Lama sudah saya tidak membagikan
tulisan di blog ini. Hari-hari #dirumahsaja terasa benar-benar menantang untuk
saya karena benar-benar membentuk ‘saya yang baru’. Salah satu kebaruan yang
muncul yaitu saya jadi punya cukup banyak waktu untuk menikmati ruang sendiri, hingga
asyik tak mau berbagi cerita barang sedikit.
Alih topik, pagi itu ketika
hendak mencuci setumpuk baju saya dan suami, ibu mertua saya memanggil kami.
Ada kiriman, katanya. Ternyata, saudara sepupu suami yang berada di Jogja
mengirimkan buku ini.
Mbak Nita, namanya. Seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Jogja, yang juga seorang penulis. Sebelum Hari
Raya lalu, Mbak Nita sempat mempromosikan buku ini, hasil karyanya bersama para
penulis lain yang tergabung dalam komunitas @nulisyuk, yang mengangkat tema tentang
para pahlawan medis. Satu buku ini, artinya satu kali donasi. Ibu sengaja memesannya
dan datanglah di pagi yang dinantikan itu.
Buru-buru ibu langsung membuka
judul yang ditulis Mbak Nita. Setelah selesai, ibu memberikannya kepada saya. Saya
juga memulai dari tulisan Mbak Nita dan beralih ke halaman-halaman lain sembari
menunggui mesin cuci yang sedang bergerilya. Entah, tiba-tiba ada helaan napas yang
berkejaran dalam setiap lembarnya. Baik. Akan saya bagikan di sini.
Ada 33 cerita pendek di dalam
antologi ini. Dari judulnya, memang betul bahwa semua cerita memang ‘pahlawan
medis sentris’. Akan tetapi, tidak semua yang menulis cerita di dalam buku ini berprofesi
sama. Sebagian besar memang orang yang bekerja di bidang medis seperti dokter, perawat,
radiolog, analis kesehatan, farmasis, hingga administrator ruang inap. Ini memberi
kita skema bahwa sebutan ‘pahlawan medis’ tidak berhenti pada dokter dan perawat saja.
Selain itu, para sahabat dan keluarga para pahlawan medis juga turut
menyumbangkan tulisan di sini. Turut pula menandakan bahwa yang berjuang tidak
hanya yang berhadapan langsung dengan pasien, tetapi juga orang yang terdekat dengan
para pahlawan medis.
Antologi ini dibuat ketika pasien positif Covid-19 di Indonesia masih dalam rentang 1.000—2.000-an. Kini, ketika saya mengunggah tulisan ini di blog, sudah ada 66.226 orang. Sungguh sebuah fakta yang menampar. Bukan bermaksud untuk menakuti-nakuti, tapi ada makna di balik rentangan angka. Makna bahwa Covid-19 bukan sekadar cerita belaka.
Tulisan-tulisan ini tidak hanya
membuat saya memahami sebuah karya, tetapi juga sebuah perjuangan yang sebelumnya
tidak pernah terpikirkan. Saya semakin sadar bahwa pekerjaan yang selama ini
saya keluhkan tidak seberat pekerjaan para pahlawan medis di luar sana. Saya akan
ulas beberapa cerita yang menurut saya paling berkesan mendalam.
Cerita pertama, cerita dengan
judul “Aku Bukan Pahlawan”, karya Taufiqur Rahman, seorang dokter spesialis anak
di Lamongan. Tulisan ini menceritakan perjuangan pasien berusia 80 tahun yang
didampingi anaknya dan pasien 4 tahun yang didampingi ayahnya dari sudut
pandang seorang dokter. Yang membuat saya terenyuh yaitu ketika dikisahkan cara
keluarga mereka dengan telaten berusaha untuk bersama-sama mewujudkan kata sembuh. Cara mereka menyuapi makanan, meminumkan
obat, dan menenangkan keluarganya ketika sakit. Tulisan ini menyadarkan saya
akan dua hal. Pertama, terkadang kita kejauhan berlomba untuk mencari
kunci surga. Kita lupa, bahwa salah satu kunci surga yang terdekat adalah
ketika kita bisa memuliakan orang tua kita, sama seperti keluarga pasien yang
mendampingi ibunya yang sudah berusia 80 tahun. Kedua, kasih orang tua
terkadang lupa kita sadari sampai kita mendengar bahwa mereka rela menggadaikan
hidupnya untuk anaknya, seperti ketika ayah pasien mendampingi anaknya yang
berusia 4 tahun ini. Ia bisa kapan saja tertular dari anaknya, namun ia berkata
bahwa ia ikhlas karena anaknya adalah hartanya yang paling berharga.
