Followers

Showing posts with label university. Show all posts
Showing posts with label university. Show all posts

Tuesday, May 05, 2015

Di Balik Pemilihan Duta Kampus UM 2014

1
Salam Duta Kampus! Generasi cerdas, berkarakter, dan mandiri!
Yap, teriakan-teriakan itu masih terasa mengiang-ngiang di telinga dan otakku. Aku akan menceritakan pengalamanku ketika pemilihan duta kampus. Pemilihan Duta Kampus Universitas Negeri Malang adalah salah satu ajang pemilihan duta dari Universitas Negeri Malang yang diadakan setiap tahunnya di rangkaian acara ulang tahun UM. Tahun 2014 lalu, aku memberanikan diri untuk mendaftar menjadi peserta duta kampus.
Awalnya, aku ga pernah kepikiran buat ikut ajang seperti ini. Dulunya, aku adalah cewek yang super duper introvert dan khayalatun banget bakal ikutan acara beginian. Fixed. Semenjak masuk kuliah, cita-citaku cuman satu. Aku cuman pengen melakukan apa yang belom sempet aku lakukan pas sekolah dulu. Salah satu dari dua belas juta (hiperbola, ya) hal  yang belum aku lakukan adalah ikutan ajang pemilihan duta-duta gitu. Impiannya agak simple dikit, sih, hehe.
Itu tadi baru alasan kecil. Nah, alasan terbesarku kenapa pengen banget ikut ajang pemilihan duta kampus ini adalah ... coba cek percakapan berikut.
“Wah, anaknya sudah perawan besar-besar ya, Pak Amin. Kuliah di mana?” tanya salah seorang teman bapak.
“Yang Dina kuliah di UM, yang Dini kuliah di UB,” jawab bapak.
“UM, Universitas Muhammadiyah?” istri teman bapak lalu menimpali.
“Bukan, tante. Universitas Negeri Malang, dulunya IKIP,” jawabku gemas.
“Oh...IKIP...” jawab tante tadi dengan wajah seakan kasihan kepadaku.
Pembicaraan tidak berlanjut lama soal IKIP, soal UM. Tante dan oom tadi langsung berbicara panjang lebar soal anaknya yang kuliah di salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia. Kadang kali memuji kampusnya si Dini juga. Sama sekali tidak membahas UM. Si tante dan si oom tadi terus saja membangga-banggakan anaknya. Semua dialog ini terus berulang ketika aku menemui oom-oom dan tante-tante teman bapak yang lain yang menanyai aku kuliah di mana. Dan tidak satu pun yang mengelu-elukan UM. Selain aku.
Inilah alasan terbesar, sejak hari itu (entah itu hari apa), aku berjanji pada diriku sendiri bahwa bukan kampus yang terkenal yang patut dibangga-banggakan dan dielu-elukan para orang tua, tapi aku yang akan membuat kampusku terkenal dan ibu-bapak bangga punya anak sepertiku. Maka, berminatlah aku ikut pemilihan Duta Kampus UM.
Aku lalu mencari info tentang duta kampus ini dengan bantuan Tante Google. Aku membaca info-info tahun-tahun lalu di web resmi UM, di blog orang, sampai menemukan akun official Duta Kampus di Twitter dan stalking  ke beberapa duta yang disebutkan di akun tersebut (kepo maksimal, ya).  Bahkan, aku sampai searching tempat-tempat persewaan gaun melalui akun Instagram dan aku membayangkan aku ada di panggung Graha Cakrawala UM menggunakan gaun warna biru dongker berkelap-kelip dan dinobatkan menjadi duta kampus, lalu bapak-ibu datang, semua teman dan keluarga datang, semua gembira dan bangga melihatku. Imajinasiku mulai liar malam itu. Intinya, aku harus ikut ajang duta kampus tahun ini. Titik. Pake koma kadang-kadang.
Selang beberapa bulan setelah “tiba-tiba” muncul keinginan itu, tanpa hujan tanpa angin, Pak Leo, salah satu dosen di Fakultas Sastra, mengirim chat via Whats App. Beliau menawari aku untuk mengikuti pemilihan duta kampus dan mewakili fakultas. Spontan aku teriak. Teriakan isyarat “Yeeeayyyy! Ini yang aku tunggu-tunggu!”. Tapi, aku lalu mendadak pesimis begitu ingat prestasiku selama kuliah ini baru dua, itu pun tim semua dan di bidang paduan suara. Pak Leo mengatakan tidak apa-apa, dicoba dulu. Beliau lalu mengirim poster Pemilihan Duta Kampus. Desain posternya sangat mewah dan membuatku optimis lagi, serta yakin harus ikut ajang ini.­­
Aku lalu bersiap, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku beranikan diri untuk mengunduh formulirnya. Mengisinya dengan hati-hati dan mulai­ mengumpulkan apa saja yang aku butuhkan. Aku membuka ulang semua sertifikat prestasi dan organisasi yang aku punya dari SMA sampai tahun kedua kuliah ini. Alhamdulillah, ternyata semua prestasi yang aku raih dan organisasi yang pernah aku ikuti berguna juga saat seperti ini. Aku juga menyiapkan Kartu Hasil Studi di dua semester sebelumnya (semester 1 dan 2), aku tersenyum lagi. Alhamdulillah aku bisa membuktikan pada bapak bahwa prestasiku bisa meningkat dengan kuliah di fakultas yang baru ini. Entah kenapa, semuanya, alhamdulillah.

2
Aku bersyukur berada di fakultas yang sangat memfasilitasi mahasiswanya untuk berkembang. Satu hari sebelum Technical Meeting Duta Kampus, fakultasku mengumpulkan semua mahasiwanya yang akan mengikuti ajang Duta Kampus ini. Ada 30 lebih mahasiswa dari fakultas kami yang mendaftar, aku tidak ingat benar angkanya. Kami diberi cerita pengalaman oleh kakak-kakak senior dari fakultas yang menjadi finalis Duta Kampus tahun lalu, ada Mbak Dewi, Mbak Dhea, Mas Fikri, dan Mbak Jeje. Kami juga saling sharing agar besoknya sudah mempunyai gambaran harus bagaimana. Kakak duta-duta tahun lalu menanyai sejauh mana kesiapan kami mengikuti ajang ini. Waktu ditanya satu per satu ingin menampilkan talent apa kalau masuk semifinal, aku jawab ingin menyanyi lagu pop atau seriosa. Aku sangat ragu untuk bilang akan menyanyi seriosa, karena ilmuku tentang genre musik ini masih sangat pas-pasan. Tapi, Mbak Dewi, salah satu duta, mengatakan, “Kalau seriosa sama pop, lebih unik mana? Seriosa kan, lebih baik cari talent yang paling unik dan beda dari yang lain”. Kebetulan yang akan menyanyi seriosa saat itu hanya Mas Lucky dan aku. Yang lain yang ingin menyanyi, kebanyakan menyanyi pop, keroncong, atau dangdut. Baiklah, aku lalu setengah mantap tidak jadi menyanyi lagu pop. Oh iya, tidak semua fakultas melakukan sharing seperti ini, btw.
Fakultas kami juga men-support kami dari segi materi, walaupun tidak sepenuhnya. Awalnya, keraguan beberapa di antara kami untuk mengikuti ajang ini adalah kendala biaya untuk sewa kostum, dll. Tapi dengan mendengar pengarahan dari dosen fakultas bahwa kami tidak perlu merisaukan hal itu, kami langsung melaju tanpa ragu, hihi. Oh iya, di sini aku kenal banyak teman baru, ada Te, Dimas, Mbak Bella, Frisca, Ria, Rico, dan banyak deh, hihi.
Keesokan harinya, kami sudah harus Technical Meeting untuk seleksi tulis dan wawancara setelah dinyatakan lolos tahap administrasi. Ada sekitar 160 lebih lebih peserta (lagi-lagi aku tidak bisa mengingat angka) yang sangat optimis dan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (menurutku) pada saat dikumpulkan di Graha Cakrawala UM siang itu. Kami diberi pengarahan untuk seleksi tulis hari Minggu besoknya. Kami dipanggil satu persatu dan aku dapat nomor urut wawancara 17. Angka yang bagus, seperti tanggal kemerdekaan Indonesia, ya.
Aturan untuk tes tulis dan wawancara adalah, semua peserta harus mengerti dan paham mengenai seputar Universitas Negeri Malang. Kami bisa belajar dari Katalog UM terbaru, web UM, dan semua media yang memuat informasi tentang UM. Selain itu, kami juga harus memiliki wawasan luas mengenai isu terkini. Dari segi penampilan, kami harus berpakaian rapi, office style, atasan putih, bawahan hitam, dan memakai sepatu high heels minimal 9 cm. Nah, buat aturan terakhir ini nih, aku meminjam sepatu salah satu teman paduan suaraku, si Dian, karena aku tidak pernah memakai high heels lebih dari 5 cm, hihi. Untung aku punya teman-teman PSM :-D. Terima kasih, Dian. Pinjamanmu membawaku ke final ;-D


Ini kerudung pinjam ibu, kalung pinjam Dini, atasan pinjam kakak, bawahan pinjam Hanum, sepatu pinjam Dian. Fixed! Diriku pun dipinjami oleh Allah, hahahaha

3
Kami sudah harus berada di gedung pukul setengah 8 pagi. Dari PSM, ada 6 perwakilan yang melaju (apa deh) mengikuti ajang ini. Ada aku, Mas Candra, Mas Lucky, Jimmy, Dimas, dan Berlian. Lima dari kami berkumpul dulu di sekretariat untuk saling membenahi penampilan, latihan jalan, sampai public speaking, hehehe. 


