Followers

Sunday, January 26, 2020

Kapan Nikah?


Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis lagi di blog ini. Ini post pertama saya di tahun ini dan sudah saya nodai dengan tulisan seperti ini. Padahal, saya berjanji untuk berhenti membagikan keluhan saya di media sosial, tapi ternyata untuk saat ini menulis adalah salah satu healing method yang masih saya sukai. Akhirnya pula, saya beranikan diri buat nulis tentang topik ini.

Bagi yang sudah menginjak usia ‘wajar nikah’ di Indonesia, pasti sudah lumayan kenyang dengan pertanyaan “Kapan nikah?”, ya kan? Kira-kira, sejak umur 21 tahun, pertanyaan seperti itu sudah saya dengar. Pertanyaan seperti itu lebih sering muncul ketika kita terlihat punya pacar, utamanya yang sudah pacaran lama.

Ketika saya berusia 23 tahun, singkat cerita, saya pernah bahagia banget. Saya hampir menikah dengan seseorang. Akan tetapi, di tahun itu pula Allah menunjukkan bahwa dia bukan jodoh saya. Saya tidak akan bercerita lebih tentang ‘mengapa’, karena bagi saya, ada beberapa hal yang tidak semuanya harus dibagikan kepada orang lain.

Selepas kejadian itu, bagaimana perasaan saya? Wah, nggak bisa dibayangkan. Sedih? Iya. Kecewa? Iya. Marah? Iya. Malu? Iya. Semua jadi satu ketika itu. Bukan hal mudah bagi saya untuk menerima kenyataan itu. Saya nggak pernah sesedih itu sebelumnya. Sejak saat itu, saya jadi sangat sensitif kalau ada yang berbicara tentang pernikahan. Keinget dikit, nangis. Kesenggol dikit, nangis. Hampir tiada hari tanpa nangis. Saya jadi lebih banyak mengurung diri di kamar; melakukan aktivitas yang nggak butuh berinteraksi dengan orang lain seperti main make up sendiri, nulis diary, nyanyi-nyanyi, bikin-bikin; dan menolak semua ajakan nongkrong. Bahkan, saya sengaja menghindar dari beberapa komunitas dan beberapa orang karena takut ditanya-tanya. Paling pol kalau keluar rumah, itu karena kerjaan, karena diajak oleh teman geng saya yang benar-benar dekat, dan karena ada kajian. Ya, sejak saat itu saya mencoba lebih aktif datang ke kajian. Safari dari masjid ke masjid. Mencoba menenangkan diri dengan mengisi kegundahan dan kekosongan dalam diri yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Saya benar-benar takut dengan kata nikah. Kalau ada kajian yang temanya tentang nikah, saya semangat banget walaupun harus berangkat sendirian. Sampai akhirnya, ketika saya berusia 24 tahun, saya daftar kelas pranikah dan mengajak Dini (saudara kembar saya) dan satu teman saya. Di situ, kami belajar banyak tentang pernikahan dari persepsi Islam. Betapa Mahabesarnya Allah telah mengatur sedemikian rupa kehidupan ini dari bangun tidur sampai tidur lagi. Perkara nikah pun jelas tak luput dari aturan Islam. Ternyata, banyak hal yang saya lewatkan dalam persiapan pernikahan. Dari kelas itu, saya baru sadar bahwa ternyata dari segi agama, saya memang belum siap untuk menikah. Banyak hal yang harus saya perbaiki. Ternyata, Allah menunda pernikahan saya karena Allah tahu, saya masih harus belajar banyak hal. Allah masih sayang dengan saya.

Pelan-pelan, trauma saya dengan kata nikah mulai pudar. Saya sudah mulai bisa mengurangi rasa sensitif saya. Saya mencoba pergi dari rasa ingin mengurung diri. Mencoba membuka hati pelan-pelan untuk kisah yang baru. Akan tetapi, perjuangan tersebut juga tidak selalu mudah. Berkali-kali mencoba untuk membuka hati, tapi berkali-kali pula Allah menunjukkan bahwa belum saatnya...belum, Dina. Bukan dia orangnya. Tidak sedikit yang mencoba, bahkan ada yang mendekati keluarga saya, tapi kecenderungan hati tetap tidak bisa tenang. Istikharah pun dilakukan, masih belum menemui titik terang. Ketakutan-ketakutan akan pernikahan kembali  menghantui saya. Bahkan, sekarang di mata saya, semua laki-laki sama saja. Saya cenderung cuek dengan semua laki-laki yang mencoba mendekat. Pandangan yang salah, memang. Namun hanya itu yang bisa saya lakukan. Untuk menjaga perasaan saya sendiri dari ekspektasi yang berlebihan.

