Followers

Monday, April 17, 2023

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 4)

 Tepat sehari sebelum aku operasi, Dini tiba-tiba laporan kalau sudah merasakan kontraksi secara intens. Malam sebelum operasi, aku harusnya istirahat yang cukup, tapi mendadak nggak bisa tidur dan nggak selera makan  karena ikut nervous  kepikiran Dini. πŸ˜‚

Kok bisa-bisanya ini mau ngajak lomba lahiran apa gimana ceritanya πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚.


Setelah proses panjang, Dini alhamdulillah melahirkan bayinya pada tanggal 17 April 2022 jam 9-an malam. Jam 11 malamnya, aku baru bisa tidur. πŸ˜… Tanggal 18 April 2022 jam 2 pagi, aku sudah check in di RS dan jam 4 pagi, aku sudah masuk ruang operasi. 


Pas masuk ruang operasi, aku diantar seorang perawat wanita yang lemah-lembut. Aku bilang ke beliau "Sus, nanti tugas di dalam? Saya nanti pinjem tangannya ya waktu dibius". Ini tips yang aku dapet dari sepupu yang pinjam tangan perawat supaya tenang ketika dibius, wkwk. Soalnya, asli, disuntik bius dan gagal itu bener-bener traumatik. Apalagi kita cuman bisa pegangan bantal. Allah saja mengutus Jibril mendampingi Maryam ketika melahirkan, apalagi Dina Nisrina, nggak mungkin berani lahiran sendirian πŸ˜‚. Di sini emang penting banget sih perannya doula atau pendamping persalinan, supaya si ibu merasa tenang secara psikis.


dr. Dino dan tim masuk duluan sambil membawa X-ray tulang belakangku. FYI, yang punya masalah dengan tulang belakang, X-ray lebih baik ditunjukkan sebelum proses operasi, ya. Lebih baik lagi kalau ada RS yang punya poli anestesi. Ini untuk membantu tim dr. anestesi mempelajari titik biusnya karena bisa jadi berbeda dengan orang normal. Terdengar basmallah diucapkan oleh dr. Dino. Aku langsung bilang, "Dok, tunggu susternya, ya...saya butuh pegangan πŸ˜‚". Suster yang tadi langsung menepati janji meskipun aslinya dia masih sibuk jadi asisten yang nyiapin barang-barang lain di ruang operasi. Makasih, sus...lupa belum tanya namanya. πŸ₯Ί

dr. Dino pun menghitung dan menekan ruas tulang belakangku dengan teliti & sangat gentle. Para asisten juga membantu membacakan X-ray-ku dengan teliti. Setelah sekitar 2 menit, akhirnya beliau mengucap hamdallah. Tiba-tiba sekujur kakiku terasa hangat seperti diguyur air hangat. Aku pun tanya "Ketemu, dok?". Beliau bilang "Alhamdulillah berhasil, Bu. Sekarang Ibu pelan-pelan kami rebahkan, ya". Masih nggak percaya kalau biusnya berhasil (ya karena trauma), aku tanya ke asisten biusnya "Taunya kalau berhasil gimana ya, Pak?" Wkwkwk. Beliau menjawab "Angkat aja kakinya, Bu, bisa nggak?". Ternyata udah nggak bisa. Alhamdulillah. Allah permudah melalui dr. Dino.


Tak lama kemudian, dr. Anin datang dengan sapaan khasnya "Halo! Assalamualaikum! Ini bener Mbak Dina, ya? Coba saya lihat wajahnya? Oh iya, bener...biasanya pakai masker dan kacamata soalnya". Lalu, dr. Anin menyapa dr. Dino "Halo, dr. Dino. Gimana? Wah, berhasil ya biusnya. Ya ampun! dr. Dino! Makasih, dr. Dino!". Sumringahnya dr. Anin ketika tahu biusnya berhasil. Tak lama, dr. Dino pun menjawab "Ya Allah... Aku pas lihat X-ray-nya, Ya Allah, Aniiiiin, ngerjain aku apa gimana ini, Aniiiin! Panjang banget titaniumnya sampe bawah". Ternyata, dokter pun nervous lho guys. Jujur aja, pen sepanjang 30 cm di tulang belakangku itu benar-benar membuat segala hal di hidupku harus banyak pertimbangan. πŸ˜…


Lanjut pas proses SC. Karena ini pengalaman pertama operasi dengan bius regional, aku bisa melihat dan mendengar segala hal di ruang operasi. Entah kenapa, ternyata situasinya benar-benar rileks. Semua orang santai banget tapi tetap profesional, malah dr. Anin dan para asisten ngobrolin hal-hal receh yang bikin aku pengin ketawa. Cuman 1 hal yang bikin deg-degan, karena efek bius, aku tiba-tiba sesak napas di tengah operasi. Akhirnya, aku diberi oksigen tambahan. Pas Aleya lahir, dokter bilang "Siap-siap, ya...habis ini adeknya lahir". Tiba-tiba, terdengar suara grok grok grok di dalam perutku dan taraaaa "Oek oek oek". Aleya nangisnya kenceng banget, alhamdulillah, berarti paru-parunya aman. dr. Anin mengarahkan Aleya ke atasku dan bilang "Assalamualaikum, Halo Mama. Ternyata besar kok bayinya". Alhamdulillah. Ternyata beneran ada bocil di dalem perutku. πŸ₯Ί


Setelah dibersihkan, suster membawa Aleya kepadaku. "Ibu Dina, ini bayinya. Beratnya 2550 gr, panjangnya 47 cm". Aku tanya "Normal ya, sus?" dan beliau jawab normal. MasyaAllah. Dilebihin 50 gram sama Allah dari yang kita minta. πŸ₯Ί Alhamdulillah, aku kecup pipi lembut Aleya 3 kali sambil menyapa "Aleyaaa". Dia cuma berkedip lucu dengan pipi kemerahannya. Priceless banget. πŸ₯Ί Sayangnya, kami tidak bisa melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) karena ruangannya terlalu dingin. Seusai operasi, aku harus menunggu 1 jam di ruang observasi sebelum kembali ke ruang rawat inap dan baru bisa ketemu Aleya setelah 6 jam. 


Pertemuan pertama kami secara intens terjadi di ruang rawat inap. Untuk pertama kalinya, akhirnya aku bisa memeluknya dengan lengan, bukan lagi dalam angan. Sungguh perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Matanya yang lebar menatapku dengan binar. Bibirnya yang mungil mencariku dengan nalurinya. Kulitnya yang lembut dan berwarna kemerahan sungguh membuatku gemas dan ingin terus bersamanya.


