Followers

Wednesday, July 08, 2020

Pahlawan Medis: Sebuah Pengingat Diri


Lama sudah saya tidak membagikan tulisan di blog ini. Hari-hari #dirumahsaja terasa benar-benar menantang untuk saya karena benar-benar membentuk ‘saya yang baru’. Salah satu kebaruan yang muncul yaitu saya jadi punya cukup banyak waktu untuk menikmati ruang sendiri, hingga asyik tak mau berbagi cerita barang sedikit.

Alih topik, pagi itu ketika hendak mencuci setumpuk baju saya dan suami, ibu mertua saya memanggil kami. Ada kiriman, katanya. Ternyata, saudara sepupu suami yang berada di Jogja mengirimkan buku ini.


Mbak Nita, namanya. Seorang perawat di salah satu rumah sakit di Jogja, yang juga seorang penulis. Sebelum Hari Raya lalu, Mbak Nita sempat mempromosikan buku ini, hasil karyanya bersama para penulis lain yang tergabung dalam komunitas @nulisyuk, yang mengangkat tema tentang para pahlawan medis. Satu buku ini, artinya satu kali donasi. Ibu sengaja memesannya dan datanglah di pagi yang dinantikan itu.

Buru-buru ibu langsung membuka judul yang ditulis Mbak Nita. Setelah selesai, ibu memberikannya kepada saya. Saya juga memulai dari tulisan Mbak Nita dan beralih ke halaman-halaman lain sembari menunggui mesin cuci yang sedang bergerilya. Entah, tiba-tiba ada helaan napas yang berkejaran dalam setiap lembarnya. Baik. Akan saya bagikan di sini.

Ada 33 cerita pendek di dalam antologi ini. Dari judulnya, memang betul bahwa semua cerita memang ‘pahlawan medis sentris’. Akan tetapi, tidak semua yang menulis cerita di dalam buku ini berprofesi sama. Sebagian besar memang orang yang bekerja di bidang medis seperti dokter, perawat, radiolog, analis kesehatan, farmasis, hingga administrator ruang inap. Ini memberi kita skema bahwa sebutan ‘pahlawan medis’  tidak berhenti pada dokter dan perawat saja. Selain itu, para sahabat dan keluarga para pahlawan medis juga turut menyumbangkan tulisan di sini. Turut pula menandakan bahwa yang berjuang tidak hanya yang berhadapan langsung dengan pasien, tetapi juga orang yang terdekat dengan para pahlawan medis.

Antologi ini dibuat ketika pasien positif Covid-19 di Indonesia masih dalam rentang 1.000—2.000-an. Kini, ketika saya mengunggah tulisan ini di blog, sudah ada 66.226 orang. Sungguh sebuah fakta yang menampar. Bukan bermaksud untuk menakuti-nakuti, tapi ada makna di balik rentangan angka. Makna bahwa Covid-19 bukan sekadar cerita belaka.

Tulisan-tulisan ini tidak hanya membuat saya memahami sebuah karya, tetapi juga sebuah perjuangan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Saya semakin sadar bahwa pekerjaan yang selama ini saya keluhkan tidak seberat pekerjaan para pahlawan medis di luar sana. Saya akan ulas beberapa cerita yang menurut saya paling berkesan mendalam.

Cerita pertama, cerita dengan judul “Aku Bukan Pahlawan”, karya Taufiqur Rahman, seorang dokter spesialis anak di Lamongan. Tulisan ini menceritakan perjuangan pasien berusia 80 tahun yang didampingi anaknya dan pasien 4 tahun yang didampingi ayahnya dari sudut pandang seorang dokter. Yang membuat saya terenyuh yaitu ketika dikisahkan cara keluarga mereka dengan telaten berusaha untuk bersama-sama mewujudkan  kata sembuh. Cara mereka menyuapi makanan, meminumkan obat, dan menenangkan keluarganya ketika sakit. Tulisan ini menyadarkan saya akan dua hal. Pertama, terkadang kita kejauhan berlomba untuk mencari kunci surga. Kita lupa, bahwa salah satu kunci surga yang terdekat adalah ketika kita bisa memuliakan orang tua kita, sama seperti keluarga pasien yang mendampingi ibunya yang sudah berusia 80 tahun. Kedua, kasih orang tua terkadang lupa kita sadari sampai kita mendengar bahwa mereka rela menggadaikan hidupnya untuk anaknya, seperti ketika ayah pasien mendampingi anaknya yang berusia 4 tahun ini. Ia bisa kapan saja tertular dari anaknya, namun ia berkata bahwa ia ikhlas karena anaknya adalah hartanya yang paling berharga.


