Senja di batas Surakarta dan Jogja selalu
menjadi teman untukku. Setiap senja datang, aku merasakan kekuatan baru telah
lahir dalam diriku. Semacam vampire, setiap
sandhya kala1datang, aku merasa utuh
dan lahir baru. Ya, itulah aku dan aku menikmati anugerah Tuhan yang itu. Ku
rayakan setiap kelahiranku dengan berjalan-jalan sendirian ke kota, berharap
menemukan keasyikan dengan membaca buku di toko buku walaupun tidak dibeli.
Mencoba baju-baju di mall hanya untuk difoto di dalam ruang ganti. Mencoba kue-kue
tester di etalase toko sampai
kenyang. Bahkan lewat di depan spg parfum,
agar mendapatkan wangi terbaru dari produk parfum mahal yang tidak mampu
kubeli.
Aku mempunyai sebuah
kelebihan yang tidak umum. Dan aku sangat menikmati
kelebihan yang diberikan oleh empunya hidup ini kepadaku. Hingga kini tak ada
satu pun yang tahu, pun ibuku. Bahkan aku sampai ingin berganti nama, namun
tidak menemukan nama yang cocok untuk diriku. Hingga pada suatu senja di sebuah
toko CD, aku berubah pikiran setelah bertemu dengan seseorang yang sekuat kutub
utara. Dia mempunyai medan magnet yang sangat kuat. Dia mampu menarikku masuk
ke dalam tubuhnya hanya melalui sebuah isyarat. Namanya Yosa. Aku tahu itu dari
matanya. Aku tidak berkenalan langsung. Aku hanya perlu menatap sebentar,
ion-ion dalam tubuhnya akan sampai padaku tanpa harus kujabat tangannya. Lalu
kusunggingkan senyuman kepadanya. Dia tersenyum pula. Dia manis. Dan wangi.
Ku
nikmati setiap alur lagu The Carpenters melalui
headphone yang disediakan. Yosa
mengambil sebuah keping CD penyanyi luar negeri yang namanya tak mampu kuingat.
Kami berdua sama-sama saling menikmati hasil sadapan musik ke dalam telinga
kami hingga terpejam sambil
berdiri. Tiba-tiba, aku merasakan tarikan yang sangat kuat dari luar tubuhku.
Nyawaku seperti magnet berkutub selatan yang dilewati magnet berkutub utara dan
tak kuasa menolak untuk tidak berdekatan. Isi tubuhku melayang masuk ke dalam
otak Yosa. Aku tidak bisa mengendalikan apa pun yang terjadi saat itu. Semua
mengalir begitu saja. Sakit sekali rasanya nyawaku bisa tertarik tanpa
kendaliku. Menerobos ruang dan waktu ke dalam tubuh seseorang yang bahkan tak
sempat kusentuh kulitnya. Masuk ke pori-pori dahinya. Melewati lapisan-lapisan
syarafnya dan sampailah ke dalam otaknya.
Tiba-tiba
saja, aku sudah berada di depan tenda piknik berwarna putih dalam pelukan yang
sangat hangat di suatu pagi. Dalam dekapan tubuh Yosa. Aku bisa merasakan
kulitnya yang hangat. Dia menyungging senyuman kepadaku lagi. Kami lalu
bersenda-gurau sambil sesekali berfoto mesra menggunakan kamera Polaroid dan melihat hasilnya sambil
tertawa.
“Kamu Sriwedari, yang menari dalam otakku.
Tolong jangan pergi, karena aku tidak mampu sendiri,” Yosa memeluk lagi,
sambil berbisik di depan telingaku. Dan aku terpejam.
Tiba-tiba
lagi, aku sudah berada di pinggir kolam renang. Kami berdua tepatnya. Yosa
menyungging senyum lagi. Senyum yang paling legit, senyum yang membuat ingin
di-gadho2. Kami berdua meniup
gelembung sabun di pinggir kolam itu sambil bercanda mesra. Yosa menceritakan
masa kecilnya yang terlampau bahagia.
“Dulu, teman sekelasku selalu mengajakku bermain
gelembung sabun sepulang sekolah. Tapi ibu tidak mengizinkanku membeli
gelembung botol seperti mereka. Ibu membuatkanku gelembung dari sabun sisa
cucian kotor, lalu membuatkanku alat tiup gelembung dari kawat sisa jemuran,”
“Bagaimana pun caranya, tapi
kesenangan yang didapat tetap sama, kan?”