Aleya, 18 April 2022, kamu lahir ke dunia. Bersamaan dengan itu, kami juga terlahir kembali sebagai orang tua yang akan terus belajar. Terima kasih telah memberi warna di hidup kami. Semoga kelak, kau akan menjadi anak yang salihah dan menjadi qurrota a'yun bagi semua. Selamat satu tahun, Aleya, anakku sayang. ❤️

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 3)

Selama proses perbaikan gizi di rumah ortu, aku memaksakan diri harus bisa makan 2 kali lipat dari biasanya dan memaksakan diri minum semua suplemen dari dokter (karena aku sebenernya nggak bisa nelan obat). Jadi, setiap jam, isinya makaaan melulu, terutama nambah protein yang banyak. Daging, buah-buahan, sayur, dan makanan tinggi gula (yang ini dengan pantauan dokter, ya), bener-bener nggak boleh ada waktu yang terbuang percuma tanpa makan.

Setelah masuk week ke-37 (tanggal rencana awal SC), ternyata BB Aleya nambah lumayan banyak, tapi belum menyentuh angka 2500 gr. Selain itu, tiba-tiba aja tekanan darahku tinggi, padahal nggak pernah terjadi sebelumnya. Karena juga belum ada tanda lahiran, dokter memutuskan untuk menunda operasi untuk menunggu sampai Aleya BB-nya optimal. Sekali lagi, dr. Anin tanya "Beneran yakin ya nggak salah hitung tanggal haid terakhir?". Beliau melanjutkan "Bisa jadi si adek ini juga bukannya kecil, tapi belum waktunya besar". Setelah mempertimbangkan risiko dan melihat kondisiku, janin, serta plasenta, aku disuntik obat pematang paru janin supaya kalau sewaktu-waktu dia lahir dan ternyata kondisinya memang seperti bayi prematur, organ parunya sudah siap. Aku juga dites lab. untuk mengetahui ada kemungkinan preeklamsia atau enggak karena tekanan darahnya tinggi. Yah, pulang dari disuntik tuh down lagi si mamak sampe nangis kejer di kamar πŸ˜‚.

Di saat-saat itu, aku introspeksi diri. Rencana indah apa ya yang sedang Allah siapkan untuk keluarga kecil kami sehingga kehamilan ini MasyaAllah tantangannya. Sekarang aku tahu, kenapa surga itu letaknya di bawah kaki ibu...karena sejak hari pertama aku tahu aku hamil, setiap bangun tidur aku hanya memikirkan apakah bayiku masih hidup di dalam sana? Apakah bayiku sejahtera di dalam kandungan sana?

Aku introspeksi lagi. Mengingat-ingat ketika aku menangis di bawah air hujan untuk menunggu datangnya dua garis merah di testpack-ku setiap bulan. Mengingat betapa bahagianya kami ketika akhirnya garis itu nyata. Bahkan, egoisnya aku, di saat sekarang sudah mendekati lahiran, kok aku tidak menyambutnya dengan bahagia tapi justru khawatir terus-menerus? Kok aku menuntutnya harus berberat badan normal? Aku terlalu menuntutnya untuk terlahir sebagai bayi yang sempurna, padahal aku lupa, aku sendiri tidak sempurna. Tubuhku saja punya banyak bekas luka. Di punggung ada bekas jahitan skoliosis. Di perut ada bekas jahitan usus buntu dan nantinya ditambah jahitan SC. Secara fisik, aku tidak sempurna. Kok aku berani-beraninya menuntut anakku udah begini-begitu? 😭


Akhirnya, aku ajak bicara Aleya dari luar perut. Aku elus-elus perutku dan aku yakin Aleya dengar. Aku bilang "Nak, terima kasih sudah hadir di tengah keluarga ini. Sebentar lagi Bunda bisa ketemu Aleya. Tahan sedikit, ya. Aleya boleh keluar kapan aja, tapi semoga ketika Aleya sudah keluar, BB-nya Aleya optimal. Maaf kalau Bunda terlalu menuntut BB-nya Aleya harus normal terus. Nggak harus di atas 2,5 kok, Nak. Yang penting optimal saja...itu sudah lebih dari cukup. Bunda tunggu, ya..."

Sejak saat itu, semuanya jadi lebih enteng. Aku nggak harus memaksakan diri makan berlebihan supaya gemuk. Nggak harus menimbang berat badan tiap jam. Nggak harus USG berkali-kali (iya, aku sempat ke dokter 2 kali seminggu demi mantau BB bayi). πŸ˜… Yang aku butuhkan hanya mensyukuri semua yang terjadi, menerima ketidaksempurnaan ini, dan menyambut datangnya Aleya dengan bahagia.

Alhamdulillah, atas izin Allah, tiba-tiba BB Aleya naik drastis di minggu ke-39 menjadi 2700 gr. Kata dokter, kalau dilahirkan, kira-kira akan plus/minus 200 gr. Dokter pun menentukan tanggal operasinya 18 April 2022.

To be continued to Part 4.

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 2)

 

Di usia kandungan 35 weeks, akhirnya aku memutuskan untuk cuti mendadak. Udah nggak kepikiran kerjaan dan segala urusan belanja perintilan bayi lainnya, kayak udah bodoh amat, yang penting anakku selamat, hehe. Cuti yang sebelumnya direncanakan pada weeks ke-37, harus aku percepat. Alasannya, ini nggak bisa dibiarin, nih. Nggak mungkin nih bayi udah mau lahir, tapi beratnya belum optimal.

BB bayi yg optimal itu di atas 2,5 kg.  Kalau kurang dari itu, istilahnya berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR itu perlu penanganan ekstra khusus meskipun tidak seekstra bayi prematur. Karena BB-nya rendah, dia rawan kedinginan sehingga kebanyakan perlu diinkubator. Belum lagi, ketika pulang ke rumah, ibu dan keluarga yang merawat harus melanjutkan proses penghangatan dengan gendong metode kangguru (M-Shape) yang skin to skin berjam-jam tiap harinya. Selain itu, bayi-bayi IUGR juga berisiko mengalami perlambatan pertumbuhan otak seperti cerebal palsy, dll. Hati ortu mana yang enggak teriris denger semua kemungkinan itu, kan? Mana ini anak udah ditunggu-tunggu dari lama...masa iya nggak diusahakan supaya bisa optimal.

Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk segera pulang ke rumah ortu, supaya aku bisa perbaikan gizi dan nggak kepikiran kerjaan (karena tempat tinggal kami deket banget sama tempat kerjaku saat itu). HP langsung mode pesawat dan nggak nerima segala bentuk urusan kerjaan, wkwk. Dengan segala kondisi lahiranku yang bakal banyak penyulit ini, dokter udah mantep menyarankanku untuk lebih baik SC saja. Aku pun menurunkan ekspektasi. Kalau aku pengin lahiran pervaginam, berarti ada 1 hal lagi yang harus aku garap selain ngejar BB Aleya: pengoptimalan tubuh karena skoliosisku. Nampaknya, hal itu terlalu stressful untuk diusahakan dalam waktu yang sudah hitungan minggu. Melahirkan itu harusnya bahagia dan minim trauma, kan?


Setelah istikoroh, aku dan suami pun mantap untuk lahiran secara SC. Lalu, bagaimana dengan riwayat bius regionalku yang sempat gagal dan harus dibius total? Alhamdulillah, dr. Anin (dr. kandunganku) mau membantuku nge-booking dokter anestesi (bius) yang berbeda dengan dr. anestesi ketika aku operasi usus buntu (aku akan operasi di RS yang sama, btw). Beliau mencarikan dokter yang lebih muda dengan harapan punya metode yang lebih mutakhir. Namanya dr. Dino. Nggak tanggung-tanggung, dr. Anin langsung chat dr. Dino dan beliau mengiyakan untuk satu tim sama dr. Anin di operasi ini.

Beliau berharap banget aku berhasil dibius regional meskipun tulang belakangku sudah fusi dengan titanium, karena itu memudahkan proses operasi SC. Kalau bius total, tim dokter harus bergerak lebih cepat sebelum janinnya terkena efek bius πŸ˜…. Btw, baru kali ini aku tahu kalau ternyata dokter anestesi itu bisa request πŸ˜‚apalagi dari dua operasi sebelumnya, aku baru bisa ketemu dr. anestesi di hari-H operasi dan beliau-beliau baru diskusi menjelang operasi. Eh, yang ini bahkan bisa di-request melalui bagian booking RS juga πŸ˜‚. MasyaAllah, baik banget dr. Anin udah mengusahakan yang terbaik buat pasiennya yang trauma dibius ini.

To be continued to Part 3.

Sebelum Berjumpa dengan Leya (Part 1)

 Halo, bloggie. Lama tak bersua sampai blog ini penuh sarang laba-laba. Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia, ya. Sekalinya bersua, aku mau nitip cerita tentang anak pertamaku, Aleya. Sebelum memori ini terhapus, semoga kelak Aleya bisa membaca cerita ini dan kami saling berbagi cerita. Aamiin. 

Cerita tentang kehamilan sudah aku share di Instagram dengan highlight Pregnancy. Semoga bermanfaat untuk yang membaca. Kali ini, aku langsung saja ke cerita dari awal hamil sampai melahirkan.


Masa hamil Aleya tuh bener-bener bikin aku belajar tentang arti ikhlas yang luar biasa. Di trimester 1, aku harus belajar ikhlas ketika dokter bilang kehamilanku berisiko karena harus menjalani operasi usus buntu sembari hamil. FYI, seperti yang pernah aku ceritakan di Highlight 'Pregnancy' di Instagram, aku sempat mengalami gagal bius ketika operasi usus buntu akibat tulang belakangku ada pen titaniumnya karena operasi skoliosis. Setelah operasi, berat badan turun drastis ditambah hiperemesis (mual-muntah berlebihan) sampai bener-bener sulit kemasukan nutrisi.


Di trimester 2, alhamdulillah mual-muntahnya tiba-tiba hilang, tapi aku harus belajar ikhlas lagi ketika aku mengalami perdarahan ringan. Ini ternyata karena posisi plasenta si bayik rendah banget (posisi plasenta nggak bisa diubah, hanya bisa bergeser ke atas seiring besarnya janin) hingga sebagian besar jalan lahir tertutup. Dokter bilang, melahirkan secara pervaginam terlalu berisiko dengan kondisiku saat itu karena dikhawatirkan terjadi perdarahan yang berlebihan kalau dipaksakan. Akhirnya diminta bed rest satu pekan dan harus mengonsumsi obat penguat kandungan. Down, ya? Pasti...apalagi dengan riwayat gagal bius sebelumnya, aku trauma kalau harus dihadapkan dengan meja operasi untuk ketiga kalinya nanti saat lahiran. Kata dokter, kalau memang harus dilahirkan secara SC, Aleya setidaknya akan dilahirkan ke minggu ke-37 supaya menghindari adanya kontraksi, karena kalau sampe udah bukaan banyak, dikhawatirkan perdarahannya nggak bisa dikontrol. Jadi, sejak akhir trimester 2 tuh aku bener-bener menghindari segala hal yang bisa bikin aku kontraksi.


Di trimester 3, aku ngalamin berkali-kali mom shamming, huhu. Kebanyakan orang yang ketemu aku bilang kalau aku nggak kayak orang hamil karena perutku terlihat kecil. Awalnya aku biasa aja, tapi karena sudah terlalu banyak yang bilang bahkan nggak jarang berulang, aku selalu nangis di rumah tiap abis di-shamming. πŸ˜‚ Bumil kan sensi banget, gaes...takut anaknya kenapa-napa. Siapa yan marah duluan pas tahu aku nangis? Ya paksu! Hehe. Dia sampe sempet bilang ke aku "Sini, kirim WA-nya mbak itu yang sering bilang perutnya Adik kecil. Biar Mas bilangin nggak usah kebanyakan komentar". Wakakakak segitunya.


Selain itu, di TM 3 ini aku sempat mengalami kontraksi palsu pada bulan ketujuh (bisa jadi efek kecapean) dan harus bed rest lagi. Abis itu dicek lagi posisi plasentanya, ternyata tetep nutupi jalan lahir, dan dokter bilang diobservasi dulu sampe bulan kesembilan sambil diusahakan dengan yoga, dll. Pada bulan kedelapan, pas rame-ramenya Covid varian Omicron, aku juga tertular dari suami, terpaksa bed rest lagi (tapi tetep kerja dari rumah, wkwk). Sudah risiko kalau kami berdua kerjanya harus ketemu banyak orang, jadi bener-bener nggak bisa menghindar dari Covid.

