Followers

Thursday, December 01, 2016

#Hijrah 1: Tata Rias Halal

Halo, para penikmat blog. Kali ini saya akan membagikan sedikit pengalaman saya, yang sebenarnya masih berkaitan dengan “Thailand Selatan”. Jangan bosan, ya. Hehe. Entah kenapa, cerita saya selama lima bulan di sana tidak akan ada habisnya kalau diulas. Baiklah, langsung saja ke topik kali ini, yaitu...”label halal”.

Sebelumnya, saya punya aturan di tulisan saya kali ini. Berhubung blog ini bukan karya ilmiah dan ada ungkapan juga kalau “my blog, my rules”, kali ini saya akan menggunakan pengalaman dan pemikiran saya sebagai bukti. Saya juga mohon tidak ‘perang ayat’ dalam menanggapi tulisan saya kali ini, karena tujuan saya bukan mempengaruhi, mengajak, melarang, atau me- me- yang lain. Saya juga tidak didorong oleh pihak mana pun untuk menulis ini. Saya juga tidak disponsori oleh produk mana pun, karena saya bukan artis, hehe. Saya hanya ingin membagikan pikiran saya. Nikmati saja dan tinggalkan bila tulisan ini dirasa kurang menarik, hehe. Baiklah, cusssssssssss.

Selama saya di Thailand, saya harus mengubah cara saya dalam mengonsumsi apa pun. Mengapa? Karena di sana bukanlah negara yang mayoritas penduduknya muslim, jadi makanan, produk kecantikan, dan barang-barang lainnya tidak semuanya mempunyai label halal. Kalau di sini, kita masuk ke toko serba ada seperti Alfamart, Indomaret, Giant, dll. pasti langsung comot saja, tanpa lihat dulu ada label halalnya atau tidak. Pun, saat masuk ke kafe, ke food court, ke warung sekali pun, kita langsung masuk saja tanpa mempertimbangkan halal tidaknya makanan yang dijual. Kalau toh mempertimbangkan, mentok-mentok cuma mempertimbangkan “Ada babinya ngga, ya?”.

Tapi, kalau di sana, tiap masuk ke Seven Eleven (toko serba ada yang ada di sana), saya harus membolak-balik tiap produk yang saya beli. Memastikan barang tersebut bisa dikonsumsi oleh muslim atau tidak. Belum lagi, tiap mencari makan di kedai, saya harus memastikan kedai tersebut memasang tulisan halal, Assalamualaikum, Bismillah, dan sebagainya. Kalau tidak, biasanya yang memasak memakai peci, kerudung, atau berbahasa Melayu. Baca tulisan kakak tingkat saya, yang juga sempat tinggal di Thailand Selatan di program yang sama dengan saya, tentang berburu halal di Thailand Selatan, di sini.

Selama di sana, hampir dipastikan saya selalu makan makanan halal, kosmetik yang saya kenakan pun sengaja cari yang halal. Saya juga memakai pakaian yang syar’i, karena memang muslim di sana sedikit berbeda dalam hal pakaian daripada Indonesia yang masih memaklumi kebebasan berekspresi dalam hal berpakaian. Di sana saya sendirian berjuang dan hampir setiap kesepian, saya tidak bisa curhat dengan siapa-siapa lagi selain Allah, karena memang sulit sekali untuk sekadar mengeluh jarak jauh dengan orang-orang terdekat saya. Saya di sana lebih jauh dari maksiat daripada di sini. Di sana hubungan antara laki-laki dan perempuan benar-benar terjaga, bahkan sekadar salaman saja tidak lazim. Saya seperti mencuci diri selama lima bulan di sana.

Entah mengapa, saat di sana, setiap kali saya berdoa atau hanya sekadar berkeinginan dalam hati, doa dan keinginan saya terkabul dalam waktu yang tidak lama. Bahkan, rata-rata doa itu terkabul di hari yang sama. Contoh kecilnya, saya ingin makan kue bernama ‘Angkok’ untuk berbuka puasa. Saya pernah mencoba pada saat awal datang di Thailand. Saya hanya berpikir saja, tidak meminta pada Allah. Tiba-tiba menjelang berbuka, guru pamong saya membawakan Angkok asal banda Nara yang terkenal dan rasanya memang sangat enak.

Contoh lain, di awal gaji pertama saya di sana, saya sempat tidak bisa mengatur keuangan karena saya masih bingung setiap kali berbelanja, apakah itu termasuk mahal atau murah (karena perbedaan kurs yang membuat saya belum terbiasa). Akibatnya, uang saya menipis dan saya takut sekali, karena saya gengsi juga kalau mau minta dikirimi uang untuk makan dari keluarga di Indonesia. Saya lalu menulis semua pengeluaran dan pemasukan dan berharap ada uang sisa untuk berlebaran di konsulat (sekalian membeli oleh-oleh). Namun, ternyata uang saya tidak sisa banyak. Tak lama kemudian, datang dua orang yang memberi saya sedekah. Dia berkata, ini untuk sedekah musafir seperti saya. Saya langsung terharu. Padahal saya tidak meminta uang kepada Allah. Saya hanya minta diberi kecerdasan dalam mengatur keuangan. Itu saja.

