bertanya kabar, rencana saya hari ini, hingga minta Facebook saya. Entah kenapa, saya sangat risih. Saya tipe orang yang tidak terlalu suka kalau ada ‘cowok’ yang chat dengan saya bertubi-tubi, kecuali dia adalah teman akrab saya. Dari situ, saya mulai merasa sangat insecure. Saya memang tidak mendapatkan perlakuan tidak baik. Saya baik-baik saja. Tapi bagi saya, chatting dengan lawan jenis itu sama tidak nyamannya dengan berdekatan dengan lawan jenis.

Ternyata ibu benar. Lain kali, pesan tiketnya langsung di stasiun saja. Memang ribet. Tapi, untuk ketenangan hati, keribetan itu tidak berarti apa-apa, kan? Saya bukan muslim yang ekstremis, tapi, saya yakin bahwa berusaha menjalani hidup sesuai syariat itu tidak merugikan kita, malah itu bentuk kasih sayang Allah sama kita. Saya berharap, PT Kereta Api Indonesia suatu saat akan mempunyai gerbong yang memisahkan perempuan dan laki-laki untuk menghindari hal-hal di luar syariat seperti bersentuhan (apalagi saat perjalanan jauh, kita bisa tertidur sangat lelap dengan posisi tidak karu-karuan), atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. ATAU, apabila harapan tersebut muluk-muluk, saya harap, aplikasi seperti Traveloka bisa memperlihatkan jenis kelamin pemesan kursi saat kita memilih kursi kereta (entah sudah ada atau belum ya aplikasi semacam ini? Kalau ada yang tau, please kindly contact me).



2.    Pakai Masker
Masih berhubungan dengan antisipasi para wanita, siapkan masker! Bukan masker perawatan kulit lho, ya, kikikikikik. Masker yang biasa buat motoran itu, lho... Selain bisa menghangatkan hidung (karena AC di kereta api dinginnya ga karu-karuan), masker juga bisa menutupi sebagian ‘kecantikan’ kita yang mengundang ‘sesuatu’. Ingat, di kereta api (terutama yang jarak jauh), kita akan menghabiskan sebagian besar waktu kita untuk tidur. Kadang kita ngowoh gitu tanpa sadar. Secara, tidur sambil duduk bukanlah sesuatu yang nyaman. Nah, masker bisa membantu kita menutupi itu, wkwkwkwk. Saya selalu membawa masker tiap bepergian jauh.

Selain itu, lagi-lagi kalau saya merasa insecure sama cowok, masker membantu saya menutupi wajah saya. Kok daritadi saya terkesan sangat penakut, ya. Mungkin bagi kalian yang membaca ini, saya sangat lebay. Tapi, saya orangnya memang sedikit penakut sama cowok. Hihihihi.

3.    Ngga Usah Dandan!
Ya! Ngga usah! Biasanya tiap keluar rumah, cewek-cewek pasti suka dandan, kan? Nah, khusus untuk bepergian, minimalisir dandan, ya... Bukan apa-apa, kita perkecil saja kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Ingat, semua orang memang pada dasarnya baik, tapi, kalau sedang bepergian, kita tidak bisa mengenali sifat orang asing tersebut dengan baik, bukan? Wallahualam.

4.    Siapin Headset
Sebenernya, saya bukan headset person. Saya menghindari pake headset karena katanya sih, untuk kesehatan gendang telinga, jangan sering pake headset. Tapi, kalau bepergian kayak gini, headset itu penting. Pertama, saya biasanya udah mengunduh banyak banget stok vlog orang buat saya tontonin di kereta atau biasanya saya dengerin musik. Kedua, kalau saya merasa hati mulai tidak nyaman, saya juga dengerin ayat kursi, wkwkwkwk. Ketiga, saya suka pura-pura merem sambil pake headset untuk menghindari diajak bicara sama orang (padahal hape saya mati). Yang ketiga ini khusus pas rasa insecure saya muncul lagi.