Abis itu...jeng jeng jeng...pas periksa kandungan setelah tertular percopidan duniawi ini, ternyata Aleya berhenti tumbuh di dalam kandungan! Usianya hampir 9 bulan di kandungan, tapi beratnya nggak sampe 2000 gram. 😭 Down se-down-down-nya karena merasa kayak APE LAGIII INI, DOOOOK???? Udah deket lahiran ini, doook... Nggak ada berhentinya ya rasa khawatir seorang bumil itu. Kata dokter, Aleya mengalami Intrauterine growth restriction (IUGR) atau bahasa awamnya ya perlambatan pertumbuhan.

Penyebabnya apa? Macem-macem. Pertama, bisa kelainan pada plasenta sehingga oksigennya nggak bisa optimal masuk ke bayi, jadinya penyerapan nutrisi pun kurang. Gampangnya, ibunya makan apa pun, efeknya tidak signifikan ke BB bayi kalau kondisi begini. Kok bisa plasentanya kelainan? Kalau ngomongin kelainan, itu ngomongin sesuatu yang agak-agak takdir gitu, ya, hehe. Kecuali ngomongin penyakit, sebabnya lebih jelas. Penyebab IUGR yang kedua, bisa karena infeksi. Kalau dirunut kebelakang, setelah aku terpapar virus Corona itu, sebenarnya aku demam tinggi lagi sepekan kemudian dan demamnya lebih dari 3 hari (iya, pokoknya hamil sambil kerja kemarin kayak banyak izinnya πŸ˜‚). Karena bumil nggak berani konsumsi obat sembarangan, aku cuman berani minum paracetamol aja ketika itu. Nah, menurut dokter, kalau demamnya lebih dari 3 hari begitu, ada kemungkinan infeksi. Entah yg terinfeksi nih bagian mana. Terakhir, penyebab IUGR yg ketiga, paparan udara yang kurang bagus (perokok pasif, paparan udara kendaraan bermotor, dll.). 

Dari ketiga penyebab yang udah disebutkan itu, yang paling mungkin adalah karena infeksi itu tadi dan dicurigai pas aku demam tinggi tidak jelas itu, karena dari bulan pertama hingga kedelapan, Aleya tumbuhnya optimal, kok tiba-tiba aja begini. Kemungkinan kedua, juga karena plasentaku sedikit 'istimewa'. Selain letaknya yang aku ceritakan kurang optimal tadi, usia plasentanya kalau dilihat dari warnanya, kata dokterku seperti plasenta trimester 2, padahal harusnya ini sudah akhir trimester 3. Dokter sampe bolak-balik tanya, "Beneran nggak salah itung kan haid terakhirnya kapan?". Soalnya janinnya bener-bener terlalu kecil untuk usia seharusnya dan plasentanya terlalu muda. InsyaAllah nggak salah hitung, karena mensku teratur banget dan aku selalu masukkan data tanggalnya ke kalender haid.


To be continued to Part 2.


Monday, November 23, 2020

Jeda

 
Dulu ketika masih kuliah atau awal kerja, kadang aku heran kenapa sih teman-temanku yang udah nikah, kebanyakan kalau ngumpulin tugas tuh mepet, kalau janjian juga sering telat, kadang dateng ke tempat ketemuan dalam keadaan ngos-ngosan, kalau bales chat lama, sekalinya bales singkat-singkat... Ternyata, sekarang setelah aku nikah, aku baru bisa memahami alasannya kenapa.

Menikah itu merupakan wahana buat latihan mengesampingkan ego. Dulu ketika masih bujang, mungkin kita lebih banyak cuma mikirin diri sendiri. Jadi, tinggal mengatur diri sendiri aja mau janjian jam berapa, siap-siapnya jam berapa. Mau ngerjakan tugas kapan. Mau skin care-an dan wangi-wangi sebelum ketemuan juga bebas karena waktunya sisa-sisa. Ketika menikah, ada suami yang sejak akad sudah menjadi bagian dari hal yang kita pikirkan setiap hari. Ada keluarga kita. Ada keluarga suami kita. Belum lagi yang sudah punya anak. Belum urusan pekerjaan kita sendiri. Urusan bisnis sampingan. Rasa-rasanya terkadang sungguh langka bisa punya 'me time' seperti sedia kala. Walaupun nggak banyak yang harus dikerjakan bersama mereka, tapi ada banyak hati yang sedang kita jaga dibandingkan dengan sebelum kita menikah.

Dulunya aku kira, itu adalah hal yang mudah. Buktinya, banyak orang yang bisa. Namun ternyata di usia pernikahanku yang menginjak bulan ke-9 ini, aku masih belum sepenuhnya beradaptasi.
Teman kerjaku bilang "Kok kamu sekarang kalau ngumpulin tugas mepet banget, sih? Padahal dulu pas semua orang belum selesai, kamu selalu selesai duluan". Teman mainku bilang, "Tumben seorang Dina Nisrina yang dulu datengnya sebelum jam janjian, sekarang telat terus".

Ternyata, adaptasi itu tidak mudah, saudara-saudara. Tiap orang punya kapasitasnya masing-masing. Saya benar-benar salut dengan buibu dan pakbapak multitasking di luar sana yang tetap bisa stabil walau banyak pikiran. Saya juga benar-benar minta maaf atas prasangka saya terhadap teman-teman saya yang sudah menikah lebih dulu yang suka mepet sama tenggat.

Menikah itu indah. Sungguh. Namun, lelah itu wajar, Bun.

Yang jelas, supaya tetap waras, kita harus tetap berpikir positif dan menurunkan ekspektasi bahwa we can't please everyone. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, satu per satu. Pasti harus ada yang dikorbankan sejenak. Namun ingat, kita masih bisa kok menyenangkan diri sendiri. Jangan lupa 'me time' walau hanya beli minuman manis 7 ribuan di Indomaret dan diminum di latar depan, ya!

Ditulis di sebuah Indomaret di tengah Kota Malang seorang diri sambil melihat hiruk-pikuk kendaraan di tengah pandemi.



Wednesday, July 08, 2020

Pahlawan Medis: Sebuah Pengingat Diri


Lama sudah saya tidak membagikan tulisan di blog ini. Hari-hari #dirumahsaja terasa benar-benar menantang untuk saya karena benar-benar membentuk ‘saya yang baru’. Salah satu kebaruan yang muncul yaitu saya jadi punya cukup banyak waktu untuk menikmati ruang sendiri, hingga asyik tak mau berbagi cerita barang sedikit.

Alih topik, pagi itu ketika hendak mencuci setumpuk baju saya dan suami, ibu mertua saya memanggil kami. Ada kiriman, katanya. Ternyata, saudara sepupu suami yang berada di Jogja mengirimkan buku ini.


