Akhirnya, saya memutuskan untuk
menulis lagi di blog ini. Ini post pertama saya di tahun ini dan sudah
saya nodai dengan tulisan seperti ini. Padahal, saya berjanji untuk berhenti
membagikan keluhan saya di media sosial, tapi ternyata untuk saat ini menulis
adalah salah satu healing method yang masih saya sukai. Akhirnya pula,
saya beranikan diri buat nulis tentang topik ini.
Bagi yang sudah menginjak usia ‘wajar
nikah’ di Indonesia, pasti sudah lumayan kenyang dengan pertanyaan “Kapan
nikah?”, ya kan? Kira-kira, sejak umur 21 tahun, pertanyaan seperti itu
sudah saya dengar. Pertanyaan seperti itu lebih sering muncul ketika kita terlihat
punya pacar, utamanya yang sudah pacaran lama.
Ketika saya berusia 23 tahun, singkat
cerita, saya pernah bahagia banget. Saya hampir menikah dengan seseorang. Akan
tetapi, di tahun itu pula Allah menunjukkan bahwa dia bukan jodoh saya. Saya tidak
akan bercerita lebih tentang ‘mengapa’, karena bagi saya, ada beberapa hal yang
tidak semuanya harus dibagikan kepada orang lain.
Selepas kejadian itu, bagaimana
perasaan saya? Wah, nggak bisa dibayangkan. Sedih? Iya. Kecewa? Iya. Marah?
Iya. Malu? Iya. Semua jadi satu ketika itu. Bukan hal mudah bagi saya untuk
menerima kenyataan itu. Saya nggak pernah sesedih itu sebelumnya. Sejak saat itu,
saya jadi sangat sensitif kalau ada yang berbicara tentang pernikahan. Keinget
dikit, nangis. Kesenggol dikit, nangis. Hampir tiada hari tanpa nangis. Saya
jadi lebih banyak mengurung diri di kamar; melakukan aktivitas yang nggak butuh
berinteraksi dengan orang lain seperti main make up sendiri, nulis diary,
nyanyi-nyanyi, bikin-bikin; dan menolak semua ajakan nongkrong. Bahkan, saya
sengaja menghindar dari beberapa komunitas dan beberapa orang karena takut
ditanya-tanya. Paling pol kalau keluar rumah, itu karena kerjaan, karena diajak
oleh teman geng saya yang benar-benar dekat, dan karena ada kajian. Ya, sejak
saat itu saya mencoba lebih aktif datang ke kajian. Safari dari masjid ke masjid.
Mencoba menenangkan diri dengan mengisi kegundahan dan kekosongan dalam diri yang
tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Saya benar-benar takut dengan
kata nikah. Kalau ada kajian yang temanya tentang nikah, saya semangat
banget walaupun harus berangkat sendirian. Sampai akhirnya, ketika saya berusia
24 tahun, saya daftar kelas pranikah dan mengajak Dini (saudara kembar saya) dan
satu teman saya. Di situ, kami belajar banyak tentang pernikahan dari persepsi
Islam. Betapa Mahabesarnya Allah telah mengatur sedemikian rupa kehidupan ini
dari bangun tidur sampai tidur lagi. Perkara nikah pun jelas tak luput dari
aturan Islam. Ternyata, banyak hal yang saya lewatkan dalam persiapan
pernikahan. Dari kelas itu, saya baru sadar bahwa ternyata dari segi agama,
saya memang belum siap untuk menikah. Banyak hal yang harus saya perbaiki. Ternyata,
Allah menunda pernikahan saya karena Allah tahu, saya masih harus belajar
banyak hal. Allah masih sayang dengan saya.
Pelan-pelan, trauma saya dengan
kata nikah mulai pudar. Saya sudah mulai bisa mengurangi rasa sensitif
saya. Saya mencoba pergi dari rasa ingin mengurung diri. Mencoba membuka hati pelan-pelan
untuk kisah yang baru. Akan tetapi, perjuangan tersebut juga tidak selalu mudah.
Berkali-kali mencoba untuk membuka hati, tapi berkali-kali pula Allah menunjukkan
bahwa belum saatnya...belum, Dina. Bukan dia orangnya. Tidak sedikit
yang mencoba, bahkan ada yang mendekati keluarga saya, tapi kecenderungan hati
tetap tidak bisa tenang. Istikharah pun dilakukan, masih belum menemui titik
terang. Ketakutan-ketakutan akan pernikahan kembali menghantui saya. Bahkan, sekarang di mata
saya, semua laki-laki sama saja. Saya cenderung cuek dengan semua laki-laki
yang mencoba mendekat. Pandangan yang salah, memang. Namun hanya itu yang bisa
saya lakukan. Untuk menjaga perasaan saya sendiri dari ekspektasi yang
berlebihan.
