Followers

Sunday, June 08, 2014

Under The Sky

Sore itu. Kamu bertanya dengan siapa aku berangkat. Aku menjawab aku sendirian. Aku bertanya bolehkah aku berangkat bersamamu. Kamu setuju. Kamu ingin menjemputku. Sore itu juga. Aku bilang habis sholat maghrib saja. Kamu setuju. Aku menunggu. Kita akan menonton konser paduan suara seperti biasa, aku denganmu. Konser malam itu berlangsung seperti biasa, bagus, meriah, dan banyak komentar di mana-mana. Tidak ada yang spesial. Aku duduk di sebelahmu. Sudah pernah.

Sekitar jam setengah sembilan lebih beberapa menit. Di balkon terbuka sebuah rumah makan. Malam itu malam minggu. Ramai sekali. Kita duduk di ujung pojok. Berdua. Berhadapan. Sudah pernah. Langit penuh bintang. Bulan setengah kelihatan. Angin berhembus sopan. Dan makanan tak kunjung datang.

Awalnya sepi. Kamu dan aku sama-sama bermain jempol di atas gadget. Kamu meletakkan smartphone itu duluan. Aku mulai sadar tingkah laku autisku. Aku lalu menaruhnya di tas. Quality time yang sejati tidak butuh dua orang berhadapan yang saling memegang handphone.

Setelah itu, kamu banyak tersenyum kepadaku. Kamu banyak bicara seakan-akan aku orang yang paling seru untuk diajak bicara. Dan aku suka. Nuansa kerinduan sangat terasa di mata itu, karena kita lama tidak bertemu. Padahal hanya sekitar seminggu. Aku anggap itu sudah sangat lama. Karena kita terbiasa bertemu setiap hari dalam rutinitas yang sama.

Pembicaraanmu lain dari biasanya. Kita tidak lagi berbicara soal paduan suara. Kita berbicara soal apa pekerjaan ayahmu, nenekmu lebih pintar masak daripada ibumu, siapa nama keponakannmu, nenekmu suka main tenis, kakakmu kerja di mana, suaminya tinggal di mana, dan itu seru. Sungguh. Walaupun sebenarnya sebagian yang kamu ceritakan, aku sudah tahu. Kan aku kepo. Aku sudah tahu kok nama ayah dan ibumu. Apa pekerjaan ibumu. Siapa nama keponakanmu. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Biar seru.

Minumannya sudah datang. Pelayan memanggil namaku. “Dina....Dina...!”. Aku menjawab, “Dina mas, Dina!” sampai tiga kali dan pelayannya tidak mendengar. Mungkin karena suaraku terlalu cempreng. Seperti Minnie Mouse terjepit pintu. Akhirnya pelayan itu menemukan tempat duduk kami dan ia tertawa.

Minuman itu dingin sekali. Pembicaraan juga mulai kehabisan stock. Aku memandang langit. Yang penuh bintang dan bulan bersembunyi malu tadi. Aku membayangkan kita berada di kutub. Dan mendadak ada aurora.

“Oh hush thee, my baby. The night is behind us. And black are the waters that sparkled so deep...” Aku bernyanyi dengan suara Minnie Mouse-ku.
“Hehe...” terdengar senyum hematmu.

Lagu itu adalah lagu yang pernah kita nyanyikan bersama di konser yang lalu. Ya. Konser terakhirku. Dan entah kenapa, setiap memandang langit malam, aku hanya ingat lagu itu. Dan aku mendadak berubah menjadi anak anjing laut yang mengantuk di tengah salju kutub. Romantis.

Source: http://plusmood.com/2011/03/the-luna-collection-graff/luna-moon-and-stars/

Makanan datang. Sepiring mie pedas level satu dan sepiring mie yang sama sekali tidak pedas. Oh iya. Dengan dua pasang sumpit kayu dibungkus plastik. Dan kamu sudah hapal sepertinya. Aku kan tidak suka memakai sumpit. Kamu lalu memanggil pelayan.

“Mas, minta sendok!”
“Wah, ngga ada mas...habis” jawab pelayannya.
“Ya udah, ngga papa. Sampai kapan menghindari tantangan?” kataku sok bijak.

Dan kamu tersenyum. Lagi.

Aku mulai menggunakan sumpit itu. Kamu mengajariku. Bagaimana menggunakan jari-jariku untuk membuat sumpit itu menurut. Aku mulai menikmatinya. Ternyata tidak sulit. Walaupun sempat terlihat bodoh. Lalu aku bercerita. Makan dengan sumpit sama susahnya dengan makan menggunakan tangan kosong. Aku terbiasa disuapi oleh ibu dan terbiasa menggunakan sendok-garpu sejak kecil.

Makananmu habis duluan. Seperti biasa, seperti yang pernah kamu bilang, cowok yang makannya cepet atau cewek yang makannya lambat. Aku terlalu lama menghabiskan makanannku. Malam itu terlalu dingin. Mie ini cepat dingin. Apalagi dia tidak pedas. Semakin tidak berasa. Aku sengaja pesan tanpa cabe karena tiga hari lalu aku baru saja kena diare. Tapi, entah kenapa mie ini tidak bisa habis. Aku menyerah.

“Mas, aku ngga habis...”

Kamu tertawa kecil dengan senyum setengah bulan sabit. Lalu kamu menghabiskan makananku.
Mulai dingin. Malamnya. Dan kamunya.

“Yuk pulang, udah malam...”

Aku hanya mengangguk.
***
“Sudah sampaaaaaai....” celotehku seperti anak kecil yang baru sampai di rumah.

Kamu menyuruhku masuk gerbang. Dan kamu berlalu. Begitu saja. Sudah. Tidak ada pembicaraan. Hanya tanganku yang melambai, “Daah...”.



Aku merindukan kamu yang melihatku sampai masuk ke pintu kost dan saat aku mengintip, kamu masih ada di situ. Seakan ingin memastikan aku aman sampai di rumah. Itu saja. Ya. Aku masih rindu. Sebentar lagi, pertemuan kita hanya akan disebut kebetulan. Karena kita tidak lagi dipertemukan dalam rutinitas yang sama. Sampai jumpa. Di lain waktu. Kamu.

No comments:

Post a Comment

Comment here