Contoh lain lagi, saya sempat sangat penat dan ingin jalan-jalan. Saya hanya memendam di dalam hati dan curhat kepada teman-teman satu universitas yang ada di grup Line. Tiba-tiba datang pesan singkat dari salah satu guru yang mengajak saya untuk jalan-jalan ke luar provinsi. Tiga contoh di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pengalaman tidak terduga yang saya dapatkan di sana. Saya hanya bisa bilang “Mashaa Allah, mashaa Allah”.

Saya lalu berpikir, mengapa ya di sana setiap kali saya berdoa, bahkan hanya sekadar berkeinginan, semuanya terkabul begitu saja tanpa syarat? Mengapa bila saya di Indonesia, rasanya untuk dikabulkan satu keinginan kecil saja sangat susah? Bahkan, untuk sekadar mencari buku di tumpukan rak perpustakaan saat mengerjakan skripsi saja saya sampai pusing dan tidak ketemu-ketemu? Saya lalu berpikir lagi, jawabannya mungkin sederhana. Di sini saya banyak bermaksiat, sedangkan di sana, saya tidak.

Ya. Saya introspeksi diri kemudian. Di sini, saya makan asal makan. Ada makanan yang sedang tren, misalnya mie ala Korea yang tidak ada label halalnya saja langsung saya coba. Bedak yang saya gunakan, eyeliner, mascara, dan sebagainya adalah produk yang terkenal, namun tidak berlabel halal. Di sini, pakaian saya tidak sesuai syariat. Saya memakai celana jeans, baju ketat, dan kerudung yang tidak menutup dada. Di sini, saya pacaran. Di sini...yah...saya jauh dari kata taat. Itulah sebabnya, doa saya sulit terkabul. Allah tidak ridha dengan apa yang saya lakukan.

Untuk mengubah itu semua, bukanlah hal yang mudah. Bila di sana, saya sendirian. Saya orang asing, mau tidak mau saya harus mematuhi kaidah di mana bumi yang saya pijak. Sedangkan di sini, menjadi muslim yang baik adalah tantangan yang luar biasa sulit. Itu yang saya rasakan. Padahal, Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya sangat banyak. Namun, karena banyak itulah, atas nama hak asasi, semua dimaklumi.

Jujur, bila untuk mengubah cara berpakaian, saya tidak bisa ekstrem langsung berubah memakai jubah panjang, memakai kerudung besar...tidak bisa dipungkiri, saya hanyalah seonggok makhluk yang masih banyak beralasan. Saya mengusahakan bila ada rok, saya memakai rok. Saya mulai perlahan meninggalkan celana. Namun, terkadang bila saya sudah bingung mencocokkan baju, saya langsung comot saja celana dan atasan biasa. Kerudung pun, saya masih berusaha perlahan tidak lagi pakai kerudung pendek. Namun, kadang saya juga masih ingin memakai kerudung pendek. Ya...susah memang. Namun saya akan berusaha pelan-pelan. Saya tidak ingin mengejek siapa pun dalam hal berpakaian. Karena, saya sendiri belum sempurna dan masih labil. Tapi, tidak ada yang menjamin kan seseorang yang tidak sempurna hari ini, bisa menyempurnakan dirinya kelak? Wallahualam.

Kembali ke topik label halal. Untuk urusan yang lain, saya pelan-pelan berbenah. Namun, ada urusan yang bisa segera saya benahi, yaitu...masalah label halal. Jadi begini. Jujur lagi, saya kurang motivasi dalam mengerjakan skripsi saya. Saya mulai memasuki masa-masa malas di mana saya tidak betah berlama-lama mengerjakan skripsi karena.....................ya, saya malas. Hehe. Maka dari itu, saya mencari cara agar saya semangat. Saya menyemangati diri sendiri dengan menjanjikan diri sendiri bahwa, “Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat kamu dilamar, haha. Dina, semakin cepat skripsi kamu selesai, semakin cepat wisuda, katanya mau dandan sendiri waktu wisuda?”. Nah, akhirnya saya mulai belajar dandan lagi setelah sekian lama saya tidak dandan.

