Followers

Tuesday, November 29, 2011

Ibu Kedua

25 November 2011

"Terpujilah wahai engkau, ibu, bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...

'Hernawati'. Begitulah satu kata yang beliau tulis di papan saat awal berkenalan dengan kami. Lalu, beliau mulai memberi garis pada dua suku kata yang ada di tengah kata itu. 'Erna'. Lalu beliau mulai mengutip lagu "Berkibarlah Bendera Negeriku" dengan mengganti satu kata menjadi "...bendera Stetsaku". Begitulah beliau akrab disapa, Bu Erna. Saat ada bersama beliau, kami memang selalu memanggilnya Bu Erna. Tapi, jika di luar kelas, kami lebih suka memanggil dengan sebutan Mam Er. Jika kalian belum mengenalnya, bahkan hanya mengenalnya sekedar dari cuap-cuap atau mulut ke mulut orang yang hanya bisa sekedar berasumsi tanpa mengalami, pasti kalian akan berpikir negatif tentang beliau. Entah mengapa sebagian besar murid di sekolahku selalu takut dan lebih memilih jalan pintas untuk menghindar jika berpapasan dengan beliau. Demikian pula aku. Awalnya, aku seperti itu. Tapi ternyata, aku salah besar. Ada makna di balik senyum Mam Er.

Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku 'tuk pengabdianmu

Memang. Jika kalian belum mengenal beliau, kalian pasti menganggap beliau orang yang jutek. Sekali. Bahkan, kalian bisa saja menganggap beliau banyak maunya, sok disiplin, bahkan jahat. Tapi kalian salah. Aku juga awalnya salah. Namun, aku telah menemukan jawabannya sendiri. Beliau tidak jutek. Beliau hanya ingin menunjukkan pada kita, bahwa seorang guru, seorang ibu, juga harus menjadi seorang teman. Namun, sikap yang beliau tunjukkan mungkin akan terlihat jutek dan terkesan jaga image. Tapi, itu semua hanya untuk mengajari kita, bahwa walaupun orang tua adalah teman, tapi kita ingat, bahwa ada tirai pembatas yang semu namun tetap harus dijunjung tinggi, yaitu rasa hormat. Beliau memang banyak maunya. Tapi, itu adalah tuntutan, acuan untuk kita agar kita optimis dan bisa membuktikan pada beliau, bahkan pada khalayak bahwa kita memang bisa memenuhi tuntutan itu. Beliau memang disiplin. Beliau dibesarkan di lingkungan militer, karena notabene sejak kecil dididik oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai tentara. Namun, itu yang aku suka. Lihat, saat pelajaran beliau, mana ada yang bajunya tidak rapi. Seragamnya tidak beratribut lengkap. Buku tidak rapi. Dan semua serba on time! Beliau tidak hanya sekedar mengajar, namun juga mendidik. Bahkan, sebagian besar waktu pada jam pelajaran, beliau gunakan untuk mendidik kami, bukan mengajar kami.

Siapa lagi guru yang mau turun langsung ke lapangan saat praktik drama, membenahi blocking kami, bahkan sampai beliau lupa memakai kembali alas kakinya.

Beliau bahkan tidak peduli apa kata orang nanti, beliau tetap ingin mengajar kami. Bahkan saat beliau sakit, beliau tetap memaksakan diri.

Aku suka cara mengajar beliau. Kami tidak hanya dituntut pintar menyelesaikan soal. Tapi juga life-skill kami benar-benar diasah tiap pelajaran beliau. Aku suka, karena di sini kami tidak hanya sekadar membaca. Tapi juga menulis, mengarang, bernyanyi, berakting, berpuisi, dan kami jadi tahu, kami memang bisa itu. Beliau juga selalu memberi alasan yang tepat terhadap permasalahan dalam soal. Jadi, kami tidak pernah ragu jika beliau mencetuskan satu jawaban. Dan siapa lagi, guru yang mengarangkan sebuah puisi secara cepat di hari ulang tahun salah seorang dari kami...dan aku ditugaskan untuk membacakannya di depan kelas, sungguh suatu kehormatan.

