Followers

Tuesday, December 20, 2011

Jalanan Berbatu, Keras

Bloggers dan peepers, kali ini aku mau cerita tentang lingkungan di sekitar kita yang tiap hari kita temuin nih, ja-la-nan. Yap, jalanan. Banyak kisah menarik, inspiratif, dan mencengang yang aku temui tiap berangkat dan pulang sekolah. Yuk, mari intip!

Jalanan lebih keras dari batu, dan dari aspal. Jalanan itu 99% terbuat dari keringat, air mata, darah, amarah, dan harapan. Tiap aku berangkat sekolah, yang aku lihat bukanlah jalanan yang penuh dengan mobil yang berisikan anak sekolah, motor yang berisikan anak-anak SMP yang belum layak mengendarainya, atau pun angkutan umum yang berisi ibu-ibu ingin ke pasar. Namun, berisi para pembalap mobil F1 yang tidak mau ketinggalan start, bahkan mencuri start mungkin adalah kewajiban saat lampu merah mulai berkedip menjadi kuning, bahkan belum sempat menjadi hijau.

Belum selesai para pembalap mencapai garis finish, masalah sudah datang untuk menghalau kemenangan. Contohnya? Hanya pembalap bodoh yang mengatakan "ayo pake helm, daripada kena tilang" atau "pake sabuk pengamannya, 150 ribu melayang ntar", masalah yang utama sebenarnya bukan Pak Polisi berkumis yang siap menghadang, tapi masalah nyawa yang lebih berharga dan patut diberi penghargaan lebih.

Beralih dari masalah pembalap, kali ini aku akan membahas kehidupan yang lebih keras yang datang dari para 'empunya jalan'. Kalau masalah yang ini akan lebih mudah kita temui saat pulang sekolah. Terutama di angkot. Saat pulang les di Neutron, aku menemukan pemandangan lucu dari anak-anak yang sering berada di pojok taman kota depan stasiun karena ikut orang tua mereka berjualan di tenda-tenda yang telah disediakan pemerintah kota.

Yang membuat aku kaget adalah saat aku melihat anak tersebut masih sangat kecil, duduk di jalanan sambil menggendong adik kecil yang sepertinya terlalu berat untuknya. Anak sekecil ini menggendong anak sekecil itu. Saat aku meminta dia untuk berfoto sebentar, beberapa teman lainnya melihat dengan pandangan polos dan tersirat keinginan untuk difoto juga. Akhirnya aku 'mengawe-awe' tanganku, mengajak mereka bergabung. Dengan semangat, mereka bergabung dan memasang wajah lugu mereka. Lalu datang seorang anak yang berbeda dari lainnya, dia memiliki kelainan mental. Awalnya, seorang anak perempuan yang paling pinggir mengusirnya karena dia tidak bisa diam. Anak perempuan itu mendorongnya, hingga gambar yang ini shaked.

Lalu si anak laki-laki yang di tengah, dengan baiknya, membimbing si anak yang tadi ditendang, menyuruhnya melihat kamera, dan mendongakkan kepalanya menuju arah kamera.

Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak, yang seharusnya belajar setidaknya di rumah dengan orang tua dan merasakan nyamannya kasur saat hari sudah menjelang malam, harus berada di jalanan sedingin itu, beralih fungsi dari kakak menjadi bapak, menghirup udara penuh polusi, melihat pemandangan orang-orang yang merokok, berkata kotor, anak-anak muda yang 'nongkrong' di pinggir jalan setiap harinya.

Saat di angkot pula, kisahnya beragam. Aku menemui berbagai orang dengan sifat berbeda tiap harinya. Aku biasanya pulang dengan Ernita saat selesai les, kami selalu mencari angkot yang lumayan sepi, karena kami adalah teman curhat, jadi kami perlu ruang. Mencari angkot yang sepi di antara angkot-angkot yang nge-time itu serumit menawar mangga di pasar besar. Kalau kita naik angkot yang sepi, di depan masih ada angkot yang nge-time dan memaksa kami naik di sana. Sopir angkot bisa saja mengucapkan kata-kata kotor pada kami, bahkan pernah juga ada yang menghina sopir yang angkotnya kosong tadi. Jadi, untuk menjaga perasaan, kami lebih baik diam, pura-pura menunggu angkot jurusan lain jika ingin angkot yang nge-time tadi pergi. Mendapatkan angkot juga bukan perang yang terakhir. Kami juga masih menghadapi pertempuran batin di dalam angkot. Pernah aku duduk di pojok sendiri dengan Ditong, temanku, dan kami digoda rombongan calon anggota militer yang baru saja ke luar dari stasiun dan naik angkot yang kami tumpangi. Saking risihnya, apalagi kami satu-satunya wanita di dalam angkot, kami memang hanya digoda dengan kata-kata, namun bagi wanita, itu adalah pelecehan yang tidak bermoral. Akhirnya aku bilang "kiri, pak!" tanpa pikir panjang dan naik angkot yang lain daripada kami kenapa-napa nantinya.

