Followers

Saturday, December 02, 2017

Cerpen: Sang Penjual Bantal

Pada suatu siang, langit mendadak kelabu bak bunglon yang sedang berkamuflase. Alam seakan mengiring suram kepada Joyo. Joyo yang sebelumnya merupakan salah satu buruh di sebuah pabrik rokok, di-PHK dan  harus menganggur selama tiga bulan. Semua karyawan yang dianggap tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi perusahaan, harus rela kehilangan pekerjaannya. Padahal, Joyo memiliki empat orang anak yang masih kecil. Bulan depan, anak pertamanya harus masuk SD dan Joyo tidak tahu harus membiayainya dengan uang dari mana.
“Jan apes tenan. Lek ngene carane, aku kudu nggolek kerjo sing liyane!” Joyo berkata setengah kesal.
Joyo berkeliling ke seluruh kota untuk mengajukan lamaran pekerjaan. Namun, Joyo hanya seorang lulusan SMA. Sulit untuk lulusan SMA di era seperti ini mendapat pekerjaan dengan mudah apabila tidak memiliki keterampilan yang dapat diandalkan.
Sore harinya, sampailah Joyo di sebuah rumah gedong bercat kuning. Ia melihat banyak sekali orang memikul bantal masuk ke rumah gedong tersebut. Ia lalu melihat satu per satu dari mereka menyetorkan uang kepada seorang yang berkumis tebal di rumah itu. Setelah itu, mereka dibayar kembali dan pergi meninggalkan rumah dengan wajah sedikit sumringah.
Joyo tertarik melihat apa yang baru saja terjadi. Ia bergegas masuk ke rumah itu setelah semua pekerja selesai dengan tugasnya. Ia memberanikan diri menemui seorang yang berkumis tebal itu.
“Nyuwun sewu, saya Joyo. Apakah bapak juragan dari para penjual bantal ini?
Oh iya le, saya Odi. Pak Odi. Ada apa?” jawab seorang berkumis tebal itu sambil memainkan kumisnya.
“Boleh saya bekerja di sini? Ini berkas lamaran saya, bila dibutuhkan,”
“Halah, ga usah berkas-berkasan. Wis, sesuk langsung kerjo, yo?” Pak Odi nampaknya tidak peduli dengan berkas yang dibawa oleh Joyo. Namun untungnya Pak Odi menerima lamaran Joyo tanpa basa-basi setelah memandangi Joyo dari atas ke bawah.
Joyo nampak sumringah. Ia lalu bersalaman kembali dengan Pak Joyo sebagai tanda berpamitan sekaligus tanda terima kasih. Joyo lalu pulang naik angkutan umum menuju rumahnya. Di sepanjang jalan, Joyo membayangkan hari esok di mana ia tidak lagi akan menganggur. Sesampainya di rumah, Joyo memberitahukan hal ini kepada istrinya, Suprihatin.
Tin...Suprihatin...mas sudah pulang...” teriak Joyo pada saat ia sampai di depan pintu rumahnya.
Iya iya mas, waalaikumsalam...” Suprihatin tersenyum manis kepada suaminya.
Ehehe, assalamualaikum. Aku punya cerita kanggo kowe,”
Napa niku, mas? Sek, sek, masuk dulu. Tak bikinkan teh. Masa’ di depan pintu gini,”
Suprihatin dan suaminya itu lalu minum teh bersama samblil duduk bercengkerama.
“Wonten napa tho, mas?”
“Aku besok mulai kerja lagi, Tin,”
“Alhamdulillah...kerja di mana, mas?”
 “Ya...mungkin kerjaan ga seberapa. Aku ngelamar jadi tukang jualan bantal. Kamu isin gak, punya suami penjual bantal?”
“Nyapo tho mas, isin barang. Endak, Tin ndak malu. Yang penting halal. Rezeki itu  tidak bisa ada yang nebak, mas”
“Ya wis kalo gitu. Mulai besok, mas berangkat pagi, Tin...”
“Iya mas, Tin bangunkan biar ndak terlambat,”
Hari berganti pagi, dengan semangat baru, Joyo terlihat sangat cerah dan siap untuk bekerja. Ia memanggul 20 bantal, 10 di kiri, 10 di kanan. Sangat berat. Ia sangat hati-hati dalam berjalan. Ia berkeliling menjajakan bantal-bantalnya pada rumah demi rumah. Ia mempunyai teriakan khas untuk menarik perhatian pembeli.
“Taaaaal...bantal! Yang pengen mimpi indaaah...bantal!”
Piro, mas?” tanya seorang ibu yang sedang menyapu di teras
“Enam puluh lima ribu, bu. Monggo...”
“Wo...mahal sekali. Empat puluh aja, yo?”