Mas Candra, Mas Lucky, Dimas, dan aku di depan sekretariat PSM.
Setelah itu kami berangkat bersama ke Graha Cakrawala dengan wajah sedikit tegang sambil terus memegang katalog UM atau catatan-catatan kecil lainnya. Setelah menunggu, tidak lama kemudian kami berbaris dan diarahkan menuju tempat pengukuran tinggi badan dan berat badan. Uwahhh, ternyata tinggiku 167,5 cm dan beratku 52 kg. Padahal waktu pendaftaran, aku ngukur sendiri di rumah tinggiku 168 cm dan berat 53 kg, hihi menyusut.

Suasana saat antre untuk diukur tinggi badan dan berat badan.

Setelah itu, kami masuk ke ruang tes tulis. Kebetulan, di sebelah kananku waktu itu si Anita, teman sekelas waktu di Pendidikan IPA dulu. Ya, aku pernah pindah jurusan (baca ceritaku di sini). Sebelah kiriku ada teman baru, namanya Fajar, dia dari Psikologi. Fajar nih anaknya woles banget, dia ngobrol banyak sama aku sebelum tes dan ternyata dia sahabat karib Mas Lucky waktu sekolah dulu. Sedangkan si Anita, terus saja belajar, bahkan dia tanya, “Dina ngga belajar?”. Aku jawab, “Hehe...udah kemarin-kemarin, Nit, sama semalem. Kalo di tempat gini aku malah nervous mau belajar”. Sebenarnya jawabanku sedikit menghibur diri, karena aku tau, tidak mungkin bisa menghapal apa pun di tengah jantung yang sudah mau copot kayak gitu.
Tes dimulai, kami tidak boleh menyontek atau berdiskusi (automatically-laaaah). Alhamdulillah, dari 50 soal yang disediakan, hanya ada 5 yang jawabannya benar-benar tidak aku bisa dan akhirnya otak nalarku yang sedikit nanar ini mulai mencari peruntungan dengan memilih di antara huruf-huruf itu yang sekiranya paling aman, heheuu. Tapi aku bersyukur, tes tulis ini tidak sehoror bayanganku, karena memang semuanya seputar UM.
Setelah itu, kami menunggu untuk tes selanjutnya, yaitu wawancara. Kami menunggu antrean sambil mendengarkan kakak-kakak duta tahun lalu (ada winner dan runner up, waktu itu Mas Pepeng, Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda) yang shared soal pengalaman mereka selama setahun ini. Aku semakin optimis mendengarkan cerita mereka. Aku ingat saat itu Mbak Ocha mengucapkan ini, “Udahlah, teman-teman pede aja. Kuncinya pede. Mau yang lain tampil seperti apa, kita harus tetap yakin bahwa setiap orang punya keunikan masing-masing”.
Giliranku tiba untuk dipanggil. Ada 4 meja juri yang harus didatangi di sesi wawancara ini. Meja pertama, jurinya adalah Mbak Rani, Mbak Ocha, dan Mbak Linda. Aku memperkenalkan diriku, lalu hobiku. Aku jawab aku suka menulis dan menyanyi (dua hobi ini yang selalu aku andalkan, hehe). Lalu aku jawab dengan yakin waktu ditanya akan menampilkan talent apa bila masuk semifinal, aku jawab menyanyi seriosa. Lalu tiba-tiba Mbak Ocha menyuruhku menyanyi sedikit saja saat itu juga. Jujur aku belum kepikiran mau nyanyi lagu apa. Akhirnya spontan aku menyanyikan reff lagu Indonesia Jaya (yang notabene adalah lagu pop), yang aku gayakan menjadi seriosa. Baru satu baris, ketiganya mengatakan cukup, dan aku harus melaju ke meja kedua.
Di meja kedua, ada juri dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, yang bernama Bu Febrita Paulina Heynoek. Beliau sangat smiley face. Aku lalu senyum kepada beliau. Aku sapa beliau.
 “Selamat pagi...” sapaku.
Beliau menyapaku menggunakan bahasa Inggris. “Good morning. Please, introduce yourself.  If you are confident to introduce yourself using English, use it. If you are confident to intodruce yourself using Indonesian, it’s OK”.
Aku jawab dengan spontan dengan sedikit berpikir antara yakin atau tidak menggunakan bahasa Inggris, akhirnya aku mengeluarkan kalimat bodoh, “Sorry, just for introducing, maam?”.
Beliau menjawab, “Introduction, maybe. Yes, just introduction”.
Mampus. Aku salah ngomong introduction dengan introducing. Aih, malunya. Akhirnya aku mengeluarkan jurus ke-pede-anku berbekal belajar di sekret tadi pagi bersama si Jimmy,
Good morning, my name is Dina Nisrina. You can call me Dina. I’m from Indonesian Language Department 2013, Faculty of Letter. Thank you,”.
“Just that?” kata Bu Febrita sedikit heran.
“Yes, that’s all” jawabku sambil berpikir keras, apa yang salah yaaaa.
Your hobby?”
“Oh! (Seperti teringat akan sesuatu). I like singing and writing (jawaban andalan sedunia)”
Wow, writing! What kind of text do you like to write?”
“I like to write in a blog, poetry, short story...”
“Wow, short story! Okay...enough, you can go to the next table”
“Thank you, ma’am” jawabku lega.
Di meja kedua, sudah ada Kepala Program Studi Kepariwisataan dari Universitas Brawijaya, Bapak Ahmad Faidlal Rahman. Aku senyum dan menyapanya. Lalu beliau mempersilahkan duduk. Beliau tidak menyuruhku memperkenalkan diri. Beliau hanya bertanya, “Dina, ya...nomer 17. Kenapa saya harus memilih Anda sebagai Duta Kampus UM 2014?”. Agak kaget ditanya seperti itu. Kuncinya satu, aku jadi teringat perkataan Mas Fikri, kalau ada pertanyaan juri yang ‘terkesan’ meremehkan kamu, pede aja, jawab dengan jawaban yang menonjolkan kelebihanmu. Anggap saja juri seperti teman yang asyik. Akhirnya aku menjawab, “Baik, jika saya menjadi duta UM, saya akan meningkatkan promosi UM melalui blog yang saya punya. Saya akan rajin menulis berita baik tentang UM di media sosial, dan saya bisa memperkenalkan UM melalui bidang seni, misalnya sastra dan paduan suara, karena saya adalah mahasiswa fakultas sastra dan anggota paduan suara mahasiswa” . Jawabanku mungkin sangat simple, lalu Pak Faid bertanya apa motivasiku mengikuti Duta UM, aku jawab dengan yakin, “Saya ingin menjadi perwakilan dari Universitas Negeri Malang yang bisa memberikan informasi yang tepat mengenai UM sebagai The Learning University”.
Setelah dua pertanyaan tadi, Pak Faid mengangguk dan mempersilahkan aku menuju meja keempat. Di sana ada Pak Agus Sunandar, dosen Tata Busana UM yang juga founder dari Pemilihan Duta Kampus UM dan penggagas Malang Flower Carnival. Waktu aku senyum kepada beliau, beliau tidak membalas senyumku, tapi melihatku seakan pernah menemui orang sepertiku sebelumnya. Setelah aku duduk, beliau baru tersenyum dan bertanya siapa namaku, hehe. Setelah itu beliau menanyai prestasi dan organisasi yang pernah aku capai. Beliau tertarik dengan prestasiku di organisasi paduan suara dan proses wawancara berlangsung sangat singkat.

4
Ternyata, sesi wawancara tidak semenakutkan bayanganku. Aku keluar dengan wajah ceria dan kembali duduk dengan teman-teman. Aku duduk di sebelah dua orang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris. Entah mereka membicarakan apa, aku hanya tertarik dengan kehebatan mereka. Akhirnya aku beranikan diri memotong pembicaraan mereka berdua, “Excuse me, do all of students in English Department speak like you?”.
“Not all of us. Sometimes, they call us crazy if we speak like this” jawab seorang di sebelahku tadi.
Oh...yeah. My name is Dina, what’s your name?”
Call me Adi, “ jawabnya.
“And you?” tanyaku pada cowok di sebelah Adi.
Angga,”
“I’m sorry, later, maybe if we meet in faculty and I forget your name, I will shout you, ‘hei!’” kata Adi.
“No matter...” jawabku. “Me too kayaknya,” tambahku menggunakan bahasa sego campur.
Pembicaraan kami lalu berlanjut, aku sok-sokan pakai bahasa Inggris belepotan campur bahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa dengan mereka berdua. Dari mulai cara berbahasa Inggris yang mudah, hobi, organisasi, sampai aku bercerita tentang orang tua. Saking asyiknya ngobrol, Adi sampai tidak mendengar panggilan untuk nomor urut wawancaranya. Kalau tidak salah, dia nomor 41 dan kami baru sadar kalau sudah nomor 43. Terpaksa dia harus menunggu semua selesai diwawancara, baru dia masuk ke ruangan. Aku merasa bersalah gara-gara aku keasyikan bercerita, dia jadi harus menunggu lebih lama. Aku lalu meminta maaf bertubi-tubi pada Adi. Dia berkata tidak apa berkali-kali pula, akhirnya keluar kata-kata pamungkasnya dalam bahasa Inggris yang berarti bagaimana dia bisa lupa namaku, jika aku yang menyebabkannya harus menunggu sesi wawancara lebih lama. Kyaaaaaaa.
Setelah itu aku berkenalan dengan teman-teman yang lain, waktu itu di sebelah kananku ada seorang teman dari jurusan teknik sipil yang aku lupa namanya. Dia sungguh unik dari segi berpenampilan. Kerudungnya dimodifikasi sedemikian rupa seperti hijaber masa kini. Waktu aku tanya talent dia apa, dia lalu menunjukkan buku gambar yang berisi hasil karyanya dan hasil capture-an tutorial hijabnya. Wah...bakatnya unik sekali.
Pada saat jam istirahat, aku makan siang dengan teman-teman dari Fakultas Sastra. Bu Hesty, bagian kemahasiswaan FS baik sekali mengantar konsumsi dan menunggui kami.