Cerita kedua, cerita dengan judul
“Detak dalam Detik” yang ditulis oleh
Mbak Nita Aprilia, sepupu kami. Ia deskripsikan melalui ceritanya bagaimana
rasanya berada dalam dekapan alat pelindung diri (APD). Dari deskripsinya, saya
bisa turut merasa sedang memakai APD: bagaimana berjalan dengan memakai sepatu boot
yang kebesaran, bagaimana melihat dengan goggle yang terus berembun,
bagaimana banyaknya lapis baju yang menyelimuti tubuh. Itu tentu tak nyaman. Belum
lagi, detak jantung yang selalu berkejaran dengan waktu. Setiap detik adalah
nyawa. Sesuai dengan judul yang ia tulis, saya turut merasakan jantung saya
terpacu ketika ia kisahkan pengalamannya dari ruang IGD menuju ruang isolasi.
Pun, saya turut merasakan bagaimana rasanya detak jantung seorang suami melepas
istrinya berangkat kerja dalam kekhawatiran yang bernaung ini. Pula dalam
tulisannya, Mbak Nita turut menyadarkan pembaca, bahwa pengalaman ini tentunya
bukan hal pertama untuk para petugas medis yang memang bertugas di ruang isolasi
sejak dulu. Sejak Covid-19 belum memenangkan media,TB, SARS, MERS-Cov, dan
lain-lain sudah lebih dulu menjadi sebuah ladang perjuangan para petugas medis
di ruang isolasi. Lagi-lagi, saya dibuat malu apabila kufur melanda diri.
Cerita ketiga, cerita dengan
judul “Kapan Ayah Pulang?” yang ditulis oleh Rizka Khairiza. Suaminya adalah
seorang dokter yang terlibat langsung dalam penanganan pasied Covid-19. Ia
harus merelakan suaminya tidak tidur bersamanya dan anak-anaknya di rumah. Ini
dilakukan demi menjaga keluarganya. Sungguh air mata ini terpicu ketika
membayangkan rasanya hanya bisa bersua dengan suami melalui panggilan video.
Membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami dalam jarak sekian meter di luar
pagar ketika ia mengirimkan sesuatu untuk anaknya di rumah, namun tahu diri
untuk tak saling sentuh. Membayangkan anak
yang terus bertanya kapan ayahnya pulang karena sudah rindu dengan kebersamaan
yang ia dapatkan sebelum pandemi ini dicetuskan. Itu tentu bukan hal mudah...dan
hanya orang-orang terkuatlah yang bisa mengalaminya.
Itulah tiga cerita yang bagi saya
meninggalkan kesan lumayan dalam. Buku ini, semakin saya baca, bukannya rasa
khawatir yang semakin bertambah, namun rasa bersalah terhadap para pahlawan
medis di luar sana yang semakin membuncah. Cerita-cerita ini sungguh mengingatkan
saya untuk berpikir dua kali kalau mau sembrono, ke luar rumah untuk sekadar
mengisi ruang kebosanan, misalnya.
Dari situlah, kiranya memang
benar. Bahwa sejatinya, garda terdepan untuk melawan virus ini bukan mereka
para pahlawan medis, melainkan kita. Pahlawan medis justru merupakan garda pertahanan
terakhir. Saya setuju dengan pernyataan yang ditulis Rizki Akbar ini pada
halaman 95.
Itulah ulasan saya tentang buku
ini. Alih-alih mengulas konten, saya justru mengulas hikmah yang dapat kita petik.
Terakhir, tak lupa saya mengajak kita semua untuk tidak berhenti berdoa agar
pandemi ini segera diangkat dari muka bumi ini. Sesungguhnya, senjata paling
ampuh adalah doa yang tak hentinya dipanjatkan. Maka, jangan letih untuk
berdoa, karena Allah tidak pernah letih untuk menjawab.
Semangat, para Pahlawan Medis dan
kita semua yang sedang berjuang.
Terima kasih mbak, atas tulisannya, saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang antologi tersebut, pikiran saya juga jadi lebih terbuka
ReplyDeleteSetiap buku yg kita baca selalu meninggalkan kesan yaa mbak 🤗
ReplyDelete