Followers

Sunday, October 27, 2013

Kota Batu dan Hati Yang Membatu

Alun-Alun Kota Batu, Malang, 19 Oktober 2013

Aku bergerak ke arah lubang-lubang itu. Menebak mana lubang yang akan menyemprotkan air ke atas, ke arah langit. Aku mendekat dan terkejut dengan kejutan dari bawah sana. Sial. Sepatuku basah. Aku tidak bisa tahu lubang mana lagi yang akan menyemprotkan air setelah ini. Mereka bergantian. Aku tidak bisa menebak. Sama sepertimu. Aku tidak tahu hal apa lagi yang akan terjadi padaku olehmu setelah ini. Entah itu akan membasahiku atau aku malah akan mengeluarkan tawa kemenangan karena bisa menghindar darimu. Entahlah.



Aku capek terkena cipratan air itu. Dingin. Kota ini sudah cukup dingin. Aku sandarkan saja punggungku pada kursi yang berjalan berputar di atas sana. Dari atas sana...sungguh banyak bintang-bintang imitasi--rumah-rumah yang berpendar seperti mercusuar--yang cukup membuat mataku memercing kagum. Menebak kamu sedang berada di bangunan bercahaya yang sebelah mana dan membayangkan apakah kamu melihatku di atas sini dari bawah sana, yang jauh...jauh...tapi nyata keberadaannya. Aku terus menikmati putaran ini. Jika aku di dalam sini, aku tidak merasakan ada di bawah atau di atas, hanya gambar-gambar di luar jendela yang berganti seperti slide show foto di laptop. Seperti kita, yang berputar-putar seolah berjalan, padahal masih tetap jalan di tempat. Seperti bianglala. Sibuk berputar, namun stagnan tanpa perubahan.



Ironis. Di tempat seramai pasar malam ini, aku berjalan seperti Lucy Pevensie di dalam hutan belantara. Makin ironis melihat ratusan pasang anak manusia yang bersenda-gurau sambil berpegangan tangan, mencubit pipi, menyandarkan kepala pada pundak...kepalaku hanya bersandar pada angin. Yang dingin.

Lagu apa yang bisa mengisi telingaku yang juga dingin malam ini selain suara gesekan angin pada dedaunan atau decit ayunan anak kecil di sana. 3 orang pengamen, pengabdi musik jalanan, datang mengucapkan "permisi, mbak" dan memulai ritual cari duitnya. Sial! Adakah koneksi di antara langit dan hatiku saat ini hingga langit mengirimkan isyarat pada ketiga pengamen itu untuk menyanyikan lagu ini: Sepanjang Jalan Kenangan. Kamu pasti ingat.

Ah. Biar. Mau bagaimana lagi, aku tetap kukuh. Aku wanita. Iya. Wanita. Yang hanya bisa menangis atau sekedar mengakhiri semua batu-batu dalam hati yang semakin dingin dan semakin membatu ini dengan emosi. Memikirkan kejutan dan putaran apa lagi nanti yang akan terjadi. Terlalu lelah sudah aku berekspektasi tentangmu, terlalu sakit jika terbang setinggi itu dan jatuh sekeras itu. Tepat satu tahun yang lalu, di bulan ini. Namun aku tidak bisa berbuat sesuatu. Tubuhku mematung, lalu melemas, pasrah, biarkan semua lelah, khawatir, kalut, dan benci berakhir...larut dalam segelas susu panas...


Hey! Aku merasa sedang dipeluk seseorang. Susu ini terlalu enak.

Selamat bermalam minggu.

Saturday, October 26, 2013

Kunci

Pada suatu siang di Koffie Cafe.

"Maaf terlambat. Sudah menunggu lama ya, Rose?" tanya Moon gelagapan sambil membenahi rambut yang basah.

"Sudahlah, jangan pikirkan aku. Pikirkan dulu bajumu yang basah itu. Kenapa nekat hujan-hujanan? Ke mana mobilmu?" jawab Rose tenang.

"Terlalu lama menunggu tukang kunci membuka pintu pagar rumahku, daripada kamu lebih lama lagi menungguku. Jam berapa sekarang?" basa-basi Moon.

" Baru jam 1."

"Aku kira sudah jam 5. Mendung membuat langit lebih tua 4 jam dari biasanya."

"Sepertinya tadi pagi aku melihatmu membawa kunci pagar rumah. Hilang?"

"Entah kunci yang asli ke mana. Yang aku bawa kunci dengan merek dan bentuk yang sama. Bersikukuh aku buka gemboknya, tidak juga ia berputar dan berbunyi 'klik'. Heran."

"Bodoh. Kenapa kamu tidak periksa sebelumnya? Penyakit lama."

"Aku kira hanya ada satu merek Yale yang berbentuk seperti itu. Aku ambil saja. Pasti itu kunci rumah. Ternyata bukan."

"Sekuat apa pun kamu berusaha membuka kunci itu, walaupun ia bisa masuk gembok dan terasa pas, kalau tidak ada bunyi 'klik' mau bagaimana lagi."

"Hanya tukang kunci yang bisa membukanya, ya?" tanya Moon dengan wajah polos.

"Kuncimu butuh diamplas dengan mesin, dibentuk sedemikian rupa agar pas dengan yang asli dan bisa membuka gembok pagar rumahmu. Atau kamu beli gembok yang baru dan simpan kunci yang baru dengan hati-hati, gandakan kalau perlu. Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Merek yang sama  belum tentu pas."

"Ah, kenapa jadi berbicara kunci? Kamu sudah pesan kopi?" Moon mengalihkan pembicaraan.

"Sudah habis. Kamu pesan saja, aku tidak mau kamu mengeluh jika nanti demam. Hangatkan perutmu."

"Mas, menunya!" Moon memanggil waitress di pojok ruangan.

***

"Kamu ngga makan?"

"Aku tidak selera...kamu saja," jawab Rose dingin.

"Kamu kenapa? Kamu masih marah aku datang terlambat?"

"Lupakan... Aku mau kembali, muridku sudah menunggu."

"Perlu aku antar?"

"Kau ini. Naik apa? Aku panggil taksi saja."

"Kamu marah?"

"Apa selalu begini?"

"Apanya?"

"Ah, kamu tidak juga mengerti. Kunci itu...urusi saja kunci itu. Andai kamu mengerti. Perkataanku tadi sudah menjawab pertanyaanmu. Segera beli kunci yang baru."

"Baiklah...hati-hati..." jawab Moon.

"He'emmmm..." sambil berlalu meninggalkan Moon.

"Aku menyayangimu...aku hanya tidak tahu, kenapa 'klik' itu tidak kunjung berbunyi. Rose, maafkan aku..." bisik Moon saat melihat Rose sudah mendapat taksi di seberang kafe.

Secangkir kopi datang. Moon menikmati kehangatan yang berjalan dari kerongkongan hingga lambungnya. Ditemani bau hujan dan percikannya yang menempel di jendela. Melihat langit yang ditutup tabir mendung seperti hati wanita yang baru saja ada di depannya dan meninggalkan segelintir tanya.

"Aku menyesal, bertahun aku meninggalkan ketidakpastian. Kamu benar, aku menjadikanmu opsi. Kamu tidak layak menjadi sebuah opsi." gumam Moon.


(Untukmu dan segala ketidakpastianmu)