5
Selesai sudah semua peserta diwawancarai. Kemudian Mas Pepeng memberi pengarahan untuk tahap selanjutnya. Pengumuman para peserta yang lolos ke tahap semifinal akan ditulis di facebook Duta Kampus UM 2014 paling lambat hari Senin pagi. Kami lalu pulang dengan wajah kelelahan campur kecemasan bagaimana hasilnya besok pagi.
Pagi-pagi saat akan berangkat kuliah, aku mengecek Twitter Duta Kampus, dan.................what.................pengumumannya sudah keluar. Pengumumannya ternyata lebih cepat dari dugaanku, yaitu tadi malamnya. Aku dengan sangat deg-deg-an memberanikan diri membuka link itu, dan... Namaku ada di sana! Alhamdulillah pula, nama Mas Lucky dan Mas Candra ada di sana. Selain itu,  kalau tidak salah hitung, ada 11 perwakilan dari Fakultas Sastra yang masuk ke tahap semifinal pula.
Aku lalu mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa untuk proses karantina yang dimulai hari itu juga. Sebenarnya bukan karantina seperti di Akademi Fantasi, hanya kelas-kelas pengarahan yang dipersiapkan sampai final nanti.
Malamnya, kami diarahkan untuk Talent Show esok lusa, diajari catwalking pula hari itu. Ini adalah kali kedua aku belajar catwalking setelah terakhir SD dulu. Agak sedikit canggung apalagi minder saat melihat teman-teman lain yang memang basic-nya model. Tapi, dengan arahan Mas Ari Miswan (kami memanggil beliau Daddy), kami menjadi lebih percaya diri. Kami juga diajari bagaimana cara memperkenalkan diri di atas panggung.

Pada saat pengarahan catwalking

6
            Hari ini, hari Selasa. Kami mengumpulkan bahan yang harus dipersiapkan untuk talent show besok hari. Aku mantap memilih lagu Pur Ti Miro dari Claudio Monteverdi yang pernah aku bawakan di konser paduan suaraku. Tapi, berhubung aslinya ini lagu duet, besoknya aku akan dibantu Mas Lucky dari balik layar untuk menyanyikan part duetku.
Hari Selasa adalah hari karantina kedua. Kami diajari koreo yang dipersiapkan apabila nanti kami lolos ke babak final. Koreografer kami berasal dari Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik. Ada dua orang koreografer cantik yang mengajari kami menari modern sederhana dengan lagu Serasa dari Chrisye. Ya...tau sendiri aku bukan seseorang yang pandai menari. Jadi, menari selalu menjadi mimpi buruk buatku, karena memang aku tidak suka menari. Tapi, karena ini tuntutan, aku harus pasrah dan berbaur.
Pengarahan koreografi
Menari menggunakan heels setinggi 12 cm bukan hal yang mudah, pemirsa. Bolak-balik aku hampir terpeleset. Parahnya, kakiku sampai berdarah malam itu karena kukuku terkena ujung heels yang runcing. Untung saja aku membawa hansaplast. Selesai latihan koreo, Mas Fikri menghampiriku.
Itu sepatu kamu sendiri?” tanya dia.
“Bukan mas, punya temen,” jawabku.
“Keliatan. Kamu keliatan nggak nyaman. Besok jangan pake itu. Ada yang lain?”
“Ada sih mas, ya udah ntar aku pinjem sepupuku, deh...”
Oke...jadi, ketidaknyamananku rupanya sudah terdeteksi orang lain. Akhirnya, aku tidak bisa membohongi diriku (ceileh). Aku lalu pinjam sepatu sepupuku yang hanya 9 cm pas dan haknya agak tebal, sehingga aku lebih imbang dalam berdiri. Semoga, efek sepatu juga bikin nariku tambah bagus -__-

7
            Hari Rabu tiba! Aku lalu woro-woro ke teman sekelas untuk datang mendukungku nanti malam. Hari ini ada ujian tengah semester. Aku lalu berusaha mengerjakannya lebih cepat agar pulang lebih cepat dan memiliki persiapan yang lebih panjang untuk mulai berias sore hari.
            Nanti malam aku akan menggunakan gaun berwarna merah maroon (agar terlihat lebih dewasa) dengan tetap mengangkat aksen Jawa, atasan kebaya modern berpita dan bawahan mengangkat aksen Sumatera, rok mengembang yang terbuat dari kain songket. Padahal aku menyanyikan lagu Itali, hihi. Agak sedikit ngga nyambung, ya...biarin, disambung-sambungin.

Selfie dulu di salon, sambil nunggu dijemput, hihi

            Sebenarnya, dari tadi siang aku memikirkan lagu Pur Ti Miro ini harus dibawakan seperti apa biar penonton paham walaupun aku menggunakan bahasa Itali. Akhirnya, tiba-tiba terlintas pikiran untuk membawa cermin ke atas panggung. Aku akan menggambarkan seorang putri yang terkukung oleh aturan kerajaan. Putri tersebut lalu berbicara dengan cerminnya, dia menanyakan apakah dia cantik, dia sempurna walau tanpa menuruti keinginan kerajaan. Namun, setiap ia bercermin, ia selalu dihantui suara tuntutan kerajaan yang membuatnya merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Suara itu nanti akan diwakilkan oleh Mas Lucky yang menyanyi dari balik panggung. Pada akhirnya Sang Putri capek dan marah, lalu membanting cerminnya (realita di panggung, cerminnya tidak aku banting, karena tidak tega, padahal harganya cuman sepuluh ribu beli di dekat kampus barusan sebelum berangkat ke salon).
            Pada saat aku akan berangkat ke Graha Cakrawala, tiba-tiba ada SMS dari teman sekelas yang menyuruhku membuka inbox Facebook jika sempat. Saat aku buka, isinya...



            Waaaah, aku terharu! Makasi Mea dan Ina yang udah meluangkan waktu bikin begituan, aku berasa di-charge semangat full deh!
            Di Talent Show ini, aku dapat nomor urut tampil 5. Alhamdulillah tidak terlalu awal dan tidak terlalu akhir. Rasanya semua berlangsung cepat. Alhamdulillah, tidak ada kesalahan yang berarti di panggung, hanya aku sempat salah lirik dan tidak bisa vibrate karena nervous. Sebenarnya aku kurang nyaman menyanyi di middle voice, tapi aku harus menyesuaikan Mas Lucky, sehingga aku turunkan nada dasar lagunya. Pada saat tampil, kami hanya diberi waktu 3 menit untuk tampil semaksimal mungkin di panggung.


Penampilanku malam itu


Sungguh bakat yang ditampilkan ke-40 semifinalis malam itu sangat bagus dan beragam. Ada yang menari tradisional, tari kontemporer, modelling, MC berbahasa Mandarin, puisi bahasa Inggris, menyanyi dangdut, pop, keroncong, seriosa, teater, stand up comedy, paskibra, puisi, banyak deh pokoknya. Bangga banget lihat mahasiswa UM yang berbakat dan pede-nya luar biasa. UM benar-benar mewadahi mahasiswanya, tidak hanya dalam bidang akademis, namun juga nonakademis.
Ratih yang membawakan tari kontemporer, Angga membawakan pertunjukan drama, dan Octa bersama band membawakan lagu pembuka.

            Setelah semua peserta tampil, juri bersidang untuk menentukan siapa yang akan menjadi finalis dan otomatis tergabung di Paguyuban Duta Kampus UM. Para semifinalis maju bersama-sama ke atas panggung. Awalnya akan diambil 20 besar, 10 orang putra dan 10 orang putri. Namun, karena ada hal lain yang dipertimbangkan, akhirnya dipilih 11 orang putra dan 11 orang putri. Mas Lucky dan Mas Candra disebutkan masuk ke 22 besar ini, sekarang tinggal aku. Namaku tidak disebut-sebut sampai putri yang ke-9. Aku mulai pesimis dan pasrah saja, aku sudah berusaha menampilkan yang terbaik yang aku bisa. Namun, ternyata......................akhirnya aku dipanggil menjadi salah satu finalis yang berhak melaju ke babak selanjutnya! Subhanallah, ini rasanya jantung uda mau copot trus glundung ke kanan-kiri nunggu namaku dipanggil dengan tetap memajang senyum sok tabah, dadaku naik turun, hufffed. Alhamdulillah...