Beliau juga tidak lupa mengajari kami caranya berbagi. Di akhir tahun ajarannya waktu kami masih kelas 11 kemarin, ia mengajarkan kami berbagi dengan cara bertukar kado satu kelas. Beliau juga tidak lupa untuk memberi sebuah kado pada dua orang temanku, Amal dan Dias, saat mereka berulang tahun. Di saat kami belum bisa memberi, beliau sudah selalu di depan untuk memberi. Siapa lagi guru yang seperti ini?


Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Hari-hari yang kami lalui dengan beliau memang terasa sangat menegangkan. Kami harus selalu berlari-lari satu kelas tiap perpindahan pelajaran ke pelajaran Bahasa Indonesia, karena sekolah kami memiliki sistem moving setiap pelajaran, hanya untuk mendapatkan tempat paling aman agar tidak tegang saat beliau sedang sedikit tegas. Tapi, justru itulah serunya. Jangan pernah mengaku sekolah di SMAN 4 Malang kalau belum mengalami hal ini, hehe.

Beliau suka sekali foto dengan kami. Beliau juga mengajari kami rasa hormat tidak hanya di depan beliau saja. Dan tidak hanya dengan beliau saja. Saat kami menyapa dan bersalaman dengan beliau, beliau juga selalu mengingatkan agar kami tidak lupa juga bersalaman dan menyapa guru yang lain, terutama yang ada di sebelah beliau saat kami bertemu di jalan. Dan siapa lagi guru yang memelukku dan memberi dua kecupan di pipi kanan dan kiri, beberapa hari sebelum aku berangkat ke Purwokerto untuk operasi skoliosisku? Lalu beliau mulai memanggil guru yang lain untuk memberiku semangat sebelum aku tidur di meja operasi.



Beliau selalu menyatukan kami dengan foto-foto ini. Dan momen-momen ini.

Beliau tidak peduli saat rata-rata guru membawa sepeda motor atau bahkan mobil ke sekolah. Beliau rasa cukup dengan angkutan umum yang setiap hari tidak pernah lupa untuk mengantar-jemput beliau. Bahkan, saat beliau satu angkutan dengan temanku, Abi, dan tas Abi tertinggal di angkot, beliau juga yang membawakannya.

Begitulah beberapa kisah yang mungkin bisa menjadi salah satu inspirasiku dalam hidup. Terkadang, saat kita bisa memberi, dan itu cukup, kita tidak perlu berandai-andai akan mendapat balasan apa. Mereka adalah guru kita. Mereka ada di sekitar kita. Tak perlu jauh-jauh untuk mencari orang yang bisa disanjung. Mereka tidak butuh apa-apa. Tidak butuh pujian bahkan sekali pun itu hanya diingat, mereka tidak berharap demikian. Gaji mereka satu bulan, tidak sebanding dengan keringat mereka mendidik kita semua. Bukan hanya mengajar. Jasa mereka tidak bisa diukur. Yang mengajariku menulis dari nol. Yang mengajariku membaca dari nol. Yang mengajariku menjadi sampai sejauh ini, sampai aku bisa menulis sebanyak ini, padahal dulu, aku baru bisa membaca ketika kelas 1 SD, beda dengan teman-temanku yang sudah fasih sejak TK.

Bu, Pak, ketika besar nanti, aku juga ingin menjadi seperti kalian. Tidak peduli teman-temanku akan menjadi dokter, akuntan, arsitek, insinyur, bahkan jutawan sekali pun, cita-citaku masih tetap sama, guru. Tidak peduli seberapa besar gaji yang akan aku dapat, aku ingin bisa mendidik dan mengajar. Tidak peduli salah satu temanku menertawakanku dengan "gaya mengajar murid TK" yang menurutku ia lebih mirip dengan "orang yang kehilangan akal" saat aku mengatakan, "Aku ingin jadi guru", aku masih tetap sama.

Selamat hari guru, tetaplah menjadi seorang guru, guru!

Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa..."

2 comments:

  1. guru memang pahlawan tanpa tanda jasa :')

    ReplyDelete
  2. Iya, semoga negara lebih mempertimbangkan nasib guru-guru di pedalaman ;-)

    ReplyDelete

Comment here