Mbak Nita, namanya. Seorang perawat di salah satu rumah sakit di Jogja, yang juga seorang penulis. Sebelum Hari Raya lalu, Mbak Nita sempat mempromosikan buku ini, hasil karyanya bersama para penulis lain yang tergabung dalam komunitas @nulisyuk, yang mengangkat tema tentang para pahlawan medis. Satu buku ini, artinya satu kali donasi. Ibu sengaja memesannya dan datanglah di pagi yang dinantikan itu.

Buru-buru ibu langsung membuka judul yang ditulis Mbak Nita. Setelah selesai, ibu memberikannya kepada saya. Saya juga memulai dari tulisan Mbak Nita dan beralih ke halaman-halaman lain sembari menunggui mesin cuci yang sedang bergerilya. Entah, tiba-tiba ada helaan napas yang berkejaran dalam setiap lembarnya. Baik. Akan saya bagikan di sini.

Ada 33 cerita pendek di dalam antologi ini. Dari judulnya, memang betul bahwa semua cerita memang ‘pahlawan medis sentris’. Akan tetapi, tidak semua yang menulis cerita di dalam buku ini berprofesi sama. Sebagian besar memang orang yang bekerja di bidang medis seperti dokter, perawat, radiolog, analis kesehatan, farmasis, hingga administrator ruang inap. Ini memberi kita skema bahwa sebutan ‘pahlawan medis’  tidak berhenti pada dokter dan perawat saja. Selain itu, para sahabat dan keluarga para pahlawan medis juga turut menyumbangkan tulisan di sini. Turut pula menandakan bahwa yang berjuang tidak hanya yang berhadapan langsung dengan pasien, tetapi juga orang yang terdekat dengan para pahlawan medis.

Antologi ini dibuat ketika pasien positif Covid-19 di Indonesia masih dalam rentang 1.000—2.000-an. Kini, ketika saya mengunggah tulisan ini di blog, sudah ada 66.226 orang. Sungguh sebuah fakta yang menampar. Bukan bermaksud untuk menakuti-nakuti, tapi ada makna di balik rentangan angka. Makna bahwa Covid-19 bukan sekadar cerita belaka.

Tulisan-tulisan ini tidak hanya membuat saya memahami sebuah karya, tetapi juga sebuah perjuangan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Saya semakin sadar bahwa pekerjaan yang selama ini saya keluhkan tidak seberat pekerjaan para pahlawan medis di luar sana. Saya akan ulas beberapa cerita yang menurut saya paling berkesan mendalam.

Cerita pertama, cerita dengan judul “Aku Bukan Pahlawan”, karya Taufiqur Rahman, seorang dokter spesialis anak di Lamongan. Tulisan ini menceritakan perjuangan pasien berusia 80 tahun yang didampingi anaknya dan pasien 4 tahun yang didampingi ayahnya dari sudut pandang seorang dokter. Yang membuat saya terenyuh yaitu ketika dikisahkan cara keluarga mereka dengan telaten berusaha untuk bersama-sama mewujudkan  kata sembuh. Cara mereka menyuapi makanan, meminumkan obat, dan menenangkan keluarganya ketika sakit. Tulisan ini menyadarkan saya akan dua hal. Pertama, terkadang kita kejauhan berlomba untuk mencari kunci surga. Kita lupa, bahwa salah satu kunci surga yang terdekat adalah ketika kita bisa memuliakan orang tua kita, sama seperti keluarga pasien yang mendampingi ibunya yang sudah berusia 80 tahun. Kedua, kasih orang tua terkadang lupa kita sadari sampai kita mendengar bahwa mereka rela menggadaikan hidupnya untuk anaknya, seperti ketika ayah pasien mendampingi anaknya yang berusia 4 tahun ini. Ia bisa kapan saja tertular dari anaknya, namun ia berkata bahwa ia ikhlas karena anaknya adalah hartanya yang paling berharga.


Cerita kedua, cerita dengan judul  “Detak dalam Detik” yang ditulis oleh Mbak Nita Aprilia, sepupu kami. Ia deskripsikan melalui ceritanya bagaimana rasanya berada dalam dekapan alat pelindung diri (APD). Dari deskripsinya, saya bisa turut merasa sedang memakai APD: bagaimana berjalan dengan memakai sepatu boot yang kebesaran, bagaimana melihat dengan goggle yang terus berembun, bagaimana banyaknya lapis baju yang menyelimuti tubuh. Itu tentu tak nyaman. Belum lagi, detak jantung yang selalu berkejaran dengan waktu. Setiap detik adalah nyawa. Sesuai dengan judul yang ia tulis, saya turut merasakan jantung saya terpacu ketika ia kisahkan pengalamannya dari ruang IGD menuju ruang isolasi. Pun, saya turut merasakan bagaimana rasanya detak jantung seorang suami melepas istrinya berangkat kerja dalam kekhawatiran yang bernaung ini. Pula dalam tulisannya, Mbak Nita turut menyadarkan pembaca, bahwa pengalaman ini tentunya bukan hal pertama untuk para petugas medis yang memang bertugas di ruang isolasi sejak dulu. Sejak Covid-19 belum memenangkan media,TB, SARS, MERS-Cov, dan lain-lain sudah lebih dulu menjadi sebuah ladang perjuangan para petugas medis di ruang isolasi. Lagi-lagi, saya dibuat malu apabila kufur melanda diri.

Cerita ketiga, cerita dengan judul “Kapan Ayah Pulang?” yang ditulis oleh Rizka Khairiza. Suaminya adalah seorang dokter yang terlibat langsung dalam penanganan pasied Covid-19. Ia harus merelakan suaminya tidak tidur bersamanya dan anak-anaknya di rumah. Ini dilakukan demi menjaga keluarganya. Sungguh air mata ini terpicu ketika membayangkan rasanya hanya bisa bersua dengan suami melalui panggilan video. Membayangkan bagaimana rasanya bertemu suami dalam jarak sekian meter di luar pagar ketika ia mengirimkan sesuatu untuk anaknya di rumah, namun tahu diri untuk tak  saling sentuh. Membayangkan anak yang terus bertanya kapan ayahnya pulang karena sudah rindu dengan kebersamaan yang ia dapatkan sebelum pandemi ini dicetuskan. Itu tentu bukan hal mudah...dan hanya orang-orang terkuatlah yang bisa mengalaminya.