Bersama Ria dari Sastra Jerman.
Mas Candra, Mbak Bella, aku, dan Mas Lucky
8
Final! Final! Iya ini hari di mana semua akan ditentukan! Hari ini diawali dengan pembekalan beauty class dari LT Pro. Aku mengambil izin tidak mengikuti kuliah hari ini dengan memanfaatkan surat dispensasi dari panitia. Alhamdulillah dosenku mendukung dan memberi good luck sebelum aku meninggalkan kelas. Teman-temanku pun memberi semangat untuk nanti malam dan mereka  berjanji menonton seperti saat semifinal. Beruntungnya aku memiliki teman sekelas yang support seperti mereka.
Setelah pembekalan, kami melakukan gladi bersih di atas panggung. Setelah itu kami diberi waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan semuanya, karena sore hari semua sudah harus siap.
Acara final dimulai setelah maghrib. Kami makin nervous tidak karuan. Di belakang panggung, teman-teman finalis lainnya saling tebak-tebakan dan belajar. Banyak yang sambil berjalan ke sana-ke mari dengan mulut komat-kamit menghapal mantra sesuatu. Banyak yang mengusir kegugupan dengan bermain handphone. Sedangkan aku, lagi-lagi aku, tidak bisa seperti itu. Aku tidak menyentuh kertas belajarku sama sekali. Aku sudah menyentuhnya dari malam kemarin hingga pagi. Aku memilih bercanda-canda dengan teman-teman yang sama woles-nya dengan aku. Berfoto-foto dan saling kepo satu sama lain. Menyadari ke-woles-anku, aku akhirnya duduk dan minta untuk ditebak-tebaki oleh Mas Candra. Kami berdua saling tebak-tebakan dan membayangkan sedang ditebaki di atas panggung.

Bersama para grand finalist dan Daddy di belakang panggung.

Tidak terasa tiba waktunya. Kami lalu dipersiapkan di backstage. Acara dibuka oleh MC. Kami, ber-22 pun keluar panggung dengan koreografi yang sudah diajarkkan. Daaaaaaaaan, aku yang ditempatkan di formasi paling depan, malah yang gerakannya paling salah. Entah apa yang terjadi, waktu latihan, aku sangat hapal gerakannya. Tetapi malam itu aku blank setelah melihat penonton begitu banyaknya memenuhi tribune Graha Cakrawala. Kyaaaaa, aku sudah down saat itu. Aku pesimis dan merasa mempunyai firasat buruk, ahaha. Kegagalanku di koreo pembuka masih terngiang dan terbawa pada saat harus memperkenalkan diri satu per satu kepada penonton. Kami diperkenankan menggunakan bahasa apa saja saat memperkenalkan diri. Aku menggunakan bahasa Inggris. Daaaaaan, aku tidak konsen. Lagi-lagi blank karena gugup. Aku mengucapkan, “Good evening, ladies and gentlement. My name is Dina Nisrina, Indonesian Language Department 2013...” belum selesai aku memperkenalkan diri, tiba-tiba para supporter dari Fakultas Sastra meneriakkan yel-yel, “Salam ala Sastra! Uwiwiwiwiwi” dan aku melanjutkan perkenalan, “...Faculty of Sastra!”. Aku lalu sejenak mematung. Aku terngiang yel-yel itu. Dina, tidak. Sego campur keluar. Harusnya aku mengucapkan Faculty of Letter. Aaaaaaaaaaa, ini kesalahanku yang kedua dan ini baru awal! Okelah. Aku terima. Tapi aku harus tetap maju karena acara belum selesai.
Saat turun panggung, Mas Fiekri membaca merah mukaku dan memberi motivasi lagi, “Tenang, udah, lupain yang sudah-sudah. Habis ini kamu jadi dirimu sendiri kok, mau nyanyi, kan?”. Hehehe, Mas Fiekri kayak ibu peri gitu, ya :D
Diikuti sambutan-sambutan  dan hiburan pembuka., setelah ada penampilan dari duta 2013, calon duta 2014 juga menyiapkan penampilan. Aku dan Mas Lucky ditunjuk sebagai perwakilan dan kami menyanyikan lagu Indonesia Jaya hasil belajar tadi pagi kilat bin dadakan. Setelah itu, aku lega. Aku mencoba melupakan kebodohan yang sudah-sudah dan berdoa agar lolos ke babak 12 besar.
Babak 12 besar datang. Diumumkan 12 nama yang berhak maju ke sesi tanya-jawab. Alhamdulillah, aku disebutkan masuk ke 12 besar. Kami menjawab pertanyaan yang diambil satu per satu di akuarium kosong yang disediakan. Aku mendapat pertanyaan tentang Asean Free Trade Area. Aku jawab semantap dan sepadat mungkin. Alhamdulillah, semua berjalan normal.
Ini nih yang masuk 12 besar.
Setelah sesi tanya-jawab selesai, kami menunggu di backstage untuk pengumuman. Sesi ini diisi oleh penampilan Band Sumber Kencono, yang notabene juga teman-temanku di Unit Kegiatan Mahasiswa. Aku mendapat support dari mereka. Semangatku yang mulai luntur, bangkit kembali. Aku harus optimis, karena sudah pada tahap ini. Aku baca pesan-pesan bertaburan di hape, dari teman-teman, aku harus optimis dan tidak boleh mengecewakan mereka yang sudah datang memenuhi tribune dan sudah support sejauh ini.
Babak pengumuman tiba, ada wejangan-wejangan dari para dewan juri untuk peserta dan penonton. Pemenang yang akan diumumkan adalah yang sudah melalui tahap awal dari seleksi administrasi, tes tulis, wawancara, tes bakat minat, dan observasi sikap yang dilakukan oleh panitia selama kegaiatn pemilihan. Yang pertama diumumkan adalah pemenang Favorite Campus Ambassador yang disandang oleh Lengga Buana dari Fakultas Sastra dan Devi Purindra Parama Dewi dari Fakultas Teknik. Menyusul Runner Up II, Bima Pranata dari Fakultas MIPA dan Yunita Ratna Wibawani dari Fakultas Ilmu Pendidikan. Runner Up I disandang oleh Abi Fajar Fathoni dari Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Gerry Nabella Winda dari Fakultas Sastra.
Pengumuman juara adalah yang paling menegangkan. Aku hanya bisa pasrah saat semua sudah diumumkan kecuali juara 1-nya. Aku yang hanya berharap bisa memperoleh favorite campus ambassador, hanya bisa pasrah, wkwkwkwk. Aku tidak berharap banyak mengingat kesalahan-kesalahan yang aku lakukan tadi. Tapi, di sisi lain aku harus selalu tersenyum, karena di depanku banyak teman-teman dari PSM dan teman-teman dari FS yang meneriakkan namaku sambil mengacungkan jempol. Terlihat pula teman-teman lamaku dari Fakultas MIPA yang memanggil-manggil namaku. Aku juga melihat Dini dan kakak sepupuku, Mbak Wulan yang datang malam itu. Ah, aku harus selalu tersenyum demi mereka yang rela duduk mendukungku.
Juara 1 ini akan “dislempangi” langsung oleh rektor saat itu, Prof. Dr. Suparno. Rektor memberi sambutan-sambutan sejenak. Setelah itu, rektor menuju ke peserta yang tersisa. Juara 1 putra sudah dislempangi. Stephanandra Senna Pradana dari Fakultas Pendidikan Psikologi resmi dinyatakan sebagai Duta Kampus Putra UM 2014. Sekarang tinggal yang putri.
Rektor berkeliling ke peserta yang tersisa sambil membawa slempang. Backsound panggung menambah kegugupan suasana. Bagaikan berdiri di atas tebing dan di bawah sana ada jurang dan sungai berbuaya, jantung ini sudah di ambang batas kenormalan detak. Apa deh.
Tiba-tiba rektor berhenti di belakang salah satu peserta. Daaaaaan... *drum roll*, rektor dengan lembut memakaikan slempang itu padaku :’) aku tidak percaya :’). Alhamdulillah. Subhanallah. Aku hanya bisa tersenyum garing kepada Pak Parno dan menyambut salam beliau, karena aku tidak tahu harus bagaimana.
Pada saat diberi hadiah dan ucapan selamat oleh Pak Parno

9

Yah...begitulah cerita yang panjang lebar dari saya, aku, Dina, yang intinya tidak sepanjang ceritanya, hehe. Terima kasih untuk semua teman dan kerabat yang sudah mendukung dari awal sampai detik ini. Maaf jika belum bisa memberikan apa-apa sampai detik ini. 


