Pada suatu siang, langit mendadak kelabu bak bunglon yang sedang
berkamuflase. Alam seakan mengiring suram kepada Joyo. Joyo yang sebelumnya
merupakan salah satu buruh di sebuah pabrik rokok, di-PHK dan harus
menganggur selama tiga bulan. Semua karyawan yang dianggap tidak memberikan
kontribusi yang berarti bagi perusahaan, harus rela kehilangan pekerjaannya.
Padahal, Joyo memiliki empat orang anak yang masih kecil. Bulan depan, anak
pertamanya harus masuk SD dan Joyo tidak tahu harus membiayainya dengan uang
dari mana.
“Jan apes
tenan. Lek ngene carane, aku kudu nggolek kerjo sing liyane!” Joyo berkata setengah kesal.
Joyo berkeliling ke seluruh kota untuk mengajukan
lamaran pekerjaan. Namun, Joyo hanya seorang lulusan SMA. Sulit untuk lulusan
SMA di era seperti ini mendapat pekerjaan dengan mudah apabila tidak memiliki
keterampilan yang dapat diandalkan.
Sore harinya,
sampailah Joyo di sebuah rumah gedong bercat kuning. Ia melihat banyak sekali
orang memikul bantal masuk ke rumah gedong tersebut. Ia lalu melihat satu per
satu dari mereka menyetorkan uang kepada seorang yang berkumis tebal di rumah
itu. Setelah itu, mereka dibayar kembali dan pergi meninggalkan rumah dengan
wajah sedikit sumringah.
Joyo tertarik
melihat apa yang baru saja terjadi. Ia bergegas masuk ke rumah itu setelah
semua pekerja selesai dengan tugasnya. Ia memberanikan diri menemui seorang
yang berkumis tebal itu.
“Nyuwun
sewu, saya Joyo. Apakah bapak juragan dari para penjual bantal ini?”
“Oh iya le,
saya Odi. Pak Odi. Ada apa?” jawab seorang berkumis tebal itu sambil
memainkan kumisnya.
“Boleh saya
bekerja di sini? Ini berkas lamaran saya, bila dibutuhkan,”
“Halah, ga usah
berkas-berkasan. Wis, sesuk langsung kerjo, yo?” Pak Odi nampaknya tidak peduli dengan berkas yang dibawa oleh Joyo. Namun
untungnya Pak Odi menerima lamaran Joyo tanpa basa-basi setelah memandangi Joyo
dari atas ke bawah.
Joyo nampak
sumringah. Ia lalu bersalaman kembali dengan Pak Joyo sebagai tanda berpamitan
sekaligus tanda terima kasih. Joyo lalu pulang naik angkutan umum menuju
rumahnya. Di sepanjang jalan, Joyo membayangkan hari esok di mana ia tidak lagi
akan menganggur. Sesampainya di rumah, Joyo memberitahukan hal ini kepada
istrinya, Suprihatin.
“Tin...Suprihatin...mas
sudah pulang...” teriak Joyo pada saat ia sampai di depan pintu
rumahnya.
“Iya iya
mas, waalaikumsalam...” Suprihatin tersenyum manis kepada suaminya.
“Ehehe,
assalamualaikum. Aku punya cerita kanggo kowe,”
“Napa niku,
mas? Sek, sek, masuk dulu. Tak bikinkan teh. Masa’ di depan pintu gini,”
Suprihatin dan
suaminya itu lalu minum teh bersama samblil duduk bercengkerama.
“Wonten napa
tho, mas?”
“Aku besok
mulai kerja lagi, Tin,”
“Alhamdulillah...kerja
di mana, mas?”
“Ya...mungkin
kerjaan ga seberapa. Aku ngelamar jadi tukang jualan bantal. Kamu isin gak,
punya suami penjual bantal?”
“Nyapo tho mas,
isin barang. Endak, Tin ndak malu. Yang penting halal. Rezeki itu tidak
bisa ada yang nebak, mas”
“Ya wis kalo
gitu. Mulai besok, mas berangkat pagi, Tin...”
“Iya mas, Tin
bangunkan biar ndak terlambat,”
Hari berganti
pagi, dengan semangat baru, Joyo terlihat sangat cerah dan siap untuk bekerja.
Ia memanggul 20 bantal, 10 di kiri, 10 di kanan. Sangat berat. Ia sangat
hati-hati dalam berjalan. Ia berkeliling menjajakan bantal-bantalnya pada rumah
demi rumah. Ia mempunyai teriakan khas untuk menarik perhatian pembeli.
“Taaaaal...bantal!
Yang pengen mimpi indaaah...bantal!”
“Piro, mas?” tanya
seorang ibu yang sedang menyapu di teras
“Enam puluh
lima ribu, bu. Monggo...”
“Wo...mahal
sekali. Empat puluh aja, yo?”
“Wah, pas,
bu...ndak bisa kurang. Ini bahannya bagus. Ndak panas,”
“Empat lima,
wis?”