Itulah tiga cerita yang bagi saya meninggalkan kesan lumayan dalam. Buku ini, semakin saya baca, bukannya rasa khawatir yang semakin bertambah, namun rasa bersalah terhadap para pahlawan medis di luar sana yang semakin membuncah. Cerita-cerita ini sungguh mengingatkan saya untuk berpikir dua kali kalau mau sembrono, ke luar rumah untuk sekadar mengisi ruang kebosanan, misalnya.

Dari situlah, kiranya memang benar. Bahwa sejatinya, garda terdepan untuk melawan virus ini bukan mereka para pahlawan medis, melainkan kita. Pahlawan medis justru merupakan garda pertahanan terakhir. Saya setuju dengan pernyataan yang ditulis Rizki Akbar ini pada halaman 95.

Itulah ulasan saya tentang buku ini. Alih-alih mengulas konten, saya justru mengulas hikmah yang dapat kita petik. Terakhir, tak lupa saya mengajak kita semua untuk tidak berhenti berdoa agar pandemi ini segera diangkat dari muka bumi ini. Sesungguhnya, senjata paling ampuh adalah doa yang tak hentinya dipanjatkan. Maka, jangan letih untuk berdoa, karena Allah tidak pernah letih untuk menjawab.

Semangat, para Pahlawan Medis dan kita semua yang sedang berjuang.


Friday, April 24, 2020

Sesosok Punggung yang Termenung Usai Subuh

Aku temui langit fajar usai zikir selepas subuh di teras bersama embusan embun pagi. Ada sebuah pesan yang hendak disampaikan Sang Khalik melalui dedaunan yang sengaja ia gerakkan, cuitan burung, dan sekelompok awan bersama sinar mentari yang menyelinap mengintip. Selamat datang di bulan suci, kata mereka. Akan tetapi ada yang berbeda pada Sang Bulan Suci kali ini.

Terbentuk sebuah siluet dari sesosok punggung yang 'ku cintai. Yang sedang menikmati lantunan Quran dari udara yang dialirkan oleh pengeras suara dari surau di permukiman kami. Yang terbangkit usai menceritakan kenangannya bersama seorang adik yatim di depan rumah yang tak pernah absen mengajaknya balapan lari selepas memanjatkan doa di surau dekat sini. Ia juga kisahkan bagaimana adik itu selalu memanjatkan doa seusai salat dengan khusyuk sampai membuatnya ingin tahu doa macam apa yang sedang ia langitkan kepada Sang Khalik. 


Hati istri mana yang tidak terusik, mendengar nada suara yang biasanya gagah itu kemudian melemah berpasrah merindu seolah merintih. Aku tahu kerinduan macam apa yang sedang berkecamuk di dada itu. Kerinduan akan candu suasana Ramadan yang seharusnya bisa ia nikmati bersamaku sebagai pengalaman baru. Malam pertama dan pagi pertama Ramadan ini memang begitu syahdu. Bersama dengan itu, aku haturkan maaf yang sebesar-besarnya untuk kedatanganku yang tidak bisa sama dengan cerita pengantin baru pada umumnya. "Aku dan kamu menjadi kita" ketika dunia sedang dilanda ujian. Maafkan aku atas tidak adanya berjalan bersama menuju surau itu untuk tarawih dan berkenalan dengan anak laki-laki yang mengajakmu balapan lari. Maafkan aku atas tidak akan adanya berjalan bersama mencari takjil di sore hari. Maafkan aku bahkan mungkin Idul Fitri kali ini tidak akan ada lapangan luas dengan berbagai pedagang penjual balon yang menanti anak-anak kecil merengek memohon kepada ibu mereka sebagai hadiah atas sebulan penuh menahan lapar.

Maafkan aku karena aku harus menemanimu ketika Ramadan tak lagi sama.

Aku tidak akan letih untuk bermunajat agar Ramadan tahun depan bisa menjawab kerinduanmu akan candu suasananya. Aku tidak akan letih untuk bermunajat seperti halnya Ramadan lalu aku bermunajat agar Ramadan ini "aku dan kamu menjadi kita".

Semoga dunia yang sedang dipuasakan ini bisa meraih fitri segera.

"Taqobbalallahu minna wa minkum taqobbal ya kariim". Terdengar lantunan penutup tadarus pagi yang sekaligus menutup resahku pagi ini.

Selamat ber-Ramadan dari rumah masing-masing.

Sunday, January 26, 2020

Kapan Nikah?


Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis lagi di blog ini. Ini post pertama saya di tahun ini dan sudah saya nodai dengan tulisan seperti ini. Padahal, saya berjanji untuk berhenti membagikan keluhan saya di media sosial, tapi ternyata untuk saat ini menulis adalah salah satu healing method yang masih saya sukai. Akhirnya pula, saya beranikan diri buat nulis tentang topik ini.

Bagi yang sudah menginjak usia ‘wajar nikah’ di Indonesia, pasti sudah lumayan kenyang dengan pertanyaan “Kapan nikah?”, ya kan? Kira-kira, sejak umur 21 tahun, pertanyaan seperti itu sudah saya dengar. Pertanyaan seperti itu lebih sering muncul ketika kita terlihat punya pacar, utamanya yang sudah pacaran lama.

Ketika saya berusia 23 tahun, singkat cerita, saya pernah bahagia banget. Saya hampir menikah dengan seseorang. Akan tetapi, di tahun itu pula Allah menunjukkan bahwa dia bukan jodoh saya. Saya tidak akan bercerita lebih tentang ‘mengapa’, karena bagi saya, ada beberapa hal yang tidak semuanya harus dibagikan kepada orang lain.

