Followers

Wednesday, December 28, 2016

Sriwedari

Senja di batas Surakarta dan Jogja selalu menjadi teman untukku. Setiap senja datang, aku merasakan kekuatan baru telah lahir dalam diriku. Semacam vampire, setiap sandhya kala1datang, aku merasa utuh dan lahir baru. Ya, itulah aku dan aku menikmati anugerah Tuhan yang itu. Ku rayakan setiap kelahiranku dengan berjalan-jalan sendirian ke kota, berharap menemukan keasyikan dengan membaca buku di toko buku walaupun tidak dibeli. Mencoba baju-baju di mall hanya untuk difoto di dalam ruang ganti. Mencoba kue-kue tester di etalase toko sampai kenyang. Bahkan lewat di depan spg parfum, agar mendapatkan wangi terbaru dari produk parfum mahal yang tidak mampu kubeli.
            Aku mempunyai sebuah kelebihan yang tidak umum. Dan aku sangat menikmati kelebihan yang diberikan oleh empunya hidup ini kepadaku. Hingga kini tak ada satu pun yang tahu, pun ibuku. Bahkan aku sampai ingin berganti nama, namun tidak menemukan nama yang cocok untuk diriku. Hingga pada suatu senja di sebuah toko CD, aku berubah pikiran setelah bertemu dengan seseorang yang sekuat kutub utara. Dia mempunyai medan magnet yang sangat kuat. Dia mampu menarikku masuk ke dalam tubuhnya hanya melalui sebuah isyarat. Namanya Yosa. Aku tahu itu dari matanya. Aku tidak berkenalan langsung. Aku hanya perlu menatap sebentar, ion-ion dalam tubuhnya akan sampai padaku tanpa harus kujabat tangannya. Lalu kusunggingkan senyuman kepadanya. Dia tersenyum pula. Dia manis. Dan wangi.
            Ku nikmati setiap alur lagu The Carpenters melalui headphone yang disediakan. Yosa mengambil sebuah keping CD penyanyi luar negeri yang namanya tak mampu kuingat. Kami berdua sama-sama saling menikmati hasil sadapan musik ke dalam telinga kami hingga  terpejam sambil berdiri. Tiba-tiba, aku merasakan tarikan yang sangat kuat dari luar tubuhku. Nyawaku seperti magnet berkutub selatan yang dilewati magnet berkutub utara dan tak kuasa menolak untuk tidak berdekatan. Isi tubuhku melayang masuk ke dalam otak Yosa. Aku tidak bisa mengendalikan apa pun yang terjadi saat itu. Semua mengalir begitu saja. Sakit sekali rasanya nyawaku bisa tertarik tanpa kendaliku. Menerobos ruang dan waktu ke dalam tubuh seseorang yang bahkan tak sempat kusentuh kulitnya. Masuk ke pori-pori dahinya. Melewati lapisan-lapisan syarafnya dan sampailah ke dalam otaknya.
            Tiba-tiba saja, aku sudah berada di depan tenda piknik berwarna putih dalam pelukan yang sangat hangat di suatu pagi. Dalam dekapan tubuh Yosa. Aku bisa merasakan kulitnya yang hangat. Dia menyungging senyuman kepadaku lagi. Kami lalu bersenda-gurau sambil sesekali berfoto mesra menggunakan kamera Polaroid dan melihat hasilnya sambil tertawa.
            “Kamu Sriwedari, yang menari dalam otakku. Tolong jangan pergi, karena aku tidak mampu sendiri,” Yosa memeluk lagi, sambil berbisik di depan telingaku. Dan aku terpejam.
            Tiba-tiba lagi, aku sudah berada di pinggir kolam renang. Kami berdua tepatnya. Yosa menyungging senyum lagi. Senyum yang paling legit, senyum yang membuat ingin di-gadho2. Kami berdua meniup gelembung sabun di pinggir kolam itu sambil bercanda mesra. Yosa menceritakan masa kecilnya yang terlampau bahagia.
            “Dulu, teman sekelasku selalu mengajakku bermain gelembung sabun sepulang sekolah. Tapi ibu tidak mengizinkanku membeli gelembung botol seperti mereka. Ibu membuatkanku gelembung dari sabun sisa cucian kotor, lalu membuatkanku alat tiup gelembung dari kawat sisa jemuran,”
            “Bagaimana pun caranya, tapi kesenangan yang didapat tetap sama, kan?”
            “Begitulah,” Yosa memegang tanganku, “Seperti halnya denganmu, bagaimana pun caranya, aku tetap akan bersamamu, Sriwedari”.
            Yosa masih menyungging senyum manis legit itu. Bergantian aku yang menceritakan masa kecilku. Menceritakan bagaimana senja sangat berarti untukku, namun aku masihbelum bisa menceritakan kelebihan ini kepada siapa pun, termasuk Yosa. Aku hanya bercerita bagaimana setiap senja aku selalu melakukan window shopping dari window ke window. Dan aku sangat menikmatinya.
            Belum sempat aku menikmati kemesraan di pinggir kolam renang itu, tiba-tiba, selalu secara tiba-tiba, kami berdua sudah berada di sebuah ranjang. Berbalut selimut hangat, kami berdua tidur berhadapan. Yosa menghadap ke kiri dan aku menghadap ke kanan. Yosa menyungging senyum manis legitnya lagi. Yosa lalu mengusuk kepalaku. Aku hanya bisa pasrah menikmati hangat jemarinya di kepalaku.