“Tambahin
sedikit, bu”
“Endak wis,
empat lima aku ambil,”
“Ya sudah, bu.
Lima puluh, ya?”
“Yo wislah mas,
ambil satu wis...”
“Alhamdulillah,
penglaris...penglaris...”
Setelah
mendapat pembeli pertama, ia semangat untuk terus berjalan. Hari pertama hanya
dua buah bantal yang laku dijual. Penghasilannya seratus ribu. Setelah itu, ia kembali ke rumah Pak Odi.
“Nyoh, ini
upahnya hari ini, ya...” kata Pak Odi.
“Sepuluh ribu,
pak?”
“Lha minta
berapa? Udah banyak itu. Udah, pulang, istirahat. Besok kerja lagi!”
Joyo kecewa dengan penghasilan yang diterimanya. Namun
ia berbesar hati. Ia menganggap hari pertamanya ini adalah pemanasan.
***
Hari demi hari
dilalui Joyo dengan menjajakan bantal-bantalnya ke rumah-rumah. Sampai pada
suatu hari, Joyo mulai pasrah karena ia tak kunjung mendapatkan cukup pembeli.
Upah yang diterimanya hanya habis untuk membayar angkutan umum.
“Yo, kamu
ngapain tho, kok susah. Mikir apa, tho?” kata Handoko, sesama penjual
bantal.
“Mau ndak susah
gimana, Han. Anakku yang besar udah mau SD. Penghasilan Cuma segini-gini aja.
Aku pengen anakku sekolah, tapi...”
“Halaaah...kamu
itu jadi orang kok suka pasrah. Ayo wis, jangan buang waktu! Ikut aku ke
kampung yang lumayan rame. Nanti sehari bisa dapet banyak,”
Akhirnya
Handoko mengajaknya berkeliling ke sebuah kampung yang ia anggap ramai dan
berpotensi banyak pembeli. Keduanya berjalan beriringan melewati pematang
sawah, lalu akhirnya sampai di sebuah perumahan kecil.
“Taaal...bantal!
Yang mau tidur nyenyaaak...bantal!” keduanya
berteriak bersama.
“Bantal!” teriak seorang ibu dari balik pagar rumahnya.
“Lho, Bu Asri.
Apa kabar, bu?” kata Handoko.
“Alhamdulillah
baik, mas. Kok kebetulan sampeyan lewat. Bantalku wis tipis, hehehe”
Handoko mendapat pembeli pertama hari itu. Selanjutnya
Handoko dan Joyo terus berjalan. Namun sayang, kali itu bukan hari
keberuntungan Joyo. Ia tak dapat satu pun pembeli.
Joyo mulai
bingung. Ia bingung memikirkan anak-istrinya harus makan apa. Ia takut anaknya
tidak bisa sekolah karena penghasilannya tidak memungkinkan. Setiap malam ia
tidur dengan ketakutan akan hari esok. Setiap malam, ia tidur di atas bantal
yang tidak lebih empuk dari bantal yang ia jual. Setiap malam, ia tidur beralas
ketakutan demi ketakutan.
Joyo pasrah
dengan pekerjaannya sebagai penjual bantal. Ia memutuskan untuk berhenti
sejenak dari menjual bantal sambil mencari pekerjaan lain. Ia berkeliling
mencari pekerjaan lagi.
“Permisi mbak,
bisa saya bertemu dengan staf HRD kantor ini?” Joyo bertanya pada seorang resepsionis sebuah kantor penyedia jasa servis
komputer.
“Ada keperluan
apa ya, mas?” jawab resepsionis itu.
“Saya mau
ajukan lamaran pekerjaan. Di depan, saya baca ada lowongan office boy,”
“Emm...office boy. Maaf mas, kami tidak membuka lowongan,”
“Lha itu mbak,
di depan ada tulisannya...masa’ ndak buka,”
“Lho iya,
maaaas. Kami sudah tutup lowongan. Mungkin petugas lupa mencopot pengumuman,”
“Lah gitu
ya ndang dicopot tho, mbak. Bikin GR aja,” Joyo
lalu lekas pergi dari kantor tersebut dengan kecewa.
“Emang orang
besar suka meremehkan hal kecil!” Joyo bergumam
sendiri.
Joyo berjalan
lagi mencari secercah harapan pada setiap tulisan “LOWONGAN PEKERJAAN”. Ia
berharap ada satu tulisan yang bersinar diiringi binar mata ramah yang mau
menerimanya. Sampailah Joyo pada sebuah toko kain.
“Permisi,
cik...di depan ada tulisan ‘lowongan pekerjaan pramuniaga’, saya bisa ajukan
lamaran pada siapa?”
“Ohh...ke saya,
sih. Ada apa? Kamu mau melamar?”