Akhirnya, saya sekarang di titik
ini, di penghujung usia 25 tahun (karena bulan depan usia saya 26 tahun). Jika
ditanya apakah saya jomlo? Saya tidak bisa menjawab. Setiap manusia pasti punya
kecenderungan kepada seseorang. Hati saya tidak kosong, namun juga masih penuh
dengan kekhawatiran. Jika ditanya siapakah namanya? Saya tidak mau menjawab.
Ada hal yang ingin saya rahasiakan sendiri saja dan saya lambungkan di setiap
sujud saya kepada Allah. Cukup saya saja yang menyimpan, supaya tidak lagi
kecewa berkali-kali. Saya lelah berharap kepada selain Allah.
Saya pernah mendikte Allah. Saya
bilang kepada Allah, “Ya Allah, aku mau nikah paling lambat 25 tahun lebih 364
hari, alias H-1 usia 26 tahun”. Ternyata, sekali lagi manusia hanya punya
rencana, Allah-lah yang menentukan. Terhitung sejak usia 23 tahun, sudah lebih
dari 2 tahun saya struggle with “Kapan nikah?”. Saya cukup
bangga, telinga saya sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu.
Namun...kemarin...ternyata hati
ini kembali pecah ketika mendengar ini lagi...
Dina kapan?
Kapan nyusul?
Kok nggak dibarengin aja sama
Dini?
Huft...saya harus jawab apa?
Singkat cerita...
Kemarin, saudara kembar saya,
Dini, mengakhiri masa lajangnya. Kalau ditanya gimana perasaan saya, in the
deepest feeling, saya bahagia, banget. Perasaan yang nggak bisa diceritakan
dan ditampakkan dari wajah dan ekspresi tubuh lainnya. Secara, kami sudah
bersama sejak telur di rahim ibu kami membelah menjadi dua. Walaupun kami
berbeda sekolah sejak SMP, kami masih sering beraktivitas bersama. Saya juga
mengerti benar bagaimana perjalanan hatinya yang penuh dengan lika-liku yang
tidak ia bagikan kepada khalayak. Menyaksikan akhirnya ikrar suci sehidup
semati itu terucap, saya mengerti betapa lega dan bahagianya dia.
Saya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan
template itu dari banyak tamu yang saya sapa, saudara, dan dari banyak
teman yang mengomentari jejaring sosial saya ketika saya mengunggah kebahagiaan
kami di pesta pernikahan Dini. Saya yang awalnya bahagia banget di pesta
pernikahan, mendadak bad mood nggak karu-karuan karena telinga saya
terlalu banyak terpapar pertanyaan-pertanyaan itu. Bagi beberapa orang, itu hanya
hal sepele.
Halah, anggep aja mereka
basa-basi.
Halah, anggep aja doa.
Halah, kamu belum ngerasain
ditanya kapan punya momongan aja, lho!
Halah, cuek aja, lho.
Halah
Halah
Halah...
Untuk menutupi rasa bad mood saya
di pesta itu, saya mencoba tetap tersenyum agar air mata ini nggak keluar. Kalau
mendadak bocor ada air mata jatuh, saya pura-pura kelilipan bulu mata palsu. Kalau
nggak gitu, saya nggodain ponakan-ponakan biar gak usah diajak ngobrol ama
siapa-siapa. Rasanya...perjuangan mengobati trauma selama dua tahun lebih itu langsung
bocor seketika dalam satu hari. Siang ini pun saya memutuskan untuk menghapus
semua unggahan saya tentang pernikahan Dini karena saya sudah nggak tahan
dengan beberapa kalimat yang masuk di DM saya. Beberapa kalimat yang rasanya
kurang pas walaupun saya tahu mereka hanya berusaha akrab dengan bercanda. Saya
besok harus kerja, saya nggak mau kerjaan saya amburadul hanya karena masalah
pribadi. Saya harus melanjutkan hidup. Untuk itulah saya harus mencoba untuk
bangun dan mengobati trauma ini.
Teruntuk siapa pun yang membaca
ini...
Berhentilah bertanya “Kapan
nikah?” dan kalimat-kalimat turunannya kepada orang lain. Berhentilah
bercanda dengan konten yang sensitif. Kita tidak pernah tahu perjuangan
seseorang untuk bangun dari keterpurukan. Kita tidak pernah tahu perasaannya di
belakang kita setelah kalimat itu ia terima. Kita tidak pernah tahu dua kalimat
saja yang kita ucapkan bisa jadi membuat seseorang kehilangan arah.
Teruntuk siapa pun yang mungkin
mengalami apa yang saya rasakan, jika ingin menangis, menangislah...tapi jangan
pernah patah semangat. Maafkanlah dirimu dulu, kemudian maafkan juga semua
orang yang mungkin membuatmu sedih. Yakinlah dengan janji Allah bahwa sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan
itu...ada kemudahan.
Tidak akan pernah ada yang
tertukar jika memang takdir itu untuk kita.