Selepas kejadian itu, bagaimana perasaan saya? Wah, nggak bisa dibayangkan. Sedih? Iya. Kecewa? Iya. Marah? Iya. Malu? Iya. Semua jadi satu ketika itu. Bukan hal mudah bagi saya untuk menerima kenyataan itu. Saya nggak pernah sesedih itu sebelumnya. Sejak saat itu, saya jadi sangat sensitif kalau ada yang berbicara tentang pernikahan. Keinget dikit, nangis. Kesenggol dikit, nangis. Hampir tiada hari tanpa nangis. Saya jadi lebih banyak mengurung diri di kamar; melakukan aktivitas yang nggak butuh berinteraksi dengan orang lain seperti main make up sendiri, nulis diary, nyanyi-nyanyi, bikin-bikin; dan menolak semua ajakan nongkrong. Bahkan, saya sengaja menghindar dari beberapa komunitas dan beberapa orang karena takut ditanya-tanya. Paling pol kalau keluar rumah, itu karena kerjaan, karena diajak oleh teman geng saya yang benar-benar dekat, dan karena ada kajian. Ya, sejak saat itu saya mencoba lebih aktif datang ke kajian. Safari dari masjid ke masjid. Mencoba menenangkan diri dengan mengisi kegundahan dan kekosongan dalam diri yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Saya benar-benar takut dengan kata nikah. Kalau ada kajian yang temanya tentang nikah, saya semangat banget walaupun harus berangkat sendirian. Sampai akhirnya, ketika saya berusia 24 tahun, saya daftar kelas pranikah dan mengajak Dini (saudara kembar saya) dan satu teman saya. Di situ, kami belajar banyak tentang pernikahan dari persepsi Islam. Betapa Mahabesarnya Allah telah mengatur sedemikian rupa kehidupan ini dari bangun tidur sampai tidur lagi. Perkara nikah pun jelas tak luput dari aturan Islam. Ternyata, banyak hal yang saya lewatkan dalam persiapan pernikahan. Dari kelas itu, saya baru sadar bahwa ternyata dari segi agama, saya memang belum siap untuk menikah. Banyak hal yang harus saya perbaiki. Ternyata, Allah menunda pernikahan saya karena Allah tahu, saya masih harus belajar banyak hal. Allah masih sayang dengan saya.

Pelan-pelan, trauma saya dengan kata nikah mulai pudar. Saya sudah mulai bisa mengurangi rasa sensitif saya. Saya mencoba pergi dari rasa ingin mengurung diri. Mencoba membuka hati pelan-pelan untuk kisah yang baru. Akan tetapi, perjuangan tersebut juga tidak selalu mudah. Berkali-kali mencoba untuk membuka hati, tapi berkali-kali pula Allah menunjukkan bahwa belum saatnya...belum, Dina. Bukan dia orangnya. Tidak sedikit yang mencoba, bahkan ada yang mendekati keluarga saya, tapi kecenderungan hati tetap tidak bisa tenang. Istikharah pun dilakukan, masih belum menemui titik terang. Ketakutan-ketakutan akan pernikahan kembali  menghantui saya. Bahkan, sekarang di mata saya, semua laki-laki sama saja. Saya cenderung cuek dengan semua laki-laki yang mencoba mendekat. Pandangan yang salah, memang. Namun hanya itu yang bisa saya lakukan. Untuk menjaga perasaan saya sendiri dari ekspektasi yang berlebihan.

Akhirnya, saya sekarang di titik ini, di penghujung usia 25 tahun (karena bulan depan usia saya 26 tahun). Jika ditanya apakah saya jomlo? Saya tidak bisa menjawab. Setiap manusia pasti punya kecenderungan kepada seseorang. Hati saya tidak kosong, namun juga masih penuh dengan kekhawatiran. Jika ditanya siapakah namanya? Saya tidak mau menjawab. Ada hal yang ingin saya rahasiakan sendiri saja dan saya lambungkan di setiap sujud saya kepada Allah. Cukup saya saja yang menyimpan, supaya tidak lagi kecewa berkali-kali. Saya lelah berharap kepada selain Allah.

Saya pernah mendikte Allah. Saya bilang kepada Allah, “Ya Allah, aku mau nikah paling lambat 25 tahun lebih 364 hari, alias H-1 usia 26 tahun”. Ternyata, sekali lagi manusia hanya punya rencana, Allah-lah yang menentukan. Terhitung sejak usia 23 tahun, sudah lebih dari 2 tahun saya struggle with Kapan nikah?”. Saya cukup bangga, telinga saya sudah kebal dengan pertanyaan seperti itu.
Namun...kemarin...ternyata hati ini kembali pecah ketika mendengar ini lagi...
Dina kapan?
Kapan nyusul?
Kok nggak dibarengin aja sama Dini?

Huft...saya harus jawab apa?

Singkat cerita...


Kemarin, saudara kembar saya, Dini, mengakhiri masa lajangnya. Kalau ditanya gimana perasaan saya, in the deepest feeling, saya bahagia, banget. Perasaan yang nggak bisa diceritakan dan ditampakkan dari wajah dan ekspresi tubuh lainnya. Secara, kami sudah bersama sejak telur di rahim ibu kami membelah menjadi dua. Walaupun kami berbeda sekolah sejak SMP, kami masih sering beraktivitas bersama. Saya juga mengerti benar bagaimana perjalanan hatinya yang penuh dengan lika-liku yang tidak ia bagikan kepada khalayak. Menyaksikan akhirnya ikrar suci sehidup semati itu terucap, saya mengerti betapa lega dan bahagianya dia.

Saya mendapatkan pertanyaan-pertanyaan template itu dari banyak tamu yang saya sapa, saudara, dan dari banyak teman yang mengomentari jejaring sosial saya ketika saya mengunggah kebahagiaan kami di pesta pernikahan Dini. Saya yang awalnya bahagia banget di pesta pernikahan, mendadak bad mood nggak karu-karuan karena telinga saya terlalu banyak terpapar pertanyaan-pertanyaan itu. Bagi beberapa orang, itu hanya hal sepele.
Halah, anggep aja mereka basa-basi.
Halah, anggep aja doa.
Halah, kamu belum ngerasain ditanya kapan punya momongan aja, lho!
Halah, cuek aja, lho.
Halah
Halah
Halah...

Untuk menutupi rasa bad mood saya di pesta itu, saya mencoba tetap tersenyum agar air mata ini nggak keluar. Kalau mendadak bocor ada air mata jatuh, saya pura-pura kelilipan bulu mata palsu. Kalau nggak gitu, saya nggodain ponakan-ponakan biar gak usah diajak ngobrol ama siapa-siapa. Rasanya...perjuangan mengobati trauma selama dua tahun lebih itu langsung bocor seketika dalam satu hari. Siang ini pun saya memutuskan untuk menghapus semua unggahan saya tentang pernikahan Dini karena saya sudah nggak tahan dengan beberapa kalimat yang masuk di DM saya. Beberapa kalimat yang rasanya kurang pas walaupun saya tahu mereka hanya berusaha akrab dengan bercanda. Saya besok harus kerja, saya nggak mau kerjaan saya amburadul hanya karena masalah pribadi. Saya harus melanjutkan hidup. Untuk itulah saya harus mencoba untuk bangun dan mengobati trauma ini.

Teruntuk siapa pun yang membaca ini...
Berhentilah bertanya “Kapan nikah?” dan kalimat-kalimat turunannya kepada orang lain. Berhentilah bercanda dengan konten yang sensitif. Kita tidak pernah tahu perjuangan seseorang untuk bangun dari keterpurukan. Kita tidak pernah tahu perasaannya di belakang kita setelah kalimat itu ia terima. Kita tidak pernah tahu dua kalimat saja yang kita ucapkan bisa jadi membuat seseorang kehilangan arah.