Cerita kedua, cerita dengan judul  “Detak dalam Detik” yang ditulis oleh Mbak Nita Aprilia, sepupu kami. Ia deskripsikan melalui ceritanya bagaimana rasanya berada dalam dekapan alat pelindung diri (APD). Dari deskripsinya, saya bisa turut merasa sedang memakai APD: bagaimana berjalan dengan memakai sepatu boot yang kebesaran, bagaimana melihat dengan goggle yang terus berembun, bagaimana banyaknya lapis baju yang menyelimuti tubuh. Itu tentu tak nyaman. Belum lagi, detak jantung yang selalu berkejaran dengan waktu. Setiap detik adalah nyawa. Sesuai dengan judul yang ia tulis, saya turut merasakan jantung saya terpacu ketika ia kisahkan pengalamannya dari ruang IGD menuju ruang isolasi. Pun, saya turut merasakan bagaimana rasanya detak jantung seorang suami melepas istrinya berangkat kerja dalam kekhawatiran yang bernaung ini. Pula dalam tulisannya, Mbak Nita turut menyadarkan pembaca, bahwa pengalaman ini tentunya bukan hal pertama untuk para petugas medis yang memang bertugas di ruang isolasi sejak dulu. Sejak Covid-19 belum memenangkan media,TB, SARS, MERS-Cov, dan lain-lain sudah lebih dulu menjadi sebuah ladang perjuangan para petugas medis di ruang isolasi. Lagi-lagi, saya dibuat malu apabila kufur melanda diri.

Cerita ketiga, cerita dengan judul “Kapan Ayah Pulang?” yang ditulis oleh Rizka Khairiza. Suaminya adalah seorang dokter yang terlibat langsung dalam penanganan pasied Covid-19. Ia harus merelakan suaminya tidak tidur bersamanya dan anak-anaknya di rumah. Ini dilakukan demi menjaga keluarganya. Sungguh air mata ini terpicu ketika membayangkan rasanya hanya bisa bersua dengan suami melalui panggilan video. Membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami dalam jarak sekian meter di luar pagar ketika ia mengirimkan sesuatu untuk anaknya di rumah, namun tahu diri untuk tak  saling sentuh. Membayangkan anak yang terus bertanya kapan ayahnya pulang karena sudah rindu dengan kebersamaan yang ia dapatkan sebelum pandemi ini dicetuskan. Itu tentu bukan hal mudah...dan hanya orang-orang terkuatlah yang bisa mengalaminya.

Itulah tiga cerita yang bagi saya meninggalkan kesan lumayan dalam. Buku ini, semakin saya baca, bukannya rasa khawatir yang semakin bertambah, namun rasa bersalah terhadap para pahlawan medis di luar sana yang semakin membuncah. Cerita-cerita ini sungguh mengingatkan saya untuk berpikir dua kali kalau mau sembrono, ke luar rumah untuk sekadar mengisi ruang kebosanan, misalnya.

Dari situlah, kiranya memang benar. Bahwa sejatinya, garda terdepan untuk melawan virus ini bukan mereka para pahlawan medis, melainkan kita. Pahlawan medis justru merupakan garda pertahanan terakhir. Saya setuju dengan pernyataan yang ditulis Rizki Akbar ini pada halaman 95.

Itulah ulasan saya tentang buku ini. Alih-alih mengulas konten, saya justru mengulas hikmah yang dapat kita petik. Terakhir, tak lupa saya mengajak kita semua untuk tidak berhenti berdoa agar pandemi ini segera diangkat dari muka bumi ini. Sesungguhnya, senjata paling ampuh adalah doa yang tak hentinya dipanjatkan. Maka, jangan letih untuk berdoa, karena Allah tidak pernah letih untuk menjawab.

Semangat, para Pahlawan Medis dan kita semua yang sedang berjuang.


2 comments:

  1. Terima kasih mbak, atas tulisannya, saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang antologi tersebut, pikiran saya juga jadi lebih terbuka

    ReplyDelete
  2. Setiap buku yg kita baca selalu meninggalkan kesan yaa mbak 🤗

    ReplyDelete

Comment here