Followers

Thursday, August 01, 2013

Sajadah

Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati


Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi


Aku tiba-tiba ingin menuliskan cerita tentang sajadah. Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang salah dengan sajadah belakangan ini. Sajadah, barang sakral yang selalu mereka bawa menuju rumah-Nya. Iya, sajadah.

Aku selalu membawa mukena parasutku ke mana-mana. Untuk tetap mengingatkanku akan kewajiban yang tidak boleh ditanggalkan. Aku suka kain parasut, mudah dilipat di dalam tas dan tidak membuat berat di pundak. Tapi aku tidak suka membawa sajadah ke mana-mana. Bukan karena berat, tapi ada satu cerita di balik kebencianku membawa sajadah.

Tiap kali ke masjid maupun musholla kecil, jamaah yang terbanyak adalah jamaah kaum Adam. Tidak heran, —selain karena kami juga harus berhalangan rutin tiap bulannya—karena sunnah untuk mereka adalah sholat di masjid, sedangkan untuk kaum Hawa adalah di rumah. Selain itu, kaum Adam adalah kaum tersolid yang pernah aku temui di masjid, daripada anak-anak dan kaum Hawa tentang kerapatan dan kelurusan shaf.

Saat imam sudah menyebutkan hadist yang mengisyaratkan kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf, aku mulai benci dengan sajadah. Sajadah selalu membuat beberapa orang tidak mau pergi darinya. 
Sajadah seringkali dianggap sebagai batas antara kami untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Sajadah yang harusnya menjadi alas suci, kini berubah menjadi pembeda antara jamaah. Aku salut dengan kaum Adam yang shafnya selalu rapi tanpa celah, sedangkan kaum Hawa masih jauh tertinggal dengan mereka. Itu alasanku mengapa aku tidak suka membawa sajadah. Sajadah harusnya merapatkan, bukan malah merenggangkan.

Alangkah lebih baik saat aku tidak membawa sajadah, tiba-tiba ada seorang wanita yang menawariku untuk berbagi sajadah, dan ia mulai melintangkan sajadahnya dan kami memakainya berdua, terlebih lagi syukur-syukur kalau bisa dipakai bertiga. Mari kita renungkan, seharusnya sajadah adalah pemersatu seperti ini, bukan pemecah belah umat :-).

NB: Analogikan sajadah ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba


Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya



-Bimbo-

Sudah, Begitu Saja


Pada suatu malam di pameran lukisan, di sebuah kafe, di lantai dua, pinggir jalan...

Malam ini aku tidak berhasil berangkat denganmu. Aku kadang tidak sadar kalau aku sudah bisa membawa kuda besi sendiri sekarang. Tapi kadang aku bosan membonceng teman, aku ingin dibonceng. Manja, ya? Kau berangkat dengan kudamu sendiri, aku pun demikian. Tapi aku sengaja memarkir kuda besiku agak dekat dengan punyamu. Sesampainya di kafe, kita berjalan sendiri-sendiri secara terpisah.

Terpampang banyak lukisan di sini. Dan semua lukisan di sini tidak mainstream. Ada juga botol-botol bir yang dimasukkan dalam keranjang bayi yang difungsikan sebagai wadah putung rokok. Banyak orang-orang berambut gondrong dan bergaya serabutan. Sedangkan kita semua datang dengan dandanan rapi, warna-warni, dengan eyeshadow yang menarik, sudah siap menyanyi bak biduan di atas panggung. Pemandangan yang sedikit mengagetkan, terutama buatku, aku sempat sedikit bosan di sana.

Aku suka lukisan ini. Aku suka apa pun yang berbau hewan berbulu. Apalagi beruang dan panda.
Sembari bosan, aku pura-pura saja menikmati lukisan-lukisan di sana. Toh, aku masih bisa berimajinasi sambil sedikit mengalihkan perhatian dan menyembunyikan kebosananku. Sambil sesekali melihat jam biru tosca muda kesayanganku yang sudah usang. Berharap kita semua segera menyanyi dan pergi dari sana, karena aku sudah mulai mengantuk dan ingin tidur. Kadang sesekali diajak foto oleh beberapa teman, untung saja mereka tau cara mengusir kebosanan.