“Wah, pas, bu...ndak bisa kurang. Ini bahannya bagus. Ndak panas,”
“Empat lima, wis?”
“Tambahin sedikit, bu”
“Endak wis, empat lima aku ambil,”
“Ya sudah, bu. Lima puluh, ya?”
“Yo wislah mas, ambil satu wis...”
“Alhamdulillah, penglaris...penglaris...”
Setelah mendapat pembeli pertama, ia semangat untuk terus berjalan. Hari pertama hanya dua buah bantal yang laku dijual. Penghasilannya seratus ribu. Setelah itu, ia kembali ke rumah Pak Odi.
Nyoh, ini upahnya hari ini, ya...” kata Pak Odi.
“Sepuluh ribu, pak?”
“Lha minta berapa? Udah banyak itu. Udah, pulang, istirahat. Besok kerja lagi!”
Joyo kecewa dengan penghasilan yang diterimanya. Namun ia berbesar hati. Ia menganggap hari pertamanya ini adalah pemanasan.
***
Hari demi hari dilalui Joyo dengan menjajakan bantal-bantalnya ke rumah-rumah. Sampai pada suatu hari, Joyo mulai pasrah karena ia tak kunjung mendapatkan cukup pembeli. Upah yang diterimanya hanya habis untuk membayar angkutan umum.
Yo, kamu ngapain tho, kok susah. Mikir apa, tho?” kata Handoko, sesama penjual bantal.
“Mau ndak susah gimana, Han. Anakku yang besar udah mau SD. Penghasilan Cuma segini-gini aja. Aku pengen anakku sekolah, tapi...”
“Halaaah...kamu itu jadi orang kok suka pasrah. Ayo wis, jangan buang waktu! Ikut aku ke kampung yang lumayan rame. Nanti sehari bisa dapet banyak,”
Akhirnya Handoko mengajaknya berkeliling ke sebuah kampung yang ia anggap ramai dan berpotensi banyak pembeli. Keduanya berjalan beriringan melewati pematang sawah, lalu akhirnya sampai di sebuah perumahan kecil.
“Taaal...bantal! Yang mau tidur nyenyaaak...bantal!” keduanya berteriak bersama.
“Bantal!” teriak seorang ibu dari balik pagar rumahnya.
“Lho, Bu Asri. Apa kabar, bu?” kata Handoko.
“Alhamdulillah baik, mas. Kok kebetulan sampeyan lewat. Bantalku wis tipis, hehehe”
Handoko mendapat pembeli pertama hari itu. Selanjutnya Handoko dan Joyo terus berjalan. Namun sayang, kali itu bukan hari keberuntungan Joyo. Ia tak dapat satu pun pembeli.
Joyo mulai bingung. Ia bingung memikirkan anak-istrinya harus makan apa. Ia takut anaknya tidak bisa sekolah karena penghasilannya tidak memungkinkan. Setiap malam ia tidur dengan ketakutan akan hari esok. Setiap malam, ia tidur di atas bantal yang tidak lebih empuk dari bantal yang ia jual. Setiap malam, ia tidur beralas ketakutan demi ketakutan.
Joyo pasrah dengan pekerjaannya sebagai penjual bantal. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak dari menjual bantal sambil mencari pekerjaan lain.  Ia berkeliling mencari pekerjaan lagi.  
“Permisi mbak, bisa saya bertemu dengan staf HRD kantor ini?” Joyo bertanya pada seorang resepsionis sebuah kantor penyedia jasa servis komputer.
“Ada keperluan apa ya, mas?” jawab resepsionis itu.
“Saya mau ajukan lamaran pekerjaan. Di depan, saya baca ada lowongan office boy,”
“Emm...office boy. Maaf mas, kami tidak membuka lowongan,”
“Lha itu mbak, di depan ada tulisannya...masa’ ndak buka,”
“Lho iya, maaaas. Kami sudah tutup lowongan. Mungkin petugas lupa mencopot pengumuman,”
“Lah gitu ya ndang dicopot tho, mbak. Bikin GR aja,” Joyo lalu lekas pergi dari kantor tersebut dengan kecewa.
“Emang orang besar suka meremehkan hal kecil!” Joyo bergumam sendiri.
Joyo berjalan lagi mencari secercah harapan pada setiap tulisan “LOWONGAN PEKERJAAN”. Ia berharap ada satu tulisan yang bersinar diiringi binar mata ramah yang mau menerimanya. Sampailah Joyo pada sebuah toko kain.
“Permisi, cik...di depan ada tulisan ‘lowongan pekerjaan pramuniaga’, saya bisa ajukan lamaran pada siapa?”
“Ohh...ke saya, sih. Ada apa? Kamu mau melamar?”
“Iya cik, syaratnya minimal lulus SMA saja, kan? Saya juga sudah bawa foto 3x4,”