Teruntuk siapa pun yang mungkin mengalami apa yang saya rasakan, jika ingin menangis, menangislah...tapi jangan pernah patah semangat. Maafkanlah dirimu dulu, kemudian maafkan juga semua orang yang mungkin membuatmu sedih. Yakinlah dengan janji Allah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesudah kesulitan itu...ada kemudahan.

Ingatlah bahwa kelahiran, kematian, rezeki, dan jodoh sudah dituliskan di Lauhul Mahfudz.



Tidak akan pernah ada yang tertukar jika memang takdir itu untuk kita.




Friday, June 07, 2019

Definisi Cinta

Ada yang menunggu
Ada yang ditunggu
Ada kesabaran yang sedang coba dipermainkan oleh alam
Yang menunggu, diuji untuk legawa tidak tergesa oleh ekspektasi dan kata orang
Yang ditunggu, diuji untuk legawa pula apabila yang menunggu sudah tidak mampu lagi menunggu
Hingga pada akhirnya, yang tersabarlah yang akan bermuara bersama

Mungkin itulah definisi cinta
Cinta adalah seni menunggu dan ditunggu
Bahkan menanti dan dinanti
Maka pelakunya boleh disebut seniman
Dan seni selalu butuh kesabaran

Selamat berkarya, para seniman!

Sunday, May 19, 2019

Bahasa Kalbu

Karena aku adalah calon ahli bahasa, kau seenaknya bertanya kepadaku. Apa bahasa yang paling sulit di dunia ini? Menurutku, itu bahasa kalbu. Lalu, kau bertanya lagi, seperti apa bahasa kalbu itu. Saking sulitnya, aku tidak mampu menjawab. Tapi oke, akan aku jelaskan ciri-cirinya.

Bahasa kalbu itu...

Tidak bersuara, tapi minta didengar.
Tidak terlihat, tapi minta diperhatikan.
Terasa, tapi pura-pura disembunyikan.

Apakah kini kau sudah bisa memahaminya?

Sunday, January 13, 2019

Satu Pertanyaan

Kalau boleh mencatutkan satu nama dalam doa, sebenarnya hanya namanya yang terus terngiang di dalam lubuk hati yang terdalam. Sungguh sulit mengeja namanya, karena sebenarnya di dalam nama itu ada kata 'cinta' yang tidak mampu aku eja. Menurutku, cinta hanya layak untuk dicatutkan kepada hal-hal yang menjadi hak kita secara halal. Cinta itu datang ketika dia menggetarkan arsy dalam sebuah hari. Hari ketika dia mengucap sebuah janji di depan wali dan para saksi. Walaupun kini dia sudah pergi, nama itu terus bergaung dan bergema. Entah ini bisikan setan atau memang sebuah pertanda. Aku tidak bisa mengusahakan apa-apa selain doa. Karena yang bisa mengubah sebuah takdir hanyalah doa. Tapi sebentar...apakah benar sebuah nama yang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz bisa terganti hanya dengan sebuah doa? Apakah itu egois namanya? Apakah itu memaksakan kehendak? Apakah boleh ya Allah, aku mencatutkan sebuah nama di dalam pinta dan sujudku?

Sunday, January 06, 2019

Titik Rendah

Suatu pagi ketika ibu pamitan denganku untuk pergi ke Bandung dalam waktu lama, mengunjungi kakakku yang baru melahirkan...

"Ibu berangkat sek ya," pamit ibu sambil mencium pipi kanan dan kiriku.
"He'em..." jawabku lemas karena sebenarnya aku memang sedang galau dengan banyak hal dan mengapa malah aku harus 'home alone'.
"Sing semangat, tha!" rupanya aura negatifku terbaca oleh ibu.
"Ancen aku gak semangat," jawabku spontan sambil menahan air mata.

Oh ibu...andai engkau tahu, tapi aku yakin engkau tahu dari mataku bahwa aku sedang tidak semangat untuk hidup. Tapi mati pun aku belum cukup bekal. Ibu, aku sedih ketika engkau tahu aku sedih. Karena aku tahu, ibu akan seratus kali lipat lebih sedih ketika melihat anaknya sedih. Bu, aku kehilangan semangat untuk mengarungi hidup. Bagaimana ya, Bu? Bagaimana caranya agar motivasiku tentang hidup kembali hidup? Bagaimana agar minimal aku bisa sekuat ibu?

Bu, sempat terlintas di pikiranku untuk mati saja. Tapi aku teringat bahwa aku belum bisa membuatmu bahagia. Bahkan pagi ini aku membuatmu sedih lagi dengan membuatmu tahu bahwa aku sedang tidak semangat. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mati sebelum bisa membuatmu yakin aku sedang bahagia.

Bu, bahagia itu mudah. Aku bisa melakukannya. Tunggu ya, Bu. Aku sedang berusaha.

Thursday, September 06, 2018

Kabut


Tahukah kau, persamaanmu dengan kabut? Aku bisa merasakan hujan gerimis super mini di sekitar kulit tangan dan wajahku. Sungguh sejuk dan menggebu serunya. Namun aku tidak bisa melihat wujud hujan gerimis super mini itu. Aku hanya bisa melihat putih seolah aku berjalan di atas kapas yang tak berliku. Kini kau membuatku seolah bidadari yang sedang duduk di negeri yang berada di atas awan. Aku merasa istimewa walau kadang kedinginan. Dingin dan buram tetapi aku tahu pasti ada jalan. Karena kabut, seyogyanya akan hilang ketika matahari bangun melenyapkan hujan super mini di sekitarku itu. Semoga kau segera dimakan matahari, supaya tidak ada hujan gerimis super mini lagi.

Ditulis dalam keadaan mencintaimu sambil kedinginan.

Friday, August 24, 2018

Apa Ini Namanya?

Apa ini namanya, tiap kali angin berhembus karena kedatangannya, ada debar berbeda yang bahkan tidak mampu aku kondisikan.

Apa ini namanya, tiap kali udara bergetar karena gelombang pita suaranya, ada tarikan napas yang dalam, yang bahkan tidak mampu aku sembunyikan.

Apa ini namanya, tiap kali ada cahaya yang datang dari sudut ekor matanya, ada percingan dan binar bola mataku yang bahkan tidak mampu aku elakkan.

Mungkinkah aku telah jatuh cinta berulang kali padanya?