Mereka mengerti cara mengusir kebosanan
Sesekali aku melihat ke arahmu yang berjarak denganku, kira-kira 10 meter atau lebih. Kamu mulai berjalan menikmati lukisan-lukisan itu, dengan mereka yang mengerti cara menikmati dan mengapresiasi lukisan. Sambil sesekali menunjuk dan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Lalu kamu berhenti pada satu lukisan. Dan mengeluarkan kotak besi selularmu. Kamu mulai merangkak ke lukisan yang lain. Diam-diam aku menghampiri lukisan yang tadi sempat kamu berhenti lama di sana. Aku amati tiap detilnya. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Menurutku itu hanya lukisan kegelapan.

Aku duduk tepat di dekat lukisan itu. Sambil mengeluarkan kotak selularku. Itu pertanda aku mulai bosan dengan sekitarku. Ada satu pesan. Aku buka. Darimu.

“Kau berikan sebuah telur, telur besar yang entah apa isinya, lalu kau pergi, kemudian telur itu menetas. Menetaskan seekor burung, burung yang entah mengapa membuatku sakit. Burung itu memakan hatiku hingga kosong dan berlubang. Baiklah, terima kasih.”

Tiba-tiba jantungku berdebar. Aku tidak mengerti maksud pesan singkatmu. Aku balas sekenanya,

“Apa telur itu terlalu cepat menetas dan menetaskan sesuatu yang salah...harusnya bukan burung, karena ia mudah terbang bebas. Mungkin bebek, yang mudah ditangkap dan tidak terbang?”

Lalu balasan secepat kilat datang darimu,

“Hahaha, serius amat. Itu lho...tulisan di lukisan yang nempel tiang, di belakangmu...”

Sedikit malu dan tidak percaya, aku bergegas berdiri dan melihat lagi lukisan itu. Iya, ada. Kamu mengamatinya sampai ke detil terkecil. Tulisan itu ada di di tengah lukisan itu dan tidak terlalu terlihat bila dilihat sekilas. Namun ada beberapa kata di awal yang kamu buat sendiri. Aku bingung membalas apa.
Iseng!”, balasku.

Hahaha ;-)”, balasmu lagi.

Mohon ditunggu,” aku bingung membalas apa, aku tulis kata-kata yang ada di lukisan di sampingku.

Oke...ditunggu,” balasmu.

Itu tulisan di lukisan juga! Hahahaha!” balasku puas.

Botek -__-“, katamu. Botek dalam bahasa Jawa berarti berbohong.
Salah satu band yang mengisi acara. Ia menyanyikan lagu My Only One-nya Mocca malam itu. Menemani kebosananku. Aku suka Mocca.
Lalu surat-menyurat elektronik kita berlangsung walau kita hanya berjarak beberapa meter. Dan akhirnya terhenti saat tiba waktunya kita harus menyanyi. Kita semua menyanyi lagu cinta itu dengan ceria. Sambil sesekali (dan selalu sesekali), aku melihat ke arah senyummu. Lucu. Rasanya ingin lebih lama dan lebih panjang lagi lagu itu.

Selesai menyanyi, aku hampiri kamu. Dan kita tertawa bersama, walau sebentar karena terhenti dengan ucapan “cie cie” dari salah seorang teman. Sudah, begitu saja...

Lalu kita semua turun, menikmati kue yang diberi oleh penyelenggara acara. Setelah selesai, aku dapati si Magic, kuda besiku, terjepit di antara kuda besi-kuda besi yang lain. Dan di sana ada kamu, sedang berusaha mengeluarkan kuda besimu. Dan akhirnya tiba pada satu saat di mana hanya dengan ke luarnya kuda besiku, punyamu bisa ke luar dari tempat parkir itu.

Aku berikan kunci si Magic padamu. Kamu mengeluarkannya. Misiku berhasil.

Makasih ya...”, ucapku.

Setelah itu kuda besimu sudah bisa ke luar. Dan kita pulang. Secara terpisah. Sudah. Begitu saja...