Sama teman-teman PSM yang sepulang latihan menyempatkan datang ke Graca
Perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai sejak malam itu. Jujur, sejak malam itu, aku merasakan sedikit perubahan dari lingkungan. Apa-apa yang aku lakukan akan dinilai oleh orang, karena sekarang aku public figure di taraf kecil. Tidak bisa dipungkiri, sedikit-sedikit aku bertingkah aneh, pasti ada yang bilang, “Duta kampus kok tingkahnya kayak gitu,” atau misal heboh sedikit, “Ciye...duta kampus ciye...”. Atau misalnya sedang ngapain gitu, “Aduh, aku lagi sama duta kampus”, “Lho, duta kampus masih mau makan di sini?”. Itu hanya sebagian dari perubahan kecil. Tetapi percayalah, apalah arti sebuah sematan gelar, aku tetaplah Dina yang tidak bisa anggun, Dina yang ramai dan kekanak-kanakan, yang cerewet baik lisan maupun tulisan, yang tidak bisa diam dan selalu memenuhi celah kesempatan, dan Dina yang sangat dinamis yang pernah kalian kenal. Namun, terima kasih, karena aku duta kampus, aku semakin termotivasi untuk selalu berprestasi dan menjadi lebih baik. Hihihi J
Tetap pada motivasi, aku akan melaksanakan tujuan awal sebagai duta kampus. Aku mulai menjalankan program yang aku janjikan, program sederhana untuk melejitkan nama UM pelan-pelan melalui dua program yang namakan #WhatsUpUM dan Pengapelan (Pengaduan Pelayanan). Tidak muluk-muluk. Program #WhatsUpUM adalah program yang berlangsung di jejaring sosial, semua orang, tidak hanya warga UM bisa membuat postingan berita baik dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di UM di Instagram, Twitter, Facebook, atau jejaring sosial lainnya dengan menyertakan tagar #WhatsUpUm disertai tagar #universitasnegerimalang. Sekarang sudah banyak teman dan ratusan postingan yang ter-influence untuk melakukan kegiatan positif ini. Orang di luar sana akan melihat betapa hebatnya UM dan UM pelan-pelan bukan lagi universitas yang diremehkan, karena UM adalah universitas yang kredibel dan berdaya saing tinggi. UM memiliki mutu yang tinggi di bidang akademis maupun non akademis. Itulah pesan sederhana yang selalu aku impikan. Mulai detik ini, aku tidak lagi malu menyebut aku kuliah di UM! Jurusan Sastra Indonesia! Aku akan membuat orang mengatakan, “Wah...” tidak lagi “Oh...”.
Sedangkan Pengapelan adalah singkatan dari Pengaduan Pelayanan. Selama ini, mahasiswa cenderung mengeluhkan kekurangan pelayanan kampus di jejaring sosial. Tidak menyelesaikan masalah, orang-orang justru akan tahu keburukan kampus dan semakin memandang sebelah. Pengapelan mewadahi teman-teman di sekitar saya dan para duta untuk mengadukan suatu keluhan. Misal saja, waktu itu ada yang mengeluh soal mushola dan mukena yang tidak layak di Fakultas Sastra. Aku lalu mengadukan pada teman-teman divisi kerohanian HMJ untuk mencuci mukena setiap minggunya. Atau minimal, teman-teman HMJ dan BEM yang dinaungi langsung oleh fakultas, bisa membuat proposal untuk pengadaan mushola di tiap gedung yang layak. Walaupun belum ditanggapi lebih lanjut, setidaknya sekarang terbukti, beberapa mukena sudah wangi, hehehehehehehe.

Oke, janji, ini sudah ending. Hehe, postingan ini kalau ditulis di Microsoft Word sebanyak 13 halaman, btw. LOL. Dari semua cerita di atas, saya bisa menarik sebuah hikmah *dandan motivator dulu, ya*. Ehem, ehem. Pakai bahasa Inggris pas-pasan dulu, biar agak ngena. You don’t have to be someone else to be special. All you have to do is just be you. If you wanna be a princess, let me share you something I’ve learned. To be a princess is not about a crown or wonderful gown. To be a princess is about how great a princess' heart and how beautiful a princess' smile when she is on the top or the bottom of her life J

PS: Kalian bisa mengintip kegiatan-kegiatan Duta Kampus UM di sini.


Monday, January 06, 2014

My First Stepping Stone

Haaaaaaaaalooooooooooooooooooooooooooooooooooooo, dunia! Wehehehe, oke! Aku semangat banget, ya? Iya dong...harus dong... Kenapa, nih? Ada apaan, nih? Heboh banget sih...dapet pacar baru, ya? Dapet uang? Menang lomba? Apa sih? 

Leeeeeebih dari itu! Setelah deg-degan selama satu semester, akhirnya aku bisa buktikan kepada dunia pada umumnya dan orang tua pada khususnya tentang hal yang selalu aku perjuangkan di masa lalu (ecieh sok dramatis dikit ga papa lah, ya). Yak! Ini dia yang ditunggu-tunggu. Pasti yang baru baca postingan ini mikir, "Apaan sih, ngomong apa sih Dina ini?". Jadi gini, inget kan cerita melankolis yang pernah aku tulis panjang lebar kayak truk tangki Pertamina tentang keputusanku buat pindah jurusan dulu? Kalo lupa, coba cek dulu deh biar nyambung. Cek di sini dan di sini.

Masih inget juga tentang "Passion energizes your talent?" mungkin kali ini aku bakal sedikit mengutip quote ini dengan ditambahi sedikit, kalau tidak salah, quote barusan adalah punya Deddy Corbuzier. Kali ini aku mau bikin quote sendiri aja deh. "Keberhasilan adalah hibrida dari niat dan usaha, dibumbui dengan dukungan dan passion". Keren ngga, tuh? Itu deh yang bikin aku semangat banget masuk Pendidikan Sasindo dan bikin aku yakin aku ga salah pilih lagi. *By the way penjabaranku rada ga nyambung, pemirsahh*

Hal pertama yang mau aku pamerin adalah ini. Tararaaaaaaaa... *drum roll*

Hasil tes prediksi Uji Kemahiran bahasa Indonesia untuk mahasiswa baru Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang punyaku.
Kalo dibanding sama hasil tes TOEFL sih jauh banget gitu ya, hampir setengah. Ini nih "sesuatu" awal yang bikin aku sedikit lega dan berbesar hati sambil mikir kalo I'm good enough di Sasindo ini. Yang bikin semangatku panas di awal buat ngelanjutin dan ngebuktiin ke dunia "aku lhoooo pantes jadi anak Sasindo", "aku lho emang passion-nya di sini", "aku bisa buktiin prestasiku jauh lebih bagus di sini" tanpa harus banyak berceloteh ini itu. Jadi, selama aku masuk Sasindo ini aku akan minimalisasi ngomong dan banyak action. Just let them see, tanpa harus banyak berkata-kata. Terutama buat beberapa orang yang bilang kalau ilmu bahasa itu ngga terlalu penting :-)

Dan bukti kedua yang bisa aku kasih adalah ini nih...

Ini semacam rapor online. Right click and open in new tab to enlarge picture.
Jujur awalnya aku bingung. Aku udah bisa ngebuktiin ke ortu kalau aku emang bener-bener ga ada passion di dunia IPA. Tapi aku belum bisa kasih bukti kalau aku bisa lebih baik di bahasa. Bukti apa lagi yang bisa bikin ortu percaya kalau aku emang "bakat" dikit gitu ya di sini selain IP (Indeks Prestasi). Yaaaah, walaupun aku selalu percaya kalau angka bukan segalanya buat menilai seseorang. Aku ulangi, pake capslock ga kontrol nih ya ANGKA BUKAN JAMINAN BROOO, BUKAN JAMINAN SESEORANG ITU PINTER BENERAN, BUKAN JAMINAN ITU MURNI DAN ASELIIII LI LI, MAS BRO...MBAK BRO :-)

Tapi, buat sementara waktu ini ga ada cara lain yang nyata dan bisa diliat selain IP, apa boleh buat. Dan jujur aku lumayan suka sama IP semester ini. Waktu itu targetku adalah di atas 3,5. Dan alhamdulillah Allah ngasih bonus. IP-ku semester ini adalah 3,70. Bahkan ada beberapa mata kuliah yang di atas ekspektasi. Dan jujur sebenernya aku pesimis buat ngedapetin IP di atas 3. Soalnya, semester ini kegiatanku di luar kuliah sungguh sangat amat sibuk sekali pemirsahhh (kudu banget pake pleonasme dan hiperbola kayak gini). Tapi alhamdulillah lagi, aku bisa bagi waktu dalam sehari antara kuliah, kegiatan nonkuliah, istirahat, dan bobo cantik dengan selisih waktu yang mevet bin mripit. Jadi, em...maaf banget buat berbagai macam teman yang aku kecewain gara-gara aku sama sekali ga punya waktu buat main atau sekedar ngopi. Next time, I will. Tunggu ya :')

Hhhh... Aku anggep ini adalah batu loncatan pertama buat membuktikan ke dunia bahwa di sini ada gadis besar (badannya) yang masih kecil, dan perlu dipeluk (oke, salah fokus), yang perlu dibimbing buat mencapai cita-citanya untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya, orang tuanya, sekitarnya, dan Tuhannya. Cita-cita yang simple, kan?

Jujur, bukan perkara mudah untuk menebalkan telinga selama enam bulan aku berkeputusan seperti ini. Terkadang bahkan orang terdekat, teman terdekat, siapa pun bahkan yang belum mengenal, berani sekali melukai hati kecil yang sedang memilih ini (oke, sisi sensitifku muncul, ga papa ya...). Sering banget aku denger "Dulu yang milih IPA siapa, yang milih pindah siapa", "Ngabisin duit aja sih", "Kamu ga pengen cepet nikah apa", "Hah, aku sih pengen cepet lulus" yang mewarnai hariku. Bahkan sampe ada yang bilang "Mbak, kamu dari kecil diajari bahasa planet ya sama papa-mama? Kok baru sekarang belajar bahasa Indonesia. Sini aku ajari aja, mbak...", kata salah seorang satpam di kampus. Aku cuman senyum sambil dalam hati bilang "Please ya, mas...rektor kita berkali-kali periode adalah dosen Sastra Indonesia. Trus mas udah tanya hal begituan belom sama Pak Rektor? Berani kagak?". 

Untuk saat ini dan sampai aku bisa benar-benar membuktikan, aku akan terus diam sambil terus berusaha. Karena terkadang ada orang-orang yang hatinya perlu disentuh. Kamu tidak usah banyak bicara dan berlaku jahat. Cukup dengan biarkan mereka melihatmu membuktikan. Itu sudah menyentuh mereka dengan caramu. Sesukamu :-)



Jangan bosan menjadi orang yang berbeda. Selama itu tidak salah.
Selalu terima kasih sama Allah, sahabatku yang tidak pernah mencela.

Sunday, July 21, 2013

This is The Answer!