Kadang juga ada oom-oom yang sedikit kegatelan, padahal tempat duduk masih banyak yang kosong, namun sengaja merapat ke penumpang wanita sambil sok akrab, dan membuat pikiran negatif para penumpang wanita bermunculan. Belum lagi masalah copet yang sering meresahkan kami. Aku pernah naik angkot yang sangat sesak, dan handphone-ku aku taruh saku rok. Tiba-tiba tangan pria di sebelahku meraba rokku dan aku tidak bisa bergerak karena angkotnya memang sangat sesak. Aku lalu berdehem dan melotot ke arah pria itu, tapi dia tetap saja meneruskan. Akhirnya aku tidak peduli dengan yang lain, aku bergerak cepat menyingkirkan tangan pria itu dengan sedikit memukulnya, penumpang yang lain hanya melihatku aneh, aku lalu turun karena aku tau pencopet tidak hanya sendirian di dalam angkot.

Tidak hanya masalah penumpang, sopir pun sering membuat masalah. Mengejar setoran tanpa peduli perasaan. Angkot yang selalu overload, bahkan sampe tega membiarkan ibu-ibu duduk di pinggir pintu, duduk bersama kenek, berbagi kursi kayu kecil tambahan, membiarkan karbondioksida di dalam angkot bercampur keringat tanpa ada ruang gerak untuk mendapatkan oksigen. Sudah tahu seperti itu, masih saja mengebut dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya jika dihiperbolakan, mengerem mendadak sampai membuat semua penumpang menyebut nama Tuhan dan menyalahkan sopir. Belum juga kalau sopir yang nakal, suka membohongi penumpang yang masih awam, menurunkan mereka di tempat yang tidak seharusnya, dan memberi kembalian tidak sesuai dengan tarif. Aku juga pernah digoda oleh sopir saat aku mengatakan ingin turun di pertigaan fly-over Arjosari. “Sampeyan kok ayu se, mbak? Melu aku wae timbang mudhun setopan. (Kamu kok cantik sih, mbak? Ikut saya saja daripada turun di pertigaan)”, kata-kata itu lantas membuatku risih. Perempuan berjilbab seperti aku saja masih bisa dilecehkan dengan kata-kata, apalagi perempuan yang membuka auratnya.

Belum lagi, saat aku menunggu bison, jenis angkutan luar kota berbentuk minibus, para makelar angkot sering bercerita ke sana ke mari. Pernah mereka bercerita tentang seorang wanita yang berlari sambil menangis menuju arah mereka meminta bantuan, dengan pakaian berantakan mengatakan, “aku takut...tolong aku”. Kata makelar itu, dia tidak berani menolong karena takut di-massa dikira dia yang telah mencelakai wanita itu. Makelar itu mengatakan “paling mari diperkosa (mungkin habis diperkosa)” dengan entengnya, tanpa rasa iba. Padahal sebagai perempuan, mendengarnya bagaikan mendapat petir di siang bolong. Miris sekali, tidak bermoral.

Tidak sembarang orang berani naik bison dan memilih naik angkutan biasa, karena bison lebih ekstrim daripada angkutan lainnya. Biasanya, aku lebih suka naik bison karena tidak pernah nge-time, bison sebenarnya angkutan lintas kota yang beralih fungsi menjadi angkutan umum dalam kota/kabupaten.

Lucu sekali jika melihat angkutan yang bertuliskan macam-macam di muka, maupun badan angkot. Dari mulai judul lagu sampai nama sinetron, Doa Ibu, Dia Vega, Wanita Hiburan, Cinta Satu Malam, Rosalinda, Teman Tapi Mesra, Putri Yang Ditukar, Abang Suka, Bawa Pulang, sampai Pergi Karena Tugas, Pulang Karena Beras. Namun satu yang disayangkan, kenapa rata-rata kalimat dan gambar yang digunakan selalu melecehkan wanita, pernah juga aku menemui truk bergambarkan wanita tanpa memakai sehelai baju pun. Apakah wanita hanya sebatas hiasan dan patut diinjak-injak yang dipertontonkan di depan umum tanpa batasan?

