Ada sajadah panjang
terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada
sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Aku tiba-tiba ingin menuliskan cerita tentang sajadah.
Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang salah dengan sajadah belakangan ini. Sajadah,
barang sakral yang selalu mereka bawa menuju rumah-Nya. Iya, sajadah.
Aku selalu membawa mukena parasutku ke mana-mana. Untuk
tetap mengingatkanku akan kewajiban yang tidak boleh ditanggalkan. Aku suka
kain parasut, mudah dilipat di dalam tas dan tidak membuat berat di pundak.
Tapi aku tidak suka membawa sajadah ke mana-mana. Bukan karena berat, tapi ada
satu cerita di balik kebencianku membawa sajadah.
Tiap kali ke masjid maupun musholla kecil, jamaah yang
terbanyak adalah jamaah kaum Adam. Tidak heran, —selain karena kami juga harus
berhalangan rutin tiap bulannya—karena sunnah untuk mereka adalah sholat di
masjid, sedangkan untuk kaum Hawa adalah di rumah. Selain itu, kaum Adam adalah
kaum tersolid yang pernah aku temui di masjid, daripada anak-anak dan kaum Hawa
tentang kerapatan dan kelurusan shaf.
Saat imam sudah menyebutkan hadist yang mengisyaratkan
kita untuk meluruskan dan merapatkan shaf, aku mulai benci dengan sajadah. Sajadah
selalu membuat beberapa orang tidak mau pergi darinya.
Sajadah seringkali
dianggap sebagai batas antara kami untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Sajadah yang harusnya menjadi alas suci, kini berubah menjadi pembeda antara
jamaah. Aku salut dengan kaum Adam yang shafnya selalu rapi tanpa celah,
sedangkan kaum Hawa masih jauh tertinggal dengan mereka. Itu alasanku mengapa
aku tidak suka membawa sajadah. Sajadah harusnya merapatkan, bukan malah
merenggangkan.
Alangkah lebih baik saat aku tidak membawa sajadah,
tiba-tiba ada seorang wanita yang menawariku untuk berbagi sajadah, dan ia
mulai melintangkan sajadahnya dan kami memakainya berdua, terlebih lagi
syukur-syukur kalau bisa dipakai bertiga. Mari kita renungkan, seharusnya
sajadah adalah pemersatu seperti ini, bukan pemecah belah umat :-).
NB: Analogikan sajadah ini ke dalam kehidupan
sehari-hari.
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
Ada
sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya
-Bimbo-