Sore itu. Kamu bertanya dengan siapa aku berangkat.
Aku menjawab aku sendirian. Aku bertanya bolehkah aku berangkat bersamamu. Kamu
setuju. Kamu ingin menjemputku. Sore itu juga. Aku bilang habis sholat maghrib
saja. Kamu setuju. Aku menunggu. Kita akan menonton konser paduan suara seperti
biasa, aku denganmu. Konser malam itu berlangsung seperti biasa, bagus, meriah,
dan banyak komentar di mana-mana. Tidak ada yang spesial. Aku duduk di
sebelahmu. Sudah pernah.
Sekitar jam setengah sembilan lebih beberapa menit. Di
balkon terbuka sebuah rumah makan. Malam itu malam minggu. Ramai sekali. Kita
duduk di ujung pojok. Berdua. Berhadapan. Sudah pernah. Langit penuh bintang.
Bulan setengah kelihatan. Angin berhembus sopan. Dan makanan tak kunjung
datang.
Awalnya sepi. Kamu dan aku sama-sama bermain jempol
di atas gadget. Kamu meletakkan smartphone itu duluan. Aku mulai sadar
tingkah laku autisku. Aku lalu menaruhnya di tas. Quality time yang sejati tidak butuh dua orang berhadapan yang
saling memegang handphone.
Setelah itu, kamu banyak tersenyum kepadaku. Kamu banyak bicara seakan-akan aku orang yang paling seru untuk diajak bicara. Dan aku suka. Nuansa kerinduan sangat terasa di mata itu, karena kita lama tidak bertemu. Padahal hanya sekitar seminggu. Aku anggap itu sudah sangat lama. Karena kita terbiasa bertemu setiap hari dalam rutinitas yang sama.
Pembicaraanmu lain dari biasanya. Kita tidak lagi
berbicara soal paduan suara. Kita berbicara soal apa pekerjaan ayahmu, nenekmu
lebih pintar masak daripada ibumu, siapa nama keponakannmu, nenekmu suka main
tenis, kakakmu kerja di mana, suaminya tinggal di mana, dan itu seru.
Sungguh. Walaupun sebenarnya sebagian yang kamu ceritakan, aku sudah tahu. Kan
aku kepo. Aku sudah tahu kok nama ayah dan ibumu. Apa pekerjaan ibumu. Siapa
nama keponakanmu. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Biar seru.
Minumannya sudah datang. Pelayan memanggil namaku. “Dina....Dina...!”.
Aku menjawab, “Dina mas, Dina!” sampai tiga kali dan pelayannya tidak
mendengar. Mungkin karena suaraku terlalu cempreng.
Seperti Minnie Mouse terjepit pintu. Akhirnya pelayan itu menemukan tempat
duduk kami dan ia tertawa.
Minuman itu dingin sekali. Pembicaraan juga mulai
kehabisan stock. Aku memandang
langit. Yang penuh bintang dan bulan bersembunyi malu tadi. Aku membayangkan
kita berada di kutub. Dan mendadak ada aurora.
“Oh
hush thee, my baby. The night is behind us. And black are the waters that
sparkled so deep...” Aku bernyanyi dengan suara Minnie
Mouse-ku.
“Hehe...”
terdengar
senyum hematmu.
Lagu itu adalah lagu yang pernah kita nyanyikan
bersama di konser yang lalu. Ya. Konser terakhirku. Dan entah kenapa, setiap
memandang langit malam, aku hanya ingat lagu itu. Dan aku mendadak berubah
menjadi anak anjing laut yang mengantuk di tengah salju kutub. Romantis.
Source: http://plusmood.com/2011/03/the-luna-collection-graff/luna-moon-and-stars/ |
Makanan datang. Sepiring mie pedas level satu dan
sepiring mie yang sama sekali tidak pedas. Oh iya. Dengan dua pasang sumpit
kayu dibungkus plastik. Dan kamu sudah hapal sepertinya. Aku kan tidak suka
memakai sumpit. Kamu lalu memanggil pelayan.
“Mas,
minta sendok!”
“Wah,
ngga ada mas...habis” jawab pelayannya.
“Ya
udah, ngga papa. Sampai kapan menghindari tantangan?” kataku
sok bijak.
Dan kamu tersenyum. Lagi.
Aku mulai menggunakan sumpit itu. Kamu mengajariku.
Bagaimana menggunakan jari-jariku untuk membuat sumpit itu menurut. Aku mulai
menikmatinya. Ternyata tidak sulit. Walaupun sempat terlihat bodoh. Lalu aku
bercerita. Makan dengan sumpit sama susahnya dengan makan menggunakan tangan
kosong. Aku terbiasa disuapi oleh ibu dan terbiasa menggunakan sendok-garpu
sejak kecil.
Makananmu habis duluan. Seperti biasa, seperti yang
pernah kamu bilang, cowok yang makannya
cepet atau cewek yang makannya lambat. Aku terlalu lama menghabiskan
makanannku. Malam itu terlalu dingin. Mie ini cepat dingin. Apalagi dia tidak
pedas. Semakin tidak berasa. Aku sengaja pesan tanpa cabe karena tiga hari lalu
aku baru saja kena diare. Tapi, entah kenapa mie ini tidak bisa habis. Aku
menyerah.
“Mas,
aku ngga habis...”
Kamu tertawa kecil dengan senyum setengah bulan
sabit. Lalu kamu menghabiskan makananku.
Mulai dingin. Malamnya. Dan kamunya.
“Yuk
pulang, udah malam...”
Aku hanya mengangguk.
***
“Sudah
sampaaaaaai....” celotehku seperti anak kecil yang baru
sampai di rumah.
Kamu menyuruhku masuk gerbang. Dan kamu berlalu.
Begitu saja. Sudah. Tidak ada pembicaraan. Hanya tanganku yang melambai, “Daah...”.
Aku merindukan kamu yang melihatku sampai masuk ke
pintu kost dan saat aku mengintip, kamu masih ada di situ. Seakan ingin
memastikan aku aman sampai di rumah. Itu saja. Ya. Aku masih rindu. Sebentar
lagi, pertemuan kita hanya akan disebut kebetulan. Karena kita tidak lagi dipertemukan
dalam rutinitas yang sama. Sampai jumpa. Di lain waktu. Kamu.
No comments:
Post a Comment
Comment here