Aku mendapat pesan dari si Vindy, kalau pengumuman hasil SMPDS (Seleksi Mandiri Program Diploma dan Sarjana) UM bisa diakses tanggal 20 Juli. Awalnya sih makin nervous, soalnya tanggal seharusnya adalah 23 Juli. Ah, sudah pasrah rasanya. Tawakkal total.

Walaupun pengumumannya dibuka pukul 24.00, aku sengaja membukanya setelah sahur, karena kalau kemungkinan terburuk terjadi, setidaknya aku tidak perlu tidak bisa tidur nyenyak. Setelah sholat shubuh, mengaji, dan melemaskan diri, aku putuskan untuk memainkan kombinasi angka-angka yang rumit ini ke dalam website yang paling aku takuti sedunia, lebih dari website primbon. 

Hormon-hormon adrenalinku mulai melambung tinggi sampai ke ubun-ubun dan sudah mau meletuskan ledakan yang mahadahsyat, lebih dari ledakan di Hiroshima dan Nagasaki. Terbang ke luar menembus langit ketujuh, berharap masih ada langit kedelapan, kesembilan, kesepuluh, dan keberapa pun yang ingin ku tembus. And, here is the answer...


Alhamdulillah... Allah really knows what the best for me is... Terima kasih untuk kesempatan yang entah sudah keberapa kali ini. Hanya Engkau yang paling maha tepat janji, memberiku kesempatan keempat di saat yang lain bilang bahwa kesempatan kedua saja sudah tidak ada. Dan berkat Engkau, "indah pada waktunya" bukan sekadar judul lagu ataupun sekadar janji manis bagi orang yang gagal sekarang. Engkau mahasegalanya, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam :-)

Terima kasih juga buat semua supporter di belahan bumi ini, kalian terbaik. Yang menguatkan dan mendoakan, memastikan bahwa kita tidak pernah sendiri di sini, jujur...tanpa kalian, mungkin sekarang aku tidak bisa berdiri. Di sini :-)

Wednesday, July 10, 2013

Pertanyaan, Pilihan, dan Jawaban

Halo...mungkin baru hari ini aku bisa menulis lagi di blog setelah beberapa  bulan sudah banyak draft yang sebenarnya mau aku post, tapi aku tidak punya waktu karena kesibukanku yang semakin merajalele (?) akhir-akhir ini. Kalo ibarat artis, mungkin inilah konferensi pers yang sudah ditunggu-tunggu sama wartawan dan pekerja infotainment.

Maaf tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar dan maaf sudah membuat bertanya-tanya. Sebenarnya Dina kenapa? Kok semua status terakhirnya di jejaring sosial galau gitu? Kok saat ditanya tidak pernah ada jawaban? Kok tiba-tiba tidak punya waktu untuk bertemu? Kok tiba-tiba menjadi sangat tidak asyik dan tertutup?

Ini nih jawabannya.

Sebenarnya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku disibukkan dengan UAS, dengan kegiatan paduan suara, dengan 2 proyek kerjasama (yang tidak bisa aku sebutkan), dan dengan 1 perubahan terbesar yang mungkin akan aku jalani. Perubahan? Apa itu? Dina mau operasi plastik? Hahaha, baca sampe tuntas ya... ;-)

Sudah setahun aku kuliah di Pendidikan IPA di UM. Jurusan ini adalah jurusan yang aku PILIH SENDIRI saat SNMPTN Tulis tahun lalu (baca cerita lengkapnya di sini). Dan tahun ini, aku mengikuti SNMPTN Tulis lagi (yang sekarang sudah berubah nama menjadi SBMPTN) untuk kuliah di jurusan Sastra Indonesia UM.

Lho? Kenapa? Emang cita-citanya Dina apa?

Ada hal di dunia ini yang bernama cita-cita. Dari kecil, cita-citaku selalu berubah. Cita-cita pertamaku adalah menjadi arsitek. Mungkin karena aku melihat bapak yang setiap hari kerjanya menggambar rumah dan membuat bangunan-bangunan. Berdiri di atas gedung tinggi, memegang penggaris yang macam-macam bentuknya, menggulung-gulung gulungan kertas besar, mainan laptop tiap hari, bertemu dengan banyak orang di dunia dan membincangkan sesuatu yang menurutku fantastis.

Lalu tiba-tiba aku ingin menjadi programmer. Melihat Mbak Anja (kakak pertamaku) yang bermain angka dan matematika di laptop. Membuat animasi lucu, mendesain web, sampe Mbak Anja pake kacamata tebal yang menurutku sangat keren.

Aku juga sempat ingin menjadi jewelry designer. Melihat Mbak Hani yang setiap hari berkutat dengan prakaryanya. Menjahit, merangkai aksesoris, wanita banget. Dan sepertinya enteng. Tapi banyak duit.

Terakhir, cita-citaku menjadi sangat mantap untuk menjadi guru saja. Aku suka sama Bu Iva, guru matematikaku di SMA. Aku juga suka sama Mbak Cinta, guru Bahasa Indonesiaku di Neutron. Aku ngefans sama Bu Susi, Oom Wawan, Mbak Ida, Mbak Upik, aku ngefans sama Bu Erna. Itu semua adalah guru yang menurutku sangat fantastis dan sangat membuatku ingin menjadi guru. Mereka bekerja tanpa pamrih, tetap tersenyum, rela belajar beberapa jam lebih awal, dengan gaji yang tidak banyak, namun mereka bahagia, hanya untuk mencerdaskan kami. Menurutku, itu adalah pekerjaan paling keren dan paling mulia, di dunia.

Akhirnya, aku memutuskan, aku ingin menjadi guru, yang sangat hebat tentunya.

Terus, kenapa pilih IPA?

Saat kenaikan kelas 11, ada hal yang membuatku galau. Ini adalah titik pertama aku harus memilih sendiri masa depanku. Aku harus masuk jurusan apa. IPA, IPS, atau Bahasa. Semua nilaiku bagus di Bahasa. Semua nilai IPS-ku rendah. Dan nilai IPA-ku biasa-biasa saja. Tapi 2 kali psycho-test menyarankanku untuk masuk jurusan IPA atau IPS.

Aku tidak suka menghapal. Ingatanku sama halnya dengan ingatan ikan. Hanya beberapa detik. Jadi, aku memutuskan untuk tidak pilih IPS, karena aku benci harus menghapal tanggal-tangal di sejarah. Secara, tidak ada 1 pun orang di dunia ini yang aku ucapkan ulang tahunnya jam 12 malam karena aku tidak pernah hapal ulang tahun siapa pun kecuali keluargaku di rumah, sekali pun itu ulang tahun pacar. Aku juga tidak suka menghitung uang. Aku tidak suka ngurusin uang. Aku tidak suka ekonomi. Aku benci politik. Aku tidak memilih IPS.

Aku suka sekali bermain verbal. Aku suka Bahasa Inggris. Karena aku bisa merasa keren tiap nilai bahasa Inggrisku muncul di rapor. Aku tidak pernah remidi pelajaran ini. Bahkan, nilai bahasa Inggrisku semester ini A. Walaupun aku sangat gagap tiap harus mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Aku suka bahasa Indonesia. Aku juga tidak pernah remidi. Walaupun nilaiku masih lebih rendah dari bahasa Inggris, tapi aku suka menulis. Aku suka blogging.  Saat SD dan SMP pun, aku suka bikin cerpen. Dan kalau teman SD-ku masih ingat, aku dulu suka sekali meminjamkan hasil kumpulan cerpenku sampai guru olahragaku bilang, “Pinter nulis ya, Dina”. Saat SMP pun aku sempat bikin 1 novel, aku jilid sendiri, aku bikin cover sendiri dan teman-teman bilang, aku berbakat. Aku sering bikin puisi di mading. Aku suka teater. Aku suka bikin naskah drama. Sudah 3 judul naskah drama yang pernah dipentaskan di  SMA yang aku tulis. Naskah film pendek yang aku tulis juga pernah menjadi juara cerita terbaik se-kota Malang saat festival pelajar. Aku punya banyak follower di blog, artinya, mereka menyukai tulisanku. Tapi, entah kenapa...aku sama sekali tidak melirik jurusan Bahasa.

Aku suka matematika. Walaupun aku sering remidi, tapi aku selalu duduk depan saat ulangan. Bu Iva bilang, yang pinter-pinter biar di depan, biar ga dicontek. Aku pernah diikutkan olimpiade matematika saat SMP. Bahkan, nilai UNAS tertinggiku saat SMP adalah matematika, hampir absolut. Aku suka biologi. Aku suka mempelajari kesehatan. Aku suka alam. Aku suka menganalisis. Apalagi soal skoliosis, tidak akan pernah ada habisnya. Aku suka teori fisika. Tapi aku benci rumusnya. Aku tidak pernah suka kimia. Dan tidak pernah mendapat nilai bagus. Aku tidak bisa mengerti kimia sampai detik ini. Entah kenapa. Tapi, dengan mantap aku pilih jurusan IPA waktu SMA. Karena waktu itu, IPA adalah hal terkeren di dunia. Bapakku juga senang sekali aku masuk IPA. Sama seperti Mbak Anja dan Mbak Hani. Aku juga mendapat nilai kesenian (yang waktu aku kelas 12 adalah seni mendesain seperti arsitek) yang di atas rata-rata. Kata Pak Joko, aku adalah 3 besar cewek yang desainnya bagus dan rapi di kelas setelah Ressy dan Mia.

Entah kenapa, aku juga masih tidak mengerti, mengapa aku memilih IPA. Pilihan yang dibuat oleh seorang remaja yang masih labil. Yang masih belum mantap cita-citanya, dan masih belum melihat masa depan, yang beberapa tahun lagi harus ia jalani. Dengan tidak main-main.