Wanita tersebut tidak menjawab. Sembari menghitung uang, ia benahi kacamatanya yang turun. Ia letakkan uang di laci. Lalu melihati Joyo dari atas ke bawah hingga dua kali. Ia berdehem. Lalu meletakkan kacamatanya di meja.
“Cari pekerjaan di tempat lain saja ya, mas...kayaknya saya masih pikir-pikir mau nerima sampeyan,” jawab wanita tersebut tanpa melakukan filtrasi terhadap kalimatnya.
“Lho, kenapa, cik? Saya lulusan SMA bener, kok. Ini saya bawa fotokopi ijazah, saya juga bisa ngitung cepet ga pake kalkulator,”
“Saya cari pramuniaga perempuan saja, wis,”
“Di depan ndak ditulis, butuh perempuan apa laki-laki,”
“Ya sekarang saya bilang,”
Joyo malas berdebat. Ia lebih memilih tidak mendengarkan dan langsung pergi sambil berwajah kesal.
“Orang kaya manaaa yang tidak seenaknya udel!” gerutunya kesal.
“Wong rusuh gitu mau kerja di sini. Ya ndak mau aku,” kata wanita tersebut lirih.
Joyo mendengar dan menoleh sambil melotot. Ia lanjutkan pencariannya hingga hari petang. Namun, hanya aksi berujung gerutu yang ia dapatkan.
“Halah...angel temen golek kerjo!”
Joyo memutuskan untuk mengakhiri hari dengan naik angkutan umum. Di dalam angkot, terus saja ia melamun. Ia membayangkan uang berapa juta yang ia butuhkan untuk melihat anaknya sekolah. Ia melihat ibu-ibu di depannya berkalung emas dan bergelang emas bagai artis India. Ia lalu teringat pada Tin.
“Tin pasti cantik kalo dia pakai begituan, “
Ia terus melamun memandangi kilau emas perhiasan ibu tersebut. Joyo lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia teringat wajah Tin. Tin selalu mengingatkan, walaupun miskin, Joyo tidak boleh kufur. Joyo tidak boleh syirik dengan kekayaan dan kebahagiaan orang lain. Joyo terus merenung. Ia tetap ingin bekerja secara layak, minimal seperti dahulu.
 Joyo akhirnya kembali ke rumah Pak Odi. Joyo tidak tahu lagi harus ke mana. Hanya menjadi penjual bantallah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan.
“Pak, nyuwun sewu. Saya tidak bisa bekerja lebih baik dari di sini,”
“Ya sudah le, nurut saya. Wis, wis, besok balik kerja, yo. Saya sek banyak lowongan. Kalo saya kan makin banyak yang jualan, saya makin senang, hehehehe”
Inggih, Pak. Besok saya kerja lagi,”
Tak ada pilihan. Tak ada cara lagi. Joyo hanya bisa berharap esok ada nasi untuknya, istrinya, dan keempat anaknya.  Masih dengan harapan yang menggantung, Joyo akhirnya pulang ke rumah. Ia gagal membawa kabar baru nan segar untuk Tin. Ia tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
Tiap malam, Joyo hanya bisa menceritakan keluh kesahnya pada Suprihatin dan berdoa kepada Tuhan agar hari esok ia bisa terbangun dan melihat anaknya sekolah sampai perguruan tinggi.
“Tin...kalau anak kita tidak bisa bersekolah karena bapaknya ndak punya uang, gimana?
“Mas iki ngomong opo, tho! Mas gak boleh berpikiran negatif gitu. Ani pasti bisa sekolah. Surti juga pasti bisa sekolah. Begitu juga dengan Husen dan si kecil Mamat. Selama kita usaha, pasti ada jalan, mas. Mas berusaha. Aku juga berusaha. Kemaren Bu Darso nawarin aku jadi rewang di rumahnya. Aku sanggupi saja buat nambah-nambah penghasilan,”
“Jadi rewang di rumah Bu Darso, Tin? Ya wis...mas setuju wae,”
“Wis, mas ndak usah khawatir. Tin gak mau mas murung terus. Kita terus berdoa sama Allah biar dilancarkan rezekinya, nggih mas?”
Keduanya saling tersenyum memandangi kerut di bawah mata masing-masing. Joyo hanya bisa berharap dan terus berharap. Hanya istrinyalah yang mampu membuat ia bertahan. Hanya bayangan anaknya harus sukseslah yang membuat ia mengurungkan niat untuk menyerah. Hanya ‘semoga’ dan ‘semoga’ yang menjadi pengawal doanya setiap akan tidur. Tidur beralaskan angan-angan, yang lebih empuk dari sebuah bantal.



No comments:

Post a Comment

Comment here