Followers

Monday, May 14, 2012

Un Panino Di Amore



Waktu senja itu, Bello sama sekali tidak ragu. Duduk dengan anggun di keramahan jingga yang menyapa baju sifonnya, senada dengan senja, peach. Grande juga diam. Dengan sandal kesayangannya, menggaruk tanah seakan menunggu sesuatu. Fonem? Huruf? Kata? Bibir Bello tidak juga berpindah. Masih mengatup.

"How long will we be like this?" Grande memulai.

"Give me...more time. Aku cuman butuh waktu, Grande."

"Maaf...tapi roti tidak bisa menunggu lebih dari 7 hari, akan banyak saprofit di sana. Berapa lama lagi?"

"I just need time, Grande. No more!"

"Apa lagi yang membuat kamu berpikir? Kamu hanya menghabiskan sisa hidupmu dengan berpikir, pernahkah kamu melakukan sebuah spekulasi?"

"Spekulasi-spekulasi itu yang membuat aku harus berpikir ulang setelahnya. Tidakkah kamu mengerti sedikit saja, Grande? Haruskah aku menjelaskan detilnya lagi bahwa perasaanku tidak sekuat yang Wonder Woman punya?"

"Bukan seperti itu, Bel...tapi..."

"Tapi apa? What a fucking speculation!"

"Aku kira, aku adalah tunas baru saat hutan itu terbakar. Ternyata aku salah, aku terlalu cepat tumbuh, bukan?"

"Tidak, maafkan aku... Tidak ada yang salah saat Tuhan menciptakan tunas itu. Bahkan Tuhan tidak perlu kita tahu alasan menumbuhkannya. Tuhan hanya ingin dia tumbuh, tapi tak mungkin tak beralasan,"

"Ti amo, Bel..."

"Jangan katakan itu, Grande. Jangan paksakan aku berpikir, jika aku belum bisa berkata spontan...sudah ku bilang. Aku benci spekulasi."

"Kenapa kamu masih saja melihat ke belakang? Ada apa di sana? Apakah kamu pikir semua akan kembali? Apakah kamu pikir Voce bisa saja kembali? Padahal tanpa kamu tahu, tanpa dia juga tahu, dan dia juga sudah menabur garam di atas sebuah luka? Apa kamu tidak kapok? Kamu buta!"

"Aku memang buta, tapi aku punya arah!"

"Apa kamu mau kembali? Pada Voce?"

"Aku bukan ingin kembali. Aku hanya belum bisa..."

"Apa? Melupakannya?"

"Kamu jahat, Grande!"
Air mata Bello terjun bebas mengenai baju sifon itu, warna titik-titik mutiara basah itu sekarang sama dengan senja yang hampir ditelan hitam. Grande membiarkan Bello tenggelam dalam pelukannya.

"Memelukmu seperti ini... Aku hanya ingin kamu tahu, Bel. Tidak semudah itu melepas jangkar di saat badai. Don't say anything. I know what you mean...".
Bello tidak mengatakan apapun. Ia sudah tenggelam dalam laut itu. Grande bukan lagi pantai yang memeluk laut. Tapi sudah menjadi laut. Dan menenggelamkan berjuta pernyataan yang selalu menjadi pertanyaan buat Bello.

"Mungkin sekarang belum...aku juga masih sangat rindu akan pantaiku. Pantai yang lama. Voce. Tapi buat apa aku menyiksa diri. Aku hanya perlu belajar banyak. Dari kamu. Belajar agar aku mengucapkan 'ti amo' dengan lancar. Mungkin sekarang belum. Tapi jangan paksa aku cepat-cepat. Bibirku masih terlalu kelu. Jangan biarkan aku tertidur, kamu terlalu hangat, bodoh. Grande bodoh."

...
"Hey, aku dengar," Grande berbisik.

"Dengar apa?"

"Kamu pikir aku tuli, ya?'

"Apa sih?"

"Waktu aku memelukmu, kamu mengatakan sesuatu. Aku dengar,"

"Kamu bohong, aku diam, kok..."

"Kamu lupa, kan? Aku bisa dengar semuanya!"

"Bodoh!"

"Ini..."

"Kenapa cuman sepotong?"

"Kamu kan masih belajar. Kalau dikasih banyak, nanti kamu tersedak. Sedikit dulu, nanti minta lagi, oke?"

"Love is just a slice of cake? Manis...".


No comments:

Post a Comment

Comment here