Gimana ceritanya pas milih jurusan kuliah dulu?

SNMPTN Undangan

Sebodoh-bodohnya aku, ternyata aku masih termasuk anak yang dianggap pintar sama guru-guru. Sedikit arogan, ya? Memang. Aku masuk di daftar murid yang diberi kesempatan untuk mengikuti SNMPTN jalur undangan (dulu PMDK). Walaupun rangkingku di sekolah sangat tidak seberapa dan itu hanya kebetulan saja. Aku bingung harus memilih jurusan apa. Aku mencocokkan dengan cita-citaku. Aku memilih Pendidikan Matematika di UM, karena aku ingin menjadi guru. Pilihan kedua, aku pilih Matematika murni, karena siapa tau kalau tidak masuk pilihan pertama, pilihan kedua bisa nyantol dan aku bisa ambil PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan menjadi guru juga nantinya.

Kenapa pilih matematika? Karena, setelah 2 tahun sekolah mempelajari IPA, aku tidak bisa mengikuti. Semua nilai yang aku dapatkan sejak SMA, tidak jujur. Walaupun sudah les privat fisika dan les di bimbel, aku tetap tidak bisa menyerap pelajaran-pelajaran IPA. Aku hanya mengandalkan google, contekan teman, dan kertas contekan yang aku buat semalam sebelum ujian. Tapi entah kenapa, nilai ujian lisan fisikaku bagus. Aneh. Intinya, ujian IPA adalah mimpi buruk, kecuali biologi. Dan hanya matematika dan biologi yang bisa menyelamatkanku, karena nilaiku di 2 pelajaran itu yang paling lumayan.

Jurusan ketiga yang aku pilih adalah Ilmu Gizi di UB. Aku ingin menjadi orang yang paling sehat di dunia dan menjadi orang yang paling mengerti kesehatan (karena semenjak aku sakit, aku jadi lebih peduli kesehatan) melalui makanan. Aku sempat ingin menjadi dokter, tapi aku sadar diri, otakku tidak pernah sampai. Setidaknya, ilmu gizi tidak perlu banyak main rumus fisika dan kimia, ku kira.

Di SNMPTN Undangan, nilai yang paling stabil-lah yang paling dilihat. Sedangkan nilaiku naik-turun seperti grafik cosinus. 2 hari sebelum pengumuman SNMPTN Undangan, aku bermimpi ada seseorang yang mengatakan padaku, aku tidak cocok masuk jurusan ilmu gizi. Dan ternyata benar. Malah aku gagal di ketiga-tiganya.

SNMPTN Tulis

Kegagalanku di SNMPTN Undangan membuatku makin galau, karena aku harus memilih lagi. Dan kali ini lebih berat. Belum lagi, Dini dan saudara sepupuku diterima lewat jalur undangan. Sedangkan aku masih harus berjuang lagi. Ada faktor mental yang lebih berat kali ini. Tiba-tiba aku ingin menjadi guru SD. Aku sangat suka anak-anak. Dan aku adalah orang yang tidak bisa fokus pada 1 bidang secara total. Aku kira, dengan menjadi guru SD, aku bisa memelajari banyak bidang dengan tidak terlalu detail. Aku juga akhirnya ingin memilih Pendidikan Bahasa Indonesia. Tapi...aku terlalu pengecut untuk mengambil IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) atau bahkan IPS saat tes. Karena aku merasa, untuk memelajari IPA saja sudah susah. Apalagi harus memelajari IPS secara dadakan dalam 1 bulan saja. 

Karena pengecut, aku tetap memilih jurusan di bidang IPA. Aku tetap memilih Pendidikan Matematika UM. Aku masih sangat ingin menjadi penerus Bu Iva. Dan saat aku bingung menentukan jurusan kedua, tiba-tiba aku melihat ada jurusan Pendidikan IPA di daftar. Aku kira, dengan mengajar SMP, aku tidak perlu terlalu detail memelajari Fisika dan Kimia. Apalagi, pelajaran SMP pasti lebih mudah dari SMA, jadi aku tidak perlu khawatir aku tidak bisa Fisika dan Kimia.

Dan akhirnya dengan bangga, aku lolos SNMPTN Tulis, di Pendidikan IPA. Dan menjalaninya sampai sekarang.

Lantas, apa alasan ingin pindah jurusan?

Awal masuk, aku sangat sumringah walaupun aku kesulitan dari awal untuk menyerap pelajaran di kelas. Aku kira kesulitan ini karena aku masih dalam proses adaptasi. Ternyata aku salah, di sini tidak semudah bayanganku. Lambat laun, aku bukannya menemukan peningkatan pemahaman. Entah mengapa, makin lama aku makin tidak paham. Aku mudah mengantuk di kelas, karena aku sama sekali tidak mengerti. Parahnya, aku baru sadar, aku tidak mengerti dari konsep awal, yang diberikan di SMA dulu. Ketidakmengertian yang ditumpuk-tumpuk lama-lama menjadi menggunung. Makin hari aku makin tidak mengerti, tidak mengerti, dan tidak mengerti. Semua laporan praktikum Fisika yang aku buat adalah hasil pekerjaan teman yang aku copy. Hanya 2 laporan awal yang aku kerjakan sendiri, karena materinya masih mudah. Saat pembagian pengerjaan laporan biologi dan kimia secara kelompok, aku selalu meminta teman sekelompokku untuk mengerjakan dasar teori, data pengamatan, dan analisis data saja. Di luar itu, aku sudah tidak paham. Aku benci presentasi biologi. Setiap presentasi, aku selalu terlihat bodoh, gagap, dan selalu ditertawakan. Akhirnya, aku selalu meminta untuk menjadi operator saja. Hanya praktikum biologi yang membuatku terlihat pintar. Dan nilaiku selalu A. Di praktikum kimia, aku selalu salah takaran, selalu menumpahkan larutan, dan saat ujian praktikum kimia, aku selalu tidak bisa mengerjakan apa-apa selain prosedur pengerjaan. Aku tidak mengerti sama sekali arti rumus dalam kimia. Bahkan, saat ujian praktik Fisika, dari 2 praktikum yang diundi dari 5, hanya 1 praktikum saja yang bisa aku kerjakan. Sisanya, blank. Dan aku menangis saat pulang ujian. Karena, sudah 2 semester aku mengalami hal yang sama. Aku tidak betah, aku tidak menemukan diriku di sini.

Bukannya aku tidak berusaha, tapi entah mengapa, aku tidak bergairah untuk belajar kali ini. Aku selalu ketiduran saat belajar, karena bosan dan tidak mengerti. Saat diterangkan teman, aku mengerti. Tapi setelah ujian, aku selalu tidak mengerti lagi. Aku tidak paham, kenapa aku. Kenapa semua harus berakhir dengan bantuan Google, dan beberapa teman yang kasihan melihatku tidak bisa, dan akhirnya memberi contekan. Adakah seorang calon guru yang lebih hina dari aku? Bagaimana muridku nanti? Apa yang akan aku jelaskan di depan kelas? Apa aku bisa menjawab saat ada murid bertanya? Apa iya, setiap ada teman dari fakultas lain meminta bantuan kepadaku untuk membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bersama, aku selalu menolak, karena aku tidak bisa IPA? Apa iya, saat ada teman dari teknik minta diajari fisika aku selalu melempar pada teman lain, karena aku sendiri tidak mengerti? Apa iya saat salah satu temanku minta dikerjakan PR-nya soal vektor, aku harus membuka google lagi dan lagi lalu mengirimkan jawabannya lewat BBM dan ia berterima kasih karena aku telah membantu menjawab, mengatakan aku pintar, padahal itu bukan pekerjaanku sendiri? Apa aku bangga menjadi seperti itu? Menjadi orang yang sama sekali tidak berfungsi secara optimal? Dan sampai kapan aku bergantung seperti ini?

Tulisan yang ada di kertas ujian Kimia. Astaghfirullah... :-(

Aku berusaha bertahan, berusaha suka, berusaha komitmen dengan pilihan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dipaksa. Yaitu passion. Seperti kata seseorang, “Passion energizes your talent”. Ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ada satu hal yang tidak bisa dimengerti. Ada satu hal yang jika diterima dan dimengerti bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Passion. Passion. Dan passion. Dengan berat hati, aku mengatakan, aku tidak ada passion di sini. Di pilihanku sendiri. Pilihan yang tidak dipilih dengan pertimbangan luas. Pilihan yang lahir dari pengecut yang tidak berani mengikuti hatinya. Astaghfirullah...maafkan aku Yaa Rahman L

Lalu, mengapa harus sastra?

Tidak ada yang kaget kenapa aku suka sastra. Jika aku di sastra, aku bisa mensinergikan dan menyalurkan kesukaanku akan menulis dengan layak dan sejalan, bukan hanya sekedar hobi. Ada energi tersendiri yang lahir saat kau mengerjakan apa yang kau sukai tanpa ada paksaan. Ada tanggung jawab besar yang menyenangkan walaupun berat jika kau berada di zona yang membuatmu menemukan jati dirimu seutuhnya, sesulit apa pun itu. Dan aku masih mau meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, S2, S3, dan berapa S lagi yang akan tercipta jika aku di sini. Karena aku suka. Dan aku yakin, aku dilahirkan memang untuk itu. Jika semua kemampuanku dilumpuhkan oleh Allah, hanya ada satu hal yang aku ingin tetap ada. Yaitu kemampuan dan kemauanku untuk menulis. Karena dengan menulis, aku bisa berbicara pada dunia, mengatakan apa yang tidak mampu aku katakan dengan suara. Writing works more than voices. Bahkan, ketika aku sudah tidak mampu lagi berbicara, ketika aku dilarang melakukan apa pun di dunia ini, tolong...jangan larang aku untuk menulis. Itu saja. Aku suka. Dan aku cinta. Tanpa paksaan.