5.    Perhitungkan Waktu
Perhitungkan waktu kedatangan kereta api dengan waktu check-in hotel. Nah, saya ini termasuk yang kurang perhitungan kala itu. Kereta saya datang pukul 9 dan check-in hotel saya baru bisa dilakukan pukul 2 siang. Untuk membuang waktu, saya sampai nunggu di stasiun agak lama dengan makan Hokben atau internetan di ruang tunggu. Beruntung, Stasiun Bandung adalah stasiun yang nyaman sekali. Tapi dengan barang bawaan serempong kemarin, jujur saya kepayahan ke sana-ke mari bawa barang karena tidak ada yang menjaga. Hihi.




6.    Bepergian dengan Mahram
Ya... Sebenarnya, semua kekhawatiran yang saya sebutkan di atas bisa kok dihindari dengan satu cara: bepergianlah dengan mahram. Bisa ayah, ibu, adik, kakak. KECUALI, apabila sangaaaaat mendesak dan dengan syarat, untuk kepentingan syar’i. SAYA TERMASUK CEWEK YANG JAUH DARI KATA SYAR’I. Saya suka banget ngelanggar syariat. Saya suka ke mana-mana sendirian. Soalnya, saya sok-sokan mengikrarkan diri kalau saya wanita independen. Awalnya, memang saya mau ajak ibu atau kembaran saya. Tapi, karena ibu harus terapi setiap hari Sabtu, saya tidak bisa ajak beliau. Trus, kembaran saya juga sedang ada kesibukan lain. Menoleh pengalaman ke belakang saat saya bepergian sendirian kok aman-aman saja, ya sudah saya pede kali ini pergi sendirian lagi. Lain kali, saya akan berusaha untuk bepergian dengan mahram, ah. Semoga saya segera bersuami (hah?). Maaf ngelindur.

Sekian tips dari cewek introvert yang penakut seperti saya. Semoga bermanfaat. Kalau ada saran-saran lain, boleh mangga, komen di bawah. Tapi sebenarnya, dari sini saya juga belajar kalau saya kurang positive thinking. Berarti...kuncinya adalah stay positive and make people around you feel positive too. Happy holiday!


P.S.: Tonton vlog singkatku tentang Bandung di sini, ya !

Wednesday, July 20, 2016

#Thailand 3: Trip to The Pirates Park

Happy short holiday, buat saya sendiri, hehe. Awalnya saya sedikit iri dengan teman-teman satu pengabdian dengan saya yang ditempatkan di sekolah pondok. Rata-rata libur lebaran mereka 20 hari, yaitu mulai H-10 lebaran dan H+10 lebaran. Sedangkan yang ditempatkan di sekolah kerajaan seperti saya ini hanya mendapat libur tiga hari, yakni H-1 sampai H+2 lebaran saja. Kebetulan, H+3 lebaran adalah hari Sabtu, jadi total liburan lima hari saja

Tapi, Allah memberi rezeki lain. Karena di sekolah kerajaan macam sekolah saya ini tidak hanya dihuni oleh warga sekolah yang muslim, kami ikut libur kerajaan juga tiap ada hari besar Buddha. Tanggal 19 Juli 2016 adalah hari Asalha Puja 2560 dan 20 Juli 2016 adalah hari Masuk Vassa 2560. Hari itu jatuh pada hari Selasa dan Rabu. Seperti di Indonesia, di sini mengenal ‘hari kecepit’ juga, lhoh, hihi. Maka, Senin diliburkan juga. Alhasil, karena sekolah saya libur tiap Sabtu dan Minggu, saya libur deh mulai Sabtu sampai Rabu ini.

Awalnya saya bingung mau ngapain lima hari ini. Eh, ndilalah, alhamdulillah guru sekolah kami mengajak saya untuk berlibur bersama murid-murid yang tergabung bersama kelompok nasyid sekolah, bernama kumpulan Sumayah. Kami akan pergi ke sebuah waterpark di Provinsi Suratthani, 10 jam dari Narathiwat. Saya diberi briefing beberapa hari sebelumnya, mengingat lokasi cukup jauh dari sekolah kami. Kami akan bepergian selama tiga hari dua malam. Konsep bepergiannya adalah hemat tapi senang. Haha.