“Begitulah,” Yosa memegang tanganku, “Seperti halnya denganmu, bagaimana pun caranya, aku tetap akan
bersamamu, Sriwedari”.
Yosa masih
menyungging senyum manis legit itu. Bergantian aku yang menceritakan masa
kecilku. Menceritakan bagaimana senja sangat berarti untukku, namun aku masihbelum bisa menceritakan kelebihan ini kepada siapa
pun, termasuk Yosa. Aku hanya bercerita bagaimana setiap senja aku selalu
melakukan window shopping dari window ke window. Dan aku sangat menikmatinya.
Belum
sempat aku menikmati kemesraan di pinggir kolam renang itu, tiba-tiba, selalu
secara tiba-tiba, kami berdua sudah berada di sebuah ranjang. Berbalut selimut
hangat, kami berdua tidur berhadapan. Yosa menghadap ke kiri dan aku menghadap
ke kanan. Yosa menyungging senyum manis legitnya lagi. Yosa lalu mengusuk
kepalaku. Aku hanya bisa pasrah menikmati hangat jemarinya di kepalaku.
“Aku selalu ingin tidur di sampingmu.
Begitulah indah, begitulah nyaman, Sriwedariku,” kedipan matanya terasa
nyaman untuk dipandang.
“Dan begitulah aman, tiap kali kau
sungging senyum manis legitmu itu,” aku sudah tidak mampu berkata lagi, lalu terpejam, di sampingnya.
Secara
tiba-tiba lagi, ada tarikan kuat dari dalam tubuhku. Nyawaku seperti menembus
lorong waktu. Aku berteriak hebat karena sakit tarikan ini membuatku merasa
dihujani seribu pisau. Aku melihat lubang kecil dalam kegelapan. Lubang yang
jauh di sana. Aku lewati alur setiap lekuk otak Yosa. Berlanjut ke syarafnya.
Lalu masuklah aku ke lubang kecil terang yang tak lain adalah pori-pori
kulitnya. Tiba-tiba aku sudah kembali ke tubuhku. Aku membuka mata. Aku mual.
Aku lepas headphone yang terpasang
sedari tadi. Aku mual sungguh mual. Bergegaslah aku ke kamar mandi.
Yosa
membuka mata setelah sebuah lagu yang ia dengarkan selesai melagu. Yosa menoleh
ke tempatku tadi berdiri. Aku sudah tidak ada di sana. Ia menoleh kanan-kiri. Yosa
lalu pergi ke luar toko, mungkin hendak mencari.
Setelah
dari kamar mandi, aku kembali ke tempat tadi. Tak kujumpai Yosa di sana. Namun
aku tersungging, menirukan sungging manis legit lelaki tadi. Mungkin Yosa, yang
akan menjadi jawaban dari semua tanyaku. Tanyaku apakah harus ada seseorang
untuk dibagi cerita mengenai kelebihanku. Kelebihanku yang bisa masuk ke tubuh
seseorang di setiap senja. Seseorang mana saja yang ingin kumasuki. Kecuali Yosa.
Dia yang menarik nyawa ini sendiri. Atau mungkin nyawa
ini telah merasa menemukan separuh diri dalam Yosa, dan ia memutuskan melompat
sendiri di luar kendaliku.
Yosa.
Nama yang indah. Senyum yang manis legit. Peluk yang hangat. Yosa. Yang
memberiku nama Sriwedari sedari tadi. Mungkin ia menganggapku adalah taman
surganya. Yosa. Yang merayu tanpa bicara, melagu tanpa berkata. Begitulah senjaku
hari itu. Besoknya lagi, aku akan ke sini di waktu yang sama. Semoga seseorang
bernama Yosa itu masih ingin dimasuki lagi. Kesakitan setiap nyawa ini keluar
dari tubuh, apabila harus masuk ke dalam tubuh Yosa lagi, itulah sakit yang
sangat aku nikmati.
(Terinspirasi
dari lagu Maliq & D’essentials yang berjudul Setapak Sriwedari )
________________________________________________________________________
1. sandhya kala:
Saat di mana bumi mengalami peralihan dari siang ke malam.
2. gadho: makan lauk saja tanpa nasi (ngemil)
No comments:
Post a Comment
Comment here