Mendramatisir memang.

Ujian SBMPTN

Aku lalu mengambil uang tabungan dan uang saku kosku. Ke bank sendiri. Mendaftar SBMPTN. Ke Gramedia, membeli buku-buku kumpulan soal dan buku materi IPS. Ke gudang, mengobrak-abrik buku SMA, dan memulai belajar...sebagai anak IPS.

Ujiannya tidak terlalu sulit untuk pengetahuan umum, aku mengerjakan dengan yakin dalam jumlah yang lumayan banyak. Untuk ujian SOSHUM, memang hanya sedikit yang aku yakin. Namun kali ini, aku mengerjakan lebih pede dari tahun lalu, entah karena sudah pernah, atau memang karena aku bisa. Aku sangat optimis sekali.

Bagaimana hasil SBMPTN kemarin?

Mungkin ini jawaban yang ditunggu. Jadi, malam hari sebelum pengumuman, aku bermimpi sangat indah. Aku bermimpi ada di medan perang ujian praktik SIM C sedang mengendarai motor bebek. Aku memakai rok hitam, kemeja putih, dan jas almamater UM, persis seperti gaya mahasiswa baru yang sedang ospek. Kebetulan, tanggal 8 Juli kemarin, aku akan mendapatkan 2 hal spesial, harusnya sih. Aku akan ujian praktik SIM C untuk kedua kalinya dan akan menerima pengumuman hasil SBMPTN. Di mimpi itu, aku sangat bahagia mengendarai motor itu. Dan aku berhasil melalui ujian praktik SIM itu dengan sangat lancar, mulus, dan sempurna. Sampai-sampai di mimpi itu, namaku tersohor di pelosok negeri karena aku adalah wanita dengan nilai praktik tertinggi. Pulang dari praktik, aku yang masih berpenampilan sama, berbelanja kebutuhan ospek di sebuah mini market. Sungguh, itu mimpi paling indah sedunia.

8 Juli 2013

Tiba-tiba aku terbangun, aku bangun kesiangan. Maklum, aku sedang tidak solat, jadi tidak memasang alarm di saat subuh. Aku bangun 30 menit sebelum kantor SATLANTAS buka. Sampai di sana bersama ibu, aku sangat percaya diri walaupun masih deg-degan gara-gara kesiangan. Dengan senyum dan berkali-kali membaca Al-Fatihah, aku memulai ujian. Aku tidak terlalu gugup karena sudah pernah melakukannya. Dan aku sangat optimis, entah kenapa. Tapi, baru beberapa detik ujian, aku sudah menjatuhkan palang. Parahnya lagi, kakiku turun ke tanah. Motorku juga ke luar jalur. Aku tetap bersikukuh menyelesaikan ujian, walaupun nyata-nyata sudah gagal. Ujian kali ini lebih  buruk dari ujian sebelumnya. Di ujian sebelumnya, aku hanya menjatuhkan 2 palang tanpa menurunkan kaki. Tapi di ujian ini, sudah berapa kali aku melakukan kesalahan. Dan aku harus mengulang 2 bulan lagi. Mimpiku ternyata bukan untuk sekarang.

Masih down gara-gara gagal dapat SIM untuk ketiga kalinya, sore ini aku harus membuka website resmi SBMPTN untuk melihat hasil SBMPTN-ku. Aku sengaja melihatnya agak malam, karena aku tau kalau sore, pasti masih lemot. Aku buka dulu website Lipsus Kompas. Dan aku memasukkan namaku, nomer ujian, dan kode prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Tidak ada hasil. Ah, mungkin di prodi satunya. Aku masukkan kode prodi Sastra Indonesia. Tidak juga ada. Ah, mungkin Kompas yang eror.


Akhirnya aku membuka website SBMPTN karena masih kurang lega dengan jawaban yang diberikan Kompas. Dan ternyata...Kompas benar.  Aku lalu menghubungi salah satu temanku yang ikut SBMPTN ulang, sama denganku. Dan dia juga senasib denganku. 2 temanku lainnya juga sama. Kami sama-sama tidak lolos.

 Tulisan ini sama sekali jelek dan tidak memberi semangat. Harusnya ada kata-kata penyemangatnya. Tidak heran kalau anak-anak yang tidak lolos merasa sangat down.

Rasanya...benar-benar...campur aduk. Sambil memandang laptop, tanpa rasa apa pun. Flat. Sesekali tertawa dan bicara sendiri pada laptop, “Pasti kamu bercanda, ya kan...ya kan?”. Sedikit linglung dan mendadak galau luar biasa sangat, dan tidak bisa berpikir jernih. Melihat handphone yang sedari tadi berbunyi mengantarkan puluhan SMS, chat, dan mention Twitter dari teman-teman yang menanyakan hasil ujianku. Rasanya kacau. Mereka tidak akan mengerti. Dan aku malas menjelaskan satu-satu dari mana. Akhirnya aku mematikan handphone. Dan membiarkan mereka dengan rasa penasaran. Bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran sampai airnya penuh, aku tidak peduli. Seperti di sinetron. Seperti film Pocong. Sayangnya aku tidak punya shower. Menangis sejadi-jadinya. Lalu aku ke kamar. Melihat cermin. Berbicara sendiri. Memotivasi diri. Seperti orang gila. Lalu aku sadar, aku mulai gila. Aku tidak mau gila. Dan semua luluh...karena Al-Quran. Hanya Allah yang bisa aku ajak bicara sekarang. Di saat rumah sepi, di saat semua tarawih. Aku merasa sangat sendirian. Mengalami 4 kegagalan dalam sehari. Gagal dapat SIM, gagal lolos SBMPTN, dan gagal mengikuti tarawih pertama, serta gagal memberi kabar gembira pada Vindy, sahabatku yang hari itu ulang tahun, memberi tahu bahwa aku lolos. Itu sungguh menyakitkan. Dan tidak ada yang bisa mengerti...

Akhirnya aku membuat status di Twitter, membiarkan mereka yang bertanya-tanya menyimpulkan sendiri.

“Alhamdulillah... Allah showed so many things today for me, for my future. Allah knows how to make me wiser, knows the best. Alhamdulillah J

Lalu seketika banyak yang memberi respon dengan mengucapkan selamat atas kelolosanku. Aku hanya bisa tertawa miris, mereka tidak juga mengerti. “Alhamdulillah” adalah pujianku atas kemahadahsyatan Allah. Bukan selalu hanya ungkapan gembira atas suatu pencapaian. Aku bersyukur, Allah masih mempercayaiku menjadi orang yang selalu harus berusaha. Aku harus ditempa bolak-balik agar menjadi baja yang paling kuat. Allah suka hamba-Nya yang berusaha. Allah tidak akan memberi cobaan lebih berat dari kemampuan hamba-Nya. Allah suka orang yang sabar.

Lalu paginya, saat semua sahur, aku memutuskan untuk membuka HP dan membalas beberapa pesan hanya untuk orang yang aku percaya dan benar-benar bisa mengerti aku. Aku sungguh sangat berterimakasih pada Sundari dan Didin, yang paling tahu alasanku begini, dan yang menemani hingga saat ini, aku tidak tahu siapa lagi yang akan mengerti. Terima kasih selalu menjadi tempatku mengeluh. Oh iya, FYI, Sundari diterima di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir tahun ini, dan dia akan segera pindah dari Pendidikan IPA. Congrats, kamu berani jadi dirimu sendiri, Sun :-)

So...what’s next?

Siangnya, aku ke UM ditemani Dini. Aku ke gedung  di mana aku bisa mendapatkan informasi yang akurat tentang cara ke luar dari fakultas lama ke fakultas baru sambil menunggu pengumuman ujian mandiri. Tapi sayang, aku kurang mendapat pelayanan yang baik di sana, entah mengapa mereka tidak bisa menangkap dengan baik maksudku. Akhirnya, tanpa berpikir lama, aku pergi ke bank dan membeli formulir ujian mandiri. Sambil hujan-hujanan. Sampai pilek.

Bismillah, aku akan mencoba cara terakhir ini. Aku akan belajar lagi. Ya Allah, aku serahkan semua pada-Mu. Terima kasih telah percaya padaku untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Engkau yang hidup dan kekal, yang tidak pernah tidur dan yang paling mengerti, Engkau tahu mana yang terbaik untuk hamba-Mu yang terkadang masih melupakanmu ini. Aku terima, apa pun nanti hasilnya. Aku akan berubah lebih baik lagi...aku janji, ini terakhir kali kecewa dan mengecewakan.

Allah paling tahu, isi hati yang terkunci dan yang hilang kuncinya. Allah bisa membukanya dengan cepat. Bismillahirrahmannirrahim...


Semoga tidak akan ada Dina-Dina yang lain, yang senasib. 

Semoga pilihan, tidak akan lagi membingungkan. Dan semoga pilihan, adalah jawaban, bukan pembingungan. Selamat, buat manusia yang diciptakan bisa dengan mudah memilih, hargai itu, kalian hebat :-)

"Allahumma yassir wala tu'assir. Rabbi tammim bilkhoir. Birohmatikaya Arhamarrohimin."