Yang perlu dipersiapkan adalah bantal (karena kami akan cukup lama berada di dalam mobil, selain itu, bisa untuk bantal tambahan ketika tidur di hotel), alat makan dan alat masak portable (karena kami akan memasak sarapan sendiri supaya hemat), baju ganti, baju untuk masuk air, dan tidak lupa uang saku.

Untuk para perantau seperti saya ini masalah uang saku harus sangat diperhitungkan, mengingat kami jauh dari rumah. Alhamdulillah, karena saya diajak, saya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk bensin mobil sekolah, sewa kamar hotel, dan tiket masuk ke waterpark. Saya hanya perlu membawa uang pribadi untuk makan di kedai atau jajan di Seven Eleven selama perjalanan. Hihi.

Tapi, tetap saya harus menginfokan agar teman-teman yang mungkin ingin mencoba wisata ke daerah Suratthani dari Narathiwat agar tahu berapa biaya yang harus disiapkan. Selama perjalanan pulang-pergi, saya melihat nominal di pompa bensin yang harus dikeluarkan untuk menghidupi mobil van Toyota Hiace milik sekolah. Yang saya lihat, selama saya melek, kami berhenti di tiga pompa bensin. Total nominal yang dikeluarkan sebesar 3000 Baht (atau sekitar Rp 1.122.000). Info saja, bensin di sini lebih mahal dari di Indonesia. Satu liternya sekitar Rp 10.000. Untuk biaya lainnya, akan saya ceritakan lebih rinci di paragraf-paragraf selanjutnya.

Lanjooot. Kami berangkat hari Minggu pukul 5 sore dari sekolah, total 15 orang yang terdiri dari guru, siswa, dan anak guru. Sebenarnya, mobil van sekolah kami berkapasitas 13 orang saja, namun tidak papalah disempilin kucil-kucil yang duduk di bawah lantai van dengan selimut dan bantal, hehe. Awal berangkat, kami mampir Seven Eleven dulu. Orang sini biasa sebut Sewen. Hati-hati kalau sudah masuk Sewen. Bisa kalap dan beli macem-macem. Termasuk saya nih. Suka banget beli daging asap pedas yang dihangatkan di microwave dan dimasukkan dalam roti tawar. Belum-belum sudah mengeluarkan uang 66 Baht atau sekitar Rp 25.000. Nominal yang lumayan banget karena selama perjalanan kami berhenti di sekitar 4-5 Sewen. Bisa dibayangkan total uang yang dikeluarkan untuk cemilan saja berapa. Haha.

Ngasuh anak dulu, ya...hahaha

Kami berhenti sebentar untuk makan dan solat jama’ maghrib-isya di sebuah pompa bensin di daerah Pattani sekitar pukul 8. Pompa bensin di sini lengkap. Hampir semua pompa bensin di 3 wilayah selatan, mempunyai fasilitas masjid (yang terpisah antara perempuan dan laki-laki), minimarket (bisa Seven Eleven, bisa juga yang lain), dan pujasera. Bahkan, beberapa pompa bensin juga berjajar pertokoan yang menjual baju, pulsa, hingga oleh-oleh.

Saya makan Nea Daeng (daging bumbu merah) seharga 40 Baht atau sekitar Rp 15.000 dan Cha Yen (es teh tarik) seharga 20 Baht atau sekitar Rp 8.000. Lebih mahal dari Nea Daeng di dekat rumah sewa saya yang hanya 35 Baht dan Cha Yen yang hanya 10 Baht. Semua menu di sini alhamdulillah halal, karena semua penjualnya muslim (ditandai dengan penjualnya berjilbab, bersongkok, atau memberi label halal pada plang nama kedai). Di 3 wilayah selatan ini tidak sulit mencari makanan halal karena mayoritas penduduknya orang muslim. Yang saya sayangkan, semua menu ditulis dalam bahasa Thai tanpa penjelasan. Hanya beberapa saja yang menyertakan gambar. Untuk saran saja, bila takut diburu waktu, pesan saja makanan yang prasmanan dan tinggal pilih. Kebetulan waktu itu saya kurang sreg sama menu yang sudah matang. Saya pesan Nea Daeng karena cari aman, walaupun lumayan lama masaknya. Saya menggunakan bahasa Melayu campur Thai sederhana karena penjual mengajak saya berbahasa Thailand. Awalnya sempat missed-com dengan penjual karena teman saya pesan makanan tapi dia batalkan dan lupa konfirmasi. Akhirnya saya yang kena sengit penjual, ditambah lagi bahasa saya kacau, ia nampak sangat tidak ramah. Hehe...untuk pelajaran saja, hati-hati saat berbahasa di negeri orang. Jangan mengeluarkan kata-kata yang berpotensi menimbulkan missed-com. Pakailah bahasa semampu kita saat bertransaksi, asal jelas dan tegas.