Akhirnya, saya sekarang di titik ini, di penghujung usia 25 tahun (karena bulan depan usia saya 26 tahun). Jika ditanya apakah saya jomlo? Saya tidak bisa menjawab. Setiap manusia pasti punya kecenderungan kepada seseorang. Hati saya tidak kosong, namun juga masih penuh dengan kekhawatiran. Jika ditanya siapakah namanya? Saya tidak mau menjawab. Ada hal yang ingin saya rahasiakan sendiri saja dan saya lambungkan di setiap sujud saya kepada Allah. Cukup saya saja yang menyimpan, supaya tidak lagi kecewa berkali-kali. Saya lelah berharap kepada selain Allah.

Saya pernah mendikte Allah. Saya bilang kepada Allah, “Ya Allah, aku mau nikah paling lambat 25 tahun lebih 364 hari, alias H-1 usia 26 tahun”. Ternyata, sekali lagi manusia hanya punya rencana, Allah-lah yang menentukan. Terhitung sejak usia 23 tahun, sudah lebih dari 2 tahun saya struggle with Kapan nikah?”. Saya cukup bangga, telinga saya sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu.
Namun...kemarin...ternyata hati ini kembali pecah ketika mendengar ini lagi...
Dina kapan?
Kapan nyusul?
Kok nggak dibarengin aja sama Dini?

Huft...saya harus jawab apa?

Singkat cerita...


Kemarin, saudara kembar saya, Dini, mengakhiri masa lajangnya. Kalau ditanya gimana perasaan saya, in the deepest feeling, saya bahagia, banget. Perasaan yang nggak bisa diceritakan dan ditampakkan dari wajah dan ekspresi tubuh lainnya. Secara, kami sudah bersama sejak telur di rahim ibu kami membelah menjadi dua. Walaupun kami berbeda sekolah sejak SMP, kami masih sering beraktivitas bersama. Saya juga mengerti benar bagaimana perjalanan hatinya yang penuh dengan lika-liku yang tidak ia bagikan kepada khalayak. Menyaksikan akhirnya ikrar suci sehidup semati itu terucap, saya mengerti betapa lega dan bahagianya dia.

Saya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan template itu dari banyak tamu yang saya sapa, saudara, dan dari banyak teman yang mengomentari jejaring sosial saya ketika saya mengunggah kebahagiaan kami di pesta pernikahan Dini. Saya yang awalnya bahagia banget di pesta pernikahan, mendadak bad mood nggak karu-karuan karena telinga saya terlalu banyak terpapar pertanyaan-pertanyaan itu. Bagi beberapa orang, itu hanya hal sepele.
Halah, anggep aja mereka basa-basi.
Halah, anggep aja doa.
Halah, kamu belum ngerasain ditanya kapan punya momongan aja, lho!
Halah, cuek aja, lho.
Halah
Halah
Halah...

Untuk menutupi rasa bad mood saya di pesta itu, saya mencoba tetap tersenyum agar air mata ini nggak keluar. Kalau mendadak bocor ada air mata jatuh, saya pura-pura kelilipan bulu mata palsu. Kalau nggak gitu, saya nggodain ponakan-ponakan biar gak usah diajak ngobrol ama siapa-siapa. Rasanya...perjuangan mengobati trauma selama dua tahun lebih itu langsung bocor seketika dalam satu hari. Siang ini pun saya memutuskan untuk menghapus semua unggahan saya tentang pernikahan Dini karena saya sudah nggak tahan dengan beberapa kalimat yang masuk di DM saya. Beberapa kalimat yang rasanya kurang pas walaupun saya tahu mereka hanya berusaha akrab dengan bercanda. Saya besok harus kerja, saya nggak mau kerjaan saya amburadul hanya karena masalah pribadi. Saya harus melanjutkan hidup. Untuk itulah saya harus mencoba untuk bangun dan mengobati trauma ini.

Teruntuk siapa pun yang membaca ini...
Berhentilah bertanya “Kapan nikah?” dan kalimat-kalimat turunannya kepada orang lain. Berhentilah bercanda dengan konten yang sensitif. Kita tidak pernah tahu perjuangan seseorang untuk bangun dari keterpurukan. Kita tidak pernah tahu perasaannya di belakang kita setelah kalimat itu ia terima. Kita tidak pernah tahu dua kalimat saja yang kita ucapkan bisa jadi membuat seseorang kehilangan arah.

Teruntuk siapa pun yang mungkin mengalami apa yang saya rasakan, jika ingin menangis, menangislah...tapi jangan pernah patah semangat. Maafkanlah dirimu dulu, kemudian maafkan juga semua orang yang mungkin membuatmu sedih. Yakinlah dengan janji Allah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu...ada kemudahan.

Ingatlah bahwa kelahiran, kematian, rezeki, dan jodoh sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz.



Tidak akan pernah ada yang tertukar jika memang takdir itu untuk kita.