            “Aku selalu ingin tidur di sampingmu. Begitulah indah, begitulah nyaman, Sriwedariku,” kedipan matanya terasa nyaman untuk dipandang.
            “Dan begitulah aman, tiap kali kau sungging senyum manis legitmu itu,” aku sudah tidak mampu berkata lagi, lalu terpejam, di sampingnya.
            Secara tiba-tiba lagi, ada tarikan kuat dari dalam tubuhku. Nyawaku seperti menembus lorong waktu. Aku berteriak hebat karena sakit tarikan ini membuatku merasa dihujani seribu pisau. Aku melihat lubang kecil dalam kegelapan. Lubang yang jauh di sana. Aku lewati alur setiap lekuk otak Yosa. Berlanjut ke syarafnya. Lalu masuklah aku ke lubang kecil terang yang tak lain adalah pori-pori kulitnya. Tiba-tiba aku sudah kembali ke tubuhku. Aku membuka mata. Aku mual. Aku lepas headphone yang terpasang sedari tadi. Aku mual sungguh mual. Bergegaslah aku ke kamar mandi.
            Yosa membuka mata setelah sebuah lagu yang ia dengarkan selesai melagu. Yosa menoleh ke tempatku tadi berdiri. Aku sudah tidak ada di sana. Ia menoleh kanan-kiri. Yosa lalu pergi ke luar toko, mungkin hendak mencari.
            Setelah dari kamar mandi, aku kembali ke tempat tadi. Tak kujumpai Yosa di sana. Namun aku tersungging, menirukan sungging manis legit lelaki tadi. Mungkin Yosa, yang akan menjadi jawaban dari semua tanyaku. Tanyaku apakah harus ada seseorang untuk dibagi cerita mengenai kelebihanku. Kelebihanku yang bisa masuk ke tubuh seseorang di setiap senja. Seseorang mana saja yang ingin kumasuki. Kecuali Yosa. Dia yang menarik nyawa ini sendiri. Atau mungkin nyawa ini telah merasa menemukan separuh diri dalam Yosa, dan ia memutuskan melompat sendiri di luar kendaliku.
            Yosa. Nama yang indah. Senyum yang manis legit. Peluk yang hangat. Yosa. Yang memberiku nama Sriwedari sedari tadi. Mungkin ia menganggapku adalah taman surganya. Yosa. Yang merayu tanpa bicara, melagu tanpa berkata. Begitulah senjaku hari itu. Besoknya lagi, aku akan ke sini di waktu yang sama. Semoga seseorang bernama Yosa itu masih ingin dimasuki lagi. Kesakitan setiap nyawa ini keluar dari tubuh, apabila harus masuk ke dalam tubuh Yosa lagi, itulah sakit yang sangat aku nikmati.

Sejak saat itu, namaku Sriwedari.
Aku tidak akan bingung mencari nama lagi.



(Terinspirasi dari lagu Maliq & D’essentials yang berjudul Setapak Sriwedari )


________________________________________________________________________
1. sandhya kala: Saat di mana bumi mengalami peralihan dari siang ke malam.
2. gadho: makan lauk saja tanpa nasi (ngemil) 

No comments:

Post a Comment

Comment here