“Iya cik,
syaratnya minimal lulus SMA saja, kan? Saya juga sudah bawa foto 3x4,”
Wanita tersebut
tidak menjawab. Sembari menghitung uang, ia benahi kacamatanya yang turun. Ia
letakkan uang di laci. Lalu melihati Joyo dari atas ke bawah hingga dua kali. Ia
berdehem. Lalu meletakkan kacamatanya di meja.
“Cari pekerjaan
di tempat lain saja ya, mas...kayaknya saya masih pikir-pikir mau nerima sampeyan,” jawab wanita tersebut tanpa melakukan filtrasi terhadap
kalimatnya.
“Lho, kenapa, cik? Saya lulusan SMA bener, kok. Ini saya bawa fotokopi ijazah, saya juga
bisa ngitung cepet ga pake kalkulator,”
“Saya cari
pramuniaga perempuan saja, wis,”
“Di depan ndak
ditulis, butuh perempuan apa laki-laki,”
“Ya sekarang
saya bilang,”
Joyo malas
berdebat. Ia lebih memilih tidak mendengarkan dan langsung pergi sambil
berwajah kesal.
“Orang kaya
manaaa yang tidak seenaknya udel!” gerutunya
kesal.
“Wong rusuh
gitu mau kerja di sini. Ya ndak mau aku,” kata wanita tersebut lirih.
Joyo mendengar
dan menoleh sambil melotot. Ia lanjutkan pencariannya hingga hari petang.
Namun, hanya aksi berujung gerutu yang ia dapatkan.
“Halah...angel
temen golek kerjo!”
Joyo memutuskan untuk mengakhiri hari dengan naik
angkutan umum. Di dalam angkot, terus saja ia melamun. Ia
membayangkan uang berapa juta yang ia butuhkan untuk melihat anaknya sekolah.
Ia melihat ibu-ibu di depannya berkalung emas dan bergelang emas bagai artis
India. Ia lalu teringat pada Tin.
“Tin pasti
cantik kalo dia pakai begituan, “
Ia terus
melamun memandangi kilau emas perhiasan ibu tersebut. Joyo lalu menutup wajah
dengan kedua tangannya. Ia teringat wajah Tin. Tin selalu mengingatkan,
walaupun miskin, Joyo tidak boleh kufur. Joyo tidak boleh syirik dengan
kekayaan dan kebahagiaan orang lain. Joyo terus merenung. Ia tetap ingin
bekerja secara layak, minimal seperti dahulu.
Joyo
akhirnya kembali ke rumah Pak Odi. Joyo tidak tahu lagi harus ke mana. Hanya
menjadi penjual bantallah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan.
“Pak, nyuwun sewu. Saya tidak bisa bekerja lebih baik dari di sini,”
“Ya sudah le,
nurut saya. Wis, wis, besok balik kerja, yo. Saya sek banyak lowongan. Kalo saya kan makin banyak yang
jualan, saya makin senang, hehehehe”
“Inggih, Pak. Besok saya kerja lagi,”
Tak ada
pilihan. Tak ada cara lagi. Joyo hanya bisa berharap esok ada nasi untuknya,
istrinya, dan keempat anaknya. Masih dengan harapan yang menggantung, Joyo
akhirnya pulang ke rumah. Ia gagal membawa kabar baru nan segar untuk Tin. Ia
tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Tiap malam,
Joyo hanya bisa menceritakan keluh kesahnya pada Suprihatin dan berdoa kepada
Tuhan agar hari esok ia bisa terbangun dan melihat anaknya sekolah sampai
perguruan tinggi.
“Tin...kalau
anak kita tidak bisa bersekolah karena bapaknya ndak punya uang, gimana?
“Mas iki
ngomong opo, tho! Mas gak boleh berpikiran negatif gitu. Ani pasti bisa
sekolah. Surti juga pasti bisa sekolah. Begitu juga dengan Husen dan si kecil
Mamat. Selama kita usaha, pasti ada jalan, mas. Mas berusaha. Aku juga
berusaha. Kemaren Bu Darso nawarin aku jadi rewang di rumahnya. Aku sanggupi saja buat nambah-nambah
penghasilan,”
“Jadi rewang di
rumah Bu Darso, Tin? Ya wis...mas setuju wae,”
“Wis, mas ndak
usah khawatir. Tin gak mau mas murung terus. Kita terus berdoa sama Allah biar
dilancarkan rezekinya, nggih mas?”
Keduanya saling tersenyum memandangi kerut di bawah
mata masing-masing. Joyo hanya bisa berharap dan terus berharap. Hanya
istrinyalah yang mampu membuat ia bertahan. Hanya bayangan anaknya harus
sukseslah yang membuat ia mengurungkan niat untuk menyerah. Hanya ‘semoga’ dan
‘semoga’ yang menjadi pengawal doanya setiap akan tidur. Tidur beralaskan
angan-angan, yang lebih empuk dari sebuah bantal.
No comments:
Post a Comment
Comment here