Usai makan, kami lanjutkan perjalanan. Berhubung sudah terlalu malam dan guru yang menyetir sudah sangat mengantuk, kami sewa hotel di daerah Nakhon Si Tammarat pukul 1 malam. Kalau untuk hotel, kebetulan saya sengaja ngga nanya ke guru sekolah harganya berapa, karena sedikit sungkan. Hehehe. Tapi, untuk gambaran saja, kami menginap di hotel berbeda selama dua malam. Yang pertama di daerah Nakhon Si Tammarat saat berangkat ini dan saat pulang di Hatyai (Songkhla). Hotel pertama memiliki satu kasur dengan kapasitas 2-3 orang, kamar mandi dalam tanpa pemanas air, TV, dan kipas angin. Sedangkan hotel kedua sedikit lebih bagus (karena terpaksa akibat suatu hal), ada kamar mandi dalam dengan pemanas air dan WC duduk, AC, TV, parkiran mobil per kamar, dan kasur yang bisa dibagi dua, jadi kapasitas 4-5 orang. Dulu, saya sempat bermalam di sebuah hotel sederhana di daerah Pattani dengan fasilitas kasur yang bisa dibagi dua, kipas angin, TV, kamar mandi dalam tanpa pemanas seharga 360 Baht per malam atau sekitar Rp 140.000. Relatif murah.

Kami hanya menyewa 3 kamar saja. Di kamar saya, saya tidur berenam. Otomatis, harus ada yang tidur di lantai dengan selimut dan bantal yang dibawa sendiri. Paginya, kami harus segera bersiap, karena jarak Nakhon ke Suratthani masih sekitar 2 jam lagi. Sebelum berangkat, kami piknik bersama di parkiran mobil. Kami masak telur dengan kompor gas portable dan sardin kaleng yang dibeli di Sewen. FYI, makanan di dalam tempat wisata relatif mahal, jadi kami membuat makanan sendiri. Sederhana tapi hangat, hihi.


Yang kayak gini ini lho yang nanti bakal dikangenin kalau udah balik ke Indonesia :'D

Setelah check out hotel, kami lanjutkan perjalanan ke Suratthani (dengan skenario mampir Sewen yang ga pernah ketinggalan). Kami sampai di waterpark pukul 10.15. Tidak terlambat karena ia baru buka pukul 10. Tempat ini bernama The Pirates Park, di daerah Wat Pradu. Harga tiket masuknya 250 Baht untuk dewasa dan 150 Baht untuk anak-anak. Sekitar Rp 95.000 dan Rp 56.000. Hampir sama dengan waterpark yang ada di Indonesia. Waktu itu, saya lihat guru sekolah saya mengeluarkan print-print-an semacam promo untuk tiket masuk. Saya juga kurang tahu, sekali lagi karena saya ditraktir, hehe.

Saya suka tempat ini menyediakan segala macam petunjuk menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Thai dan bahasa Inggris. Ini mempermudah para turis asing seperti saya yang buta aksara Thai. Namun, sayang sekali, petugas di depan tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga waktu dia ajak saya berbicara, saya hanya bisa senyum sambil mengangguk dan dia tampak bingung. Padahal saya sudah mengucapkan “Chan ma jak Indonesia, put pasa Thai mai dai”, atau saya orang Indonesia dan tidak bisa berbahasa Thai. Ternyata saat itu dia minta tangan saya distempel tanda masuk, hehehehe.