Dan yang terakhir, aku mau bercerita tentang seorang anak kecil berumur 10 tahunan yang kemarin aku temui di bison. Bajunya lusuh walaupun tidak compang-camping, bau, dia tidak membawa apa-apa, kulitnya penuh bekas luka seperti cacar. Dia tertawa-tawa sendiri, melontarkan kalimat-kalimat aneh yang membuat semua orang hanya terheran-heran. Menggunakan dialek Bahasa Jawa yang kasar bercampur bahasa entah itu dari planet mana sambil sesekali melotot dan mengupil lalu mengelapnya kea rah kursi bison. Semua penumpang pria menertawakan dia karena mereka tahu, anak kecil itu tidak waras. Namun kami para wanita hanya terdiam, beristighfar, sambil memandang dengan mata kasihan, sebelum akhirnya kami tertawa juga karena tidak tahan dengan anak kecil itu yang terus tertawa tanpa henti. Kenek bison sempat bertanya, dia ingin turun di mana. Dia menjawab ingin turun di Demak. Spontan semua orang kaget. Padahal ini Malang, Demak terletak di Jawa Tengah, benarkah dia ingin turun di sana? Ia lalu meminta uang seribu dengan kata-kata anehnya kepada penumpang di dalam bison, lalu mulai berteriak lagi dan mengganggu sopir. “Roti-roti...roti kayu, roti umbel (ingus), roti sempak (celana dalam)! Buahahahaha, goblok, kemplu kabeh, moso aku maeng diarani gendeng! (Bodoh semua, masa’ aku tadi dibilang gila). Buahahahahahahaha Demak iku ning kene lho, irung kene lho, metu kene, irung sing iki! (Demak itu di sini lho, di hidung sini, ke luar di hidung ini). Buahahahahah! Bumi meledak! Kapan bumi meledak, hahahahaha!”. Begitulah sebagian kalimat yang bisa aku ingat. Dia positif gila. Aku hanya beristighfar, bisa-bisanya anak sekecil itu, menjadi seperti itu, di jalan ini sendirian tanpa tujuan, tanpa kasih sayang.

Saat aku turun, aku terus berpikir. Mungkin dia korban penculikan di Demak sana, lalu dibawa ke Malang dan dia berhasil kabur, namun menjadi gila akibat stres karena jauh dari keluarganya. Atau dia memang sudah keterbelakangan mental sejak kecil dan dia lepas kendali dari orang tuanya dan tersasar sampai sejauh ini. Aku tidak tahu. Apakah nantinya dia benar-benar sampai di Demak, padahal bison hanya sampai Pasuruan. Apakah dia akan bertemu orang baik, lalu dia dirawat dan diperbaiki ingatannya.

Kalau aku bisa membuat sketsa wajah, aku akan menggambarnya, namun sayang, aku tidak jago menggambar. Ciri-cirinya bertubuh pendek, tidak terlalu tinggi untuk anak usia 10 tahunan, berkulit hitam akibat sinar matahari khas anak jalanan, bergigi besar-besar, kulitnya banyak bekas luka semacam cacar, rambutnya ikal namun cepak, bola mata kanannya selalu menghadap ke atas, namun mata kirinya normal, berwajah sedikit bulat, tubuhnya lumayan kekar untuk anak usia 10 tahunan, saat itu mengenakan baju kaos merah polos dan celana pendek hitam, sandal jepit berwarna oranye yang sudah lusuh. Dan suka berbicara sendiri dengan kata-kata aneh lalu tertawa dengan apa yang dia ucapkan. Semoga Allah selalu melindungi bocah malang itu, amin...

4 comments:

  1. intinya selalu bersyukur dengan apa yang sudah kita dapat sekarang :')

    tulisan yang bagus :D

    ReplyDelete
  2. Nah! Itu yang bikin kita selalu ngga resah ;-)
    Makasi, mas :-D blognya jarang update Mas Habil :-O

    ReplyDelete
  3. jalanan emang keras.
    aku yang kemana-mana juga naik angkot sering digoda sama orang kurang kerjaan.
    kalo jalan mau ke terminal, laki-laki kurang kerjaan sering ngehadang dengan motornya, maksa aku buat naik ke bocengannya.
    ah, orang sekarang memang semakin hari semakin keterlaluan, walau ga semuanya seperti itu.

    melihat jalanan yang sekeras itu, bersyukur kita masih hidup lebih layak dari mereka.

    andai mereka yang diatas sana dapat membuka matanya. semoga saja. :)

    ReplyDelete
  4. Iya dek...kita musti sabar, suatu saat memetik hasilnya, mungkin emang kita ngga bisa pake kendaraan sekarang, setidaknya kita bisa care sama sekitar, semoga semua diberi yang terbaik. Amin ;-)

    ReplyDelete

Comment here