Saya belajar dandan dari saat saya ikut paduan suara sampai duta-dutaan. Dari situ, saya mulai mengenal produk kosmetik beraneka ragam dan saya sudah mencoba berbagai merk kosmetik dari mulai yang halal, diragukan, bahkan haram. Mulai dari sini, saya menanggalkan kosmetik saya yang jelas tidak halal. Saya mencari dulu di internet tentang info produk kosmetik apa saja yang halal di Indonesia, di sini. Sejak saat itu, saya mulai follow beberapa akun kosmetik yang halal tersebut, di antaranya Wardah, Zoya, Sariayu, Mazaya, Caring Colours, dan Mineral Botanica. Yang sudah saya coba hanya Wardah, Caring Colours, dan Sariayu saja. Untuk yang lainnya, saya masih belum mencoba. Saya juga mulai aktif mencari review tentang kosmetik-kosmetik tersebut di Youtube dan beberapa blogger kecantikan di Indonesia. Saya mencoba dandan seminggu sekali. Kadang, saya juga berpikir, kok hasilnya nggak sebagus produk impor yang mahal, ya...lalu kadang juga saya masih ingin memakai yang mahal-mahal, impor, dan jelas tidak halal tapi hasilnya bagus.........tapi.....saya tersadar. Ah, untuk apa. Halal nomor satu. Hasil nomor dua. Mungkin, beberapa produk tidak bisa sebagus itu karena memang ada kandungan bahan yang tidak disertakan, yang kemungkinan bahan tersebut yang tidak halal tadi. Lagian, tidak bisa dipungkiri bahwa produk kosmetik lokal belum sedahsyat produk-produk buatan negara yang memang sudah ahlinya di bidang kosmetik.

Namun, dari situlah saya berpikir. Kalau orang Indonesia terus-terusan memakai produk impor demi hasil yang bagus, lalu siapa yang akan memakai produk lokal? Kalau tidak ada yang memakai produk lokal, dari mana produk itu akan maju? Akan dapat masukan dari mana? Nah, dari situlah saya mulai memutuskan: SAYA AKAN BERUSAHA MEMAKAI PRODUK KOSMETIK YANG HALAL DAN PRODUK LOKAL. In shaa Allah.

Lalu, saya berpikir lagi. Emmmm, mungkin yang membuat hasil dandan saya kurang bagus, tidak hanya dari intensitas dan produk kosmetiknya, tapi juga dari segi alat tata riasnya. Saya mulai deh mencari info kuas-kuas tata rias yang bagus seperti apa. Saya banyak mendapatkan info merk yang bagus dari beauty vlogger dan beauty blogger. Lalu, saya sempat akan membeli produk kuas tata rias buatan Amerika. Tapi sebentar. Tiba-tiba saya iseng menulis kata kunci di Google: brush make up halal. Dan...............sampailah saya di blog salah satu beauty vlogger ini. 

Membaca tulisannya, saya seperti ditampar secara halus. Iya, ya. Kalau produk kosmetiknya saja saya pilih-pilih yang halal, kenapa kuas tata riasnya saya juga tidak mempertimbangkan dulu yang halal. Akhirnya, saya mulai mencari lagi mana yaaa produk yang HALAL DAN LOKAL. Ada dua produk yang saya temukan. Ingat, standar saya hanya HALAL DAN LOKAL, ya. Hehe. Saya menemukan produk dari Mineral Botanica dan Zoya Cosmetics. Bahkan, harga keduanya pun tidak jauh beda. Karena saya masih mahasiswa, saya beli yang paling murah dulu. Nanti yang satunya, tunggu bulan-bulan depan, hehe.

Saya akhirnya membeli produk kuas tata rias dari Mineral Botanica. Mineral Botanica memang produk kosmetik yang masih baru. Belum banyak yang mengenal dan memakainya, tapi saya akan coba. Saya mendapatkannya dari salah satu online shop  di Malang. Kalau untuk produk kosmetiknya sudah ada di beberapa toko, kalau kuasnya, saya belum mencoba mencari. Penampakannya seperti ini, nih...
Ini produk kuas tata rias dari Mineral Botanica yang saya beli. Segera saya review, ya.
Zoya Cosmetics Brush Set
Kalau yang ini contoh produknya Zoya. Saya pengen coba juga, hehe.
Sumber foto:
https://www.bukalapak.com/p/perawatan-kecantikan/makeup/aksesoris-makeup/1sbdoj-jual-zoya-cosmetics-brush-set

Oh iya, saya kebiasaan deh. Kalau menulis, suka tidak fokus dengan topik yang saya buat sendiri, haha. Jadi, intinya, ini bukan postingan yang akan me-review produk kecantikan. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dan berbagi informasi. Intinya, saya berniat untuk mulai mencintai produk yang halal dan lokal. Pertama, saya mencari ridha Allah, yang entah hanya Allah yang tahu, diterima atau tidaknya itu urusan saya dengan Allah (saya kok ribet ya kalau menjelaskan, haha). Kedua, saya mencintai Indonesia, saya rasa nasionalisme kita mulai meluntur. Saya bukan aktivis, bukan artis, atau siapa saja yang memberi pengaruh di Indonesia. Saya hanya seorang mahasiswa semester akhir yang berusaha untuk mencintai produk dalam negeri dimulai dari mengajak diri sendiri dulu (lhoooo katanya postingan ini ngga mempengaruhi), heheeee yaaaa pokoknya gitu! :D


Saya mulai kehilangan kecerdasan menulis, nih...sekian dulu ya tulisan ngga seberapa penting saya ini. Semoga bermanfaat walaupun sedikit. Untuk selanjutnya, saya ingin review produk-produk ini, biar menyemangati yang mau berhijrah (kalau saya tidak malas menulis, ya). Selamat malam dan selamat berpikir :p 


No comments:

Post a Comment

Comment here