Seperti lazimnya tempat wisata, kami dilarang membawa makanan dari luar. Tapi, seperti lazimnya juga sebuah tempat wisata yang kurang ketat, kalau kami selipkan snack  di dalam tumpukan baju kami, tidak akan ketahuan, hihi. Ini salah satu trik agar tidak kelaparan setelah main wahana. Karena, harga makanan di dalam waterpark relatif mahal (untuk para perantau).

Ada banyak kolam di dalam waterpark. Ada kolam untuk anak-anak, kolam untuk seluncuran, dan kolam-kolam untuk permainan tantangan semacam acara Benteng Takeshi, mulai dari yang mudah hingga sulit. Saya adalah tipe orang yang takut air, walaupun saya Aquarian, hehe. Saya hanya berani mencoba wahana yang tidak terlalu dalam kolamnya, agar kalau saya jatuh, saya tidak tenggelam, haha. Itu pun, saat saya jatuh, saya curang, ngerepotin murid-murid buat ngangkat saya dari atas wahana, hihi.


Sumber foto: chillpainai.com

Kalau di kolam yang dalam, kami semua diwajibkan pakai pelampung. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan di sini, karena selain ada pelampung, ada life guard yang selalu memantau tiap pengunjung dan membantu para pengunjung yang terjatuh saat kurang berhasil melewati tantangan wahana. Tapi, saya memang dasarnya pengecut sama air, jadi saya pura-pura jaga anak guru yang ngga bisa berenang aja waktu itu, sama pura-pura basah biar keliatan menghargai udah ditraktir, wkwkwk.



Saya mencoba seluncuran dua kali dan coba manjat-manjat. Tapi, saya lupa kalau kaki kiri saya memang sedikit bermasalah dalam motoriknya akibat skoliosis. Sempat keram di tengah wahana dan ga bisa manjat, hahahah. Tapi seru, saya bisa teriak-teriak melepas penat :D



Oh iya, untuk tips saja, saya sempat terpeleset karena kaki saya licin bekas sunblock. Jadi, pakai sunblock-nya agak lama sebelum sampai air saja, agar tidak licin. Sunblock wajib banget dipakai di sini, karena panasnya ngga lumrah. Selain pengap, menyengat juga. Saya menghitam pulang dari sini, hihi.

Selain wahana, di sini banyak banget spot foto yang instagramable. Namun, berhubung saya tidak membawa fotografer favorit saya (baca: pacar), saya melewatkan ke-instagramable-an ini, hehe. Jadi, minta tolong sekedarnya sama murid atau salah satu guru, hihi.


Usai main air, kami harus segera mandi karena lapar sudah menyerang. Tidak kerasa kami main air sampai pukul 1 siang. Kamar mandi di sini banyak dan tidak perlu antre. Tempat rias pun disediakan, dilengkapi dengan hair dryer. Namun, lucunya, di sini tidak kami jumpai shower atau minimal gayung dan ember untuk mandi. Hanya ada WC dan penyiramnya. Saya mencari-cari apakah memang WC dan tempat mandi dipisah, ternyata tidak. Hanya ada itu saja. Terpaksa saya mandi menggunakan penyiram WC, hahaha. Butuh keahlian khusus keramas pakai penyiram WC. Mungkin, karena tempat ini baru, tempat mandi belum selesai dibuat atau bagaimana, saya juga kurang tahu :D.


Bahkan di kamar mandi pun nemu aja barang yang bisa cute kalau difoto, haha. Ga penting :D

Setelah semua beres, kami meninggalkan waterpark sekitar pukul 2 siang, untuk mencari makan siang di luar dan melanjutkan wisata ke tempat berikutnya yang akan saya ceritakan di post selanjutnya. Well, itu tadi cerita saya tentang liburan di The Pirates Park, Suratthani. Semoga sedikit info ini bermanfaat buat teman-teman yang lagi berada di Thailand Selatan atau yang mau pergi ke Thailand Selatan. Sekali lagi, happy short holiday!


Baca tulisan saya tentang Thailand yang dimuat di media Citizen Reporter Harian Surya di sini.