Followers

Monday, April 17, 2023

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 2)

 

Di usia kandungan 35 weeks, akhirnya aku memutuskan untuk cuti mendadak. Udah nggak kepikiran kerjaan dan segala urusan belanja perintilan bayi lainnya, kayak udah bodoh amat, yang penting anakku selamat, hehe. Cuti yang sebelumnya direncanakan pada weeks ke-37, harus aku percepat. Alasannya, ini nggak bisa dibiarin, nih. Nggak mungkin nih bayi udah mau lahir, tapi beratnya belum optimal.

BB bayi yg optimal itu di atas 2,5 kg.  Kalau kurang dari itu, istilahnya berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR itu perlu penanganan ekstra khusus meskipun tidak seekstra bayi prematur. Karena BB-nya rendah, dia rawan kedinginan sehingga kebanyakan perlu diinkubator. Belum lagi, ketika pulang ke rumah, ibu dan keluarga yang merawat harus melanjutkan proses penghangatan dengan gendong metode kangguru (M-Shape) yang skin to skin berjam-jam tiap harinya. Selain itu, bayi-bayi IUGR juga berisiko mengalami perlambatan pertumbuhan otak seperti cerebal palsy, dll. Hati ortu mana yang enggak teriris denger semua kemungkinan itu, kan? Mana ini anak udah ditunggu-tunggu dari lama...masa iya nggak diusahakan supaya bisa optimal.

Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk segera pulang ke rumah ortu, supaya aku bisa perbaikan gizi dan nggak kepikiran kerjaan (karena tempat tinggal kami deket banget sama tempat kerjaku saat itu). HP langsung mode pesawat dan nggak nerima segala bentuk urusan kerjaan, wkwk. Dengan segala kondisi lahiranku yang bakal banyak penyulit ini, dokter udah mantep menyarankanku untuk lebih baik SC saja. Aku pun menurunkan ekspektasi. Kalau aku pengin lahiran pervaginam, berarti ada 1 hal lagi yang harus aku garap selain ngejar BB Aleya: pengoptimalan tubuh karena skoliosisku. Nampaknya, hal itu terlalu stressful untuk diusahakan dalam waktu yang sudah hitungan minggu. Melahirkan itu harusnya bahagia dan minim trauma, kan?


Setelah istikoroh, aku dan suami pun mantap untuk lahiran secara SC. Lalu, bagaimana dengan riwayat bius regionalku yang sempat gagal dan harus dibius total? Alhamdulillah, dr. Anin (dr. kandunganku) mau membantuku nge-booking dokter anestesi (bius) yang berbeda dengan dr. anestesi ketika aku operasi usus buntu (aku akan operasi di RS yang sama, btw). Beliau mencarikan dokter yang lebih muda dengan harapan punya metode yang lebih mutakhir. Namanya dr. Dino. Nggak tanggung-tanggung, dr. Anin langsung chat dr. Dino dan beliau mengiyakan untuk satu tim sama dr. Anin di operasi ini.

Beliau berharap banget aku berhasil dibius regional meskipun tulang belakangku sudah fusi dengan titanium, karena itu memudahkan proses operasi SC. Kalau bius total, tim dokter harus bergerak lebih cepat sebelum janinnya terkena efek bius 😅. Btw, baru kali ini aku tahu kalau ternyata dokter anestesi itu bisa request 😂apalagi dari dua operasi sebelumnya, aku baru bisa ketemu dr. anestesi di hari-H operasi dan beliau-beliau baru diskusi menjelang operasi. Eh, yang ini bahkan bisa di-request melalui bagian booking RS juga 😂. MasyaAllah, baik banget dr. Anin udah mengusahakan yang terbaik buat pasiennya yang trauma dibius ini.

To be continued to Part 3.

No comments:

Post a Comment

Comment here