Followers

Wednesday, November 05, 2014

Kisah Pohon dan Angin: Mengeluh

14.42 WIB
Dalam keadaan penat dan lapar luar biasa.

Siang ini, tiba-tiba aku merasakan udara di dalam paru-paruku penuh sesak dengan tumpukan kata-kata yang melewati telinga atau bahkan terbaca mata, yang tadinya ingin aku sapu dengan tongkat sihir yang aku punya. Tapi kok siang ini, tiba-tiba dia kembali merajamku dengan seribu kesakitan tiada terperi yang menuntunku untuk menggerakkan tangan di atas keyboard baruku ini. Ya. Bapak baik sekali, aku dibelikan mainan baru. Bapak tahu aku suka berbicara dengan huruf-huruf di atas keyboard seperti saat ini.

Awalnya satu kalimat tajam itu masuk ke telingaku. Aku sudah membuangnya. Kedua kali kalimat tajam itu masuk, telingaku sudah aku tutup rapat dengan dua tanganku. Ketiga kalinya, kalimat itu masuk ke tubuhku melalui tempat yang lain. Dia menghujam mataku dan aku terlanjur membacanya. Aku tutup mataku. Keempat kalinya, kalimat itu datang lagi dan entah...aku ingin menangis, tapi aku tidak menemukan bahu untuk bersandar.

Ya Allah yang mahapengasih, aku sudah berjanji untuk mengurangi sifat kekanak-kanakanku: mengeluh. Tapi, hari ini izinkan aku mengeluh lewat tulisan ini...karena aku tidak menemukan bahu untuk bersandar dan tidak bisa mensujudkan tubuhku menghadap barat. Aku benar-benar ingin menangis karena aku sudah cukup kesakitan melarang air mata ini keluar.

Ya Allah yang mahamendengar, aku sungguh kedinginan sendirian di sini. Aku tidak menemukan di mana aku yang sebenarnya akhir-akhir ini. Aku merasa tubuhku disusun oleh ekspektasi, persepsi, citra, ambisi, tanggung jawab, kepercayaan, dan tuntutan dari orang-orang di luar sana.

Seenaknya saja mereka menempelkan semua itu ke dalam tubuhku dan seenaknya saja mereka menghembuskan angin kencang dan semakin kencang seiring laju batangku ke atas. Bukannya angin dan pohon tidak boleh bertengkar, angin membantu pohon tumbuh dengan menebarkan sari-sarinya ke udara dan menempel ke putik yang lain. Apakah angin juga tidak merasakan bahwa pohon membuatnya terlihat dengan goyangan daunnya yang menari lembut, sehingga orang bisa menyadari bahwa angin ada?

Kenapa sampai ada istilah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup? Harusnya tidak ada, kan?

Hmmmm...

Inhale...

Exhale...

Di paragraf ini, tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu. Untuk apa aku menuliskan kalimat-kalimat di atas. Aku bukan perempuan lemah!

Mereka memberiku kepercayaan besar sampai detik ini, karena mereka yakin aku bisa dan aku tidak boleh mengeluh. Jika aku mengeluh, itu hanya karena aku tidak yakin bisa menghadapinya sendirian. 

Yang harus dilakukan sekarang, aku akan tetap menjadi pohon yang kuat. Tidak peduli seberapa besar angin yang menghantam. Aku adalah pohon yang tidak bisa dirobohkan oleh angin seperti mereka. Bismillah.

Oh iya, jika ada angin-angin nakal yang mengganggu lagi, mungkin aku bisa meminjam beberapa kata dari lirik lagunya Mocca. Excuse me, Sir (Maam), you don’t even know me.



Ditulis di Miami Chicken (tempat cari gratisan Wi-Fi paling murah dan letaknya paling dekat dengan kampus. Cocok untuk menyendiri, walaupun menunya biasa saja. Terima kasih, Miami. )

No comments:

Post a Comment

Comment here